Sekolah, Paulo Freire, dan Pendidikan Alternatif

paulo freireSudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.

Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.

Situasi keterpasungan dan ketertindasan yang berlangsung dalam dunia pendidikan kita, disadari atau tidak, telah menimbulkan resistensi dari para penggiat sosial. Mereka banyak merintis berdirinya pendidikan alternatif yang berupaya membebaskan peserta didik dari situasi keterpasungan dan penindasan. Kalau dalam dunia persekolahan kita identik dengan penyeragaman dan indoktrinasi, pendidikan alternatif mencoba memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pelajaran yang disukai atau memilih jenis aktivitas yang sesuai dengan minat dan hobi mereka masing-masing, bebas upacara, bahkan bebas ujian. Tempat belajar pun tak selalu berada di sebuah gedung yang mentereng atau laboratorium ber-AC, tetapi bisa berlangsung di bawah jembatan, tepian rel kereta api, atau di gubug-gubug kardus.

Bisa jadi, maraknya pendidikan alternatif semacam itu terilhami oleh ide-ide cemerlang dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brasil. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang sangat kontroversial lantaran keberaniannya menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Sistem pendidikan yang ada dianggap sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin, tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa. Karena hanya menguntungkan penguasa, menurut Freire, pendidikan yang hanya melahirkan kaum penindas semacam itu harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang baru.

Sekilas tentang Paulo Freire
Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi.

Sambil kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959, lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran siswa didik menimbulkan kekhawatiran di kalangan penguasa. Oleh karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964, kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970.

Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan alternatif lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi terhadap filsafat pendidikan yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Masyarakat feodal (hirarkis) merupakan struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, sehingga menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya, putaran waktu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari sepenuhnya. Dalam kebudayaan bisu semacam itu, kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.

Untuk menguasai realitas hidup, termasuk menyadari kebisuan itu, bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang membuat siswa didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk membuat mereka mampu mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar, termasuk suara sang pendidik.

Dalam kondisi semacam itu, Freire terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Disebut pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada siswa didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Siswa didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya siswa didik itu sendiri yang “disimpan” karena miskinnya daya cipta. Pendidikan gaya bank dinilai hanya menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.

Untuk menghapuskan pendidikan gaya bank, Freire menawarkan pendidikan alternatif melalui sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam proses pendidikan semacam ini, kontradiksi guru-murid (guru menjadi sumber segala pengetahuan, sedangkan murid menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Siswa didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai objek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya, guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan siswa didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, siswa didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan pun tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket, tetapi sejumlah permasalahan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh siswa didik dalam konteksnya sehari-hari.

Quovadis Dunia Pendidikan Kita?
Lantas, adakah relevansi antara pendidikan alternatif ala Freire dan dunia pendidikan (formal) kita? Dari setting sosial dan kultural, struktur masyarakat kita memang berbeda dengan kondisi masyarakat Brasil. Namun, berdasarkan struktur hierarkis masyarakat kita yang cenderung bergaya feodal, agaknya pendidikan alternatif ala Freire bisa dijadikan sebagai bahan analogi dan refleksi terhadap dunia pendidikan kita yang dinilai belum mampu membebaskan siswa didik dari keterpasungan dan ketertindasan.

Konon, pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80% kekayaan Indonesia, padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah menjadi pemegang kendali feodalisme baru, baik dalam rangka balas dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesama kaum “tertindas”. Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari ketertindasannya.

Kritikan Freire agaknya masih cukup relevan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang dinilai sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat kita. Korupsi dengan berbagai bentuknya merupakan manifestasi dari imbas proses pendidikan kita yang dianggap belum sanggup membebaskan dan mencerahkan siswa didik dari perilaku yang kerdil dan cacat moral. Mereka ingin menjadi neo-borjuis, neo-feodal, atau penindas-penindas baru secara instan melalui praktik korupsi sebagai upaya untuk mengembalikan modal sebagai dampak mahalnya biaya pendidikan. Quovadis dunia pendidikan (formal) kita kalau hanya melahirkan borjuis dan penindas-penindas baru?

Jangan salahkan pendidikan alternatif kalau dunia pendidikan (formal) kita gagal menyediakan tempat yang nyaman bagi masyarakat miskin untuk menimba ilmu. Jangan ratapi pula maraknya koruptor yang masih terus bebas melenggang mengemplang harta negara kalau tak ada perubahan mendasar dalam desain dan sistem pendidikan kita. Juga, jangan tangisi puluhan sarjana gadungan yang harus menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan membeli ijazah palsu kalau struktur masyarakat kita masih memberhalakan feodalisme dan borjuisme! ***

No Comments

  1. Mungkin saya termasuk beruntung, karena tidak mengalami apa yang disampaikan Pak Sawali di pengantar tulisan ini tentang sistem pendidikan. Walaupun tidak berada konsep yang 100% berlawanan dengan apa yang disampaikan, tapi setidaknya saya mengalami budaya dialektika yang (secara subyetif) saya rasa bagus. Saya dulu bersekolah di sebuah sekolah plat merah, alias negeri.

