Suicide: Potret Manusia Global yang Sarat Konflik

Kategori Cerpen Oleh

Sepekan belakangan ini, aktivitas ngeblog saya (nyaris) tersendat. Setelah melakukan monitoring implementasi KTSP SMP berstandar nasional (SSN) di kota Tegal, Selasa (8/12/2009), Rabu-Jumat (9-11/12/2009), saya mesti mendampingi anak-anak SMP Terbuka bersama rekan-rekan sejawat yang sedang melakukan karyawisata ke ibukota, sebuah kota megapolitan yang selama ini hanya bisa disaksikan anak-anak melalui layar TV butut di rumahnya. Maklum, anak-anak SMP Terbuka, dari sisi ekonomi memang mengalami hambatan. Jelas, sebuah kesempatan yang mahal apabila mereka bersama-sama bisa datang untuk menyaksikan gebyar Jakarta yang mewah dengan segenap asesoris kehidupannya yang (nyaris) serba hedonis, konsumtif, dan materialistik. Setidak-tidaknya, mereka bisa melihat secara langsung atmosfer sebuah kota yang menjadi pusat segala “peradaban” modern dan global itu.

undanganPendampingan karyawisata ini membuat saya kurang bisa intens ber-blogwalking ria ke rumah-rumah sahabat, bahkan saya tidak bisa hadir dalam acara Diskusi dan Peluncuran Buku “Suicide” karya Mbak Latree Manohara di Semarang, tepatnya di Ruang Loby Gedung Ki Narto Sabdo, Jalan Sriwijaya 29, 10 Desember 2009, pukul 19.00 WIB. Padahal, ada Mas Aulia A. Muhammad dan Triyanto Triwikromo, yang akan tampil sebagai pembedah yang dimeriahkan dengan pentas perform arts dan baca cerpen. Padahal, undangan dan buku bercover gelap tersebut sudah saya terima pada H-2. Padahal … Hmm … sungguh, saya sedih tidak bisa hadir dalam sebuah ruang diskusi yang bisa memicu adrenalin untuk larut dalam atmosfer yang “nyastra” banget itu. Saya sudah amat lama merindukannya.

Namun, apa mau dikata. Demi memberikan support kepada anak-anak, saya tak kuasa menolak ketika terpaksa harus memupus keinginan saya untuk hadir dalam diskusi dan peluncuran buku itu. Untuk meredam kesedihan, saya berjanji untuk me-review kumpulan cerpen menarik ini. Tak berlebihan kalau saya mesti menenteng buku kumpulan cerpen (kumcer) perempuan kelahiran Wonogiri, 20 Agustus 1976 itu, untuk menemani perjalanan saya bersama anak-anak.

Judul Buku: Suicide
Pengarang: Latree Manohara
Editor: Dwicipta/Agunghima
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri, Yogyakarta
Cetakan Pertama: Agustus 2009
Tebal Buku: xiv + 112

Seperti biasa, saya selalu membaca kata pengantar lebih dahulu ketika membaca buku baru. Dari situ, saya akan mendapatkan gambaran umum tentang isinya, bahkan bisa jadi akan menemukan “kata kunci” yang bisa saya gunakan untuk memasuki satu demi satu substansi materi yang didedahkan sang pengarang. Demikian juga halnya ketika membaca buku Latree Manohara ini. Dan, tiba-tiba saja saya tertarik membaca penggalan kata pengantar yang ditulis Dwicipta berikut ini.

Semula saya membaca sosok Latree Manohara sebagai tokoh fiksi yang tersekap pada ironi-ironi menyedihkan kehidupan populer yang menjerat sebagian besar manusia. Ia menulis prosa dan puisi dengan gaya populer, dengan tema-tema kehidupan populer di sekitarnya, dengan bahasa populer yang dengan sangat mudah dipahami oleh semua orang bahkan berkesan menggelikan bagi para pengagum prosa dan puisi yang serius. Dan pada saat yang sama, ia menjalani dinamika hidup yang tak jauh berbeda dari apa yang ia tuliskan dalam prosa dan puisinya.

Namun dalam pembacaan kedua, saya menemukan logika tokoh internal Latree Manohara: sebagai orang yang terjebak pada kehidupan populer, ia membaca dan memaknai kehidupan dan dunia ini dari sudut pandang kehidupan populer itu. Katakanlah sebuah kesaksian atau pengakuan tanpa malu-malu, bahkan penuh martabat, dengan menegakkan dan menegaskan kedirian.

