Senin, 10 November 2008, yang lalu, saya sempat diundang rekan-rekan sejawat yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Saya saat itu didaulat untuk menyampaikan informasi tentang buku saya yang diterbitkan oleh Penerbit Pusaka Mas, Semarang, berjudul “Sukses Menuju UN” untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs.
Sebelum acara dimulai, saya sempat mendengar bisikan bahwa Ujian Nasional (UN) dinilai kurang relevan dengan semangat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang lebih mengacu pada upaya pengembangan potensi genius lokal. Dengan kata lain, jika ingin konsisten melaksanakan KTSP, idealnya penilaian kompetensi siswa didik diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dan pendidik.
Bisikan semacam itu sebenarnya sudah berkali-kali saya dengar. Bahkan, para pengamat dan pemerhati pendidikan pun menyuarakan hal yang sama bahwa UN kurang relevan jika dikaitkan dengan implementasi KTSP. KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan untuk dapat dijadikan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan konteks dan situasi lingkungan. Ini artinya, penilaian kompetensi siswa didik juga mesti mengacu pada pengembangan kompetensi yang selama ini dilakukan oleh satuan pendidikan masing-masing sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Namun, semangat dan “roh” KTSP semacam itu agaknya “diingkari” oleh pemerintah dengan tetap menggelar UN yang konon dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sekaligus sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pasal 57 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas).
Meski demikian, kita juga bisa memaklumi mengapa pemerintah bersikukuh untuk menggelar UN. Ada banyak faktor yang bisa dijadikan sebagai alasan. Pertama, UN bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Dengan pelaksanaan waktu UN yang serentak dan bersamaan, pemerintah, melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), bisa melakukan kontrol, baik pelaksanaan maupun hasil-hasilnya. Dengan cara demikian, akan dapat diketahui hasil UN yang telah dicapai setiap satuan pendidikan pada setiap tahun pelajaran.
Kedua, UN memiliki kekuatan hukum yang tersirat dalam UU Sisdiknas dan tersurat dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam PP 19/2005, misalnya, terdapat klausul yang menyatakan bahwa Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) penilaian hasil belajar oleh pendidik; (b) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan (c) penilaian hasil belajar oleh Pemerintah (pasal 63). Kemudian, pada pasal 66 ditegaskan bahwa (1) penilaian hasil belajar (UN) bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional; (2) ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel; dan (3) Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. Ini artinya, selama PP 19/2005 belum dicabut, UN tetap akan digelar.
Ketiga, sekolah dianggap belum sepenuhnya mampu menggelar ujian akhir secara jujur dan fair. Meski pemerintah tak pernah mengemukakan alasan ini secara eskplisit, ada semacam kekhawatiran bahwa standar mutu pendidikan nasional akan makin tidak memiliki kejelasan arah jika kebijakan itu diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Pengalaman menunjukkan, ketika dulu ujian akhir dilaksanakan dalam bentuk Ebtanas dengan menggunakan variabel nilai p, q, dan r, terjadi pengatrolan nilai habis-habisan. Proses mark-up nilai seringkali melewati batas-batas rasional. Selisih nilai antarvariabel sangat tidak masuk akal. Sekolah saling berlomba untuk membantu meluluskan siswanya dengan cara-cara yang tidak jujur. Dari sisi ini, sangat bisa dimaklumi kalau pemerintah mengambil alih otoritas itu.
Saya dulu juga gencar ikut menyuarakan bahwa UN tidak selaras dengan semangat KTSP. Namun, melihat berbagai kenyataan yang terjadi, agaknya UN masih menjadi alat pemetaan mutu pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan ujian sekolah. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar pelaksanaan UN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, baik dari sisi pelaksanaan maupun hasil-hasilnya. Mempersiapkan siswa didik melalui belajar keras merupakan cara yang terbaik ketimbang menempuh jalan pintas dengan menggunakan jurus-jurus yang tidak populer, seperti membocorkan soal, memberitahu jawaban lewat SMS, atau mengganti jawaban soal setelah proses UN usai.
Buku “Sukses Menuju UN” yang saya tulis sebenarnya juga bertujuan untuk membantu para siswa dalam mempersiapkan diri menghadapi UN. Selain mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), buku ini juga saya susun berdasarkan prinsip belajar “dari mudah menuju ke yang sulit”. Setiap materi saya lengkapi dengan pembahasan dan contoh-contoh soal berikut pembahasannya. Selain itu, juga saya lengkapi dengan berbagai perangkat soal uji coba dan prediksi soal UN. Dengan cara demikian, siswa akan lebih mudah untuk belajar mandiri secara bertahap, sehingga dengan bimbingan optimal dari para guru, siswa akan memiliki rasa percaya diri dan siap menempuh UN dengan cara yang benar dan sehat.
Pada pertemuan yang dihadiri tidak kurang dari 80 guru Bahasa Indonesia SMP/MTs se-Kabupaten Pemalang itu juga muncul sebuah komitmen untuk mengondisikan siswa agar benar-benar dalam keadaan “siaga” untuk menempuh UN. Semoga saja UN yang sempat menuai kontroversi itu benar-benar bisa menjadi sarana pemetaan mutu pendidikan nasional yang lebih sahih sehingga harapan untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan kreatif dapat terwujud. ***
semoga UN dapat diterima masyarakat kembali
cuma ada rumor-rumor dari negeri tetangga, UN juga menyebabkan siswa kehilangan mental.., semoga KTSP mampu…
Salam kenal pak. Iya pak kondisi pendidikan di negri ini sangat beragam. Saya termasuk orang yang kurang sreg dengan UN. Karena banyak sekolah yang menjadikan hasil UN sebagai tujuan. akhirnya proses belajar anak menjadi kurang penting. Tapi di sisi lain kita butuh standard mutu pendidikan nasional. Tidak perlu dipertentangkan tapi kita cari solusinya bagaimana tujuan dan proses belajar anak tercapai, dan sekolah di Indonesia punya standard nasional yang qualified.
Maaf baru buka website ini jadi baru komen.
Andai separo (saja) dari jumlah guru di negara kita spt Bapak yg satu ini, saya yakin pendidikan di Indonesia akan segera keluar dari jurang keterpurukan. Generasi penerus akan menjadi sosok2 yang optimis menatap masa depan…
Para pendidik kita terlalu sibuk memperdebatkan sesuatu yang dianggap merepotkan, pesimis terhadap apa yang ada dihadapannya, dan kurang ada langkah riil dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.
saya pikir untuk saat ini UN masih perlu, jika sebagian (besar) pendidik (dan juga sekolah) masih “takut” untuk bertindak objektif dalam menentukan kenaikan kelas maupun kelulusan, siapa yang akan mengontrol kualitas pendidikan anak2 bangsa,, leres kan pak sawali? 😉
Selamat dan sukses pak sawali… 🙂
Baca juga tulisan terbaru azaxs berjudul Pelatihan Wirausaha