Menuai Badai Jual-Beli Nilai

aeFenomena jual-beli nilai kini diisukan mulai merambah kampus. Kalau fenomena itu benar, kampus tak ubahnya “pasar akademik” di mana “pembeli” (mahasiswa) dan “penjual” (dosen) bisa saling bernegosiasi mencari untung. Sang dosen dapat imbalan “fulus”, sedangkan sang mahasiswa bisa lulus tanpa harus memeras otak dan kerja keras. Mungkin benar apa yang pernah disinyalir oleh Slamet Sutrisno (1999) bahwa manusia masa kini semakin tidak intens dalam memburu sesuatu yang lebih bermartabat. Perburuan gengsi yang berkembang dalam kelatahan membuat orang mengejar keberhasilan secara instan. Mereka gemar menempuh terobosan dan “jalan kelinci” dengan sukses ala Abu Nawas. Kursi empuk kepejabatan, titel, dan kedudukan keilmuan pun tak jarang disergap melalui kelancungan dalam “ilmu permalingan”.

Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab kampus telah kadung dipahami sebagai “ikon” intelektual, tempat para kandidat pemimpin negeri ini mengasah kecerdasan, kearifan, kejujuran, kesantunan, dan nilai-nilai luhur hakiki lainnya. Kalau para “penghuni”-nya telah dicemari oleh praktik-praktik kotor dalam proses pergulatan akademik, bagaimana mungkin kampus mampu menjalankan perannya sebagai agen perubahan dan kawah candradimuka peradaban? Bagaimana mungkin out-put yang dilahirkannya mampu menjadi insan yang cerdas, arif, jujur, dan santun? Quo-vadis masa depan negeri ini kalau mahasiswa yang notabene menjadi “motor reformasi” yang habis-habisan menentang KKN justru tercemar oleh limbah korup dan belepotan lumpur ketidakjujuran?

Dalam Keputusan Mendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa (Bab I Pasal 1 ayat 1) disebutkan bahwa pendidikan tinggi adalah kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Kelak, setelah keluar dari kampus, para mahasiswa diharapkan mampu menjadi “pionir” yang profesional dalam membangun masyarakat yang lebih maju, beradab, dan berbudaya di tengah-tengah “pertarungan peradaban” (clash of civilization) yang mustahil terelakkan.

Namun, idealisme semacam itu tampaknya hanya sekadar menjadi jargon yang mengapung-apung dalam bentangan slogan semata jika nilai-nilai kejujuran telah dipinggirkan, moralitas dan hati nurani telah dipersetankan. Jual-beli nilai jelas merupakan wujud pengingkaran terhadap makna kampus sebagai institusi akademik yang terhormat dan bermartabat sebagaimana tersirat dalam butir-butir Tri Darma Perguruan Tinggi. Meminjam istilah Julian Benda, jual-beli nilai merupakan bentuk “pengkhianatan intelektual” di mana nilai kecerdasan, kebenaran, keadilan, dan kejujuran menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan. Jika fenomena semacam itu tak terbendung, bukan tidak mungkin masa depan negeri ini akan menuai badai akibat munculnya sarjana-sarjana karbitan bermental korup. Segala sikap, aksi, dan tindakan yang dilakukan semata-mata berorientasi pada uang sebagai imbas bercokolnya mentalitas korup yang telah mbalung sumsum dan bernaung turba semenjak jadi mahasiswa. Seandainya kelak jadi pejabat atau pengambil kebijakan, bukan mustahil mereka akan menciptakan celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk “bermanuver” membesarkan perutnya sendiri.

Dengan dalih apa pun, jual-beli nilai di Perguruan Tinggi (PT) harus ditolak. Pertama, telah menggerogoti keagungan citra kampus sebagai basis pengembangan intelektual yang terhormat dan bermartabat. Sudah puluhan tahun institusi ini mengabdikan diri sebagai almamater yang telah melahirkan banyak intelektual sejati, amanah, dan menjadi anutan publik. Jangan sampai terjadi, akibat ulah beberapa gelintir mahasiswa (dan dosen) yang hanya memburu kepentingan sesaat, membikin kampus jadi kehilangan “aura” daya pikatnya.

Kedua, mengingkari makna perjuangan dan kerja keras insan kampus dalam menggapai prestasi akademik yang membanggakan. Bagi mahasiswa yang masih memiliki idealisme, prestasi akademik yang diperoleh lewat kerja keras adalah sesuatu yang membanggakan. Ia bisa menjadi indikator kesungguhan, totalitas, dan intensitasnya dalam menggeluti dunia akademik. Namun, semua itu menjadi tidak berarti ketika nilai akademik telah diobral dan digadaikan dengan uang. Buat apa susah-susah belajar kalau pada akhirnya perjuangan dan kerja keras dikhianati oleh kebohongan dan manipulasi nilai?
Ketiga, memprodusir mentalitas instan, jalan pintas, dan potong kompas dalam menggapai sesuatu. Sebagai insan intelektual yang senantiasa bergerak dalam ranah penegakan nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran, para mahasiswa (dan dosen) mestinya memandang jual-beli nilai sebagai sesuatu yang tabu dan pantang dilakukan. Kalau tindakan konyol semacam itu terus bercokol dan mentradisi, bukan tidak mungkin mereka juga akan mengambil jalan pintas dan potong kompas dalam bidang kehidupan yang lain. Runtuhlah apresiasi mereka terhadap sikap ulet, etos kerja keras, dan budaya proses dalam menggapai sesuatu.

Imbasnya, cakrawala berpikir mereka — meminjam istilah almarhum Rama Mangunwijaya — menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/ perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah makin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.
Tindakan Tegas

Dalam konteks demikian, fenomena jual-beli nilai harus dipandang sebagai “musuh bersama” bagi segenap insan kampus. Kalau tidak, cepat atau lambat, PT akan kehilangan wibawa sebagai lembaga intelektual yang terhormat, bahkan bukan mustahil akan menuai badai tragedi pencerdasan bangsa. Sarjana-sarjana karbitan yang dilahirkannya akan membikin sarang korupsi di mana-mana sebagai implikasi praktik suap-menyuap yang telah dilakukan selama kuliah. Kehadiran kampus dalam dunia pendidikan, dengan demikian, tak lebih sekadar pelegitimasi manusia-manusia bermental korup yang berambisi meraih titel dan gelar akademis tanpa mau repot-repot berjuang dan bersusah-payah.
Agar tidak berlarut-larut, perlu ada tindakan tegas dari para elite dan petinggi kampus terhadap para pelaku (dosen dan mahasiswa) yang nyata-nyata terbukti telah melakukan praktik jual-beli nilai. Untuk sang dosen, misalnya, perlu dinonaktifkan dari tugasnya sebagai pengajar, sedangkan bagi mahasiswa yang nilai mata kuliahnya diperoleh lewat cara-cara tak terpuji tidak perlu diakui kelulusannya dan harus mengikuti ujian ulang. Jika tidak jera juga, kampus harus dinyatakan sebagai lembaga yang “haram” buat mereka.

Seiring dengan digulirkannya otonomi kampus, rektor dan jajarannya memiliki otoritas penuh untuk menjaga mutu dan wibawa institusi yang dipimpinnya. Jangan sampai terjadi akibat kelalaian dan sikap permisif terhadap berbagai macam bentuk pelanggaran “etika akademik”, termasuk praktik jual-beli nilai, PT mengalami proses pembusukan dari dalam, sehingga secara tidak langsung ikut menyebarkan wabah “penyakit sosial” yang telah merajalela di negeri ini. Bagaimanapun juga, kampus harus steril dan mampu membebaskan diri dari praktik-praktik culas dan kotor, lebih-lebih yang berkaitan dengan proses pergulatan akademik, untuk mempertahankan citranya sebagai “ikon” intelektual yang terhormat dan bermartabat.

Dalam perspektif semacam itu, moralitas dan hati nurani segenap elemen kampus (rektor, dekan, dosen, atau mahasiswa) diuji. Jika mereka masih memiliki idealisme untuk menjaga citra kampus sebagai agen perubahan dan pencerah peradaban, nilai-nilai intelektualitas, kebenaran, keadilan, dan kejujuran adalah segala-galanya. Mereka tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan konyol yang dapat merusak martabatnya sebagai insan intelektual yang layak dibanggakan. Namun, jika idealisme sudah luntur, maka sehebat apa pun perangkat peraturan dan regulasi dirumuskan, seketat apa pun pengawasan dilakukan, mereka akan dengan mudah melakukan pengingkaran terhadap kaidah-kaidah moral dan hati nurani. Nah! ***

No Comments

  1. Iya pak…. kalo beginiterus2an akan dibawa kmana generasi bangsa?

    memang kondisi ini menghawatirkan….. berapa juga pejabat yang membeli ijasah palsu demi kedudukannya….

  2. Salahnya dimana ya pak??? kok serba salah dan serba banyak kesalahan???
    *jangan-jangan karena intelektualitas lebih banyak diukur dari ijasah…

    **pak Sawali! kok traffic rank-nya melejit luarbiasa seperti itu??? bagi dong tips and trick-nya!.. kalau saya butuh 4 bulan untuk mencapai 700ribu, waduh!…

  3. Kok jadi kaya gini ya negara ini, dosennya kaya gitu, mahasiswanya … apalagi, dosen dan guru kan sedulur kembar, kalo sering kita mendengar guru kencing berdiri murid kencing berlari. Lha kalo dosen dan mahasiswa … ya sama saja. Semakin jarang kita dengar event2 mahasiswa yang menunjukkan prestasi, yang muncul event2 fighter mahasiswa.
    Tapi dari rasan2 ini, apa sih yang dapat kita lakukan untuk merubah bangsa ini melalui langkah yang nyata, tidak hanya sekedar NGGOSIP terhadap bangsa. Bagaimana agar suara-suara ini dapat didengar oleh penentu kebijakan negara ini …..

  4. kalo pengalaman saya nih mas selama saya kuliah, urusan mencari kemudahan dengan dosen meskipun caranya sedikit salah tapi hampir semua para dosen menerimanya(kalo saya salah mohon dikoreksi) tapi saya berkata demikian karna dari salah satu pembuktian yang pernah saya lakukan terhadap para dosen untuk mencari kemudahan baik dalah hal nilai ataupun tugas 🙂

  5. Secara mentalitet, memang memprihatinkan, Pak Sawali (siapa ksatria yang berani memutus rantai semacam ini atau merevolusinya sekalian?).

    Secara kualitas, akan tampak pada output-nya juga.
    Ketika seseorang sudah terjun ke ranah kehidupan yang sesungguhnya, kualitasnya akan tampak nyata!

    Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Daniel Mahendra ada di Facebook?

  6. mungkin karena kesalahan orang kita juga, mas.
    kebiasaan kita kan, kalo orang punya titel jlentrek2, tumplek blek itu orang yang pandai cendikia gitu. dan ‘harga’nya pun akan mahal, entah nanti pinter bener, berkualitas bener atau jeblok. nah, karena faktor itulah, akhirnya ada perlombaan mencari titel secepat2nya dan sebanyak2nya, dengan cara semena2, hehe….
    tapi, semua saling terkait kok mas, kalo miturut saya. itu lingkaran setan, entah dari mana pangkalnya, entah dimana ujungnya. kalo mau habis, ya harus ada revolusi system. eh…yg ini kok kayak komen-nya DM ya, haha….

    Baca juga tulisan terbaru goenoeng berjudul bumiku, porak poranda

  7. beberapa ptn malah statusnya menjadi BHMN yang mempunyai kemandirian dalam mengelola urusan akademik, keuangan, dan kepegawaian. dasar orang indonesia begitu diberi kesempatan langsung saja dimanfaatkan sebaik-baiknya. pokoknya bagaimana caranya mendapatkan uang.
    inilah kemenangan kaum kapitalisme, segala hal dihargai dengan uang.

    Baca juga tulisan terbaru endar berjudul Mengumpulkan PR

  8. pada saatnya alamlah yang akan menseleksi. tapi menunggu itu, sepakat dengan pak sawali, idealisme telah tercemar dengan parah. bagaimana hendak mengharapkan generasi yang bersih bila dididik dengan cara yang tak bermoral? satu dari seribu anak penyamun yang bakal jadi rohaniwan.

    tidak menutup mata, kondisi seperti ini juga terjadi di lingkungan saya di tanah air. bedanya transaksi tanpa nominal rupiah, melainkan rasa kolegialitas saja. “si anu anak si polan kolega kita, maka tolonglah si polan dengan membantu anaknya.” mengesalkan, tapi itulah faktanya.

    mudah-mudahan kurikulum baru yang memungkinkan segala sesuatunya lebih transparan ini dapat meminimalisasi praktek-praktek tersebut.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Port Stephens from Dawn to Dusk

  9. “jual beli nilai” sudah sangat berlangsung..hampir diseluruh elemen kehidupan, mulai dari (maaf) akidah, hingga sikap “angkat telor”.. Mewujudkan keinginannya tanpa memperhatikan koridor yg ad!. Tragis..

    Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Ban Bocor !

  10. sampai hari ini memang banyak yang akhirnya terbukti tidak profesional alias menyandang gelar namun tak mampu mengerjakan apapun yang sesuai dengan titel yang disandang
    mungkin semua di sebabkan jual beli yang dilakukan
    memang sewaktu saya menyelesaikan S1 dulu beberapa teman menggunakan cara cara tertentu untuk mendapatkan kelulusan namun karena saya terbatas dalam materi maka memaksa saya untuk kerja keras di permainkan hahaha
    tapi setelah usai dan melanjutkan tidak di negri ini ternyata lebih mudah selama kita bisa kita lulus standart kelulusannya jelas
    mudah mudahan lingkaran parah ini terputus pak

    Baca juga tulisan terbaru genthokelir berjudul Selamat Datang 2009 di Gunung Kelir

  11. kalo beginiterus2an akan dibawa kmana generasi bangsa?
    memang kondisi ini menghawatirkan….. tak sedikit juga pejabat yang membeli ijasah palsu demi kedudukannya….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *