
Dalang: Sawali Tuhusetya
Sisa-sisa kemegahan upacara Rajasuya masih begitu terasa. Berbagai umbul-umbul dan panji-panji kebesaran Indraprasta masih berkibar di seputar istana dan jalan-jalan protokol. Para tamu kebesaran merasa takjub dan kagum menyaksikan kejayaan Indraprasta. Mereka tak menduga kalau hutan belantara yang semula (nyaris) tak terjamah kaki manusia mendadak bisa berubah menjadi sebuah negara besar yang kaya dan makmur. Yudistira yang baru saja dinobatkan sebagai Maharajadiraja menyalami setiap tamu yang hendak pulang ke negaranya masing-masing dengan sikap takzim. Sementara itu, Duryudana yang merasa iri dengan kebesaran Indraprasta tetap saja pongah dan tak sudi berpamitan dengan Yudistira. Ia bersama para Kurawa dan pengawalnya bergegas meninggalkan istana Indraprasta dengan perasaan masygul.

Yudistira
Ketika semua tamu sudah meninggalkan istana Indraprasta yang megah itu, Begawan Abiyasa belum juga beranjak dari kursi kehormatan. Berkali-kali, sang begawan yang menjadi sumber rujukan kebijakan para pemburu nilai kebajikan itu menelan ludah. Tenggorokannya turun-naik. Melihat kegelisahan yang memancar di wajah sang begawan yang putih bersih itu, Yudistira mendekatinya dengan sikap takzim yang sudah demikian terlatih.
“Eyang Begawan, adakah sesuatu yang sedang Eyang pikirkan, sehingga Eyang tampak begitu gelisah?” seloroh Yudistira dengan suara lembut.
“Yudistira, saya merasa senang dan bangga atas gelar Maharajadiraja yang telah kamu sandang. Sebuah gelar agung yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya. Saya berharap, semoga bangsa Kuru yang besar mampu mencapai kejayaan dan kemuliaan!” sahut Begawan Abiyasa sambil manggut-manggut.
“Tapi kenapa wajah Eyang Mahaguru tampak demikian gelisah? Adakah sesuatu yang Eyang sembunyikan? Peristiwa apalagi kiranya yang hendak terjadi setelah kematian Sisupala?”
“Hmm …,” Sang Begawan mendesah. Dada Yudistira tiba-tiba bergetar. “Yudistira, sang putra Kunti, kamu akan mengalami penderitaan dan hidup susah empat belas tahun lamanya. Kematian Sisupala bukanlah peristiwa besar. Apa yang hendak kamu alami jauh lebih mengerikan. Banyak prajurit, jenderal, bahkan ratusan kepala negara akan binasa dalam sebuah perang dahsyat. Malapetaka akan terjadi akibat rivalitas dan konflik antara kamu dan adik-adikmu di satu pihak dengan sepupumu, putra-putra Destrarastra, di pihak yang lain. Konflik itu akan memuncak dalam sebuah perang besar yang memusnahkan kaum ksatria. Tak seorang pun yang sanggup melawan suratan nasib. Yang penting, jangan lumuri tanganmu dengan budi angkara dan gebyar duniawi yang akan menghilangkan kewibawaanmu sebagai seorang pemimpin besar. Istiqamahlah kamu menjadi seorang pemimpin yang bijaksana dan dicintai rakyatmu. Hilangkan semua praktik kejahatan, kongkalingkong busuk, korupsi, dan semacamnya. Hanya itu pesan saya. Selamat tinggal dan sampaikan salam saya buat saudara-saudaramu!” kata Begawan Abiyasa dengan napas tertahan. Kedua pelupuk matanya meremang seperti tak sanggup menahan beban kegelisahan yang terus merangseknya. Yudistira melepas kepergian Begawan Abiyasa dengan wajah tertunduk. Tak satu pun kata yang meluncur dari kedua belah bibirnya hingga akhirnya Sang Begawan tak tampak lagi di depan hidungnya.
Pesan Begawan Abiyasa membuat dada Yudistira terasa dipukul godam. Perih. Tiba-tiba saja, ia merasa jijik terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Karena tak sanggup menahan kepedihan yang mengeram dalam rongga dadanya, Yudistira menyampaikan pesan itu kepada adik-adiknya. Ia benar-benar tak sanggup membayangkan apabila kelak peristiwa mengerikan itu benar-benar terjadi.
“Pesan Eyang Begawan perlu kita maknai sebagai sebuah peringatan agar kita bersikap hati-hati dan waspada. Seandainya memang suratan takdir itu kelak benar-benar terjadi, kita harus menghadapinya dengan penuh keberanian dan kesabaran. Kita juga memiliki banyak orang bijak yang bisa kita mintai nasihat, saran, dan masukan!” sahut Arjuna.
“Adik-adikku, saya sepakat dengan kata-kata Arjuna. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua. Dan untuk menghindari perang besar itu, aku bersumpah tidak akan berbuat jahat dan kasar kepada saudara-saudara dan sanak kerabatku selama tiga belas tahun. Aku akan menghindari segala sesuatu yang bisa menimbulkan sikap saling bermusuhan. Aku tidak akan pernah marah, sebab amarah sejatinya adalah pangkal permusuhan. Semoga kita semua senantiasa berada di jalan yang benar setelah Eyang Begawan Abiyasa menyampaikan pesan-pesannya,” sahut Yudistira dengan suara bergetar.
***
Ketika Yudistira berusaha keras memenuhi sumpahnya untuk menghindari permusuhan, Duryudana justru makin panas hati, iri, dan dengki menyaksikan kebesaran Indraprasta. Apalagi, makin banyak negara dari berbagai belahan dunia yang bersekutu dengan Indraprasta. Kebesaran dan kejayaan Indraprasta kian melambung tinggi. Hati Duryudana makin panas dan kebat-kebit. Ia tak ingin saudara sepupunya itu mampu menyaingi dirinya sebagai penguasa besar dan berpengaruh. Ia terus memutar otak bagaimana cara menjatuhkan Indraprasta.

Duryudana
“Bagaimana menurut pendapat Sampeyan, Paman? Aku tak rela melihat Indraprasta tumbuh menjadi negara besar. Benar-benar akan menjadi ancaman Astina kalau kita hanya berdiam diri!” seloroh Duryudana dalam sebuah pertemuan yang sejuk ber-AC. Para Kurawa saling berpandangan.
“Duryudana, Pandawa memang pantas mendapatkannya. Mereka dikenal sebagai orang-orang bersih dan tak mau melumuri tangannya dengan kejahatan sekecil apa pun. Meskipun demikian, tidak lantas berarti tak ada celah untuk membuat mereka lengah dan terjebak!” sahut Sengkuni dengan bola mata berbinar.
“Maksud Paman?”
“Kita harus pakai otak, bukan otot. Dari sisi mana pun, kekuatan Pendawa jauh di atas kita. Selain memiliki sekutu hebat, mereka juga punya banyak penasihat spiritual mumpuni. Oleh karena itu, kita perlu taktik dan strategi jitu dan halus!”
“Cepat katakan, apa yang Paman maksudkan?”

Sengkuni
“Kita undang saja Yudistira bermain dadu. Sebagai saudara sepupu, pantang baginya untuk menolak. Apalagi, Yudistira juga hobi berat bermain dadu. Ia juga dikenal sangat jujur sehingga mustahil dia punya prasangka buruk terhadap kita. Kita jelaskan bahwa acara ini untuk bersenang-senang dan mempererat tali silaturahmi. Jika sudah berada di tengah meja judi, nanti Paman yang akan mengaturnya!” sahut Sengkuni sambil mengelus-elus jenggotnya yang tumbuh jarang-jarang.
“Hemm …. Paman Sengkuni memang hebat! Aku setuju dengan rencana itu! Lantas, kira-kira siasat apa yang akan Paman lakukan?” sergah Duryudana tak sabar.
“Dalam permainan judi nanti, kita mempertaruhkan kekayaan dan kerajaan Astina. Yudistira pasti juga akan melakukan hal yang sama. Karena dia terlalu jujur, dia tidak akan pernah menang, hingga akhirnya semua kekayaan, kerajaan, dan kehormatan Indraprasta dipertaruhkan!” sahut Sengkuni. Duryudana sangat percaya terhadap siasat licik Sengkuni. Terbayang dalam layar batinnya, kerajaan Indraprasta dan kekayaan yang ada di dalamnya akan segera beralih ke dalam genggaman tangannya.
***
Meski tidak direstui Destrarastra, ayahnya, Duryudana tetap kukuh pada pendiriannya. Dengan berbagai macam dalih dan cara, Duryudana dan Sengkuni terus meyakinkan Destrarastra bahwa permainan judi akan mengantarkan kejayaan dan kebesaran Astina. Karena terus didesak, akhirnya Destrarastra menyerah. Nasihat Pamannya, Widura, juga tak sanggup menaklukkan kedengkian dan kepongahan yang bersemayam di dada Duryudana dan Sengkuni. Bahkan, Widura yang justru diutus untuk mengantarkan surat undangan kepada Yudistira.
Walhasil, terjadilah benih-benih malapetaka itu. Seperti dugaan Sengkuni, kejujuran Yudistira menjadi awal malapetaka Indraprasta. Di tengah meja judi yang penuh dengan aroma minuman keras itu, Sengkuni terus melakukan siasat liciknya. Yudistira pun kian jauh terperangkap dalam irama gendang yang tak henti-hentinya ditabuh para Kurawa. Babak demi babak berlangsung, Yudistira selalu kalah telak. Semua kekayaan yang dia bawa telah ludes di meja judi. Semakin kalah, Yudistira makin kalap untuk menebus kekalahannya. Tak hanya harta benda, Indraprasta yang besar dan megah pun akhirnya lolos dipertaruhkan.
Sengkuni, Duryudana, dan para Kurawa mabuk kemenangan. Sengkuni terus memengaruhi Yudistira untuk mempertaruhkan “kehormatan” Pendawa yang lain setelah harta benda dan Indraprasta jatuh ke tangan Kurawa. Yudistira makin kalap. Namun, dia tak tahu lagi apa yang mesti dipertaruhkan. (tancep kayon) ***
buy armani belt ray ban jackie ohh iii polarized full movie boston red sox hat green visors cheap ray ban rb2140 original wayfarer polarized 901 58 adidas tubular womens olive jordan 12 cool grey nike vomero 8
votealbertson http://www.votealbertson.com/