Merindukan Multiwajah Indonesia yang Ramah

Kita memang sudah menghirup udara kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, negeri ini bisa dibilang cukup tua. Wajahnya sudah mulai tampak keriput. Tenaganya seringkali sempoyongan ketika memanggul beban. Namun, dari sisi pengalaman hidup, jelas sudah banyak dinamika kehidupan yang dilaluinya. Dalam kondisi demikian, idealnya negeri ini sudah memiliki kematangan dan kedewasaan sikap dalam menentukan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam mencapai kemajuan dan kualitas hidup bangsa.

Meski demikian, secara jujur mesti diakui, semakin bertambahnya usia, bangsa kita justru semakin dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita tak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan eksternal ketika dunia sudah menjadi sebuah “perkampungan global”, tetapi juga dihadapkan pada persoalan-persoalan internal yang justru makin menambah beban bangsa makin berat. Silang-sengkarutnya persoalan ekonomi, masih banyaknya kasus “mafia” peradilan yang menghambat supremasi hukum, sistem pendidikan yang masih amburadul, wajah demokrasi yang sarat “pembusukan”, atau berbagai fenomena anomali sosial yang marak terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, merupakan beberapa contoh fenomena betapa negeri ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan. Tidak berlebihan jika dinamika kehidupan negeri ini terkesan stagnan, bahkan mengalami set-back jauh ke belakang.

Homo Violens
Yang lebih mencemaskan, negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan. Manusia modem, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma (1997), telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.

Ranah Pendidikan
“Historia est Magistra Vitae”, demikian ungkapan Latin yang nyaring terdengar itu. Ya, sejarah adalah guru kehidupan. Berkaca pada lintasan sejarah dari generasi ke generasi, sudah saatnya bangsa kita kembali memburu dan menemukan kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Temukan kembali sikap ramah itu menjadi entitas karakter bangsa yang telah lama hilang, untuk selanjutnya diapresiasi dan menjadi laku utama dalam kehidupan sehari-hari.

Ramah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti: “baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan.” Beranjak dari pengertian ini, sikap ramah jelas akan memberikan nilai tambah buat bangsa yang kini tengah memasuki peradaban yang “sakit” dan sarat dengan berbagai pembusukan yang bisa mengikis kesejatian diri bangsa. Oleh karena itu, menggali dan merevitalisasi nilai-nilai keramahan menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Sikap ramah juga akan mampu menanggalkan sikap-sikap congkak, dendam, dan kebencian, yang selama ini benar-benar telah membuat bangsa kita terpuruk ke dalam kubangan stagnasi dan situasi yang serba chaos. Sangat beralasan ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas “jalan tol” peradaban dunia, bangsa kita justru masih bersikutat di balik semak-belukar lantaran sibuk menaburkan bibit-bibit dendam dan kebencian terhadap sesamanya.

Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan.

Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”. Nilai-nilai kesantunan dan keberadaban telah terkikis oleh meruyaknya perilaku-perilaku anomali sosial yang berlangsung di tengah panggung kehidupan masyarakat. Ketika guru menanamkan nilai-nilai moral dan religi, para siswa harus melihat kenyataan, betapa masyarakat kita demikian gampang kalap dan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika dan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. Nilai-nilai kearifan dan kesantunan telah terbonsai menjadi perilaku yang sarat darah dan kekerasan. Ketika guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, betapa anak-anak masa depan negeri ini harus menyaksikan banyaknya kaum elite yang tega melakukan pembohongan publik, manipulasi, atau korupsi. Hal itu diperparah dengan tersingkirnya anak-anak miskin dari dunia pendidikan akibat ketiadaan biaya.

Sampai kapan pun lingkaran kekerasan di negeri ini tidak akan pernah bisa terputus apabila tidak didukung oleh atmosfer dunia pendidikan yang nyaman dan mencerahkan serta kultur sosial yang kondusif. Oleh karena itu, sudah selayaknya fenomena kekerasan ini mendapatkan perhatian serius dari semua komponen bangsa untuk menghentikannya. Para elite negeri, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, orang tua, atau pengelola media, perlu bersinergi untuk bersama-sama membangun iklim kehidupan yang nyaman dan mencerahkan di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Demikian juga dari ranah hukum. Perlu diciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan agar tidak terus-terusan mewabah dan memfosil dari generasi ke generasi.

Selain itu, idealnya lingkungan keluarga juga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur agresivitas yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi penganut “mazab” kekerasan dalam menyalurkan naluri agresivitasnya. Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku kekerasan yang (nyaris) menjadi budaya baru di negeri ini.

Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur serta memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang begitu beragam itu ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, sebagaimana disindir W.S. Rendra dalam “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” berikut ini menjadi “fosil” yang makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.