    Ruang-ruang kreatifitas sangat dibuka, ruang pengembangan pemikiran sangat didukung. Kalau boleh bercerita dikit Pak, dulu saat saya datang ke sekolah, hal pertama yang ditanyakan oleh guru saya adalah, “Baca tulisannya si Anu di koran Anu kemarin?”

    Tidak pula tabu bagi kami untuk bersilang pendapat dengan guru-guru tentang bagaimana sekolah yang nyaman.

    Namun, masalahnya adalah …

    Apa yang saya alami hanya berada pada tataran ‘relasi’ yang mendewasakan serta hanya budaya yg bersifat lokal dan (mungkin) temporer, bukan pada ‘grand system’ pendidikan yang dapat menyentuh seluruh peserta didik dan pendidik.

    Kalau menjawab pertanyaan “Quovadis Dunia Pendidikan Kita?”
    Maka dengan apa yang berjalan saat ini, rasanya kita tidak akan kemana-mana. Semua sudah tak lebih dari layaknya rutinitas. Lepas SMA kalau bisa kuliah, kalau tak bisa, yaa… cari kerja.
    Ironis.

    Baca juga tulisan terbaru Pakacil berjudul Geliat Bisnis Belut Kalimantan Selatan

    1. @Pakacil,
      wah, andai saja dunia pendidikan kita menerapkan model dan sistem pembelajaran seperti yang pakacil alami, saya percaya anak2 bangsa yang lahir dari rahim dunia pendidikan kita makin cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. mereka dibiasakan berdialog interaktif, tdk tabu berbeda pendapat, dan yang pasti suasana pembelajaran berlangsung egaliter. sayangnya, sistem pendidikan kita sepertinya tdk membuka ruang seperti itu. bahkan, tak jarang, guru yang mencoba ingin melakukukan inovasi pembelajaran dg setting ruang kelas yang non-konvensional dianggap guru yang tak becus mengajar hanya karena sisanya ramai. duh!

  2. Sekolah saya dulu (Sekolah Rakyat) hanya punya dua kelas, kelas lainnya menyewa di rumah penduduk. Merasakan sekolah di sekolah yang punya gedung, baru di SMP dan SMA. Teman2 sayapun jarang yang bersepatu, akibatnya saya ikutan bersandal japit agar tak terlalu menyolok. Namun guru mengajar budi pekerti dengan contoh nyata, mengajar dan sesekali diskusi di bawah pohon… bukan buku tulis tetapi asbak, menulisnya pakai grip. Dan tulisan itu harus dihapus jika akan menulis untuk pelajaran baru. Buku tulis saya kenal saat kelas 4 SD, kertasnya dari merang.

    Pak Sawali, mungkin yang perlu adalah bagaimana hubungan guru, murid dan orangtua…karena itulah inti nya belajar. Karena belajar di alam terbuka, seperti di laskar pelangi, benar2 saya alami. Dan tentu saja, pendidikan di daerah terpencil, seperti di Papua juga seperti itu….yang penting adalah semangat, dorongan untuk berbuat kebaikan. Dan selain sekolah, ilmu bisa diperoleh dari mana saja. Dulu, saya suka ke perpustakaan, baca dari majalah bekas….dan keinginan membaca demikian kuat…sehingga saat SMP saya rajin ke rumah teman, hanya karena ortunya berlangganan majalah Jayabaya, sedang orangtua saya tidak.

    Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Privacy masing-masing pasangan, perlukah?

    1. @edratna,
      wah, sungguh, pengalaman yang menarik, bu enny. belajar di ruang terbuka dan akrab dg alam mungkin malah mampu membuka pikiran anak2 dan tdk terpasung dalam suasana kelas yang monoton dan membosankan. saya sepakat banget dg bu enny, perlu ada komunikasi antara guru, murid, dan orang tua, agar setiap permasalahan yang dihadapi anak bisa terselesaikan dg baik. matur nuwun tambahan infonya, bu.

  3. Yah, karena Brazil era Freire bukan negara dengan Pendidikan sebagai Industri. Semoga saja Industrialisasi Pendidikan di Indonesia tidak semakin parah, dan justru mendapatkan jalan kembali menuju Pendidikan sebagai Alat Pembebasan. 🙂

    **mau komentar sebenarnya sungkan, Pakacil dan Edratna panjang-panjang e. Eh, saya cuma sak ndlumit ini** :mrgreen:

    Baca juga tulisan terbaru denologis berjudul Pesta Blogger di Tanah Suci

    1. @denologis,
      kita berharap seperti itu, mas deno. sekarang ini dunia pendidikan sedang menghadapi problem budaya, yakin sulitnya melakukan perubahan terhadap paradigma pendidikan. kebijakan2 pendidikan pun seringkali tidak memberikan ruang yang tepat utk mengeksplorasi kemampuan dan potensi anak. yang jelas terlihat adalah kebijakan ttg UN itu.

  4. salam pak guru..
    membaca tulisan ini, saya langsung teringat pada sebuah buku ‘ Sekolah itu Candu’ pengarangnya saya lupa..memang benar, pendidikan zaman sekarang semakin terseret arus industrialisasi dan kapitalisasi sehingga menimbulkan reduksi akan makna pendidikan itu sendiri. Belum lagi isu kesejahteraan guru yang justru semakin memiriskan kita akan kekhawatiran hilangnya semangat mengabdi para pahlawan tanda jasa tersebut. Murid yang baik tentunya bersumber dari guru yang baik pula…Krisis keteladanan! itulah yang terjadi saat ini. Semoga kita selalu diberi jalan dan mendapat petunjuk untuk selalu mengusung pendidikan sebagai sebuah gerakan pengorbanan dan pengabdian. Dan diharapkan Pemerintah juga bisa menjadi lokomotif kebangkitan pendidikan kita. trims

    Baca juga tulisan terbaru pensiun kaya berjudul Ulasan 14 Mei 2009 – Kendalikan risiko.

    1. @pensiun kaya,
      salam juga, mas. “Sekolah itu candu”? hmmm … kalau ndak salah andreas harefa yang pernah menulis buku “menjadi manusia pembelajar” itu pengarangnya. maaf kalau saya juga salah, hehe …. idealnya pemerintah perlu menjadi lokomotif perubahan. meski demikian, perlu juga diimbangi dg perubahan kultural dari masyarakat dan praktisi pendidikan itu sendiri.

  5. Pak Sawali saya tidak bisa berkomentar banyak,
    tapi yang jelas ulasan Pak Sawali seperti mewakili apa yang ada di benak saya tentang dunia pendidikan.

    Baca juga tulisan terbaru mascayo berjudul Kemakan omongan

    1. @mascayo,
      terima kasih mascayo. dunia pendidikan kita selama ini memang belum menampakkan perubahan yang berarti. otonomi daerah hanya sekadar mengalihkan sentralisme ke daerah2 dg menciptakan penguasa2 baru di daerah yang makin abai terhadap persoalan2 dunia pendidikan.

  6. “Halo pak Sawali…memang banyak benarnya apa yg anda sampaikan itu…hari gini pendidikan malah bisa dikatakan ‘kebutuhan mewah’ …bagi sebagian besar masyarakat kita.Apa pasal? Lihat saja sekarang ini…masih banyak anak-anak yg seharusnya mengenyam pendidikan tapi karena terbentur masalah ekonomi mereka harus bekerja di berbagai sektor dan bahkan turun ke jalan berjuang untuk mencari makan untuk tetap hidup.Di sisi lain tidak sedikit anak-anak dari keluarga mampu yang mempunyai kesempatan untuk duduk di bangku sekolah malah kadangkala tidak memanfaatkan kesempatan untuk mencari ilmu setinggi-tingginya, sekolah hanya sebagai formalitas , sekolah hanya untuk gagah2-an saja dan lebih afdol lagi ditambah aktivitas tawuran he..he….Nah pribadi-pribadi yang seperti inilah yang biasanya menjadi pribadi penindas, kalau jadi pejabat-pun pasti terlibat xxxxxsi ( maaf disensor ) . Jadi yang paling penting untuk ditanamkan pada anak-anak jaman sekarang adalah Budi Pekerti, Sopan-Santun, dan perlunya nilai-nilai kejujuran .Tidak harus di dalam kelas…di lapangan beratapkan langitpun tak masalah.Betuul ?

    1. @chabi,
      betul sekali, mas chabi. situasi pendidikan yang mengekang kebebasan anak utk berkreasi, mengoptimalkan pola pikir, agaknya membuahkan petaka. sekolah bagaikan kerangkeng penjara yang memasung dan menindas. akibatnya, begitu bel pulang berbunyi, mereka seperti napi yang baru saja terbebas dari kungkungan penjara. sekolah jadi seperti tempat yang kurang nyaman utk menuntut ilmu. dampaknya ternyata parah. mereka melampiaskannya melalui perilaku negatif, entah melalui tawuran seks bebas, atau penyalahgunaan obat2 terlarang. repot!

  7. Lha gimana pak… kalau kita ngajar mau keluar dari pakem yang salah kaprah… Malah dibilang aneh-aneh, sok lah dan neko-neko. Apa enaknya mendirikan sekolah sendiri aja ya (-emang warung ya-), biar idealisme kita tidak tertekan.

