Oleh Nailiya Nikmah JKF
“Bukankah kau perempuan?” ….
“Aku? Perempuan? Pertanyaan apa itu.”
1
Ada dua hal yang menjadi kebutuhan pokok seorang pengarang. Pertama, ia memerlukan saat-saat untuk mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan yang memenuhi ruang batinnya. Kegelisahan kreatif yang membuatnya menghasilkan salah satu atau lebih bentuk karya sastra. Kedua, ia memerlukan orang lain di luar dirinya untuk menikmati kreativitasnya tersebut. Ia memerlukan pembaca-pembaca yang bisa menangkap dan menafsirkan kegelisahan-kegelisahannya baik yang berada di permukaan saja maupun yang menukik jauh ke kedalaman maknanya.
Membangun tradisi menulis di tengah masyarakat yang sudah lekat dengan tradisi lisan tidak mudah. Ini bertalian pula dengan tidak mudahnya membangun tradisi membaca. Tanpa pengarang tidak mungkin ada karya sastra. Akan tetapi, karya sastra tidak ada artinya jika tidak dinikmati oleh pembaca. Tradisi membaca tidak hanya akan mencerahkan masyarakat sebagai penerima makna pesan-pesan tapi juga akan mencerahkan pengarang sebagai pengirim makna pesan.
Kiranya, dua tradisi inilah, menulis dan membaca yang menjadi fokus perhatian seorang Ali Syamsudin Arsi (ASA). ASA banyak menulis tapi ia tidak berhenti sampai di situ. Ia tidak lantas berpuas hati ketika ia mampu menuangkan kegelisahannya dalam berbagai teks. Ia juga mengupayakan bagaimana cara agar kegelisahannya tertangkap oleh orang lain. ASA tidak jarang melakukan “promosi-promosi” agar orang lain bisa menemukan kegelisahannya; agar orang lain mau dan mampu membaca hasil pemikiran panjangnya.
2
Menurut Maman S. Mahayana (2012:18) teks terlahir dari sejumlah persoalan di belakangnya dan sekian harapan di depannya. Ada proses panjang dan tidak seketika jadi. Teks merupakan hasil perjalanan panjang sebuah proses pergulatan pemikiran manusia pengarang dalam kepungan berbagai budaya yang diterima sekaligus ditolaknya.
Pergulatan pemikiran ASA dapat kita temukan (dengan tidak mudah) dalam buku terbarunya yang ia sebut sebagai kumpulan cerpen berjudul Menolak Bayang (MB) diterbitkan oleh 2A Dream Publishing (September 2013). Dilihat dari bentuk dan gaya penulisan, kumpulan cerpen ASA memiliki bentuk dan gayanya sendiri yang ketika kita membacanya kita akan — mau tidak mau — teringat pada bentuk karyanya yang lain, yaitu gumam ASA.
Ada banyak persoalan di belakang kelahiran kumcer MB, salah satu yang menarik adalah persoalan perempuan. Persoalan perempuan selalu menarik untuk ditulis dan dibaca. Menarik karena dia memiliki dilema. Ketika “perempuan” tidak dilibatkan dalam peran-peran penting di luar peran domestik dan peran “wajib”, ada kejanggalan dan ketimpangan yang menggoda untuk dipertanyakan. Akan tetapi ketika mereka dilibatkan dengan alasan keperempuanannya, hal ini justru akan semakin mempertajam pandangan tentang perbedaan perempuan dengan laki-laki.
Cerpen “Lelaki Penjaga” (2013:82) seperti terlahir dari pemikiran dilematis tersebut. Tokoh aku (seorang perempuan) mencoba mewakili suara perempuan yang tidak mau kemampuan dirinya dipertanyakan karena alasan dia seorang perempuan. Kutipan yang saya tampilkan dalam bagian pembuka tulisan ini menjadi corongnya. Perempuan tidak mau dipandang pantas atau tidak pantas, mampu atau tidak mampunya dia melakukan sesuatu dari sudut keperempuanannya. Hanya karena dia perempuan, dia dianggap tidak layak/tidak pantas melakukan sebuah penelitian dengan topik dan lokasi penelitian yang berbahaya. Ketika tokoh lelaki menanyakan hal ini dengan kalimat“Bukankah kau perempuan?”, tokoh perempuan menjadi gusar dan menjawab,“Aku? Perempuan? Pertanyaan apa itu.” Jawaban ini memberi gambaran keberanian perempuan sekaligus kekesalannya terhadap pandangan orang lain yang meremehkan dirinya. Tersimpan sebuah tekad untuk membuktikan kemampuannya dibalik jabatan perempuan yang ia sandang.
Hanya saja, ASA tidak membiarkan perempuannya menjadi gagah berani begitu saja. ASA menghadirkan ancaman bahaya bagi tokoh perempuannya. Dalam cerpen itu tergambar bahwa yang menyebabkan tokoh perempuan dalam bahaya tidak lain adalah para lelaki hidung belang — dari jenis laki-laki. Ini menjadi ironis. Yang menjadi ancaman dalam cerpen ini adalah lelaki, di sisi lain yang menjadi penyelamat tokoh perempuan dalam cerpen ini juga laki-laki. Laki-laki menjadi pisau bermata dua bagi perempuan. Satu sisi ia bisa menjadi pengancam, di sisi lain ia juga yang menjadi penjaga perempuan.
Perempuan bukan makhluk yang kedudukannya berada di bawah laki-laki tapi kedudukan perempuan juga tidak mungkin berada di atas laki-laki. Kurang lebih begitu yang ingin disampaikan ASA dalam kumcernya MB. Perempuan terlalu menggelisahkan bagi ASA dalam MB. MB ingin menghebatkan perempuan tapi keinginan menghebatkan itu selalu berhasil dibelokkan kembali. Semacam ada keraguan, ketakutan, kekhawatiran jika perempuan berhasil dihebatkan. Bacalah, ketika tokoh perempuan dalam “Lelaki Penjaga” berhasil melakukan penelitiannya dengan memuaskan (mendapat nilai A). Kemenangan itu tidak begitu saja bisa dirayakan oleh tokoh perempuan dengan dirinya sendiri sebagai sebuah pribadi yang tunggal. ASA merasa perlu menaruh embel-embel bahwa keberhasilan itu disebabkan oleh pertolongan tokoh lelaki yang setia menjaganya. Tidak cukup sampai di situ, tokoh lelaki penjaga ini pula yang berhasil mencuri hatinya. Maka kutipan kalimat “Ini semua merupakan bagian dari emansipasi, kau mau mengerti?” menjadi tidak terlalu penting lagi karena ia telah kehilangan ruhnya.
Hal serupa juga tampak dalam “Puisi yang Melintas”(2013:53). Dua tokoh perempuan, Nisda dan Ningsih ditampilkan sebagai perempuan cerdas yang memiliki minat sama dalam hal konstruksi sebuah bangunan besar bernama kebudayaan. Pemahaman demi pemahaman tentang terbentuknya tatanan besar kebudayaan yang lahir dari semangat kebersamaan yang luar biasa diserap oleh Nisda dari Ningsih. Akan tetapi lagi-lagi kecerdasan mereka harus disela oleh hal lain yang meski hanya selintas tapi patut diperbincangkan, yaitu seorang laki-laki. Yang mereka rumpikan adalah selera makan Kobar, tokoh laki-laki dalam cerpen ini. Ketika Ningsih menyampaikan pemikirannya tentang kebudayaan, Nisda lebih banyak diam. Lihat kutipan Nisda dengan hikmad menyerap saja kata-kata yang disimaknya atau Nisda masih membisukan bibirnya. Anehnya, ketika Ningsih menyampaikan “wawasannya” tentang selera makan Kobar, Nisda tidak bisa tinggal diam. Ia segera membalasnya dengan “Dia juga suka yang pedas-pedas,”. Ending cerpen ini pun menjadi bukti bahwa laki-laki harus menjadi power dalam MB. Kobar melintas dalam pikirannya.
Dalam “Berlari Semakin Jauh” (2013:22) kita bisa melihat peran perempuan melalui tokoh Siti Masmurah. Siti Masmurah biasanya akan memainkan peran yang tidak gampang. Jam terbangnya sudah tidak diragukan berhadapan dengan persoalan seperti ini. Perempuan dalam hal ini berada di antara dua lelaki, Dulmas dan Burhan, yaitu suami dan anaknya sendiri. Perempuan menjadi bijak dan adil dalam menyikapi perbedaan pandang dua lelakinya. Sementara itu, “P tanpa Bunga” (2013:68) menampilkan penderitaan beberapa perempuan sekaligus. Seakan perempuan menyandang dosa turunan. Dosa turunan yang membuat ia harus susah payah untuk bisa hidup normal, punya suami dan anak-anak yang lucu. Cerpen ini menegaskan bahwa perempuan tidak akan “normal” jika ia tidak memiliki suami (laki-laki) dan anak-anak yang lucu. Sekali lagi, anak-anak yang lucu. Itu artinya tidak cukup satu anak.
3
Teks menyimpan begitu banyak makna tersembunyi dan itu hanya mungkin dapat ditelusuri dan diungkap lebih lengkap jika kita melacak jejak pengarangnya. Mungkin bingkai sosial, budaya, agama, yang melekati pengarangnya membuat MB sedemikian. Mungkin saja banyak makna lain tentang perempuan yang tersembunyi dalam KumcerMB karya ASA. Dengan mengenali ASA lebih jauh, lebih dari sekadar ia seorang penyair yang lahir di Barabai, yang karya-karyanya adalah ini dan itu, yang pengalamannya ternyata begini dan begitu. Mungkin perlu juga kita telusuri pemikiran-pemikirannya dalam jejak gumamnya yang sekarang entah sampai mana. Tidak berhenti sampai persoalan bentuk dan gaya semata tapi hal lain menyangkut persoalan apa yang ingin ASA sampaikan melalui gumamnya. Hal-hal lain yang membuat kita meraba-raba momentum cerpen “Abah Aluh” yang ia tulis di Sebamban, Juli 1991. Agar kita tidak mengerutkan kening saja ketika ASA mengklaim Abah Aluh sebagai pahlawan zamannya? Mengapa bukan Mama Aluh, misalnya?;) []
sepertinya pernah liat buku ini, tp saya blm pernah baca pakdhe 🙁
masukin list ah,
wahh pakde, aku jadi pengen beli bkunya 🙂
sepertinya menarik 🙂
saya gelisah bukan karena perempuan, tapi karena kangen pak Sawali.
sudah lama sekali tidak ketemuan ya, pak? 🙂
semoga manfaat untuk umat
tampilan baru gans , judulnya juga agak kreatip sekarang biasanya masalah pendidikan sekarang perempuan hihi tapi tak apalah yang penting kita sebagai pembaca bisa memetik pelajar
kunjungan malam gans , sangat bermanfaat sekali
hai, salam kenal…
Buat sy perempuan adalah segalanya… 🙂
luar biasa cerita dan artikelnya
Inti ceritanya tentang apa @PakSawali?
Masih bingung dan penasaran, maklum bukan orang sastra.
Saya juga pengen jadi penulis yang handal 😀 🙁
hitung2 juga jadi sastrawan cilik hehe
mantap banget tulisannya. Salam enal pak Sawali 🙂