………………………………………
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977
(“Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” karya W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)

Nah, bagaimana? ***

—————–

Catatan:

Tulisan ini dipublikasikan dalam rangka ikut berpartisipasi memeriahkan Kompetisi Blog “Aku untuk Negeriku”.

158 Comments

  1. Aku mendengar ada pejabat masuk penjara
    Aku mendengar suara anak-anak di kaki lima
    Aku mendengar duka hujan
    Aku mendengar hidup sungguh kejam

    Aku mendengar Ada penyair terluka
    Aku mendengar ada negeri penuh bencana
    Aku mendengar korupsi merajalela

    Aku mendengar suara yang tak terdengar
    Aku mendengar kamu

    Aku mendengar
    Aku mendengar
    Aku mendengar

    Aku mendengar dengan menutup pintu hati
    Dan tak jua beranjak selain cuma memasang telinga

    • @lovepassword,
      aku mendengar mas love suka bercerita, aku juga mendengar mas love suka merangkai kata2 indah, tapi aku juga mendengar bahwa negeri kita masih harus banyak berbenah, hehehe … wah, matur nuwun lirik2 tajamnya, mas love.

  2. renungan yang mendalam pak, setuju sekali:

    ‘Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”.’

    huff *speecless dah*

  3. aku selalu dapet 6 + 7?….

    selama negara tidak mengakui kesalahan-kesalahannya, untuk kemudian diperbaiki bersama oleh para pemegang kepentingan dan korban, maka tidak akan pernah selesai dan multiwajah itu akan menjadi momok yang lebih menakutkan lagi, mengapa sayap-sayap yang selalu bersitegang itu dipelihara dan semakin dikuatkan?, karena jika negeri ini berwajah ramah dan sejuk, tidak ada lagi yang bisa berdiri dengan tegak, gagah, sok pintar dan selalu dibutuhkan….

    Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul Jangan ikut mabok

    • @suryaden,
      angka 13? loh, kok bisa toh, mas surya, hiks. duh, makin repot kalau situasi semacam itu tak bisa secepatnya terselesaikan, mas. agaknya memang dibutuhkan kesadaran kolektif bangsa kita untuk saling menyadari posisinya masing2 dan sanggup menerima perbedaan.

  4. Dari sabang sampai Merauke…..

    Percaya nggak..?
    diprovinsi Aceh baju adatnya berlapis2 …
    singgah ke pulau jawa tinggal separuh…
    Terus ke Irian jaya tinggal cawat/celana kolor doank

    hebat kayak udah di atur ama yang diatas

    Baca juga tulisan terbaru Baka Kelana berjudul Membuat Link Untuk Download Template dan MP3

    • @Baka Kelana,
      duh, semakin ke timur, busananya kok semakin mini, toh, mas kelana, hehehe … tapi, apa pun busana yang dipakai, mestinya ini bukan menjadi penghambat utk bisa mencapai kemajuan bangsa.

    • @Baka Kelana,
      betul, setuju banget, mas kelana, semoga saja harapan dan kerinfuan semacam itu bisa terwujud. sungguh menyenangkan kalau kita bisa berada di mana2 tanpa ada rasa dendam dan kebencian.

  5. mudah-mudahan sbg guru saya sudah memerankan tugas saya sebagaimana mestinya. demikian halnya pak sawali

  6. det

    tulisan pak sawali selalu dahsyat dan punya cita-rasa berbeda!

  7. Menurut hemat saya, hilangnya keramahtamahan bangsa Indonesia ada hubungannya dengan kurangnya pemahaman nilai agama.

    Kita sama mengetahui bahwa nenek moyang kita dulunya religius. Baik itu yang beragama Hindu, Budha, Islam, bahkan aliran kepercayaan pun mengajarkan keramahtamahan. Jadi jangan heran jika orang-orang dulu begitu ramah dan baik hati.

    Kalau sekarang? tanya kenapa…

    Baca juga tulisan terbaru SyamsIderis berjudul Daftar Ulang CPNS Kalsel 2009

    • @SyamsIderis,
      bisa jadi begitu, pak syam. karena itu perlu ada upaya utk memburu dan menemukan kembali nilai2 keramahan itu utk mengembalikan citra sbg bangsa yang terhormat dan bermartabat.

  8. Kalau saya merindukan dunia pertanian indonesia kemabli berjaya. Makanya saya berjuang di Multilevel Untuk Dunia Agrobisnis Indonesia. Mosok negeri agraris kalah sama thailand?
    Bravo pak Sawali..

    • @Aslam Sani,
      iya, betul juga, mas aslam sani. dunia agro juga bisa memberikan nilai tambah buat bangsa. perlu upaya serius utk menghidupkan kembali predikat sebagai negara agraris.

  9. Negara ini memang perlu pemimpin yang arif dan bijak serta pendidikan bukan hanya sebagai retorika atau hapalan tapi juga harus diaplikasikan dalam hidup serta mudah dicerna oleh anak didik, sehingga tidak hanya menciptakan orang pandai tapi kering dari segi rohaniahnya, maaf lho pa kalau tambah pusing dengan komentar saya kagak nyambung, tapi anggap saja nyambung ya pak sama tetangga sendiri kok, nuwun sewu…

    Baca juga tulisan terbaru Achmad Sholeh berjudul Ada Apa Dibalik Penyidikan Pelanggaran Kampanye PKS

    • @Achmad Sholeh,
      hehehe … sangat nyambung kok, pak sholeh, kan sedang membahas juga tentang masalah pendidikan. wah, idealnya memang seperti itu, pak. ada keteladanan dari para pemimpin, lalu didukung dunia pendidikan sebagai pusat kebudayaan utk mewujudkan multiwajah indonesia yang ramah.

  10. Setelah ber panas panas kena teriknya sinar matahari menjajakan dagangan terpaut rasa duniawi
    Bag bertemu oase walau hanya sekedar dapat menghirup sejenak tulisan yang penuh makna ini.

    • @Simb.Sal,
      walah, memang baru saja menjajakan dagangan dari mana saja, mas? hehehe … terima kasih apresiasinya. hanya tulisan biasa saja, kok.

    • @unksenna,
      wah, pertanyaan yang tidak mudah dijawab, mas, hehehe …. kemakmuran bisa jadi akan terwujud jika pengelolaaan sumber daya alam yang demikian kaya dan leimpah ruah benar2 dimanfaatkan utk kemakmuran rakyat, bukan hanya utk segelintir orang atau kelompok yang tengah berada dalam lingkaran kekuasaan.

  11. Adi

    Hm, emang sih banyak kebobrokan di negeri kita..
    Tapi jelek-jelek rumah sendiri pak..
    Mari “Bersama membangun bangsa” (slogan pajak)
    Bersama kita bisa (slogan sby) :mrgreen: :mrgreen:

    Baca juga tulisan terbaru Adi berjudul Franz Ferdinand – Bite Hard

    • @Adi,
      setuju banget, mas adi. bagaimanapun kondisinya, negeri ini tetep harus menjadi kebanggaan buat kita semua. slogan2 politik itu bagus juga kok, asalkan diimbangi dg aksi nyata utk mewujudkannya sehingga tak terjebak jadi slogan semata.

  12. saya tidak suka kekerasan kang … apapun bentuknya, sekecil apapun itu, ini saya baru selesai membaca buku “perempuan dalam kekerasan” ketika cinta berubah menjadi sangat buas dan melukai.

    😥

    Baca juga tulisan terbaru Rindu berjudul Memupus Bayangan

    • @Rindu,
      iya, bener banget, mbak rindu. apa pun motif dan alasannya, kekerasan tak bisa ditolerir, apalagi kalau berurusan dengan cinta dan perempuan.

  13. Wah, saya juga rindu wajah-wajah ramah Indonesia, yang suka diceritakan itu…

    Tapi, Pak, klo di kota-kota udah mulai jaraaaaaaaaaaaaang manusia2 berwajah ramah. Klo di kampung, alhamdulilah masih banyaaaak. 😀

    Tapi Pak, koruptor kerah putih, berwajah ramah juga bukan? Gemana ngebedainnya? 🙁

    Baca juga tulisan terbaru mathematicse berjudul Bertemu dengan Kekasih

    • @mathematicse,
      hehehe … kita bisa melihat definisi ramah sesuai dengan KBBI yang juga saya posting di sini, pak. keramahan seorang koruptor pasti tidak akan pernah sanggup memancarkan budi bahasa dan pekerti yang baik.

  14. ternyata dunia pendidikan ngga bs lepas dari nasib bangsa ini..
    belajar bahasa di sekolah
    belajar matematika jg di sekolah
    lah belajar berantem dan nge-gang jg bs di sekolah
    sekolah elit lagi..calon aparat pula.. 🙁

    • @dani,
      hehehe … bener, pak dani, tidak salah kalau sekolah disebut sebagai pusat kebudayaan. namun, sungguh disayangkan kalau dunia pendidikan malah melembagakan dan membudayakan kekerasan.

  15. Iya pak.. saya juga sangat rindu keadaan Indonesia yang ramah.. entah kenapa saya sangat rindu khususnya para wakil rakyat dan pejabat negara yang peduli dengan rakyat, yang konsisten dalam pekerjaannya. Sangat sedih rasanya melihat para wakil rakyat dan pejabat negara yang sibuk dengan politik kursi panasnya ketimbang keadaan negara yang sedang labil.

    Oiya pak, terimakasih sudah dimasukan salam daftar tulisan sahabat. Kalau boleh tanya cara membuatnya bagaimana ya pak? Karena saya juga ingin secara langsung melihat artikel para sahabat termasuk pak sawali ketika update artikel..

    Baca juga tulisan terbaru Danta berjudul Ayo Budayakan Berkomentar Terakhir

    • @Danta,
      iya, mas danta. saya kira semua anak bangsa negeri ini punya harapan yang sama dg mas danta. kita sangat mengharapkan para wakil rakyat yang peduli pada rakyatnya. jangan hanya datang-absen-pulang (DAP) atau datang-duduk-tidur (DDT), hehehe …

    • @gajah_pesing,
      oh, ya? waktu saa me-reply, mas vay dan temen2 TPC kan barusan pulang dari gubug kami, hiks, terima kasih kunjungannya, mas. bener2 mengharukan. jangan kapok loh main2 ke kendal.

    • @Ersis Warmansyah Abbas,
      salam juga, pak ersis. ya, kita berharap mudah2an keramahan itu tak hilang dari jiwa bangsa kita, pak.

  16. satu kalimat aja, deh pak, “moral bangsa kita semakin bobrok”.

    • @hendra,
      bener juga, mas hendra. makanya, perlu ada upaya serius utk melakukan perubahan secara kolektif yang melibatkan semua komponen bangsa.

  17. trus gimana ya caranya untuk kita mengobati kerinduan pada multiwajah Indonesia yang ramah? sesungguhnya aku juga sangat merindukannya.

    Baca juga tulisan terbaru afin berjudul Jenuh…???

    • @afin,
      hehehe …. butuh upaya serius utk mewujudkannya secara kolektif. kan bisa melalui bangku sekolah, toh, utk selanjutnya diterapkan dalam keseharian kita.

  18. saya tambahkan pa, “moral penduduk bangsa kita semakin bobrok”.

    Baca juga tulisan terbaru afin berjudul Jenuh…???

  19. Dalem Boss, Kita harus berusaha mempere erat tali persaudaraan. Sekarang kita sudah di sekat2 dengan kelompok2 sehingga sebagian mementingkan kepentingan kelompok atau golongan, wah gak tau aku solusinya hehehehehehe 😆

    Baca juga tulisan terbaru Cak Win berjudul Beberapa Tag HTML

    • @Cak Win,
      wah, bener jugm tuh cak win. kalau setiap orang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, duh, makin repot. rakyat yang selama ini tersingkir akan makin disingkirkan.

  20. pertama, saya sangat terbius dengan rangkaian kata dan kalimat dalam tulisan ini. seperti biasa, pilihan kosakata pak sawali sangat kaya dan beragam pula istilah yang jadi bahan pelajaran baru bagi saya.

    kedua, esensi akan akar budaya bangsa yang kian terkikis dan terlindas globalisasi, sehingga kita pun menganut “budaya dunia” sungguh bikin miris. namun sayang disayang, alih-alih mengadopsi yang baik dari “budaya dunia” itu, kita lebih cenderung beradaptasi dengan hal-hal yang negatif.

    apakah kehidupan ini sudah sedemikian sulitnya sehingga kita jadi lebih terfokus pada materi ketimbang hal-hal psikis untuk mencari ketentraman di dalamnya?

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Perempuan dan Teater Budaya Negerinya

    • @marshmallow,
      walah, pertama, tulisan ini biasa saja, kok, mbak yulfi, hehehe … kedua, pengaruh global memang ada, mbak, tapi idealnya bukan globalisasi itu yang mesti kita salahkan.

    • @marshmallow,
      loh, komen yang mana, mbak yulfi? nyatanya bisa masuk juga gitu kok. khusus utk posting di halaman memang saya setting utk 50 hari, mbak, lebih dari itu, kolom komentar akan tertutup secara otomatis.

  21. dimana mana sikap yang harus di bentuk oleh bangsa ini..sayangnya prosesnya bagaikan sebuah evolusi..sikap = attitude..jika ini telah terbentuk maka tidak ada bedanya kita dengan bangsa maju seperti amerika contohnya…coba aja baca pidatonya Obama…itu semuanya dasarnya dari sikap

    Baca juga tulisan terbaru boyin berjudul Lunar New Year: refleksi pengembangan diri

    • @boyin,
      iya, bener banget, mas. sikap itu juga yang akan menentukan taraf keramahan kita terhadap sesama.

  22. Kalau fungsi pendidikan seperti itu, berarti pendidikan sekarang ini (menurut enyong) belum berfungsi secara maksimal. Contoh kasus: Lihat tuh di lapangan bola! Kita lebih mementingkan okol daripada akal. Sori, Bos, lama gak berkunjung. Modem habis dibongkar nich.