    Baca juga tulisan terbaru Atik berjudul TIDAK MAU KALAH DENGAN MIE

    1. @Atik,
      itulah kenyataan yang terjadi, bu atik, ternyata utk melakukan perubahan paradiga pendidikan di kalangan rekan sejawat sendiri juga bukan persoalan yang mudah. wah, mendirikan sekolah baru? baiknya nggabung saja di sekolah alternatif yang terdekat, bu, hehe ….

  8. Pendidikan gratis ada di mana-mana.

    Pendidikan gratis ada di mana saja?

    Anak saya saat ini kelas I SD. Sebuah sekolah negeri. Sekolahnya belum gratis. Masih bayar Rp15000, hehehe. Bahkan, orang tua murid patungan untuk membuat lokal kelas baru.

    Sekolah-sekolah negeri boleh jadi akan pada gratis mulai 2009 ini. Akan tetapi, sekolah-sekolah bermutu saat ini sudah mulai bergeser ke swasta. Sekolahnya orang-orang kaya.

    Sekolah-sekolah negeri yang gratis saya takutkan hanya akan menciptakan kaum marginal. Apalagi jika sistem pendidikannya masih seperti saat ini. Metode hapalan, bukan metode pemahaman.

    1. @kombor,
      iya, mas arif. ketika kebijakan pendidikan gratis digulirkan, banyak pemkab/kota yang tidak siap. BOS yang disalurkan pemerintah pusat belum sepenuhnya mampu mem-back-up sekolah gratis. kekhaatiran yang muncul, kondisi seperti ini akan memperparah sikap apatis, baik dari masyarakat maupun praktisi pendidikan terhadap kemajuan dunia pendidikan itu sendiri.

  9. Senada dengan Mascayo, saya juga tidak bisa berkomentar banyak. Alih-alih mengomentari, saya harus berterima kasih, tulisan Pak Sawali tentang Paulo Freire dan Pendidikan ini menambah wawasan saya. Terima kasih. 😀

    Dan… ada sesuatu yang ingin saya berikan buat Pak Sawali. Silakan di-klik di bawah ini, Pak. 😛

    [ Buat Pak Sawali 1 ]
    [ Buat Pak Sawali 2 ]
    [ Buat Pak Sawali 3 ]
    [ Buat Pak Sawali 4 ]

    Semoga Bapak berkenan menerima. Hee… :mrgreen:

    Salam,.

    Baca juga tulisan terbaru ARISS_ berjudul Amargi Kula Bêbasa, Awit Saking Punika Kula Wontên

  10. Seharusnya Indonesia pendidikan gratis. Karena pendidikan di Indonesia saat ini bertujuan untuk menimbun kekayaan.

    Kita bisa meniru Brunei darussalam atau negara jerman untuk pendidikan gratis. Jika sekolah gratis maka akan banyak orang indonesia yang semakin terdidik. Maka akan banyak karya-karya yang bisa dihasilkan untuk kemajuan bangsa indonesia

    Baca juga tulisan terbaru hudaya berjudul index artikel-artikel tentang tasawuf

    1. @hudaya,
      idealnya seperti itu, mas hudaya, sebagaimana yang diamanatkan UU. sayangnya, ketika kebijakan pendidikan gratis digulirkan, banyak pemkab/kota yang tidak siap, sehingga banyak sekolah yang kelimpungan. dan yang pasti, makin memperparah sikap cuek dan apatis terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.

  11. pendidikan bagi saya adalah pengalaman dalam kehidupan, ketika negei ini menilai sesuatu hanya dari prestasi angka, saya semakin peraya bahwa pendidikan di indonesia tidak lebih adalah plakat-plakat angka, pengalaman di ukur dengan angka. parah!

    Baca juga tulisan terbaru senoaji berjudul Amity

    1. @senoaji,
      itulah yang dikhawatirkan banyak kalangan, mas seno. mutu pendidikan yang hanya diukur sebatas angka2 makin memperparah proses manipulasi dan pemalsuan yang selama ini dinilai sudah muncul dalam dunia pendidikan kita.

  12. Ketajaman dan kepedulian Hatta dulu telah memunculkan Pasal 33 UUD 45, yakni ekonomi ang dikuasai rakyat. Hanya saja, seiring dengan waktu, pasal 33 sering dilupakan saat wakil kita dan pengambil kebijakan memutuskan kemana arah perekonomian akan diarahkan. Dan pendidikan adalah salah satu objek yang dikorbankan.

    Semoga ke depan pendidikan model “Taman Siswa” bisa terlaksana ya Pak…

    Baca juga tulisan terbaru Zulmasri berjudul PENERIMAAN CPNS TAHUN 2009 PADA BULAN SEPTEMBER

    1. @Zulmasri,
      bung hatta memang dikenal sebagai ekonom yang sangat pro rakyat, pak. sayangnya konsep itu tak diimbangi dg kebijakan yang relevan. yang muncul kemudian, justru makin maraknya komersialisasi pendidikan. kita juga hanya bisa berharap, pak zul, semoga konsep pendidikan “taman siswa” bisa diterapkan kembali dalam dunia persekolahan kita.

  13. waah… baca pengantar artikel ini jadi inget saya Pas PPL di sekolah SMAN terfavorit di jember tahun 1994 … saya dikritik habis2an sama guru pamong… gara-gara … setiap habis ngajar saya selalu mengahabiskan waktu waktu istirahat untuk mendekatai anak2… maklum ngajar anak2 jursan Sosial…akhirnya anak “takluk”… eh gurunya yang gak trimaa

    jadinya saya trauma ngajar di sekolahan 🙁

    lha kok jadi curhat 😀

    1. @hmcahyo,
      hehehe … itulah repotnya, mas heri. betapa sulitnya melakukan perubahan kultural di kalangan pendidik sendiri, hehe … guru yang inovatif justru dianggap sbg guru yang dianggap ndak bisa mengajar. repot, kan?

  14. Saya baca ini cuma abis gitu berdoa….. semoga pendidikan di sini bisa menjadi lebih baik sehingga menghasilkan manusia yang cerdas dan bermoral yang baik serta bertatakrama yang juga baik 🙂

    Baca juga tulisan terbaru Novianto berjudul Beginilah kalau sibuk

    1. @masicang,
      home scooling juga bisa dianggap sebagai reaksi terhadap atmosfer dunia pendidikan formal kita yang dianggap memasung dan menindas itu, mas icang. dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan menengah dan PT, belum sepenuhnya memberikan akses kepada anak2 dari kalangan masyarakat miskin.

  15. saya merasa beruntung memilih pendidikan sesuai minat saya pak. banyak teman-teman, terdorong orang tua dan citra publik, memilih spesialisasi pendidikan yang tak digemarinya.

    setelah meminatinya, baru kita bicara metode, kurikulum, atau pendidikan alternatif….

    Baca juga tulisan terbaru masmpep berjudul realisme melodius

  16. saya hanya berharap semoga orang-orang yang memiliki kesadaran kritis untuk ini mau berbagi dan menyelenggarakan sekolah atau pendidikan alternatif yang murah atau dibiayaai bersama, karena kalo berharap pada kebijakan pemerintah saya pikir tidak mungkin karena mereka memiliki kaidah-kaidah dan belenggu tertentu sehingga tidak bisa menyelenggarakannya, namun heran juga karena pendidikan gratis dan full fasilitas hanyalah pendidikan kemiliteran saja…, sangat mahal dan hasilnya memang bisa dilihat. Namun mengapa yang biayanya tidak semahal itu malah tidak diselenggarakan…

    Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul Kota Reyog

    1. @suryaden,
      memang sudah seharusnya pendidikan formal melakukan perubahan secara mendasar, terutama perubahan kultur dari para birokrat dan pelaksana pendidikan. image yang muncul selama ini, pembelajaran dianggap sukses apabila suasana kelas diam, sedangkan kelas yang ramai karena guru sedang melakukan inovasi malah dianggap gagal. kalau tak ada perubahan, bukan tdk mungkin dalam beberapa tahun mendatang, pendidikan formal akan ditingalkan konsumennya.

  17. pendidikan memang semestinya memberi bekal para peserta didik untuk bisa menghadapi dunia nyata di luar bangku sekolah. dengan belajar langsung kepada lingkungan atau membuat simulasi sedekat mungkin dengan kondisi nyata akan melatih anak didik untuk mengaplikasikan ilmunya sedini mungkin. hal itu sebenarnya bisa saja dilakukan tanpa harus beranjak dari bangku sekolah, namun dibutuhkan kreativitas tinggi dari pihak sekolah dan pendidik.

    sekolah-sekolah mahal sebenarnya hanya melihat dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat saat ini. entah kesan hedonis masyarakat saat ini begitu kental tertangkap sehingga sekolah pun dibuat senyaman mungkin agar anak-anak betah belajar, padahal dunia luar toh tak selalu nyaman. anak-anak memang jadi “berisi” dalam hal kognitif, namun entah dalam keterampilan sosialisasi dan kemampuan bertahannya di dunia luar nantinya. dilematis memang.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul 111 in 1

    1. @marshmallow,
      sesungguhnya sudah ada model pembelajaran out-bond yang bisa mengajak siswa utk dekat dg alam dan dunia riil di sekitarnya. namun, seringkali guru juga dibelenggu oleh kurikulum sehingga khaatir materi dalam 1 semester ndak akan tuntas. ya sudah, akhirnya diambil yang gampang saja. siswa dikerangkeng di kelas, guru berceramah, sisa jadi pendegar pasif.

