Di tengah kekhusyukan umat Islam menjalankan ibadah puasa, kita dikejutkan guncangan gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter. Gempa yang berpusat di 142 km barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat (Rabu pukul 14.55 WIB) tersebut telah menyebabkan puluhan orang meninggal, ratusan orang terluka, dan puluhan korban lainnya hilang.
Menurut Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, dampak gempa besar tersebut mencakup 9 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. Jumlah rumah rusak berat mencapai 2.325 unit, rusak ringan 795 unit, sedangkan sekolah yang ambruk mencapai 5 unit, dan rumah ibadah serta pesantren sebanyak 4 unit.
Kita memang tak bakal sanggup menangkap tanda-tanda dan rahasia Sang Pemilik Kehidupan di balik rentetan bencana yang beruntun melanda negeri ini. Dalam situasi seperti ini, kita juga tidak mungkin saling menyalahkan atau mencari kambing hitam di balik fenomena alam yang (nyaris) meruntuhkan semangat dan etos kebangsaan itu. Namun, stigma negeri “Sejuta Bencana” yang secara mendadak menghapuskan citra negeri “Jamrut Khatulistiwa” itu tak urung memaksa kita untuk melakukan refleksi dan introspeksi diri.
Sudah demikian parahkah kondisi alam di negeri ini hingga setiap detik kita harus “senam jantung” karena terus terusik gejolak alam yang bisa murka di setiap tempat dan waktu? Haruskah penghuni negeri ini terus-terusan diincar maut akibat pengelolaan alam dan strategi manajemen bencana yang salah urus? Benarkah negeri ini sudah tak nyaman lagi untuk dihuni akibat makin bejibunnya bromocorah kelas kakap yang sudah tidak lagi mengindahkan etika dan fatsun kehidupan dalam mengeksploitasi isi perut bumi hingga membuat harmonisasi dan keseimbangan alam jadi terganggu?
Entah, sudah berapa kali negeri ini harus menuai banjir bandang, gempa bumi, tanah longsor, atau semburan lumpur panas. Yang pasti, ingatan kolektif kita juga tak pernah bisa melupakan derita para korban dan ratapan tangis yang memilukan dari keluarga korban yang ditinggalkan. Kejadian-kejadian yang memang berada di luar batas jangkauan akal manusia itu bisa jadi akan menimbulkan trauma berkepanjangan hingga akhirnya membuat penduduk negeri ini mengalami “ketakutan massal” apabila tak ada upaya serius untuk melakukan langkah-langkah antisipatif dan tanggap darurat yang bisa secepatnya memulihkan kondisi batin keluarga korban.
Secara teologis, bencana alam, apa pun wujudnya, memang bisa dimaknai sebagai kehendak mutlak Tuhan sebagai pengejawantahan takdir yang menjadi hak prerogatif-Nya. Namun, memaknai takdir hanya semata-mata berdasarkan sikap “pasrah pada nasib”, tanpa diimbangi dengan “kemauan politik” untuk melakukan sebuah perubahan paradigma dalam mengelola alam beserta isinya, hanya akan melahirkan proses “pembencanaan bumi” itu menjadi semakin sering dan cepat terjadi.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kepongahan para “penjahat alam” yang dengan sewenang-wenang mengekspolitasi hutan dan isi perut bumi tanpa menggunakan hati-nurani. Keinginan untuk memanjakan hidup bergelimang harta dan kemewahan agaknya telah melumpuhkan semangat “mencintai alam” yang seharusnya menjadi dasar hidup “memayu hayuning bawana” dalam mengelola dan mengolah kekayaan alam.
Kehancuran dunia dan alam semesta serta isinya di abad mutakhir ini, meminjam istilah Haedar Nashir (2007), karena ulah manusia dan sistem yang merusak. Semangat pembangunan yang dikobarkan oleh kaum pemilik modal alias sang kapitalis yang mengabaikan kesimbangan alam digambarkan sebagai tingkah nafsu angkara murka yang kebiadabannya terhadap alam menghunjam ke bumi dan menjulang tinggi hingga ke pintu langit.
Sungguh, berbagai rentetan bencana yang mengguncang negeri ini perlu juga dimaknai sebagai teguran dan “warning” Sang Pemilik Kehidupan, agar kita kembali ke fitrah sebagai khalifah di muka bumi untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Gempa Tasik Malaya yang terjadi di bulan Ramadhan ini semoga bisa menjadi bukti teguran Tuhan bahwa selama ini memang kita sudah kehilangan sikap ramah terhadap alam dan lingkungannya.
Semoga para korban diberikan kelapangan jalan menuju ke haribaan-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan serta kesabaran. Mari kita galang kekuatan bersama untuk membantu para korban dan secara kolektif menggali sikap peka dan peduli terhadap sesama. Untuk selanjutnya, jangan biarkan alam kembali murka akibat kesalahan kolektif kita yang selama ini terlalu arogan dan sewenang-wenang memperlakukan lingkungan , hutan, dan perut bumi. ***
jaga alam kita
dengan baik..:)