Jujur saja, pernyataan Dwicipta cukup membantu saya dalam upaya memahami cerpen-cerpen yang terkumpul dalam Suicide yang selama ini saya memang jarang mengikuti dinamika Latree Manohara dalam berproses kreatif. Maka, di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, saya jadi cukup nyaman ketika mencoba membaca dan menikmati 13 cerpen (Alarm 07.30, Hidup Ini Membuatku Terpana, Menunggu, Please Deh, Cin …, Reinkarnasi, Suicide, Kondom, Kesentil, Dul Kamdi, Silentium I, Silentium II, Antrean Kematian, dan Sabtu Sore yang Mendung) yang terkumpul dalam kumcer yang diterbitkan Gigih Pustaka Mandiri (2009) setebal xiv + 112 ini.

Sketsa Kehidupan
coverMembaca ke-13 cerpen ini, saya seperti menyaksikan sketsa kehidupan yang kaya dimensi dan sarat konflik. Ibarat seorang dalang, perempuan yang sekaligus menjadi ibu dari ketiga anak tercintanya itu, bebas mempermainkan tokoh-tokohnya sesuai dengan selera intuitifnya yang tengah bermain-main di layar imajinasinya. Tokoh-tokoh cerita bisa diposisikan mancala putra-mancala putri dan manjing ajur-ajer dalam tikaman dimensi ruang dan waktu. Suatu ketika, sang tokoh aku bisa menjadi sosok anak-anak yang mengundang iba, tetapi pada saat yang lain, bisa menjelma menjadi sosok perempuan atau laki-laki perkasa yang sanggup mengatasi berbagai tekanan hidup yang berat, dan sekaligus juga sanggup menjadi saksi berbagai peristiwa hidup yang ironis, tragis, atau sarat dengan parodi hidup.

Begitulah gambaran umum kisah-kisah pendek yang terangkum dalam kumcer ini. Agaknya, Latree Manohara tergolong pengarang yang tak mau terbebani dalam genre cerpen tertentu. Ia bisa berkisah tentang persoalan remeh-temeh hingga ke persoalan yang rumit dan kompleks. Dengan gaya ucap yang lincah dan cair, Latree Manohara bisa bercerita apa saja, tanpa beban literer tertentu. Dengan kata lain, Latree Manohara sanggup meng-konkret-kan persoalan-persoalan abstrak melalui narasi, deskripsi, dan dialog yang lincah-mengalir; bukan sebaliknya, seperti yang dialami oleh sebagian besar penulis cerpen; mengungkapkan persoalan yang konkret dan terang-benderang menjadi sesuatu yang abstrak dan serba gelap.

Dalam “Suicide” yang menjadi titel kumcer ini, misalnya, dalam amatan awam saya, sesungguhnya Latree Manohara sedang membidik sebuah persoalan berat yang dihadapi manusia metropolis ketika deraan hidup sedang menelikung sang tokoh. Namun, dengan gaya yang lincah, Latree Manohara sanggup menuturkan kisah berat itu secara apik dan enak dibaca. Tokoh “aku” yang menjadi korban kebiadaban nafsu seorang bajingan dan harus melahirkan bayi yang tidak dikehendakinya, didera depresi berat hingga terpaksa harus membunuh bayinya. Akumulasi perasaan berdosa, apalagi Bang Rahman yang amat dicintainya, dianggap tak pernah lagi memedulikan dirinya, membuat si “aku-Vi” nekad untuk bunuh diri. Namun, berkali-kali pula, selalu ada peristiwa lain yang bisa menyelamatkan nyawanya.

Upaya bunuh diri yang terakhir kali mempertemukan si aku-Vi dengan Bang Rahman yang memberikan kado sebuah cincin pernikahan ketika si aku-Vi tengah berada di puncak konflik psikis yang menderanya. Dengan dialog berbalut suasana religi, berkali-kali Bang Rahman dan keluarganya mengingatkan si aku-Vi untuk ber-istighfar dan berpaling lagi pada jalan Tuhan.

“Istighfar, Vi… Jangan kamu putar balik keadaan seperti itu. Kamu tahu kamu bisa bersandar pada-Nya sejak mula. Allah akan membantumu berdiri lagi dari keterpurukan…”

“Terlambat, Bang … terlambat. Aku sudah tidak sanggup lagi menanggung derita…” (hal. 70).

Sebuah dialog yang lincah dan cair, terlepas dari beban untuk menggurui. Dalam ending, Latree Manohara agaknya juga bukan penganut genre cerpen konvensional. Dia sengaja menggantungkan akhir kisah untuk memberikan ruang penafsiran kepada pembaca.

Dari 13 cerpen yang dihadirkan dalam buku ini, tokoh-tokoh yang bermain di dalamnya sebagian besar merupakan manusia-manusia global yang tergencet berbagai persoalan kekinian dengan mendedahkan konflik psiko-sosial yang begitu rumit dan kompleks. Dengan balutan gaya surealis, Latree Manohara dalam “Alarm 07.30” (hal. 1-5) bertutur tentang konflik si aku lirik dengan jam wekernya yang bermasalah dan pada saat yang lain, sang weker bertutur seperti layaknya manusia tentang perbuatan yang dia lakukan. “Hidup Ini Membuatku Terpana” (hal. 7-15) bertutur tentang masa kecil si aku lirik yang miskin dan Mbak Eny yang kaya raya. Namun, ketika dewasa, dinamika peradaban membuat atmosfer hidup menjadi amat kontras dan paradoks. Mbak Eny tenggelam dalam kehidupan rumah tangga yang amburadul, sedangkan si aku sukses dengan kehidupan keluarga bahagia.

Tentu saja, masih ada beberapa cerpen lain yang menarik untuk dibaca dan dinikmati. Persoalan-persoalan global yang rumit dan kompleks dengan amat sadar diangkat Latree Manohara ke dalam cerpen-cerpennya sebagai upaya sang pengarang untuk merefleksikan kenyataan-kenyataan hidup yang penuh ironi, tragis, dan juga sarat dengan parodi. Latree Manohara sengaja membiarkan tokoh-tokohnya bermain secara “liar” tanpa tendensi tertentu. Ibarat seorang fotografer, agaknya alumnus UNDIP 1998 yang kini bekerja sebagai PNS di Pemprov Jateng ini berupaya membidik berbagai fenomena hidup manusia masa kini dengan berbagai kompleksitas persoalan hidupnya apa adanya dengan memosisikan diri sebagai “si aku lirik” yang serba tahu terhadap semua perilaku tokoh sampai detil dan elaboratif. Meski demikian, pembaca diberikan kebebasan untuk memasuki ruang penafsiran sesuai dengan selera estetik dan gaya literernya masing-masing.

Yang agak tampil beda mungkin cerpen “Antrean Kematian” dan “Sabtu Sore yang Mendung”. “Antrean Kematian” (hal. 97-107), dalam pandangan awam saya, tergolong cerpen yang sarat dengan kritik sosial ketika manusia masa kini terhipnotis oleh budaya massa yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap pendekatan medis dalam penyembuhan penyakit. Situasi seperti ini membuat ayah tokoh “aku” harus menjadi korban antrean di sebuah rumah seorang tabib pengobatan alternatif. Ia tak kuasa lagi menghadapi massa antrean yang beringas ketika jarak sejengkal pun menjadi amat berharga yang diyakini bisa menjadi ruang penyelamatan nyawa. Sedangkan, “Sabtu Sore yang Mendung” (hal. 109-112) yang sekaligus menjadi penutup kumcer, mengisahkan seorang anak bernama Bayu yang terkena sindrom halusinasi kerinduan terhadap ayahnya yang tengah merantau. Begitu kuatnya cengkeraman kerinduan itu sampai-sampai Bayu tak lagi bisa menikmati dunia bermain yang sah menjadi miliknya, bahkan di setiap ruang dan waktu, dia terus dibayangi wajah sang ayah yang membadai dalam layar halusinasinya.

Sebuah kumcer yang menarik. Selalu muncul suspense pada setiap kisah yang dituturkan. Dengan gaya tutur yang lincah, Latree tidak terbebani kode bahasa, sastra, atau budaya yang acapkali menelikung para pengarang kontemporer yang merasa dirinya “paham” dunia literer. Dengan dunia teknik sebagai basis keilmuannya, Latree justru sanggup menanggalkan batasan-batasan tentang sastra dan stilistika yang sering menjadi belenggu dalam berproses kreatif. Ia bisa bertutur apa saja dengan bebas dan tanpa beban. Oleh karena itu, Latree Manohara akan sanggup menerobos lorong-lorong imajinasinya hingga batas tak terhingga ketika dia masih berkenan untuk menjadi saksi berbagai fenomena hidup yang mencuat di atas panggung kehidupan sosial melalui gaya bertutur yang lincah dan mengalir yang sudah jelas-jelas menjadi miliknya ke dalam tuturan kisah yang liar dan mencengangkan. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

141 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Cerpen

Berlari Semakin Jauh

Cerpen: Ali Syamsudin Arsi Dia datang dari sebuah kampung di pinggiran wilayah

Kereta Hujan

Cerpen Sungging Raga Dimuat di Harian Global (11/20/2010) Dua manusia duduk berhadap-hadapan
Go to Top