  18. Paulo Freire memang kian mempunyai pengaruh kuat dalam dunia pendidikan sekarang. Banyak karya ilmiah yang ditulis tentang pemikirannya. Saya juga termasuk yang menjadikan karyanya sebagai referensi tugas akhir kuliah dulu.

    Baca juga tulisan terbaru racheedus berjudul Obrolan Iseng di Suatu Siang

    1. @racheedus,
      oh, agaknya begitu, mas rache. pandangan2nya memang terkesan radikal, mas, tapi banyak yang suka karena apa yang digagas freire memang mencerminkan fakta yang benar2 terjadi di tengah2 masyarakat yang masih memberhalakan status dan jabatan.

  19. Saya setuju!
    Pendidikan formal pada akhirnya hanya menjadi tempat pembekalan diktator-diktator dan koruptor-koruptor baru, Pak.

    Sementara pendidikan alternatif di Indonesia juga belum bisa dibilang menjadi solusi yang menggantikan, karena penerimaan masyarakat kita terhadap mereka yang ‘lahir’ tanpa ijazah juga masih jauh dari layak, bukan?

    Baca juga tulisan terbaru DV berjudul Ketlingsut

    1. bener banget, mas don. pendidikan alternatif semacam homeschooling, misalnya, selama ini masih belum mampu memberikan solusi yang tepat terhadap semrawutnya pendidikan formal. berdasarkan kenyataan, masyarakat kita memang masih mengagungkan hal2 yang bersifat formal. yang perlu dilakukan adalah memberikan kelonggaran dan kebebasan kepada siswa didik di lembaga pendidikan formal dalam menumbuhkembangkan potensi dan kreativitas mereka.

  20. saya juga turut mengakui kalo gaya pendidikan saya saat itu memang gaya bank. enak juga membayangkan kal ada pembelajaran dengan proses interaksi seperti itu.

    Baca juga tulisan terbaru boyin berjudul Sang Perintis

    1. iya, mas boyin, situasi pembelajaran yang bercorak indokrinasi dan memperlakukan sisa sbg tong sampah pengetahuan agaknya perlu diubah menjadi pola pembelajaran yang dialogis dan interaktif.

  21. Kita perlu bersama-sama terus mengembangkan pendidikan kita kearah yang lebih baik. itu yang harus kita perjuangkan bersama….
    Pesan ini bagi seluruh rakyat indonesia…
    Dan demi kemajuan bangsa 😮 😮 😮

    1. walah, ndak juga, mas ardy. posting dua hari sekali, kok, hehehe … ngaji di pesantren? hmmm … bisa jadi termasuk pendidikan alternatif, mas ardy. tapi napa sekarang kok malah jadi mantan kyai, mas? kekeke …

  22. benar apa yang dikatakan pak sawali. tapi saya malu pada diri sendiri, karena riwayat sekolah saya selalu formal dan ketika saya dihadapkan keharusan mengentas dunia pendidikan dengan mengikuti apa yang diperjuangan Pak Paulo Freire masih belum cukup nyali, rasanya kasihan jika anak saya saat disekolahkan alternatif (seperti homeschooling, misalnya) menjadi minder saat melihat keriuhan teman-temannya yang berada disekolah formal. Persis adegan dalam laskar pelangi saat seorang anak hanya bisa menonton teman sebayanya sekolah dari balik pagar.

    Baca juga tulisan terbaru novi berjudul Rindu Tebal tak Tertahankan

    1. itulah repotnya hidup di tengah kultur masyarakat yang masih memberhalakan status dan hal2 yang bersifat formalitas, mas novi, hehe …. anak2 cerdas yang menempuh pendidikan alternatif kurang mendapatkan pengakuan. repot juga!

  23. sebelum komen,,, salam kenal dulu Pak..

    kalo boleh ikut nimbrung,,, menurut saya neh Pak,, pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Pak Freire dan sudah di aplikasikan di beberapa negara, sebenarnya sudah ada juga di negeri kita ini, cuma sayangnya di Indonesia pendidikan alternatif masih dalam tataran wacana,realiasasinya masih susah sekarang ini. tidak semua orang bisa dengan legowo menerima pendidikan alternatif. yah,, masih mengagungkan yang namanya formalitas..
    Saya pernah baca di sebuah majalah Pak,, ada seorang Ibu yang menghome schoolingkan anaknya sendiri dan beliau sendiri yang jadi tutornya, karena keterbatasan biaya tuk skul di formal.. namun pas saat akan UN susah sekali proses birokrasinya…

    Baca juga tulisan terbaru coey_paringin berjudul Cermin Alam

    1. salam kenal juga, mbak. makasih kunjungan dan komentarnya. bener sekali, mbak. pendidikan alternatif masih dipandang dg sebelah mata. itulah repotnya hidup di tengah2 kultur masyarakat yang masih memuja hal2 yang bersifat formal. kalau kondisi semacam ini terus berlangsung, duh, bagaimana dg nasib anak2 cerdas yang berasal dari kalangan tak mampu, yak? paling2 mereka hanya bisa mengenyam pendidikan sebatas pendidikan dasar.

