(Kisah ini merupakan bagian ke-16 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8), Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10), Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar (11), Negeri Kelelawar Menjadi Sarang Koruptor (12)), Senjakala di Negeri Kelelawar (13), Peradaban Negeri Kelelawar Tak Akan Pernah Mati (14), dan Prahara Tak Pernah Berhenti Mengguncang Negeri Kelelawar (15) . ***
Syahdan, di tengah situasi duka akibat erupsi gunung berapi yang meluluhlantakkan bukit, lembah, dan goa negeri Kelelawar, petinggi negeri Kelelawar, dengan nada santun, tetapi menohok, berujar: “Negeri kita adalah penganut sistem demokrasi. Tidak seharusnya ada sebuah daerah yang menganut sistem monarkhi di tengah sistem ketatanegaraan yang menganut sistem demokrasi.” Karuan saja, pernyataan sensitif yang disampaikan secara terbuka dan disiarkan beberapa stasiun TV itu membikin para kawula yang tengah tertimpa musibah terusik. Banyak kalangan menilai, pernyataan itu dilontarkan pada saat yang tidak tepat. Alih-alih membangun sikap empati dengan membesarkan hati para korban di pengungsian yang tengah mendapatkan ujian berat, sang petinggi justru melontarkan penyataan “politis” yang mengganggu kenyamanan nilai-nilai primordial dan kearifan kultural yang bertahun-tahun lamanya diyakini sebagai bagian dari sejarah keistimewaan daerah yang bersangkutan.
Sang petinggi, melalui draft Rancangan Undang-undang yang sedang digodog, menghendaki agar kepala daerah dipilih secara demokratis melalui Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD). Sang petinggi, bisa jadi lupa akan keistimewaan “anak sulung” yang dengan kerendahan hati dan jiwa besar beriktikad baik untuk menyatukan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Kelelawar. Konsekuensinya, gubernur dan wakil gubernur dijabat secara otomatis oleh penguasa lokal sesuai dengan karakteristik keistimewaan daerah yang bersangkutan. Jika hal ini diingkari, itu sama saja artinya bahwa predikat keistimewaan itu tidak lagi diakui oleh pemerintah pusat. Tidak berlebihan apabila para kawula negeri Kelelawar –yang selama ini sudah merasa aman dan nyaman dengan pranata dan sistem pemerintahan yang ada– geram dan “memberontak”. Secara masif dan bergelombang, berbagai kelompok dan elemen masyarakat menggelar unjuk rasa dan keprihatinan. Mereka menyayangkan sikap pemerintah pusat yang dianggap “mbegugug makutha waton”, “nggugu karepe dhewe”, dan tidak menghargai nilai-nilai historis yang amat dijunjung tinggi sebagai bagian dari genius lokal.
Situasi makin memanas ketika para pembantu sang petinggi bukannya mendinginkan suasana dengan melontarkan pernyataan-pernyataan sikap yang penuh empati, melainkan terkesan mengebiri dan mengabaikan “suara rakyat” yang telah golong-gilig menghendaki penguasa lokal sebagai gubernur dan wakil gubernur. Maka, ketika suara rakyat tak lagi didengar, para wakil rakyat di tingkat lokal merasa terpanggil untuk menggelar sidang paripurna secara terbuka. Ribuan massa pun tumplek-bleg untuk menyimak dan mengikuti sidang rakyat terbuka itu. Walhasil, sidang rakyat pun memutuskan sikap agar gubernur dan wakil gubernur diangkat melalui penetapan sebagai ciri khas keistimewaan yang sudah berlangsung lebih dari enam dekade.
Tepuk sorak dan yel-yel pun menggemuruh menggetarkan langit. Dengan cepat, keputusan sidang paripurna itu menyebar melalui internet dan berbagai media elektronik. Namun, ketika salah satu pembantu petinggi negeri Kelelawar dimintai komentar tentang suara bulat wakil rakyat itu, dengan enteng menjawab bahwa RUU yang sedang digodog oleh pemerintah pusat bukan Peraturan Daerah (Perda), sehingga suara wakil rakyat di tingkat lokal tidak akan memengaruhi sikap pemerintah agar posisi gubernur dan wakil gubernur yang sedang jadi kontroversi itu tetap dipilih melalui DPRD.
Makin terbukti, betapa tidak sensitifnya petinggi negeri Kelelawar dalam menangkap geliat dan dinamika yang tengah berkembang di tengah-tengah kehidupan kawula alit. Suara mereka dinafikan. Tak tahu pasti, kapan ontran-ontran itu akan berakhir. Pertanyaan yang tak pernah tuntas terjawab pun membayang di setiap kepala. Sebenarnya apa sih maksud para petinggi negeri Kelelawar sampai-sampai sedemikian ngotot mempertahankan ambisinya yang jelas-jelas bertentangan dengan suara rakyat di tingkat lokal? Hanya lantaran kebelet ingin dicatat ke dalam sejarah sebagai penguasa yang pernah mengajukan RUU yang penuh kontroversi itu meski harus melukai hati rakyat? Apa sih susahnya menenteramkan hati rakyat dengan mendengarkan dan merangkul kehendak mereka sehingga bisa memberikan ketenangan di tengah situasi tidak menentu akibat badai gunung berapi dan lahar dingin? Haruskah menunggu kegeraman dan kemarahan rakyat berubah menjadi aksi massa yang pada akhirnya melahirkan situasi chaos yang kian tak menentu? ***
mulai melucuti satu-per satu penghalang terbentuknya monarki nasional…
paling enak emang monikah
semoga kaum elite kita masih memiliki kearifan dalam mencatat kesejarahan ngayogyakarta hadiningrat.
(Maaf) izin mengamankan KEDUAX dulu. Boleh, kan?!
Waktu dengar komentarnya salah satu petinggi di tv seperti enteng banget, Pak. Seperti tidak terjadi apa-apa. “Seribu orang yang demo belum tentu mewakili 3 juta penduduk Yogya,” katanya.
Aduuuh….
itulah yang kita sayangkan, mas alam. pernyataan2 yang dikeluarkan para pejabat di negeri ini bukannya mendinginkan suasana yang memanas, tapi malah suka banget pasang badan.
Kalau tidak ada ontran ontran berarti bukan negeri kelelawar dong.
Bukannya ontran ontran adalah juga proyek…?
hehehe ….begitu, ya, mas?
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
Apa pun KEPUTUSANNYA semoga itu yang TERBAIK untuk rakyat. 🙂
amiiin, semoga memang demikian, pak deni.
Petingginegeri kelelawar kurang kerjaan nih, mengusik apa yang selama ini berjalan dengan baik, mencoba mengubah sistem yang selama ini tertata rapi, menyulut emosi rakyat yang selama ini hidup tentram…
Salam BURUNG HANTU… Cuit… Cuit… Cuit…
itulah kenyataan yang terjadi, mas denuzz. meski sdh jelas2 mayoritas rakyat menghendaki penetapan, agaknya sang petinggi ndak mau juga mendengarkan suara mereka.
selebriti update
kanpan saya bisa seprti anda?
Petinggi negeri kelelawar harusnya mendengarkan suara rakyatnya, kalau memaksakan kehendak, tak ubahnya peta politik negeri kelelawar akan mundur lagi ke beberapa dekade lampau, sementara negeri-negeri lain , mencibir dan tersenyum melihat fenomena negeri kelelawar.
Salam dari Solo
seharusnya begitu, pak bambang. sayangnya, pernyataan2 yang dikeluarkan oleh para petinggi terkesan mengabaikan suara mayoritas rakyat di tingkat lokal.
Bakal ada MAHABARATA, nih pak, sengkuni-sengkuni negeri kelelawar masih menganggap bahwa Jogja itu SLILIT bagi negeri kelelawar… saya yang dulu mengidolakan petinggi negeri kelelawar, sekarang kalau melihat di tivi jadi muak… SELAMAT UNTUK NAGARI NGAYOGJAKARTA HADININGRAT
itulah yang terjadi, kang bud. bola yang dilemparkan para petinggi agaknya makin liar dan makin sulit diselesaikan.
jangan mau terpancing pengalihan isu pak (thinking)
pengalihan isu? wah, bisa jadi ada benarnya juga tuh, mas.
rakyat uda pada tau bobrok nya para pemimpin negeri tercinta kita ini. di tunggu info lanjutan nya….
bener banget, mas. rakyat juga makin kritis.
Kalau UUK DIY tetap di paksakan maka tunggulah Yogyakarta akan pisah dari NKRI, seperti Timor-Timur. Dan daerah lain akan mengikuti.
Sebagai catatan sebelum Indonesia merdeka di tahun 1945, Gorontalo telah merdeka dulauan pada tanggal 23 Januari 1942.
jgn sampai pisahlah.semoga bersatu trss
hal itu bisa terwujud manakala para petinggi bisa memahami suara mayoritas rakyat di tingkat lokal.
bisa jadi bener tuh, mas marada. para petinggi mestinya bisa menyikapinya dg arif dan bener2 mendengarkan suara rakyat.
cape deh kalo bicara soal pemimpin…rasa2nya memang gada yg benar klo dah duduk dikursi empuk… (tears)
mungkin ada benarnya, mas ginting. apalagi kalau kursinya dibeli denganm harga yang kelewat mahal.
tekelelawar Mirip orang pak ckckckc
memang, bila penguasa hanya ngagungke kekuasaannya, maka ia harus siap untuk segera ditinggalkan rakyatnya!
ya, ya, semoga saja mereka masih memiliki kearifan utk merumuskan yang terbaik buat rakyatnya.
Rakyat cilik daerah lain di Negeri Kelelawar saja berusaha membangun kenyamanan dan keteduhan saudara-saudara yang sedang duka ditimpa musibah gunung dan banjir lahar dingin, kok, malah yang duduk tinggi di kursi negeri malah menyalakan “api”.
Salam kekerabatan.
itulah yang terjadi, pak. makin terbukti kalau kepekaan dan sikap empati para petingg kian mahal di negeri kelelawar.
sepertinya para petinggi tersebut ingin memperlihatkan mereka sangat paham tentang persoalan monarkhi dan demokrasi *padahal tidak (nottalking)
itu dia, mas fajar, terlalu mengagungkan demokrasi, tapi ternyata berdampak kurang bagus buat rakyatnya.
harusnya pejabat bisa mendengar aspirasi rakyatnya, bukannya malah ngotot penuh kontroversi..
dasar kamprett… kamprettt.. (doh)
mestinya begitu, mas muh. ternyata apa yang diharapkan rakyat malah ditarik ke sana ke mari. makin repot!
seharusnya para pemimpin dan anggota DPR tidak lupa bahwa ia pernah jadi rakyat.mungkin ga merasakan karna ia tadinya dari rakyat yang ga “merakyat”.
sebuah kritikan yang menarik pa…
aduh pa giman nh lama ga nulis…tips apa dunk!
wassalam
idealnya memang demikian, pak. utk soal yang satu ini, kayaknya bola liar ada di petinggi. btw, utk eksis nulis, almarhum pram pernah memberi 3 tips, pak, yakni menulis, menulis, dan menulis, hehe ….
wah… ajib pak de postingannya.?? menarik banget sukses slalu untuk pak de??? aku slalu nunggu updatenya
pakdhe sumintar? apa kabar, pakdhe. terima kasih kunjungannya, semoga ladang internetnya makin tumbuh subur dan sukses, pak!
Lha iya to, wong sudah tentram2 kok di obok-obok, ndilalalah pas sedang berduka karena Merapi sisan, lha ya kemropok to pak dhe.
Salam dari nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, monggo katuran mampir
itukah nyang menyedihkan, mas. kenapa suara rakyat yang sudah jelas dan nyaring bunyinya diabaikan begitu saja?
mantab bro…
Edan…
walah, yang edan siapa, mas? hehe ….
monarki yang seperti apa?
itu dia yang tdk dijelaskan lebih rinci dan detail, mas.
tulisan di postingan ini sangat bermanfaat..
menginspirasi ane untuk menulis yang seperti ini gan…
trims 4 share..
sekali lagi terima kasih atas apresiasinya, mas roqib, hanya tulisan biasa saja kok.
info yang bagus nih salam sukses ya…. 🙂
terima kasih supportnya, mbak. salam sukses juga buat mbak fitma.
info yang bagus nih salam sukses ya…. 🙂
salam sukses juga, mas denis. terima kasih apresiasinya.
klo menurut aku mas,,,, bagus seorang pemimpin berasal dari kalangan bawah sekalian (wong anggon, apa kuli) yang gaji kecil gak jadi masalah,,,,yang penting pengabdianya bener bener tanpa pamrih,iklas,,,,,,?
gak buat rebutan,,,,,,,sekelompok orang yang ngutamakan sareat aja,,,,,,
ada benarnya juga tuh, mas. sebab, pemimpin dari kalangan atas ternyata malah sama sekali ndak punya kepekaan terhadap nasib rakyat.
buat para pejabat ingat kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat.
jadi tolonglah layani rakyat dengan sebaikbaiknya.