Seperti rutinitas tahunan, mendekati tahun ajaran baru biasanya merupakan “ritual” kesibukan buat orang tua calon siswa. Mereka mesti repot memperjuangkan nasib masa depan putra-putrinya. Mencarikan sekolah, lantas menyiapkan segala biaya dan keperluan sekolah. Maklum, meski sekolah gratis alias murah gencar digembar-gemborkan, realitasnya masih jauh panggang dari api. Tidak sedikit sekolah yang melakukan pungutan gila-gilaan, hingga membuat orang tua calon siswa berkantong tipis kelimpungan. Demi anak, mereka rela “gali lubang tutup lubang”. Kantor pegadaian pun jadi sasaran. Lihat saja kata kunci “pegadaian dan tahun ajaran baru” di google! Di sana kita akan menemukan banyak fenomena “pegadaian” yang tak pernah berhenti diserbu para nasabah.
Fenomena pegadaian yang laris-manis bak pisang goreng menjelang tahun ajaran baru bisa menjadi bukti bahwa komersialisasi pendidikan bukanlah isapan jempol. Tagline “Sekolah Gratis” hanya sebuah “dongeng” ketika dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang digelontorkan Pemerintah Pusat tidak diimbangi dengan dana pendamping yang memadai dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Yang menyedihkan, tahun ajaran baru tak jarang dijadikan sebagai momen “aji mumpung” bagi sekolah tertentu untuk menangguk untung. Pihak sekolah, dengan berbagai dalih, bisa bersilat lidah untuk berbagai macam kepentingan dengan mengatasnamakan kemajuan sekolah.
Siapa lagi yang terkena imbas komersialisasi pendidikan kalau bukan rakyat kecil? Di tengah situasi persaingan yang makin sengit dan kompetitif, orang tua tak akan pernah membiarkan anak-anaknya gagal menikmati bangku pendidikan. Sekolah masih diyakini sebagian besar orang tua sebagai ruang yang tepat untuk merintis masa depan. Mereka tak akan pernah sanggup menyaksikan masa depan anak-anaknya suram lantaran tak memiliki bekal pendidikan yang memadai. Dalam situasi demikian, bisa dipahami apabila orang tua calon siswa melakukan berbagai cara agar tetap dapat menyekolahkan anak-anaknya.
Maka, tak perlu heran apabila kantor pegadaian menjadi incaran. Mereka rela “memutasi” barang-barang berharga yang masih tersisa di rumah ke kantor berslogan “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah” itu. Persoalan sanggup menebus barang-barang yang tergadaikan atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting anak-anak tetap bisa bersekolah. Agaknya kantor pegadaian hingga saat ini masih memiliki daya pikat dan pesona menjelang tahun ajaran baru.
Masih beruntung orang tua calon siswa yang mampu bersimbiosis dengan pihak pegadaian. Lantas, bagaimana dengan nasib mereka yang tinggal di gubug-gubug kardus yang terserak di kolong-kolong jembatan dan tempat-tempat kumuh? Alih-alih menggadaikan barang, sekadar menyambung hidup pun mereka terpaksa harus sering berhadapan dengan aparat Trantib dan Satpol PP yang terkesan garang dan tidak manusiawi. Haruskah anak-anak miskin kehilangan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak? Haruskah harkat dan martabat kaum miskin terus ternistakan akibat sikap abai pemilik kekuasaan yang korup dan mau menang sendiri?
Sudah hampir 67 tahun negeri ini merdeka. Namun, amanat para pendiri negara kepada para pemegang kekuasaan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, benar-benar hanya slogan kosong. Rakyat miskin hanya menjadi objek kampanye para elite politik yang telah bebal nuraninya. Setelah menikmati kursi kekuasaan, mereka tega mengerahkan robot-robot Trantib dan Satpol PP untuk memburu kaum miskin yang sedang mengais rezeki hingga ke liang kubur sekali pun.
Ini persoalan dan beban sosial yang tak pernah tuntas terselesaikan di negeri ini. Ironisnya, di tengah jutaan kaum miskin yang terlunta-lunta akibat telikungan nasib yang kurang beruntung, angka korupsi juga melambung tinggi. Mungkin ada benarnya kalau ada pengamat yang menyatakan, di mana korupsi di sebuah negeri merajalela, maka di sana akan muncul bejibun rakyat miskin yang ternistakan. Ini artinya, koruptor identik dengan predator yang tak pernah merasa puas mengisap darah rakyat hingga ke tulang sumsumnya.
Tak tahu pasti kapan kantor pegadaian tidak lagi diserbu nasabah menjelang tahun ajaran baru. Kita juga tak sanggup merumuskan asumsi sahih kapan dunia persekolahan kita benar-benar berwatak egaliter dan steril dari efek komersialisasi dengan memberikan akses yang sama kepada semua anak bangsa tanpa membeda-bedakan status dan kekayaan. Haruskah muncul gerakan “Saweran untuk Sekolah Anak-anak Miskin” sebagai sindiran terhadap pemegang kekuasaan yang gagal memelihara anak-anak miskin dan telantar yang telah diamanatkan undang-undang? ***
Memang sangat dibutuhkan sekali untuk orang tua yang mempunyai anak dan belum mendapatkan uang untuk biaya sekolah. jalan satu2nya yaitu ke pegadaian. apalagi skrg lebih mudah karena ada sistem shar’i
kalau orang jawa bilang “anak polah bapa kepradah”, hehe …. kalau anak punya kemauan, orang tua biasanya akan terus berupaya utk memenuhinya.
Dear Vloggers, para Vloggers diwajibkan untuk mengisi data profil VIVAlog di VIVAsocio http://socio.viva.co.id/welcome . Ini untuk memunculkan foto Vloggers di tulisan yang dikirim.
Thanks.
terima kasih banget infonya, mas tommy. tapi ketika saya mencoba mengganti avatar kok selalu gagal mengunggahnya, ya?
Aku malah durung tau mlebu Nggadean Pak…
Nek lewat sich sering
hehe …. pertanda Pak Mars ndak pernah berurusan dg gadai-menggadai tuh, pak.
sebuah hal yang nyata di depan mata, biasanya pembayaran itu dlm wujud baju seragam pak
selain utk baju seragam, ada juga utk keperluan macam2, pak.
bagus juga fungsi pegadaian ini ya…kalau butuh uang cepat langsung aja je pegadaian…
hehe … mudah2an kehadiran pegadaian sesuai dg motto-nya; “mengatasi masalah tanpa masalah”.
pengorbanan orang tua untuk menyekolahkan anak sangat luar biasa, tapi kebanyakan anak jaman sekarang yang disekolahinnya malah kagak bener, atau malah tidak memberi apapun ketika sudah kerja,, ( teu mulang tarima)
konon itulah salah satu bentuk pengorbanan ortu yg tak pernah meminta balas budi meski anaknya sdh jadi pejabat sekali pun.
mempertanyakan kinerja pak mentri pendidikan. biaya pendidikan saat ini terlalu lucu. terkadang jika diperbandingkan secara sembarang, masuk SD unggulan dengan masuk kuliah biayanya besar masuk SD. sekolah gratis sesungguhnya belum terwujud menurut saya.
malah ada yang lebih ironis lagi, mas arif. biaya masuk TK malah jauh lebih mahal ketimbang SMP, hehe ….
saya juga lagi bingung biaya sekolah anak pak. Masuk TK saja sudah ngalahin kakaknya yang masuk SD
fenomena yg hampir sama dg daerah saya, bunda. biaya masuk TK ternyata jauh lebih mahal ketimbang SD, bahkan SMP.
Saatnya Pak Sawali turun gunung menjadi Mendiknas, pasti biaya pendidikan akan ditekan habis2an hehehehe
saya siap jadi mendiknas, asalkan mas pencerah yang jadi presidennya, hehe ….
Memang.., inilah fenomena yang belum terpecahkan.
Semoga saja pihak pegadaian tidak mempersulit/mempropaganda peraturan bagi para orang tua calon siswa, sehingga mereka terpaksa menggadaikan dan menjual apapun yang dimiliki, tanpa terkecuali.., “diri..” di tempat lain.
Salam.. 😀
hehe …. semoga ndak sampai sejauh itu, mas.
Para orang tua harus bisa lebih prepare terhadap masa depan anaknya.
betul sekali, termasuk dg memanfaatkan jasa kantor pegadaian.
Memang memberatkan bagi orang tua yang tidak mampu, untuk menyekolahkan anak-anaknya jikalau pendidikan dikomersialkan. Menteri Pendidikan (atau siapalah) sebaiknya mengawasi/memantau agar tidak terjadi penyimpangan di dalam lembaga pendidikan.
Setidaknya, dengan adanya Pegadaian beban orang tua siswa bisa sedikit berkurang. Tapi yang menjadi masalah lha yaitu, masyarakat yang tinggal di tempat yang kurang layak, seperti kolong jembatan. PR buat pemerintah, Hehehe…
kesenjangan sosial di negeri ini memang masih tampak kuat dan jelas, mas udin. ironisnya, makin bejibun aja jumlah sekolah2 eksklusif yg hanya bisa dinikmati orang2 berkantong tebal.
Nice. Tulisan yang sangat argumentatif dan padat. Itu masih di dunia sekolah SD-tingkat menengah atas, Pak. Belum lagi di tingkat PT. Kalau di tingkat PT, memang (menurut saya) kurang tepat ketika ada pihak yg berkeinginan PT dg kualitas tinggi, tetapi dengan biaya yang rendah.
Sebenarnya kuliah dg biaya rendah tp kualitas tinggi bisa didapat. Syaratnya adalah institusi berana menggaet berbagai pihak untuk melakukan riset demi kemajuan institusi dan umum.
Yang harus sgr dilakukan adalah sgr mendorong mahasiswa utk ikt serta dalam aktivitas riset dosen/institusi. Kl di luar negeri, mhsw tdk lagi disusahkan dg biaya riset, krn mayoritas dosen/institusi memiliki kontrak riset dg jangka waktu panjang dg pihak lain. Di Indonesia, trnyata hal sprtiini masih kuran. Terus enaknya seperti apa? hehe
memang benar, mas adi. utk tingkat pendidikan dasar seharusnya pemerintah mampu melakukan hal itu, apalagi wajib belajar 9 tahun sudah gencar digembar-gemborkan. idealnya, tak ada lagi siswa usia SD-SMP yang tak bisa sekolah lantaran kesulitan biaya. ttg penelitian di PT, sesungguhnya ini kan merupakan salah satu bentuk tri dharma PT. sayangnya, sebagian besar PT belum sanggup melakukannya.
Aku kdng sedih jg, melihat msh bnyk anak-anak yg mengamen di jalan, pdhl itu waktunya sekolah..
sekolah gratis, dana BOS, spertinya tdk begitu membantu rakyat” kecil.
msh saja ada pungutan lain meski dikatakan bhwa sekolah gratis..
bisa jadi lantaran minimnya dana pendamping dari pemkab/pemkot terhadap dana bos, sehingga sekolah seringkali masih harus pungut sana-sini.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
MAKASSAR, CAKRAWALA — Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Makassar mengimbau orang tua siswa yang akan menyekolahkan anaknya ke jenjang lanjutan sekolah menengah pertama dan menengah (SMP/SMA) untuk tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan bangku di sekolah yang berstatus negeri.
mris sekali ane jg melihatnya mas, hukum saja dikita sudah tumpul, bukan saya tidak bangga sama negara sendiri tp lihat negara asia lainnya seperti malaysia disna hukum sangat dihormati, dikita hukum bisa di bayar miris sekali saya melihatnya, saya ingin negara ini bisa menjadi negara yang di segani,
but ane tetep cinta indonesia, indonesia tetap satu 🙂
Orang tua saya dulu begitu,,rela menjual tanah supaya anaknya bisa sekolah.
strike bowling under 18
Tahun Ajaran Baru dan Daya Pikat Kantor Pegadaian: Catatan Sawali Tuhusetya