  24. jaman sekarang kalau mau dapat pendidikan yang bagus, keuangan jg harus sangat bagus. dari jamannya casualcutie SD dulu, ga ada tuh satu orangpun guru yang mau kasi anak muridnya bimbingan/belajar gratis, semua harus bayar. mau gimana lagi, terkadang gaji seorang guru juga kurang mencukupi untuk kebutuhan bulanan mereka. waaaaaww jadi bingung…

    Baca juga tulisan terbaru casual cutie berjudul Tiffany Keys

    1. hehehe … kalau menurut UU sih sesungguhnya itu menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah utk memberikan layanan pendidikan yang terbaik buat rakyatnya, demikian juga gaji guru. sayangnya, pemerintah kita masih menghadapi banyak kendala utk mewujudkan hal itu.

  25. Warisan Feodal dan tatanan borjius kaum pemjajah nyatanya masih berakar… Inginkan perubahan…? tidak bisa sepenuhnya tergantung pada dunia pendidikan… Perilaku ekonomi dan pemerintahan yang notabene penampung out put pendidikan juga harus dibenahi.
    Pada kenyataannya… legitimasi ijazah masih menjadi syarat utama lolos test administrasi. tabik….

    Baca juga tulisan terbaru xitalho berjudul Terima Kasih Kawan

    1. itulah repotnya, mas, ketika kultur masyarakat kita masih memberhalakan status dan hal2 yang bersifat formalitas. kecerdasan seseorang semata2 diukur dari selembar ijazah. saya sepakat kalau perilaku para birokrat juga perlu dibenahi, sebab persoalan yang dihadapi bangsa ini memang rumit dan kompleks.

  26. Pas banget buat referensi sy, Pak. Suwun.

    Satu referensi yang dilansir cuplikannya, The Overeducated Americans by Richard Freeman, 1976, salah satu parameter keberhasilan pendidikan senada dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun pada satu taraf tertentu dapat berbanding terbalik.

    Pendapat saya sendiri sepakat namun terlalu naif kalo korelasi ekonomi dan pendidikan terlalu dikedepankan, walau kenyataan sering berkata demikian.

    Satu saat ijin ngelink, Pak.

    Makasih.

    Baca juga tulisan terbaru dhoni berjudul An Illustration of Human Capital

    1. @dhoni,
      wah, mas dhini malah sudah hafal betul dg isi buku karya freeman itu. ini bisa memperkaya referensi dalam kajian ttg dunia pendidikan. kenyataan menunjukkan bahwa ada korelasi yang cukup signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pendidikan. saya juga belum tahu nih, apakah pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat atau sebaliknya, tingkat perumbuhan ekonomi masyarakat akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. makasih infonya, mas.

  27. Barangkali, pemikiran ala Marxis yang diterapkan oleh Freire ini yang paling dapat diterima. Penggabungan unsur keagamaan dan ideide Marx tentang pembebasan masyarakat, menghasilkan sebuah teologi baru yang berbasis humanisme: Teologi pembebasan, yang merupakan terobosan utama Freire bagi tanah airnya.

    Mengenai implikasi teori ini di tanah air, terlebih soal Feodalisme Modern yang digambarkan sebagai ulah kelas pengusaha, saya rasa harus ada penjelasan lebih lanjut. Pertama, model feodalisme modern di Indonesia, berada pada tataran elit birokrat yang lamban. Mereka ini sebenarnya masih memegang semangat priyayi kuno Belanda yang juga warisan dari semangat bupati klasik zaman Mataram dahulu. Dengan menyeruaknya demokrasi liberal sejak 98, muncul kekuatan baru dari kalangan pengusaha untuk masuk ke dunia politik. Kelas menengah ini, sebelumnya hampir mati suri. Mereka seringkali menjadi sapi perah para birokrat. Saat ini, ketika modal sangat dibutuhkan untuk menjadi penguasa, kedua kelas ini saling bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan. Dan fenomena ini terlihat dengan jelas pada saat pemilu sekarang.

    Kedua, mungkin tesis ini harus diuji lebih lanjut. Masyarakat Demokratis sebenarnya dibangun oleh kelas menengah yang kuat. Kelas menengah adalah para pedagang, pengusaha dan wiraswasta. Tujuan pendidikan yang membebaskan, sebenarnya terletak pada bagaimana menciptakan kelas menengah yang kuat ini. Sifat dan kultur pendidikan kita kebanyakan masih terpengaruh kultur priyayi Belanda. Pendidikan hanya untuk menciptakan robotrobot birokrat yang bobrok. Sekolah hanya menciptakan pegawai bukan wiraswastawan. Akhirnya, terlalu banyak yang minta dipenuhi kebutuhan hidupnya sehingga jadi beban ekonomi yg tinggi.

    Ketiga, kelas menengah kita saat ini sebenarnya tidak proporsional. Mereka masih berada di bawah bayangbayang konglomerasi. Padahal, konglomerasi sendiri merupakan hasil kongkalingkong birokrat, preman, politisi dan pengusaha. Berarti masih ada tumpangtindih kepentingan dan mengindikasikan tiadanya sebuah fairplay. Padahal, fairplay adalah satu syarat terbentuknya kelas menengah yang kuat itu.

    Terakhir, pendidikan yang membebaskan, berarti sebuah keinginan untuk mencoba halhal baru dan keinginan untuk terus maju dengan berdasarkan pada nilainilai moral dan agama. Karena itulah ia juga disebut sebagai teologi pembebasan.

    PS. Artikel yang bagus pak Sawali. 😀

    Baca juga tulisan terbaru HP berjudul Why People Having Sex After Funeral?

    1. @HP,
      wah, terima kasih banget tambahan infonya, mas himawan. dari berbagai tulisan yang saya ikuti, kelas menengah memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika demokrasi dan peradaban. alangkah bagusnya jika konsep pendidikan alternatif ala Paula freire yang mengacu theologi pembebasan ini mendapatkan respon dari masyarakat kelas menengah kita. semoga saja mereka bisa menjadi lokomotif utk melakukan perubahan.

  28. akhirnya selesai juga mbaca tulisan ini (uda 3 hari aku bacanya, maklum koneksinya lelet banget)..

    saia setuju dengan tulisan di akhir, jangan pernah salahkan pendidikan jika semua masih berhalakan feodalisme..

    1. walah, 3 hari baca ndak kelar2? hehehe … bisa jadi konek netnya lagi suka ngambeg sama mas fay nih, haks. btw, feodalisme memang sudah saatnya ditinggalkan. kultur dan paham semacam inilah yang btelah menghilangkan hak kalangan masyarakat bawah utk bisa mengenyam bangku pendidikan.

    1. @Nenyok,
      wah, sulit juga kalau mesti dicari siapa yang salah, mbak ney. tapi kalau dilihat sistemnya sih sebenarnya sudah ada perubahan. yang agak sulit justru perubahan kultur di kalangan pelaksana dan birokrat pendidikan, hehe …

  29. selamat hari libur Pak;
    sekiranya ada persamaan, hari ini di Brasil juga libur sekolah karena ada peringatan yang sama; apa libur2 sekolah semacam ini termasuk ada dalam gagasan Friere? Numpang nginfokan untuk bertukar Link, Pak Guru.

    Baca juga tulisan terbaru munawar am berjudul 50 Links Backlink

    1. @munawar am,
      wah, ttg info hari libur kok saya ndak tahu persis, mas naar. btw, makasih banget link-nya, mas. blog mas nawar juga dah saya masukkan ke google reader, sekalian saya bisa ngelink alamat blog dan postingannya sekaligus.

  30. Perkenalkan nama saya Taufik dan saya adalah mahasiswa Teknik Informatika semeseter 2. Saya setuju sekali dengan pendapat Paulo Freire tentang konsepnya tentang pendidikan alternatif. Saya merasa selama dulu bersekolah seperti ‘dipenjara’. Secara tidak langsung, saya ‘dicekoki’ dengan ilmu yang saya tidak senangi. Diperparah lagi, sistem penentuan kelulusan yang ‘sangat aneh bin ajaib’ yang dinamakan UN.

  31. salam kenal pak
    sekarang kami sedang mengembangkan sekolah altenatif (Alhusna alternatif edu) berbasis masyarakat/lingkungan. mudah2 mjd alternatif untuk putra/putri kita….amien

  32. setelah membaca tulisan pak diatas, saya sangat tergugah.
    mengapa tidak?. sejak lulus SD aq g smpat lnjut SMP cz mahalx biaya pndidikan. dan memaksa sya harus tinggal di panti asuhan.

    sekarang sya kuliah, bila sering kririk dosen, malah ditekan lewat nilai. mereka anggap bahwa, apa yg mereka katakan itulah yg harus diikuti mahasiswa. dosen tidak mghargai prbedaan persepsi, dan menginginkan kita layaknya vokal grup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *