Pengumuman Review Cerpen Terbaik

Kategori Cerpen/Sastra Oleh

kumcerSungguh, bukan hal yang mudah bagi saya untuk menentukan tiga review cerpen terbaik dari 22 review yang diikutsertakan dalam kontes. Kendala yang saya hadapi karena dua hal. Pertama, saya telanjur “memproklamirkan” diri sebagai yuri tunggal yang hanya mengandalkan daya intuitif, pertimbangan-pertimbangan subjektif, dan sedikit pengalaman literer saya pribadi; tanpa melibatkan pihak lain. Kedua, review cerpen yang masuk rata-rata memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang lebih repot, sebagian besar review itu memiliki bobot dan kualitas yang hampir berimbang.

Meski demikian, dengan segenap keterbatasan dan kekurangan yang ada, saya tetap harus mengumumkan siapa yang layak memenangkan kontes review itu. Tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa terima kasih kepada segenap sahabat yang telah berkenan mengikuti kontes review itu, berikut ini saya putuskan peserta kontes review cerpen yang menjadi pemenang I, II, dan III dengan beberapa catatan pendek dari saya.

Pemenang I : ariss_ (me-review cerpen “Dhawangan”) berhak mendapatkan bonus uang tunai sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Berikut ini review cerpen selengkapnya.

DHAWANGAN, DAN SISI LAIN SAYA YANG “TERTAMPAR”, SEBUAH CATATAN PENDEK

Saya terperanjat, ketika niatan awal saya membaca cerpen Sawali Tuhusetya berjudul Dhawangan ini adalah untuk, menikmati aura magis yang disajikan dalam bentuk kesenian lokal bernama barongan, harus terkikis ketika saya dapati, bahwa di dalamnya terselip kritik sosial yang cukup menohok, terutama kepada kita-kita yang dalam hidup bertetangga, masih gemar menghina dan mencaci, serta memarginalkan individu yang kebetulan terlahir sebagai kaum difabel, baik dalam bentuk cacat fisik, maupun cacat mental.

Cerpen yang dihidangkan dengan pola sorot balik dengan menampilkan tokoh bernama Jayus yang diceritakan tersisih dari pergaulan masyarakat di desanya dan bahkan, sampai tidak diakui eksistensi dan garis kekerabatannya oleh saudara-saudara kandungnya sendiri hanya karena ia mengidap Halitosis (penyakit bau mulut [di sini dikisahkan mulut Jayus menyemburkan bau bacin]) ini, menampilkan dengan begitu apik bagaimana seseorang yang dianggap abnormal seperti Jayus, mendapat masalah sosial (dan psiko-sosial) di lingkungannya.

Dus, jika cerpen ini kita perlakukan dengan “skimming through” (membaca sepintas), gambaran yang kita dapatkan bisa dipastikan tak akan jauh dari kisah yang hanya menyodorkan atraksi pertunjukan barongan yang ditaburi bumbu-bumbu mistis layaknya cergam Petruk-Gareng-Semar karya almarhum Tatang. S. Alih-alih, pesan sosial yang begitu mendesak yang ingin disampaikan pengarang pun, tidak akan tertangkap. Bisa kita rasakan, bagaimana pilunya seorang Jayus yang sampai terpaksa merelakan harga diri dan sisi kemanusiaannya ditukar dengan sifat dhawangan ketika ia dengan memohon, meminta kepada Kang Marto Barong, pimpinan group “Singa Tata Jalma” yang memamerkan atraksi barongan, agar dirinya diperkenankan menjadi pemain dhawangan. Asumsi Jayus begitu sederhana, dengan membiarkan dirinya kesurupan kala mementaskan aksi dhawangan, ia akan bisa melupakan kesedihan batin bahwa dirinya hidup penuh dalam hinaan dan cacian orang-orang. Sebuah pemikiran dan bentuk eskapisme yang tentu wajar dipikirkan oleh sosok seperti Jayus (mungkin kalau contoh-contoh di sekitar kita, bentuk pelarian yang umum dipikirkan orang yang terkena tekanan batin, biasanya tak akan jauh-jauh, kalau bukan menjadikan diri sebagai kriminal dengan merampok atau menjadi psikopat, paling banter ya bunuh diri).

Membaca secara “dua lapis” cerpen Dhawangan ini, mengingatkan saya pada sebuah teori sosiologi yang membahas teori-teori umum perihal penyimpangan, yang salah satunya bernama “teori labeling”. Teori Labeling ini mengatakan, bahwa seseorang bisa menjadi menyimpang, ketika ia mendapatkan label-label (khususnya stigma) tertentu yang ia dapat dari hasil interaksi sosialnya. Seperti seorang yang baru keluar dari penjara, namun masyarakat sekitar tetap menganggap dan menyebutinya seorang maling, misalnya. Pemberian label “maling” secara terus-menerus ini, akan mengakibatkan individu yang bersangkutan, merasa bahwa dirinya tidak akan pernah bisa diterima lagi di masyarakat, ia merasa dirinya tidak diperkenankan berbaur dengan masyarakat sebagaimana individu lainnya, dan jelas ia akan merasa teralienasi. Eksesnya, karena ia tidak diterima lagi secara baik-baik, ia akan berpikir lebih baik menjadi maling kembali, sebab toh, meski dirinya sudah berusaha menjadi baik pun, cap “maling” masih saja dilekatkan pada dirinya. Begitu pula terhadap mereka-mereka yang disisihkan dari pergaulan sembari diberi label “gila”, “sudrun”, “bau bacin”, “pincang”, dan lain-lain. Orang yang diberi cap cacat mungkin tidak bisa berbuat lain selain peranan yang telah diberikan kepadanya. Pemberian label dan stigma yang demikian, akan menyebabkan orang tersebut menjadi penyimpang sekunder. Ia akan lari pada tempat dan pemikiran yang ia anggap nyaman, meski sebetulnya salah, contoh konkretnya menjadi seorang psikopat.

Ending terbuka dalam cerpen ini pun, membuat cerita serasa semakin bertambah mencekam; apakah kematian lima warga kampung yang mengenaskan dengan leher hampir terputus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas adalah ulah dari dhawangan sebagai sosok halus khas mitos dalam kisah-kisah zaman dulu, ataukah merupakan manifestasi dendam kesumat seorang Jayus terhadap mereka-mereka yang pernah mencaci dan menghinanya; entah, tak ada yang tahu (kecuali pengarangnya sendiri). Namun toh, seperti yang pernah dikatakan Radhar Panca Dhahana, bahwa ”sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis”. Dan senada pula dengan semangat postmodern, terwakili ucapan Barthes, bahwa “pengarang telah mati”, dan pembacanyalah yang memiliki kebebasan memainkan tafsir atas karyanya.

Meski pesan sosial yang dibawa dalam cerpen ini makin tersirat menjelang akhir cerita, sehingga semakin membuka mata kita apa yang mau disampaikan pengarangnya (yang membuat cerpen ini memiliki kekuatan–karena selain menekankan estetika kisah, juga menampilkan esensi cerita secara gamblang) tetap saja ada beberapa kekurangan dalam penyajiannya. Tapi, entah mungkin karena saya lebih cenderung mengamati sebuah cerita pendek dari segi substansi atau apa, membuat saya tidak terlalu memperhatikan detail-detail kelemahan cerpen ini, kecuali repetisi kalimat “…di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak…” yang saya rasakan cukup mengganggu (sampai ada dua-tiga kali diulang pada tiga paragraf). Padahal dengan melihat siapa sosok Sawali sesungguhnya (sebagai seorang yang memiliki kompetensi yang tidak perlu diragukan dalam dunia sastra kontemporer), semestinya beliau bisa memilih kalimat lain, meskipun saya akui, pengulangan kalimat yang digunakan bukanlah sesuatu yang sifatnya tautologis.

Lainnya, yang menjadi kekurangan (atau saya sebut saja keanehan yang lebih bersifat tanda tanya dibanding akhir kisah yang masih misterius), adalah peran Mak Timah selaku ibu Jayus. Penyebutan namanya yang hanya sekali, terkesan sebagai tokoh yang hanya dihadirkan sambil lalu, padahal ia sebagai Simbok yang diceritakan menjadi tempat satu-satunya Jayus mengadu dan satu-satunya orang yang masih sayang kepada Jayus, tentulah memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan untuk menjadikan Jayus anaknya tetap tegar menapaki hidup. Tidak diceritakan pula, bagaimana kondisi batin sang ibu ketika mengetahui anaknya hilang bersamaan dengan hilangnya dhawangan yang, pada saat yang sama, menjadi awal terjadinya pembunuhan berantai yang terjadi di kampung yang menjadi setting cerita.

Tapi terlepas dari itu–sekali lagi seperti apa yang diucapkan Radhar dan Barthes–saya sebagai pembaca, memiliki akses penuh untuk melakukan dekonstruksi ulang, dengan melanjutkan kisah ini sekehendak hati jika ingin mengenyahkan segumpal rasa penasaran yang masih tertinggal di benak. Tapi saya tidak melakukannya, atau katakanlah, belum, sebab, dengan menikmati secara literer saja cerpen Dhawangan ini, selain saya jadi mengenal salah satu atraksi kesenian lokal (yang entah bersetting di Cirebon, Kudus, atau Jepara) ini, saya sudah mendapatkan pelajaran berharga, bahwa kita semestinya hidup ditaburi sikap saling menyayangi, menjaga lidah, tepa selira, mau menerima kekurangan orang lain, tanpa ada diskriminasi apalagi men-subordinasi mereka-mereka yang terlahir tidak normal.

Tentu, saya yang tidak bersih dari dosa pernah menghina dan mengejek orang di sekitar, merasa “tertampar” dengan cerpen buah tangan Pak Sawali ini, sebagaimana “tertampar”-nya seorang pelacur yang konon kemudian sadar dan tobat setelah membaca “Kota Kelamin”-nya Mariana Amiruddin. Bukan dengan dakwah atau khotbah yang berbusa dan berjam-jam saja yang mampu menyadarkan manusia, tapi lewat sebuah cerpen pun, tingkah polah seorang manusia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Untuk hal ini, dan untuk yang ke sekian kalinya, saya angkat topi kepada Pak Sawali… (dan tentu, saya ucapkan terima kasih, cerpen panjenengan menyadarkan saya dari kekeliruan yang sebetulnya sudah lama melekat dalam diri saya ini, yakni kecenderungan mencaci kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri orang lain).

[]

Parijs van Java | 16 Januari 2009
Menjelang Subuh…

Catatan:

Dengan menggunakan “teori labeling”, Ariss berhasil menguliti karakter Jayus yang tersingkir dari lingkungannya akibat stigma yang “sengaja” diciptakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Tak hanya itu, dengan meminjam ucapan Barthes, “pengarang telah mati”, Ariss juga berhasil melakukan “apologi” secara argumentatif atas tafsir teksnya dan mengkritik kelemahan cerpen “Dhawangan” yang selalu terjebak pada pengungkapan narasi yang sia-sia. Ariss juga dengan jeli membidik tokoh Mak Tentrem yang dianggap terkesan sebagai tokoh “sambil lalu”, yang seharusnya memiliki potensi untuk tampil dalam teks secara utuh.

Pemenang II : NAQIB NAJAH (me-review cerpen “Jagal Abilawa”) berhak mendapatkan bonus uang tunai sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).

Berikut ini review cerpen selengkapnya.

JAGAL ABILAWA: Sawali telah kerasukan ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, Kuntowijoyo

Sebelum anda berbangga dengan kalimat di atas, saya terlanjur menuliskan sebuah catatan sebagai berikut:

Bahwasanya seorang pembaca cerpen tak ubahnya penumpang angkot. Dan pengaranglah sopir kendaraan tersebut. Selamanya penumpang akan memasrahkan segalanya terhadap sopir. Masalah keselamatan, masalah kapan sampainya, masalah jalan yang terjal, itu urusan sopir. Sebab andalah pemegang kemudi. Namun, seberhak apapun anda, penumpangpun mempunyai kuasa untuk melayangkan protes. Seperti ketika anda tak berhati-hati pada tikungan tajam, atau ketika anda sedikit melamun.

Maka sebenarnya sah, ketika seorang pengarang menghendaki ending yang mengangetkan. (Bahkan karya yang seperti inilah karya yang diidam-idamkan pembaca) Namun, ketika anda mengerem sebuah kendaraan dengan mendadak, tanpa kapabilitas kendaraan yang mendukung, niscaya fatal juga apa yang akan terjadi.

Adalah wajar ketika istri ngidam kemudian menghendaki sesuatu yang aneh-aneh. Dan demikianlah yang terjadi terhadap Sumi, istri sang Narator. Maka sejatinya tak ada masalah sepanjang anda membangun konflik yang bermula dari ngidamnya Sumi itu. Dengan plot yang tak sebegitu berat, (mengingatkan saya akan gaya Almarhum Kuntowijoyo) anda berhasil membawa pembaca masuk ke dalam alam imaji anda. Bahkan ketika Sumi melahirkan bayi tanpa bantuan siapapun, itu adalah kewajaran. Bukankah bayi dalam rahimnya adalah bayi yang lain dari yang lain. Namun, dalam fase yang seharusnya genting ini, anda terlihat terlalu cair. Atau lebih kasarnya gagal menjiwai sebuah peristiwa.

Ketika kau berniat untuk menuls, penggallah kepalamu terlebih dahulu.
Kalimat di atas saya kutip dari ungkapan Joni Ariadinata. Dan memang betul, ketika kita mengarang cerpen, maka janganlah lebih mendahulukan kegeniusan ide, atau kebijakan tokoh. Sebab penjiwaan lebih wajib ketimbang beberapa perangkat itu.

Oleh sebab itu, mengapa cerpen Isbedi Setiawan, atau cerpen Juwayriyah Mawardi terasa indah walaupun konflik serta tokoh-tokoh yang dihadirkan tak sehebat atau sebijak Fahri? Dijawab oleh Yanusa Nugroho (dalam pengantar cerpen Isbedi) bahwa terkadang menyajikan perkara yang biasa itu sulit. Sebab dalam cerpen yang bertemakan biasa, satu hal yang lebih dituntut adalah penjiwaan. Penjiwaan yang saya maksud, bisa diartikan semisal penyajian bahasa, atau mengeluarkan beberapa ideologi, mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

Namun, saya terlanjur menemukan jempol untuk menghadiahi bapak. Sebab, karya bapak adalah karya sastra yang tak mau lari dari konflik. Dan karya yang beginilah yang menurut I Nyoman Dharma Putra sebagai karya yang komplit. (Pengantar Cerpen Terpilih Kompas 2003). Jika seorang Sori Siregar adalah pesulap realita kedalam imajinasi, maka (saya kira) andapun pantas menyandang hal itu.

Catatan:

Dengan menggunakan analogi penumpang angkot, Naqib Najah berhasil meyakinkan saya bahwa sebagai penulis saya terlalu asyik dengan “dunia saya sendiri”. Sebagai “sopir”, saya lupa bahwa saya membawa penumpang yang tidak bisa begitu saja diperlakukan sewenang-wenang. Dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas, Naqib Najah mampu memberikan pencerahan bahwa saya melupakan penjiwaan yang duanggap sebagai perangkat yang esensial dalam menulis cerpen, baik dalam penyajian bahasa, mengekspresikan ideologi, atau mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

Pemenang III : denologis (me-review cerpen “Sang Pembunuh”) berhak mendapatkan bonus uang tunai sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah)

Berikut ini review cerpen selengkapnya.

Sang Pembunuh

Sepuluh tahun yang lalu, kampung kami kedatangan serombongan tamu dari kota. Mereka adalah rekanan Juragan Karta, orang terkaya sekampung. Ternyata, tujuan kedatangan mereka adalah untuk membangun pabrik di kampung. Buktinya, keesokan harinya Juragan Karta mengumumkan rencana itu dengan dalih untuk meningkatkan SDM dan SDA di kampung. Bahkan, disertai ancaman bagi yang menolak untuk mendukung rencana tersebut. Pak Lurah pun mengiyakan dan menyatakan dukungannya. Karena menolak menyerahkan tanah sawah dengan ganti rugi yang sangat sedikit, aku dan Mas Karjo dimusuhi habis-habisan oleh Juragan Karta dan anak buahnya. Mereka juga menghasut hampir seluruh warga desa untuk membenci kami. Hingga pada puncaknya, Mas Karjo dibunuh dengan sadis, dan aku difitnah sebagai pembunuhnya. Akupun divonis penjara selama 10 tahun, dan sampailah aku di penjara yang pengap ini. Namun, semangatku kembali menyala karena sepekan lagi aku akan bebas….

Review

Menurut saya, cerpen berjudul Sang Pembunuh ini cukup menarik, karena ide ceritanya yang cukup membumi. Relevan dengan kondisi riil sosial Indonesia, di mana pembangunan proyek kerap mengorbankan dan memaksa sejumlah warga seperti Aku untuk menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak setimpal. Selain itu, alur dalam cerpen ini juga cukup bagus karena menggunakan timing method khas penulisnya, present -> past -> future. Alur khas yang unik dan seharusnya tidak mudah ditebak. Namun, lebih dari itu, saya kira cerpen ini kurang memiliki taste. Diawali dengan blunder inkonsistensi kata ganti tokoh utama -yang sebenarnya tidak perlu terjadi-. Perhatikan perubahan kata “aku” dan “saya”. Terhitung ada 3 kata “aku” dan 51 kata “saya”. Cerpen ini menjadi terkesan terasa sepo (dingin) karena menggunakan kata “saya” sebagai kata ganti orang pertama. Bandingkan jika menggunakan “aku”. Selain itu, ritme cerita juga terkesan terlampau datar, tanpa adanya kejutan yang signifikan. Coba bandingkan dengan irama emosional dalam cerpen Marto Klawung atau Kang Panut. Sangat berbeda bukan? Seperti pada paragraf ke-3 dan ke-4. Terasa cemplang (drastis) ketika memasuki paragraf ke-4. Padahal, saya mengira penulis akan melanjutkan harapan-harapan “wah” di paragraf ke-3 pada paragraf ke-4. Juga ketika tokoh Aku sudah bebas dari penjara, keramahan warga kampung yang sebenarnya mengejutkannya diceritakan oleh penulis dengan biasa saja. Terkesan monoton dan kurang bertanggungjawab. Pada umumnya, cerpen ini memiliki nilai lebih tentang fenomena nyata dalam masyarakat yang diangkat. Namun, menjadi bumerang yang fatal karena diceritakan dengan tergesa-gesa dan melompat-lompat. Sedangkan secara keseluruhan, kesepuluh cerpen karya Sawali Tuhusetya ini lebih baik jika dibaca parsial. Karena terdapat banyak tabrakan antar cerita. Obyek penjara dalam Sang Pembunuh dan Penjara dideskripsikan nyaris sama. Juga, gambaran penulis untuk orang yang dituakan sebagai lelaki berikat kepala hitam, diulang-ulang dalam Sepotong Kepala, Kang Panut, dan Marto Klawung. Serta berbondong-bondongnya warga yang nglurug dalam Kepala di Bilik Sarkawi dan Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi, sama-sama menggunakan perangkat manusia purba. Jadi, menurut saya, masing-masing dari sepuluh cerpen ini memiliki kelebihan masing-masing. Namun, akan sedikit menguap jika membacanya berurutan.:)

Catatan:

Yang dibidik pertama kali oleh Denologis adalah penggunaan sudut pandang “aku” yang dinilai inkonsisten. Dia jeli menerapkan stilistika penggunaan sudut pandang “aku” yang seringkali “berselingkuh” dengan “saya” yang akan sangat mengganggu upaya pembaca untuk menemukan keindahan cerpen. Penggunaan kata ganti “saya” dinilai terkesan terasa sepo (dingin). Dia juga jeli membidik dalam membandingkan cerpen “Sang Pembunuh” dengan cerpen-cerpen yang lain. Menurutnya, ritme cerita terkesan terlampau datar, tanpa adanya kejutan yang signifikan.

Ya, ya, ya, ini sebuah kontes review cerpen yang pertama kalinya saya gelar. Tentu saja, ini sebuah “taruhan” bagi saya yang telanjur memberanikan diri menjadi yuri tunggal. Risikonya, daya intuitif, pertimbangan-pertimbangan subjektif, dan sedikit pengalaman literer saya pribadi, bisa jadi tidak bisa sepenuhnya menjadi instrumen yang sahih untuk menentukan pemenang. Ini tidak lantas berarti saya menafikan kontes review cerpen sahabat-sahabat yang lain. Sungguh, semua review yang masuk menjadi asupan kritik yang mencerahkan dan mencerdaskan dalam proses kreativitas saya dalam dunia penulisan cerpen. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada segenap sahabat yang telah berkenan meluangkan waktu untuk mangapresiasi cerpen-cerpen saya.

Saya ucapkan selamat kepada para pemenang. Untuk mempercepat proses transfer, peserta yang dinyatakan sebagai pemenang I, II, dan III dimohon secepatnya mengirimkan nomor rekening  bank yang berlaku melalui email sawali64@gmail.com disertai alamat lengkap dan nomor telepon/HP yang bisa dihubungi. Ditunggu paling lambat 25 Januari 2009.

Nah, salam kreatif dan salam budaya!

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

184 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Cerpen

Berlari Semakin Jauh

Cerpen: Ali Syamsudin Arsi Dia datang dari sebuah kampung di pinggiran wilayah

Kereta Hujan

Cerpen Sungging Raga Dimuat di Harian Global (11/20/2010) Dua manusia duduk berhadap-hadapan
Go to Top