    Baca juga tulisan terbaru Wong Samin berjudul 1001 Siasat Hadapi Ujian

    • @Wong Samin,
      hehehe … memang belum, pak. makanya perlu segera ada perubahan. makin repot kalau okol mengalahkan akal. ujung2nya hanya akan menumbuhkan dendam dan kebencian.

  23. Menurut pemahaman orang kasar spt sy (kalo jd halus ya pindah dunianya dong, hiks), dasar utama segala sesuatu adalah nilai religius,”tidaklah diciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kpd Allah”. Cuma permasalahannya gejala pemisahan antara masalah agama dengan kehidupan rasa2nya semakin subur, ibarat minum air garam semakin minum akan semakin haus. Mestinya setiap kali bertindak, melangkah dsb harus dimaknai dengan ibadah. Saya yakin kekerasan dsb sudah meninggalkan nilai2 religius. Bukankah Rasul bersabda “laa tahdzob walakal jannah, jangan marah bagimu surga”

    • @wahyubmw,
      wah, makasih banget tambahan infonya, pak wakyu. semoga nilai religius mampu menjadi inspirasi sekaligus aksi positif bagi anak2 masa depan negeri ini, pak.

  24. Aku pun merindu
    Ada senyum di sepanjang jalan
    Ada sapa di sepanjang jalan

    Aku rindu suasana kampung saat ku kecil dulu
    Indonesia yang ramah

    • @achoey,
      wah, iya, mas achoey, semoga kerinduan kita terhadap nilai2 keramahan antarsesama itu bisa segera terwujud.

    • @onabunga,
      semoga tetep bersambut, mbak, asal semua komponen negeri ini memilii kesadaran kolektif utk melakukan sebuah perubahan. *walah, kok jadi sok tahu saya, haks*

  25. Sudah saatnya pendidikan di negara kita tidak lagi mengagungkan nilai sebagai ukuran kecerdasan dan keberhasilan. Ruwetnya Indonesia juga gara-gara orang cerdas yang tidak memiliki ‘adab, jadilah kecerdasannya menghancurkan. Di sisi lain, banyak juga yang tidak terdidik dan kelaparan pada saat yang bersamaan… ini merepotkan juga. Sebab tidak terdidik, fasilitas umum dirusakan, dicuri, kereta api dilempari … rel kereta dicuri. waduh!!

    Kalau saya barangkali sependapat dengan yang mengatakan pendidikan menjadi kuncinya. Akan tetapi, pendidikan yang tidak hanya serba materialistis.

    Baca juga tulisan terbaru Donny Reza berjudul Hentikan Pemakaian Lampu Putih pada Kendaraan!!

    • @Donny Reza,
      saya sepakat banget, mas donny. bagaimanapun juga, dunia pendidikan masih perlu menjadi pusat kebudayaan utk mewariskan nilai2 keramahan itu dari generasi ke generasi.

    • @moerz,
      harus dong, mas moerz. bagaimanapun situasi dan kondisi, kita tetep harus memiliki kebangaan terahadp bangsa kita.

    • @moerz,
      wew… kok banyak komen yang sama, toh, mas moerz. mungkin ada yang erro nih dg blog saya, hiks.

  26. Benar begitu, Pak. Indonesia tidak akan menjadi negara yang aman, tentram dan tertib, dll, kalau tidak dimulai dari masing-masing individu. Paling tidak dari ruang lingkup keluarga lah.

    • @Edi Psw,
      sepakat banget, pak edi, jika nilai2 keramahan itu disadari oleh setiap orang, akhirnya akan menjadi karakter bangsa kita secara keseluruhan.

    • @Nyante Aza Lae,
      widih, makasih support dan apresiasinya, mas kurnia. jadi malu dan terharu nih, hiks.

  27. sepertinya ini kunjungan pertama saya pak,.. terus terang ini tempat bagus buat saya belajar nulis. belajar menuangkan sesuatu yang berbobot dan bisa menginspirasi bloger lain…
    salam kenal dan ijinkan saya belajar disini pak wali..

    Baca juga tulisan terbaru oopshey berjudul Pengertian HKI

    • @oopshey,
      salam kenal juga mas oopshey. makasih kunjungn dan komentarnya. walah, hanya tulisan biasa saja kok, mas.

  28. Kadang kala merasa sesak dada ketika mendengar hal yang tak mengenakan ttg nergeri ini,melihat negara kita dari luar sepertinya sangat kontra sekali dengan negara yg saya tempati,tapi bagaimanapun Indonesia adalah tumpah darah saya,mengharapkan perbaikan di negara tercinta Indonesia adalah mungkin suatu khayalan saja, jika perbaikan tidak di awali dari diri sendiri.
    salam dan sukses slalu..

    Baca juga tulisan terbaru aminhers berjudul prediksi soal UN 2009

    • @aminhers,
      betul banget, pak amin. bagaimanapun juga, kita harus tetep memiliki kebanggaan sebagai anak bangsa di negeri ini. btw, blog pak amin kok jadi susah dibuka, yak? sejak tiga hari yang lalu, loadingnya jadi begitu lelet.

  29. salam knal yah……..
    bolehkan…………
    tukeran link yuk
    tapi…………
    mau………………

    • @iwan,
      salam kenal juga mas iwan, terima kasih kunjungan dan komentarnya. tentang tukeran link, wah, dengan senang hati, mas. mangga di-add dulu!

  30. KEterpurukannya merupakan tanggungjawab kita bersama untuk memperbaikinya, namun dilain pihak, banyak para pengambil kebijakan yang dengan semena-mena mengorbankan hajat hidup orang banyak untuk kepentingan dan ambisi pribadi atau golongannya. Mungkin kedaran akan nasionalisme dan rasa memiliki yang kurang membuat pencapaian perbaikan sulit terlaksana ya pa?? 🙄 ❓

    Baca juga tulisan terbaru Daiichi berjudul NEGERI AIR YANG SUSAH AIR BERSIH

    • @Daiichi,
      setuju banget, mas adam, bagaimanapun keadaannya, negeri ini milik kita bersama. kalau ada sesuatu yang salah, kita perlu membenahi dan memperbaikinya bersama. meski demikian, kaum elite juga mesti memberikan teladan agar bisa memberikan imaji positif kepada publik.

  31. lama tak mampir, soalnya saya berat ngeloading blog bapak. Maklum koneksi gprs. :mrgreen:

    Bangsa ini memang mulai luntur jati dirinya. 😥

    Baca juga tulisan terbaru suhadinet berjudul Jerami (7)

    • @suhadinet,
      semoga saja kita bisa menemukan kembali kesejatian diri bangsa kita, pak suhadi. btw, ttg loading berat, padahal theme-nya sudah saya minimaliskan, kok, pak, hehehe ….

  32. dr tahun ke tahun sepertinya generasi muda semakin tidak bisa mengendalikan emosi ya pak. masalah sepele aja bisa saling bunuh. apa krn pengaruh lingkungan? dimana masyarakat tidak mampu menjalankan perannya?

    Baca juga tulisan terbaru casual cutie berjudul Just For Him…..

    • @casual cutie,
      wah, bisa jadi bener, mbak. maraknya aksi kekerasan yang dilakukan kalangan kaum muda kita lantaran faktor lingkungan. namun, yang tak kalah penting agaknya juga faktor pendidikan dalam lingkungan keluarga dan di sekolah, mbak. kita berharap, semoga kekerasan itu pelan tapi pasti berubah jadi keramahan.

  33. apa yang ditulis sama pak Sawali memnuat saya sedih. Dulu, waktu saya di kota kelahiran saya, semua orang pasti ramah, meskipun ga kenal. Orang2 juga bertoleransi tinggi misal di kendaraan umum ada perempuan yang berdiri maka pasti diberikan tempat duduk. Tapi itu sekarang hampir tidak saya temui sama sekali di tempat saya tinggal sekarang ini, semua tidak peduli dengan orang lain. Jangankan keramahan, menyapa saja tidak. Semoga ini bisa berubah kembali, amin

    • @Dunia Bisnis Indonesia,
      itulah sebabnya, mas, perlu ada upaya serius utk mewujudkan kembali kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermatabat dg membangun kembali sikap ramah yang selama ini nyaris tenggelam akibat maraknya aksi2 kekerasan dan vandalisme.

  34. Barangkali ini ada karena bergesernya orientasi hidup dan tuntutan hidup. Menjadikan manusia mewajarkan hal-hal apapun demi terpenuhi kepntingan pribadinya.
    Pendidikan dasar sedari keluarga juga penting tampaknya, minimal anak akan tumbuh dengan kebiasaa-kebiasaan positif dari rumah. Wah jika ini dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia, kebaikan atau nilai-nilai positif tersebut akan terakumulasi dan membuat citra Indonsia menjadi lebih baik. Ya gak see 😆

    Baca juga tulisan terbaru ningrum berjudul Indah Pada Waktunya

    • @ningrum,
      betul banget, mbak ningrum. perlu ada upaya serius utk membangun kembali nilai2 kesejatian diri itu dari lignkungan keluarga, diperkuat di sekolah, kemudian tokoh2 masyarakat dan pemuka agama memberikan keteladanan. jika semua melakukan hal itu, makan akan ada kesadaran kolektif yang bisa mengembalikan sikap ramah itu pada bangsa kita.

  35. Indonesia tanpa multikulturalisme tak akan kokoh, bahkan hancur. Oleh sebab itu, perlu ditanamkan nilai ini pada jenjang pendidikan paling rendah.

    Maaf pak Sawali, beberapa kali ke sini tapi komennya tak bisa masuk, karena kesalahan teknis kali ya.

    Baca juga tulisan terbaru Hejis berjudul CIAAAAATT… JURUS PENDEKAR MAUT

    • @Hejis,
      betul banget, mas hejis. itu sudah menjadi ciri khas dan karakter bangsa. oleh sebab itu, sia2 kalau ada upaya utk menyeragamkan perbedaan itu. btw, ttg gagalnya komen, duh, saya juga ndak tahu, kenapa bisa begitu?

    • @endar,
      nah, betul banget, mas endar? duh, kok tanya komentar, hiks. memang mas endar ndak sempat baca dulu, yak? kekeke ….

    • @Mas Koko,
      iya, betul banget mas koko. bagaimanapun keadaannya, Indonesia adalah negeri dan bangsa kita bersama. harus ada upaya serius secara kolektif utk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

  36. Tulisan yang mantabbbb dan sesuai untuk tema lombanya, Pak. Saya kagum, Pak Sawali tak perlu jauh-jauh melanglangbuana perubahan nun di atas sana. Dari ranah yang dekat dengan keseharian, pendidikan..

    Mohon maaf, sudah lama tak melahap binar kata-kata Bapak lebih sering akhir-akhir ini. jari sedang menari di banyak ladang…

    Baca juga tulisan terbaru icha berjudul Berdialog dengan Kematian

    • @icha,
      widih, jadi malu sama, mbak icha nih, hiks. walah, gpp, mbak, bagaimanapun juga urusan offline harus lebih diutamakan, mbak. blogwalking bisa dilakukan kapa saja, kok. bener nggak, mbak?

  37. Sungguh sebuah perenungan dan pencerahan yang bijak. Semoga para pengambil kebijakan di negeri multiwajah ini sempat baca untaian mutiara bijak ini, agar jadi pembijak yang lebih bijak. Salam hormat dan salam kenal dari kampung pinggiran ya, Pak Sawali Tuhusetya. Sembah nuwun.

    • @Ki Dhalang Sulang,
      walah, jadi malu, nih, mas dalang. tulisan biasa saja, kok. terima kasih kunjungan dan apresiasinya. salam hormat juga, mas dalang sulang.

    • @M Shodiq Mustika,
      wew… lelaki muda yang luar biasa, yang mau menyadari kesalahannya dan segera meminta maaf toh, pak? bisa jadi, itu termasuk salah satu perwujudan sikap ramah juga, pak.

  38. 😛
    Assalamualaikum pak!
    Bagaimana kabarnya?
    Bicara mengenai kerinduan tentu saja kita akan selalu teringat apa yang kita rindukan. makanya dimanapun kita berada, kita tetap ingat pada apa yang kita rindukan.
    ko ga nyambung ya! 😆

    Baca juga tulisan terbaru f@Rh@n berjudul HARIMAU DI ATAS REMBULAN

    • @f@Rh@n,
      wa’alaikum salam. alhamudillah, sehat, farhan. hehehe … iya jelas toh, yang namanya rindu, dah pasti selalu teringat apa yang dirindukan, hehe … btw, kenapa ndak dibuat komen yang nyambung? kekeke ….

  39. saya termasuk orang yang optimis bahwa indonesia akan menjadi hebat dimasa depan…

    negeri kita tak seburuk yang kita duga, masih ada harapan dari orang-orang baik disekeliling kita…

    saya percaya…
    lebih baik berusaha percaya kemudian dikhianati daripada tidak pernah berusaha sama sekali…

    Baca juga tulisan terbaru TENGKU PUTEH berjudul MENJADI SESEORANG

    • @TENGKU PUTEH,
      iya, syukurlah, mas tengku, saya juga masih optimis, kok. masih ada harapan utk berbenah dan memperbaiki diri. yasp, mari kita mulai dari diri kita masing2.

  40. Baca postingan diatas saya mrinding pak…
    Separah itukah bangsa kita?

    Semoga saja masa depan Indonesia bisa semakin hebat dengan multiwajah yang ramah.

    *pak kmarin kami dari kotareyog datang ke kelir tapi maaf ga tau kalo kawan2 TPC mo singgah kerumah jenengan, padahal pengin ketemu langsung dengan jenengan.. hehe.. (maaf OOT)

    • @azaxs,
      widih, kok merinding, toh, mas azaxs, hehehe … saya malah lebih ngeri kalau membaca lirik rendra yang diciptakan tahun ’77 itu.
      walah, gpp, mas azaxs. sebenarnya saya juga pingin banget bisa kumpul2. sayangnya kerjaan offline saya menuntut secepatnya utk diselesaikan, hiks.

  41. yaaah… kita memang harus bersabar dan terus berusaha agar negeri ini kembali hidup seperti saat dilahirkannya.. 😉 semangaaaadddeee.. 🙂

    • @Latuminggi,
      betul sekali, mas latuminggi. harus ada upaya serius utk mengembalikan kesejatian diri kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat.

  42. wah sayang sekali ya pak kalo tanah Indonesia susah payah direbut kembali dr tangan para penjajah dengan mengorbankan jiwa dan raga tp generasi muda skrg ini malah suka bikin ribut, ga bs nahan emosi, masalh sepele kdg saling bunuh. rasanya perjuangan para pahlawan tidak ada artinya

    Baca juga tulisan terbaru info resep berjudul Resep Brownies Kukus

    • @info resep,
      nah, itu, dia, mbak. sungguh, kekerasan di negeri ini seperti telah menjadi budaya, sehingga perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa utk menaburkan kembali sikap ramah itu dalam kehidupan riil sehari-hari.

  43. Menurut saya keramahtamahan bangsa ini masih belum hilang, ketidakramahan yang tampak di media hanyalah secuil saja jumlah pelakunya dan tidak bisa lalau dikatakan bahwa bangsa ini sudah kehilangan keramahtamahan.

    Sukses selalu pak Sawali.

    Baca juga tulisan terbaru deden berjudul Blogger Pendiam

    • @deden,
      hehehe … memang bener, mas deden, sikap ramah mbangsa kita belum sepenuhnya hilang. tapi agaknya kita juga tak bisa mengelak dari kenyataan pahit. maraknya aksi kekerasan dan sikap2 vandalistis, dalam pemahaman awam saya, merupakan indikasi hilangnya sikap ramah itu.

    • @firman,
      walah, mas firman bisa saja nih, hehehe … tulisan biasa saja kok. terima kasih apresiasinuya.

  44. Pak, sikap hidup instan bukannya sudah ada dari dulu di Indonesia? Cerita candi prambanan atau tangkuban perahu salah dua buktinya.
    kalau sekarang, mungkin orang Indonesia masih banyak yang ramah. mudah-mudahan tulus, bukan karena menginginkan uang di kantong orang.
    orang Indonesia juga banyak yang peduli. ini terbukti dengan lakunya acara infotainment. gosip yang makin digosok makin sip sangat digemari.

    Baca juga tulisan terbaru Iwan Awaludin berjudul Keranda Nomor 180476

    • @Iwan Awaludin,
      hhehe … bisa jadi bener itu, pak iwan. tapi sikap instan dalam konteks kekinian tak sama dg zamannya bandung bondowoso dulu, pak. meski demikian, kita tetep berharap dan tetep optimis bahwa budaya kerja keras melalui sebuah proses akan menjadi sebuah budaya negeri ini.

  45. Gimana tho pak… Indonesia itu kan negara yang berketuhanan yang maha esa…kemanusiaan yang adil dan beradab …

    Tapi pelaksanaannya jauh sekali… mereka semua bertuhan tapi untuk kemanusiaan … aku rasa sangat jauh…se..ka..li…

    Baca juga tulisan terbaru Juliach berjudul Molimo ping telu

    • @Juliach,
      walah, saya ndak tahu juga, tuh, mbak julia. kenpa keramahan bisa berubah jadi kemarahan, keadaban antas berubah jadi kebiadaban. duh, makin repot!

  46. bunda
    engkaulah yang menuntunku
    ke jalan kupu-kupu….

    Jadi biarlah beragam tetap dalam satu tujuan kebahagiaan

    • @aakdidik,
      betul banget, pak didik. sepertinya memang mustahil kalau multiwajah bangsa kita diseragamkan.

    • @Daniel Mahendra,
      agaknya kita makin kehilangan arsitek bangsa dan negara yang benar2 sejati, mas daniel, hehehe ….

  47. Salam,

    Jadi inget iklan teh celup, Pak, yang ibu bersih2 bapak maos koran di teras…dst. Bagus iklan itu.

    Apapun tujuannya, selalu ada pilihan menggunakan cara yang nyaman dan santun.
    Hanya saja, kita pun sering lupa. Apalagi ketika pikiran sudah terpatri tujuan, hati pun tiada jadi rekan sejalan, demikian pula sebaliknya.

    Makasih, Pak.

    Baca juga tulisan terbaru dhoni berjudul Dean Lafate

    • @dhoni,
      hehehe … apa hubungannya dg iklan teh celup, mas dhoni, hehehe …. ya, ya, semoga saja dari keluarga yang harmonis akan lahir anak2 yang berkepribadian santun dan ramah.

  48. mari budayakan 5s di indonesia
    salam, sapa, senyum, sopan, santun,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *