Optimisme! Itulah kata kunci yang perlu diberi cetak biru dalam orasi yang disampaikan oleh Anies Baswedan dalam event Onoff Pesta-Blogger 2011 di Epicentrum Walk, Jakarta, Sabtu, 3 Desember 2011 yang lalu. Meski hanya sebatas mengikuti tweet di sebuah media sosial dan mengunduh rekaman orasinya, optimisme agaknya menjadi sebuah adagium yang mendapatkan “tensi” tersendiri dari Rektor Universitas Paramadina itu.
“… Andalah (baca: blogger-blogger muda) yang menjadi sumber mengapa kita harus optimis. Anak-anak muda yang –dalam pandangan kami– siuman, anak-anak muda yang siuman, yang tidak terbius oleh nafsu-nafsu murahan jangka pendek. Anak-anak siuman yang kita harapkan untuk Indonesia masa depan, orang-orang yang sadar tentang perspektif Indonesia masa depan …,” tegas cucu perintis kemerdekaan, AR Baswedan, itu.
Ya, ya, jika dikaitkan dalam konteks kekinian, sikap optimisme agaknya telah tereduksi oleh berbagai fenomena anomali sosial yang melanda negeri ini. Korupsi, kekerasan, vandalisme, kongkalingkong busuk, mafia anggaran dan peradilan, benar-benar telah membuat anak-anak bangsa negeri ini mengalami kesulitan untuk bisa bersikap optimis. Atmosfer negeri ini, pasca ontran-ontran sosial tahun 1998, agaknya belum juga mampu membangkitkan rasa optimisme itu.
Dalam situasi demikian, dibutuhkan sebuah “shock-therapy” yang secara bertahap dan berkelanjutan mampu membangkitkan optimisme generasi masa depan. Berbicara tentang diskursus “generasi masa depan” jelas tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan peran dan fungsi guru. Tugas guru, kata Mendikbud, Mohammad Nuh, dalam sambutan memeringati Hari Guru Nasional tahun 2011, adalah mentransformasi generasi penerus demi masa depannya yang lebih baik, lebih berbudaya sekaligus membangun peradaban dan itu adalah tugas yang sangat mulia. Dengan demikian, secara hakiki dan asali (genuine) guru adalah mulia, menjadi guru menjadi mulia, bahkan kemuliaannya tanpa memerlukan atribut asesorial. Memuliakan profesi yang mulia (guru) adalah kemuliaan, dan hanya orang-orang mulia yang tahu bagaimana memuliakan dan menghargai kemuliaan. Bahkan Sayyidina Ali pernah menyampaikan: “Saya menjadi hamba (menghormati dan memuliakan) bagi orang yang mengajarkan kepada saya meskipun hanya satu huruf”.
Bertanggungjawab terhadap pembentukan masa depan, tegas Mendikbud, menunjukkan bahwa guru berbeda dengan profesi yang lain. Sehingga menjadi tidak berlebihan, apabila sebagai profesi, guru mendapat kehormatan memiliki Hari Guru. Kehormatan yang tinggi ini memiliki implikasi pentingnya profesionalitas guru. Profesionalitas guru baru akan terasa hasilnya pada masa depan, yang apabila salah arah, akan mustahil diputar kembali untuk memperbaikinya, karena pendidikan adalah proses yang tidak bisa dibalik (irreversible process). Dampaknya yang masif pada saat jauh mendatang mengharuskan profesionalitas guru untuk dijaga dan terus ditingkatkan dengan hati-hati dan waspada dan tidak boleh terjebak hanya karena pertimbangan kepentingan praktis sesaat.
Tantangan yang dihadapi guru saat ini, jelas makin rumit dan kompleks. Mereka tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang cerdas, tetapi juga mesti mampu membangun fondasi karakter yang tangguh. Modal kecerdasan dan karakter tangguh inilah yang diharapkan akan mampu mewujudkan generasi masa depan yang sanggup membangun bangsa yang terhormat dan bermartabat. Di tengah situasi peradaban yang “sakit” seperti saat ini jelas bukan hal yang mudah untuk mewujudkan “mimpi” semacam itu. Guru selalu dihadapkan pada situasi kontradiksi antara nilai-nilai keluhuran budi dan kenyataan-kenyataan hidup anomali yang demikian akrab dalam kehidupan keseharian anak-anak. Di sekolah, anak-anak digembleng dan dibiasakan untuk melakukan tindakan yang cerdas, jujur, dan kreatif. Namun, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, para peserta didik menyaksikan secara telanjang berbagai perilaku anomali yang terus berlangsung secara masif di tengah-tengah kehidupan riil. Dalam situasi seperti itu, anak-anak tak jarang mengidap “split personality” akibat tidak sinergisnya antara nilai-nilai keluhuran budi yang ditanamkan di sekolah dan situasi “sakit” yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Meski demikian, sikap optimisme perlu terus dibumikan. Sebisa mungkin, guru menghindari ungkapan-ungkapan verbal atau perilaku kasar yang akan menyakiti nurani anak. Situasi pembelajaran konvensional yang memosisikan peserta didik sebagai objek pendengar pasif perlu segera diubah menjadi atmosfer pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, inovatif, dan efektif dengan melibatkan anak-anak sebagai subjek pendidikan. Melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, secara tidak langsung memori anak-anak akan terasupi nutrisi batin yang mencerahkan, sehingga mereka benar-benar memiliki sikap optimis dalam memandang masa depannya. ***
Trus optimis dan hindari skeptis agar bangsa ini terus maju. Cara berpikir pesimis dan skeptis yang ditunjukkan oleh para elit politik yang bermuka dua itu pantas untuk tidak diikuti. Maju terus blogger Indonesia
setuju banget, mas. negeri ini agaknya juga tengah mengalami krisis keteladanan. kaum elite politik yang seharusnya menjadi teladan justru malah bersikap sebaliknya.
Saya juga mau mengucapkan selamat buat Drs. Sawali Tuhusetya, M.Pd…
sukses jaya<<<
Pak sawali… Selamat ya, penghargaan GURARU-nya kemarin di ON|OFF2011.
terima kasih atas support dan apresiasinya, mbak is. salam sukses buat panjenengan.
yang paling susah memabngkitkannya pak !!!!!
betul sekali, mas megi. agaknya butuh pembiasaan sehingga bisa berkembang menjadi sebuah budaya. budaya optimis.
bagus nih .
ini perlu sekali buat para penerus bangsa 😀
salam kenal yya dan sempatkan juga mampir kewebsite kami di http://www.hajarabis.com
bangkitkan mulai dari keluarga, ntar para guru tinggal memoles agar lebih bagus
Majulah Indonesia
setuju banget, bang attayaya. membangun kebiasaan dan kultur yang positif memng perlu diawali dari lingkunhgan keluarga.
lingkungan keluarga memang merupakan tolak ukur keberhasilan seorang tua untuk mendidik anak-anaknya,, kalau sudah okeeee.. tingaal dipoles dikit sama bapak/ibu guru>>>
semoga saja diterima komentar ini…
Motivasi itu perlu. Sebagai seorang guru bukan hanya mengajarkan mata pelajaran yang diampunya, akan tetapi harus menjadi motivator yang hebat untuk siswa. Inilah salah satu tugas guru dalam pendidikan berkarakter
terima kasih atas tambahan opininya. saya kira tepat sekali, selain harus mampu menjadi motivator konon yang tidak kalah penting adalah keteladanan.
Tuntutan guru sangat tinggi, sementara karakter pendidik untuk memenuhi tuntutan itu dirasa belum merata.Masih ada guru yang hanya sekedar menunaikan kewajibannya saja dalam mengajar tanpa berpikir atau menelurkan ide mengenai pendidikan berkarakter
penilaian semacam itu tidak salah, mas. kenyataan memang menunjukkan hal itu. masih terjadi kesenjangan kompetensi antarguru. perlu ada upaya serius utk meminimalkan kesenjangan itu.
Tuntutan yang sangat tinggi,dan harus dibarengi dengan pelatihan-pelatihan guru yang mumpuni
ya, ya, upaya serius utk meminimalkan kesenjangan itu bisa dilakukan dengan menggelar pelatihan guru secara intens.
tetapi terkadang pelatihan-pelatihan itu belum bisa dijadikan sebagai tolak ukur kalau memang setelah tidak ada tindak lanjut yang konkrit seperti itu,,
Curcol sedikit boleh ya Pak? hehe…
Dari pengalaman saya sendiri yang mana saya juga merupakan putra dari dua orang guru, kalau boleh jujur ketika pikiran saya belum terbuka saat itu pada saat sedang ‘dimotivasi’ oleh guru di sekolah, yang saya rasakan dari semua perkataan guru yang terkait, seperti dalam istilah ‘masuk telinga kiri, keluar dari telinga kanan’.
Tapi ada satu pengalaman yang akhirnya bisa membukakan pikiran saya, bahwa dengan membaca biasanya akan lebih ‘nancep’ di hati mau pun di pikiran. Makanya saya mencoba berbagi pengalaman saya ini dengan menuliskannya di blog personal saya ini.
Dan Alhamdulillah, sekarang sudah ada beberapa dari teman-teman saya yang awalnya diragukan akan masa depannya, sekarang menjadi lebih baik dan gemar membaca 🙂
wow … luar biasa, mas pras. konon budaya literasi yang bagus akan sangat besar pengaruhnya terhadap tumbuh kembangnya nilai-nilai positif, termasuk nilai optimisme.
Harus benar – benar mempunyai karakter yang tinggi sebagai pendidik.
Dan mungkin juga diharuskan adanya pelatihan – pelatihan untuk guru juga.. 😀
setuju banget, bos. mudah2an saja gagasan seperti ini tidak lagi sekadar diwacanakan, tetapi perlu segera diimplementasikan oleh pihak2 terkait.
wah sharing yang bermanfaat
benar sekali, para murid harus lebih kreative dan inovatif dalam proses pembelajaran.
tetapi terkadang, masih ada murid yg ragu / malu2 dalam mengapresiasikan dirinya selama proses pembelajaran.
ya, ya, fenomena seperti hampir selalu terjadi pada setiap tahun ajaran, bos. dibutuhkan kreativitas para guru juga utk menumbuhkembangkan potensi dan talenta anak, sehingga mereka memiliki keberanian utk berekspresi.
untuk bisa mengkreatifkan para murid bisa diberikan simulasi-simulasi game untuk meningkatkan motivasi dari peserta didik tersebut,,,
kualitas para anak didik itu hampir sepenuhnya ada di tenaga pendidik,maka di butuhkan guru guru yang mampu menciptakan anak anak didik yang baik dan berkualitas.
walaupun gurunya itu sudah kualitas atau bisa untuk saat ini sudah bersertifikasi belum bisa menghasilkan peserta didik yang mumpuni,, istilah lainnya itu..
terkadang seharusnya kalau memang sudah bersertifikasi harus kerja bisa lebih maksimal lagi, harapan….
setuju, mas, semoga secara bertahap, kualitas pendidik di negeri ini bener2 berkompetensi bagus, sehingga mampu memberikan pengabdian terbaik buat anak2 bangsa.
artikel yang sangat sangat bagus mas,semoga artikel ini bisa di baca para guru sehingga menambah motivasi yang tinggi untuk menjadi guru yang punya dedikasi yang tinggi.
terima kasih atas support dan apresiasinya, bos.
menarik dan bermanfaat artikelnya…makasih udah share disini ya…
terima kasih atau kunjungan, support, dan apresiasinya.
optimes itu menyenangkan,, dan jangan lupa dengan berdoa,,
Psikolog Jacinta F Rini memaparkan bahwa bicara adalah media utama dalam mengekspresikan diri, untuk bisa dimengerti orang lain, orang tua, guru dan teman-temannya. Bila media itu mengalami masalah, maka bisa membuat anak menjadi frustasi. “Mungkin pula ia akan merasa frustasi dan malu karena teman-temannya memperlakukan dia secara berbeda, entah mengucilkan atau pun membuatnya menjadi bahan tertawaan,” ungkap Jacinta dalam artikelnya “Keterlambatan Bicara” yang dipublikasikan di situs e-psikologi.
guru juga berperan untuk meningkatkan optimisme,,waktu saya masih sekolah,,guru saya selalu bilang,gapailah apa yang kamu mau,,ingat kuncinya optimis,optimis kalau kita bisa,
setuju banget, sikap optimis ternyata luar bisa pengaruhnya terhadap sukses seseorang.
generasi muda harus optimis menatap masa depan dengan beberapa masalah yang nantinya harus terselesaikan…
bener sekali, mas nayzz. konon sikap optimis akan selalu menumbuhkan semangat utk meraih masa depan yang jauh lebih baik.