Sisa-sisa kemegahan upacara Rajasuya masih begitu terasa. Berbagai umbul-umbul dan panji-panji kebesaran Indraprasta masih berkibar di seputar istana dan jalan-jalan protokol. Para tamu kebesaran merasa takjub dan kagum menyaksikan kejayaan Indraprasta. Mereka tak menduga kalau hutan belantara yang semula (nyaris) tak terjamah kaki manusia mendadak bisa berubah menjadi sebuah negara besar yang kaya dan makmur. Yudistira yang baru saja dinobatkan sebagai Maharajadiraja menyalami setiap tamu yang hendak pulang ke negaranya masing-masing dengan sikap takzim. Sementara itu, Duryudana yang merasa iri dengan kebesaran Indraprasta tetap saja pongah dan tak sudi berpamitan dengan Yudistira. Ia bersama para Kurawa dan pengawalnya bergegas meninggalkan istana Indraprasta dengan perasaan masygul.
Ketika semua tamu sudah meninggalkan istana Indraprasta yang megah itu, Begawan Abiyasa belum juga beranjak dari kursi kehormatan. Berkali-kali, sang begawan yang menjadi sumber rujukan kebijakan para pemburu nilai kebajikan itu menelan ludah. Tenggorokannya turun-naik. Melihat kegelisahan yang memancar di wajah sang begawan yang putih bersih itu, Yudistira mendekatinya dengan sikap takzim yang sudah demikian terlatih.
“Eyang Begawan, adakah sesuatu yang sedang Eyang pikirkan, sehingga Eyang tampak begitu gelisah?” seloroh Yudistira dengan suara lembut.
“Yudistira, saya merasa senang dan bangga atas gelar Maharajadiraja yang telah kamu sandang. Sebuah gelar agung yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya. Saya berharap, semoga bangsa Kuru yang besar mampu mencapai kejayaan dan kemuliaan!” sahut Begawan Abiyasa sambil manggut-manggut.
“Tapi kenapa wajah Eyang Mahaguru tampak demikian gelisah? Adakah sesuatu yang Eyang sembunyikan? Peristiwa apalagi kiranya yang hendak terjadi setelah kematian Sisupala?”
“Hmm …,” Sang Begawan mendesah. Dada Yudistira tiba-tiba bergetar. “Yudistira, sang putra Kunti, kamu akan mengalami penderitaan dan hidup susah empat belas tahun lamanya. Kematian Sisupala bukanlah peristiwa besar. Apa yang hendak kamu alami jauh lebih mengerikan. Banyak prajurit, jenderal, bahkan ratusan kepala negara akan binasa dalam sebuah perang dahsyat. Malapetaka akan terjadi akibat rivalitas dan konflik antara kamu dan adik-adikmu di satu pihak dengan sepupumu, putra-putra Destrarastra, di pihak yang lain. Konflik itu akan memuncak dalam sebuah perang besar yang memusnahkan kaum ksatria. Tak seorang pun yang sanggup melawan suratan nasib. Yang penting, jangan lumuri tanganmu dengan budi angkara dan gebyar duniawi yang akan menghilangkan kewibawaanmu sebagai seorang pemimpin besar. Istiqamahlah kamu menjadi seorang pemimpin yang bijaksana dan dicintai rakyatmu. Hilangkan semua praktik kejahatan, kongkalingkong busuk, korupsi, dan semacamnya. Hanya itu pesan saya. Selamat tinggal dan sampaikan salam saya buat saudara-saudaramu!” kata Begawan Abiyasa dengan napas tertahan. Kedua pelupuk matanya meremang seperti tak sanggup menahan beban kegelisahan yang terus merangseknya. Yudistira melepas kepergian Begawan Abiyasa dengan wajah tertunduk. Tak satu pun kata yang meluncur dari kedua belah bibirnya hingga akhirnya Sang Begawan tak tampak lagi di depan hidungnya.
Pesan Begawan Abiyasa membuat dada Yudistira terasa dipukul godam. Perih. Tiba-tiba saja, ia merasa jijik terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Karena tak sanggup menahan kepedihan yang mengeram dalam rongga dadanya, Yudistira menyampaikan pesan itu kepada adik-adiknya. Ia benar-benar tak sanggup membayangkan apabila kelak peristiwa mengerikan itu benar-benar terjadi.
“Pesan Eyang Begawan perlu kita maknai sebagai sebuah peringatan agar kita bersikap hati-hati dan waspada. Seandainya memang suratan takdir itu kelak benar-benar terjadi, kita harus menghadapinya dengan penuh keberanian dan kesabaran. Kita juga memiliki banyak orang bijak yang bisa kita mintai nasihat, saran, dan masukan!” sahut Arjuna.
“Adik-adikku, saya sepakat dengan kata-kata Arjuna. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua. Dan untuk menghindari perang besar itu, aku bersumpah tidak akan berbuat jahat dan kasar kepada saudara-saudara dan sanak kerabatku selama tiga belas tahun. Aku akan menghindari segala sesuatu yang bisa menimbulkan sikap saling bermusuhan. Aku tidak akan pernah marah, sebab amarah sejatinya adalah pangkal permusuhan. Semoga kita semua senantiasa berada di jalan yang benar setelah Eyang Begawan Abiyasa menyampaikan pesan-pesannya,” sahut Yudistira dengan suara bergetar.
***
Ketika Yudistira berusaha keras memenuhi sumpahnya untuk menghindari permusuhan, Duryudana justru makin panas hati, iri, dan dengki menyaksikan kebesaran Indraprasta. Apalagi, makin banyak negara dari berbagai belahan dunia yang bersekutu dengan Indraprasta. Kebesaran dan kejayaan Indraprasta kian melambung tinggi. Hati Duryudana makin panas dan kebat-kebit. Ia tak ingin saudara sepupunya itu mampu menyaingi dirinya sebagai penguasa besar dan berpengaruh. Ia terus memutar otak bagaimana cara menjatuhkan Indraprasta.
“Bagaimana menurut pendapat Sampeyan, Paman? Aku tak rela melihat Indraprasta tumbuh menjadi negara besar. Benar-benar akan menjadi ancaman Astina kalau kita hanya berdiam diri!” seloroh Duryudana dalam sebuah pertemuan yang sejuk ber-AC. Para Kurawa saling berpandangan.
“Duryudana, Pandawa memang pantas mendapatkannya. Mereka dikenal sebagai orang-orang bersih dan tak mau melumuri tangannya dengan kejahatan sekecil apa pun. Meskipun demikian, tidak lantas berarti tak ada celah untuk membuat mereka lengah dan terjebak!” sahut Sengkuni dengan bola mata berbinar.
“Maksud Paman?”
“Kita harus pakai otak, bukan otot. Dari sisi mana pun, kekuatan Pendawa jauh di atas kita. Selain memiliki sekutu hebat, mereka juga punya banyak penasihat spiritual mumpuni. Oleh karena itu, kita perlu taktik dan strategi jitu dan halus!”
“Cepat katakan, apa yang Paman maksudkan?”
“Kita undang saja Yudistira bermain dadu. Sebagai saudara sepupu, pantang baginya untuk menolak. Apalagi, Yudistira juga hobi berat bermain dadu. Ia juga dikenal sangat jujur sehingga mustahil dia punya prasangka buruk terhadap kita. Kita jelaskan bahwa acara ini untuk bersenang-senang dan mempererat tali silaturahmi. Jika sudah berada di tengah meja judi, nanti Paman yang akan mengaturnya!” sahut Sengkuni sambil mengelus-elus jenggotnya yang tumbuh jarang-jarang.
“Hemm …. Paman Sengkuni memang hebat! Aku setuju dengan rencana itu! Lantas, kira-kira siasat apa yang akan Paman lakukan?” sergah Duryudana tak sabar.
“Dalam permainan judi nanti, kita mempertaruhkan kekayaan dan kerajaan Astina. Yudistira pasti juga akan melakukan hal yang sama. Karena dia terlalu jujur, dia tidak akan pernah menang, hingga akhirnya semua kekayaan, kerajaan, dan kehormatan Indraprasta dipertaruhkan!” sahut Sengkuni. Duryudana sangat percaya terhadap siasat licik Sengkuni. Terbayang dalam layar batinnya, kerajaan Indraprasta dan kekayaan yang ada di dalamnya akan segera beralih ke dalam genggaman tangannya.
***
Meski tidak direstui Destrarastra, ayahnya, Duryudana tetap kukuh pada pendiriannya. Dengan berbagai macam dalih dan cara, Duryudana dan Sengkuni terus meyakinkan Destrarastra bahwa permainan judi akan mengantarkan kejayaan dan kebesaran Astina. Karena terus didesak, akhirnya Destrarastra menyerah. Nasihat Pamannya, Widura, juga tak sanggup menaklukkan kedengkian dan kepongahan yang bersemayam di dada Duryudana dan Sengkuni. Bahkan, Widura yang justru diutus untuk mengantarkan surat undangan kepada Yudistira.
Walhasil, terjadilah benih-benih malapetaka itu. Seperti dugaan Sengkuni, kejujuran Yudistira menjadi awal malapetaka Indraprasta. Di tengah meja judi yang penuh dengan aroma minuman keras itu, Sengkuni terus melakukan siasat liciknya. Yudistira pun kian jauh terperangkap dalam irama gendang yang tak henti-hentinya ditabuh para Kurawa. Babak demi babak berlangsung, Yudistira selalu kalah telak. Semua kekayaan yang dia bawa telah ludes di meja judi. Semakin kalah, Yudistira makin kalap untuk menebus kekalahannya. Tak hanya harta benda, Indraprasta yang besar dan megah pun akhirnya lolos dipertaruhkan.
Sengkuni, Duryudana, dan para Kurawa mabuk kemenangan. Sengkuni terus memengaruhi Yudistira untuk mempertaruhkan “kehormatan” Pendawa yang lain setelah harta benda dan Indraprasta jatuh ke tangan Kurawa. Yudistira makin kalap. Namun, dia tak tahu lagi apa yang mesti dipertaruhkan. (tancep kayon) ***
Sepakat dengan sahut arjuna tentang apa yang dikatakan sang begawan Abiyasa. Jadi ingat kata “Kadang kebaikan seseorang bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dan dimanfaat oleh orang lain.” Entah itu kata siapa saya lupa. Yang pasti “Tancep Kayon” emang JOSS.., dengan muatan hubungan etik, serta pemikiran-pemikiran pokok masalah manusia, atau mungkin lebih banyak lagi. Kawula pasrah kemawon, kantun mangga kersa Pak Sawali pinangka dalangipun.. hehehehe 😀
saya malah jadi tahu gambar dan rupa tokoh wayang setelah baca cerita ini pak, kalau mengajar bahasa jawa di sekolah gitu gambarnya cuma hitam putih he he. (maklum saya bukan asli jawa)
saya sudah baca pak,,tapi memang saya rada kurang susah mengerti cerita sejarah,sering lupa namn2 nya,,hehe..
ikut mampir aja ya pak ^_^
masalah kecil bisa menjadi besarhanya karena hal yang sesungguhnya sepele. Ini pun kadang kala terjadi di dunia pekerjaan. Masalah menjadi besar hanya karena urusan personal yang akhirnya terbawa ke lembaga tempat kita bekerja.
orang baik pun kadangkala bisamelakukan suatu kesalahan.Namun kesalahan tersebut seharusnya jangan dijadikan senjata untuk menjatuhkan.
Sejak jaman purba manusia memang tak lepas dari sifat iri dan dengki, dan awal dari suatu malapetaka adalah ketika iri dan dengki ditindaklanjuti dengan perbuatan untuk memuaskan nafsu keangkaramurkaan … tak peduli dengan sanak kadang, (linak, lingga, lica) lali sanak, lali tangga, lali kanca … Ditunggu kelanjutannya Pak Wali 🙂
cerita yang menarik, kekuatan karakternya menjadi sentral. blog yang sangat menarik 🙂
Memang benar bahwa dengki dan iri akan menjerumuskan kita ke dalam malapetaka…. Pak kelanjutannya saya tunggu. udah gag sabar 🙂
dengki dan iri biasanya awalnya dari sombong karna meras superior jarang liat ke bawah
iya itu benar mas arif…
Setuju…
Judulnya snagat bagus begitu pula dengan isi postingannya
keren banget Pak
Cerita wayang tidka dapat diragukan lagi memiliki petuah dan nilai2 budi pekerti
Nice share
cerita wayang moga terus dilestarikan, jangan sampai di akui haknya oleh negara lain
Sekuat2 nya orang akan terpedaya juga, contoh Yudistira cerita di atas
Cintai budaya indonesia begitu juga dengan wayang
permainan judi dalam Mahabrata itu salah satu fragmen yg paling mendebarkan bagi saya. agak absurd melihat seorang istri ditukar dengan dadu, tapi itulah yang membuat adegan ini sangat legendaris.
Ya, ihwal derajat yang jatuh setelah martabat dipertaruhkan di meja judi, dapat kita tafsirkan konteksnya sampai masa depan, baik sebagai individu, anggota kelompok maupun warga masyarakat – warga dunia. Pertaruhan di meja judi – karenanya dapat dikembangluaskan persepsinya menjadi judi dalam kehidupan – yang dampaknya sangat buruk. Karena mas Sawali dari ranah pendidikan, maka tentulah selalu berikhtiar agar para pendidik tidak menjadikan pendidikan tergoda/tergiur pada bujukan spekulasi, dengan demikian anak didik pun meneladani guru-gurunya, insya Allah.
Selain pentingnya tafsir judi atas bagian cerita Mahabarata tersebut, ada pula seniman yang menyimak lebih ke dalam, yakni tentang pergulatan bathin Drupadi – yang dijadikan “barang” taruhan. Koreografer Elly D Luthan mementaskannya dalam bentuk sendratari di TIM, Riri Riza mengolah- kreasikan dalam film, dan yang bulan lalu tampil adalah sendratari karya Yono Dartono Teater RSPD Tegal, di Teater Arena PPIB Tegal. Mari kita kembangkan terus olah kreatif yang mendidik. Monggo
Apapun bentuknya yang namanya judi itu tetap saja suatu pertaruhan kehormatan yang sia-sia, menang ataupun kalah dalam meja judi tetap saja akhirnya akan “kalah” dalam nilai kehidupan, sama halnya cerita wayang, Yudistira kalah dalam dadu telah kehilangan kehormatanya sebagai raja karena hilang segalanya, demikian juga Duryudana dia kehilangan kehormatanya karena pongah terhadap kemenangannya, didasari strategi “licik” yang membuat lawan menjadi kalap terhadap permainan. Judi apapun selalu memunculkan strategi “licik” di salah satu pemain bagaimanapun itu, mereka akan selalu mengupayakan kemenangan”. Wayang merupakan tuntunan ilmu yang lengkap ketika kita ingin belajar tentang kehidupan, disana tergambar kehidupan “Hitam” dan “Putih”
apapun itu alasannya, judi sungguh tidak di benarkan
Memang seharusnya kerelaan itu harus kita terima.Jangan membuat diri kita ingin membuat orang lain ingin tersandung.
setuju 😀
walah.. zaman pewayangan udah ada taruhan dadu ya Pak?
Konon menurut kisah mahabharata begitu, Mbak Imah.