Pilkada Pasca-Reformasi, Quo-Vadis?

Suasana tegang, panas, dan mencekam (hampir) selalu mewarnai proses pemilihan kepala daerah/walikota (pilkada) belakangan ini. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.

Meski tidak semua daerah/kota yang tengah melangsungkan hajat demokrasi itu ditingkahi aksi kekerasan, tetapi tak urung juga mencuatkan tanda tanya di benak kita. Ada apa gerangan di balik ulah sebagian warga yang cenderung destruktif dan menjurus ke tingkah anarkhi itu? Bukankah selama ini rakyat selalu disanjung puji sebagai warga bangsa yang polos, lugu, manutan, dan santun dalam segenap perilakunya? Mengapa tiba-tiba saja mereka berubah beringas, rentan terhadap aksi kebrutalan dan begitu mudah larut dalam arus emosi “purba” yang sebenarnya kurang menguntungkan itu?

Fenomena kekerasan yang mewarnai setiap hajatan demokrasi jelas sangat tidak kondusif dalam upaya mendinamisir dan memberdayakan daerah/kota dari sentuhan kemajuan. Bahkan, bisa dibilang, daerah/kota yang bersangkutan akan mengalami set-back (langkah mundur) yang semakin jauh dari substansi ideal. Betapa tidak? Fasilitas umum yang dibangun bersama dengan susah-payah, akhirnya musnah dalam sekejap. Kepala daerah/kota terpilih yang seharusnya sudah siap terjun ke lapangan memaksimalkan kemampuannya menjadi terhambat.

Warga yang tak berdosa, tak tahu lor-kidul pun tak luput terkena imbasnya. Yang mengkhawatirkan, kalau pihak-pihak yang saling berseteru tidak bisa saling menahan diri, bahkan terus-menerus menaburkan benih kebencian, kasak-kusuk, dan dendam. Jika kondisi semacam ini tak teratasi, tentu semakin mempersulit posisi daerah/kota dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih demokratis, damai, aman, adil, dan makmur.

Tak dapat dipungkiri, jabatan kepala daerah/kota memang cukup strategis. Selain menjanjikan naiknya status sosial, seorang kepala daerah/kota juga memegang posisi kunci (key position) dalam “menghitam-putihkan” corak dan warna dinamika daerah/kota yang dipimpinnya. Ia menjadi figur yang dianggap masyarakat memiliki “kelebihan” tersendiri, dihormati, disegani, dan acapkali dijadikan sebagai sumber informasi bagi warganya.

Sangatlah beralasan, setiap kali siklus demokrasi ini diputar, tidak sedikit warga yang memiliki cukup “modal” siap bersaing untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di daerah/kotanya. Yang menarik, dukungan yang diberikan oleh warga kepada calon yang dijagokan masing-masing tampak penuh greget dan antusias. Para pendukung masing-masing calon menjelang hari “H” pelaksanaan pilkada sibuk menarik simpati massa dengan berbagai macam cara. Yang jelas, masing-masing kubu merasa calonnyalah yang paling pantas menjadi kepala daerah/kota.

Tidak jarang terjadi, upaya masing-masing kubu untuk menarik simpati massa menimbulkan situasi panas dan tegang. Ada semacam “keharusan” bahwa calonnya harus keluar sebagai pemenang. Cara yang ditempuhnya pun bervariasi. Ada yang mengobral janji, “memanjakan” calon pemilih dengan pesta, atau membeli suara calon pemilih dengan sejumlah uang.

Seiring dengan terbukanya kran demokrasi, proses pilkada di berbagai daerah/kota menampakkan kecenderungan untuk membersihkan praktek-praktek yang tidak jujur, curang, atau tidak adil, mulai saat sang calon menjaring massa hingga proses penghitungan suara. Ada keinginan kuat dari warga untuk menampilkan figur kepala daerah/kota yang benar-benar mumpuni, berbobot, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, dan memiliki komitmen kuat untuk memajukan daerah/kota. Tidak berlebihan kalau di beberapa daerah/kota terjadi pengulangan pilkada lantaran prosesnya dinilai tidak berlangsung demokratis, jujur, dan adil, serta masih ditemukan adanya unsur kecurangan. Apalagi, kalau calon yang jadi ternyata bukan figur yang dikehendaki oleh sebagian besar warga, mereka tak segan-segan melancarkan protes dan unjuk rasa.

Sepanjang tuntutan yang disuarakan warga lewat unjuk rasa itu wajar dan murni mengingat adanya praktek kecurangan dalam pilkada, tentu saja hal itu dapat dimaklumi dan ditolerir. Akan tetapi, kalau sudah menjurus pada tindakan pemaksaan kehendak ditingkah dengan ulah perusakan, pembakaran, dan amuk massa, lantaran ambisi calonnya tidak tercapai, padahal tidak ditemukan adanya unsur kecurangan dalam pilkada, kejadian itu patut kita sayangkan.

Tindakan seperti itu sebenarnya mengingkari makna hakiki demokrasi itu sendiri. Esensi demokrasi yang sebenaraya ialah kesediaan untuk bersikap jujur dan ksatria menerima kekalahan, sekaligus mengakui kemenangan pihak “lawan”.

Fenomena pilkada yang diwarnai berbagai aksi kekerasan di era reformasi ini setidaknya dilatarbelakangi oleh terciptanya suasana euforia massa setelah lebih dari tiga dasawarsa kebebasannya dibelenggu oleh rezim Orde Baru. Bagaikan kuda liar yang lepas dari kandang, begitu rezim Orde Baru tergusur dari panggung kekuasaan, para warga merasa mendapatkan kembali kedaulatannya yang terampas. Mereka bebas menyuarakan pendapat, mengkritik, bahkan melakukan unjuk rasa, tanpa takut lagi dicap sebagai pembangkang, PKI, atau anti-Pancasila –julukan yang acap kali dilontarkan penguasa Orde Baru kepada rakyat yang suka mengkritik penguasa.

Derasnya arus reformasi yang diwarnai dengan berbagai aksi unjuk rasa seperti yang mereka lihat di layar televisi, kian menyuburkan nyali warga untuk menggugat praktik-praktik penyimpangan, penyelewengan, korup, dan berbagai ulah amoral yang dilakukan oleh aparat daerah/kota. Tidak mengherankan kalau banyak kepala daerah/kota yang diduga melakukan penyimpangan harus tergusur dari kursi kepejabatannya akibat gencarnya aksi unjuk rasa warga.

Bagi warga, pilkada benar-benar ingin dijadikan sebagai momentum untuk memilih seorang pemimpin yang dinilai mampu membawa kemajuan daerah/kota melalui proses pemilihan yang benar-benar demokratis, jujur, dan adil. Dari sisi ini, berbagai aksi unjuk rasa warga yang menuntut ulang pelaksanaan pilkada lantaran ditemukan bukti-bukti kecurangan, memang hal yang wajar di era keterbukaan ini. Akan tetapi, patut disayangkan memang kalau situasi dan iklim semacam itu lantas dimanfaatkan untuk melampiaskan “dendam” dari kubu calon yang kalah dengan cara-cara yang kurang fair dalam berdemokrasi.

Siapa pun orangnya, jelas tak menginginkan suasana daerah/kota yang begitu kuyup oleh sentuhan kedamaian, ketenteraman, dan kerukunan, tiba-tiba menjadi rusak dan porak-poranda oleh konflik antarkelompok kepentingan. Fenomena vandalistis, anarkhis, dan bar-bar yang mewarnai siklus demokrasi ini, mestinya dijadikan cermin berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tindak kerusuhan dan aksi kekerasan bukanlah solusi arif untuk menuntaskan masalah. Bahkan, risikonya pun harus ditebus dengan harga yang cukup mahal.

Di negara mana pun yang menganut paham demokrasi mustahil “mengalalkan” cara-cara “purba” yang vulgar itu dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini artinya, mengajak kita semua untuk bisa menjadi “aktor” demokrasi yang jujur, ksatria, dan mampu menahan diri sesuai dengan idaman Ibu Pertiwi. ***

ooo

Keterangan: Gambar diambil dari sini.

No Comments

  1. Ternyata sampai sekarang ini kita masih belum bisa dewasa dalam berpolitik. Entah sampai kapan belajarnya. *menerawang*

    ooo
    iya, mas dana. itu juga sering dijadikan anekdot para pengamat. katanya kita ini belajar terus ttg demokrasi, tapi ndak pernah lulus2, hiks 😈

  2. Selama pemilih belum mempunyai kematangan dalam memahami hak pilihnya, dan tak memahami mengapa harus memilih, dan harus menerima risiko menang kalah atas orang yang dipilihnya (aneh memang, kalau jagonya kalah kok marah)….maka masih akan ada hal-hal yang seperti diceritakan pak Sawali di atas.

    Sebetulnya para calon juga harus mempunyai kedewasaan, dan menjelaskan di depan para pendukungnya, bahwa kalah menang bukan tujuan….tapi tentu saja berharap menang. Kalau telah ada keputusan kalah, harus segera memberikan selamat kepada yang menang…tentu para pendukung akan mengikuti panutannya…masalahnya ada banyak uang di baliknya…..Syukurlah saya tak ikutan dalam hal begini, pasti malah nambahi stres.

    edratnas last blog post..Benarkah riset pasar tak selalu mencerminkan keinginan pasar?

    ooo
    yups, idealnya begitu, bu enny. yang kalah mesti menerima dg lapang dada, yang menang pun tak perlu menepuk dada. :oke

  3. Ah bosan ah soal Pilkada. Di dunia inilah negara yang hampir tiap hari ada Pilkadanya. Lebih jorok, waktu, dana, dan potensi habis disedot untuk dan demi Pilkada. Apa-apa dihubungkan dengan Pilkasa. Sungguh membosanka. Emang … setelah Pilkada bergulir sebagai anak reformasi negeri ini makin baik? Kita seharusnya belajar dari kenyataan. Pilkada, Pilkadan, untuk siapa ya?

    Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Guru Curang, Guru Baik?

    ooo
    iya, pak ersis, sebenarnya pilkada itu utk kepentingan siapa sih? rakyatkah? kalau demi rakyat, kenapa juga dana yang tersedot itu ndak banyak manfaatnya buat rakyat, yak! *jadi malah makin bingung, hiks*

  4. memang di beberapa tempat pilkada berjalan dengan damai, tapi ada kecenderungan pihak yang kalah akan mengklaim terjadi kecurangan. Harusnya belajar kalah dulu untuk menjadi pemenang.

    itikkecils last blog post..I know you miss me

    ooo
    sepakat mbak itikkecil heheheheh 😆 sebelum siap menang, seharusnya mereka perlu belajar utk siap kalah 💡

  5. kelihatannya sih aman dan damai, seusai itu, terdengar di TV, media cetak lainnya, terdapat keributan, yang lebih sakitnya itu adalah orang yang tak tw apa2 jadi korban..

    Okta Sihotangs last blog post..Ternyata cinta itu indah

    ooo
    nah, itu dia mas okta, seperti pepatah: “gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati di tengah2”, hiks. akhirnya rakyat kecil juga yang sering jadi korban. 😛

  6. I really think the term PILKADAL is more appropriate. Because every candidate is always find a way to “Mengkadali” his opponents. 😀
    But for what? It’s all about the money. It’s not how to serve your fellow countrymen. It’s all about profit and loss. The winner get a chance to make money to cover his capital, while the loser, well, he lost.
    And us? Both ways, we still get free t-shirts at the very least 😯

    ooo
    waduh, itulah repotnya mas koko kalau pilkadal seperti arena dagang sapi. untung rugi selalu menjadi pertimbangan. setelah jadi, mereka tak segan2 menghalalkan segala cara utk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. akhirnya, rakyat jadi ndak pernah dapat perhatian. makanya, saya juga sepakat dg mas koko, lebih tepat disingkat pilkadal yang identik dg upaya mengkadali lawan, hiks. 💡

  7. Yang saya heran njih pak, masa yang mengamuk itu memnag pendukung setia atau dibayar yah 😐

    Maksud saya, pergantian kepala daerah mungkin tidak memberikan benefit yang mencolok bagi para pendukung itu.
    Sebaliknya, saya yakin kepala daerah terpilih akan segera mendapatkan benefit yang luar biasa.
    Jadi kenapa seakan rela melakukan apapun agar orang tententu bisa menjadi kepala daerah.
    Jika dukungan mereka adalah dukungan positif mungkin masih bisa diterima, tapi ini riot je 8)

    ooo
    nah itulah yang jadi persoalan, pak sigid. massa demikian mudah dimanfaatkan oleh calon tertentu utk mengegolkan ambisinya. di tengah situasi ekonomi yang sulit seperti ini duwit agaknya bisa menjadi senjata yang ampuh bagi calon kepala daerah utk memanfaatkan massa. :mrgreen:

  8. Keknya semenjak tragedi 1998 terjadi perubahan karakter manusia Indonesia ya, apa karena dampak dari pengekangan selama berpuluh tahun?? tapi ya, sebaiknya masyarakat & pengurus bangsa tetap mengutamakan kebijaksanaan ya.. Sayang, pelajaran-pelajaran moral lalu hilang entah kemana..
    Pemilihan Wakil Rakyat secara langsung pun belum tentu mewakili aspirasi masyarakat 🙁

    ooo
    sedih juga mbak fifi ketika menyaksikan berbagai gejolak yang terjadi di tengah2 masyarakat. hanya lantaran berbeda kepentingan, mereka tega melakukan kekerasan terhadap sesamanya. agaknya situasi semacam itulah yang sering dimanfaatkan para petualang politik utk beraksi. 🙁

  9. yah yang jadi soal bukan para wong cilik yang gak tahu jungtrunge persoalan kan pak. elit politik kita yang masih berjiwa pemimpi bukan pemimpin.
    pinginnya semua mimpi-nya menjadi kenyataan pak. pilkada maluku utara salah satu contohnya, lha KPU-nya kok pada bodho ya pak, berhitung saja gak bisa.
    heeee heee heee…..

    ooo
    waduh, itu malah lebih repot lagi, pak slamet, itu, masak KPU ndak pernah belajar matematika hingga salah hitung. jelas situasi semacam itu makin memicu terjadinya intrik dan konflik. 🙁

  10. pilkada atau pil-kadal??? metafor kadal biasa ditujukan kepada oknum-oknum yang bermuka dua, lain depan lain belakang, hari ini begini besok begitu, bahasa agama munafik. Jangan pilih kadal!!!

    taufiks last blog post..Cinta, Kuasa dan Kekuasaan

    ooo
    istilah ini sama seperti yang digunakan mas koko. agaknya akronim pilkadal lebih tepat dipakai mas taufik utk menggantikannya, hehehehe 😆 kan mereka suka mengadali lawan2 politiknya, hiks 🙁

  11. mungkin bangsa ini memang belum siap menerima demokrasi.

    ooo
    yups, bisa juga mas dafhy. tapi seharusnya sudah lebih matang dalam berdemokrasi ketika negeri ini sudah merdeka lebih dari separuh abad, bahkan sudah berkepala 6 🙁

  12. Sekali lagi… begitulah yang namanya politik…. mencari dukungan…. memecah belah…. demi keuntungannya sendiri atau golongannya.
    Tentu saja menjadi kepala daerah adalah jabatan yang sangat “menanjikan” secara material walaupun itu dengan cara2 yang tak terpuji, kalau tidak, ya mana mau ada yang mau jadi kepala daerah! Celakanya, justru motivasi materilah (lewat kekuasaan) yang menjadi motivasi utama seseorang ingin menjadi kepala daerah, hasilnya?? Yah… seperti yang sama2 telah kita ketahui dan kita maklumi…….

    Yari NKs last blog post..Buah-Buahan Membuat Anda Sehat!

    ooo
    yups, itulah ironi yang terus berlangsung di negeri ini, bung yari. agaknya benar kata orang kalau di negeri ini susah mencari sosok negarawan sejati yang bener2 mengabdi kepada rakyat, bangsa, dan negara. kepala daerah sekarng ini tak ubahnya bagaikan adipati yang berhak menentukan segalanya di daerah masing2. tak heran jika pilkada(l) menjadi ajang pesta demokrasi sampai bener2 mabuk. *halah*

  13. Saya kalau ke sini lupa ngisi itung-itungan mulu. So, komentar yang sudah ditulis ilang musnah tanpa sisa ketika menuruti perintah untuk kembali dan mengisi itung-itungan.

    -*-
    Apakah sebaiknya pilkada ditiadakan saja seperti usul SBY (CMIIW) beberapa waktu lalu? Terlalu menguras energi dan keuangan bangsa. Bagaimana, Pak?

    Arifs last blog post..Sugeng Rawuh Sultan Ndoyokarto

    ooo
    wah, bisa juga dipertimbangkan, mas arif. menurut saya, idealnya bupati memang jabatan karier, bukan jabatan politik. kalau jabatan politik seperti sekarang ini, hampir semua daerah selalu terjadi intrik2 politik yang bisa membikin rakyat tdk tenang, apalagi kalau yang terpilih tdk mencerminkan sosok pemimpin yang bersih dan berwibawa. 🙁

  14. ah kita adalah bangsa jajahan Pak Guru, :291 terjajah mental spiritual & jiwanya. tak punya lagi otonomi diri sehingga mudah dihasut oleh berbagai pihak & berbagai kepentingan 😥 maka saya mendukung Pak Guru :293 sebagai pendidik bangsa ini untuk menghilangkan komplek minder :296 kita menumbuhkan karakter diri yang kuat sebagai pribadi yang otonom yang merdeka berdaulat atas hidupnya. kemerdekaan bukan pernyataan tapi harus kita nyatakan 🙄

    tomys last blog post..AGAMA UNTUK MANUSIA BUKAN MANUSIA UNTUK AGAMA

    ooo
    yups, sepakat banget pak tomy, semoga saja kita menjadi pribadi2 yang bisa hidup merdeka. seringkali juga stigma bangsa terjajah itu lantaran kita sendiri acap kali tidak melakukan “pemberontakan” *halah* 💡

  15. Itulah gambaran perpolitikan kita, entah kapan hal ini terus terjadi… Politik butuh rakyat, tapi rakyat tak selalu membutuhkannya…
    Bangsa kita belum dewasa pak [lah kapan dewasanya?] ❓

    azaxss last blog post..Tabah Club

    000
    nah, itulah kenyataan yang terjadi mas azaxs. kenapa bangsa kita belum juga dewasa dalam berdemokrasi, padahal sudah berusia lebih dari separuh abad. ajang dan permainan politik agaknya telah menjadi faktor penghambat utk mencapai kedewasaan itu. biasanya politik klan cenderung kekanak2an, mas, hehehehe :mrgreen: serba repot.

  16. ..dan begitulah jika kebebasan tanpa dilandasi kedewasaan.

    Masih terlalu banyak yg make “kacamata kuda” Pak… sehingga yg muncul adalah fanatisme sempit dan sikap mo menang sendiri. Selama masyarakat ini belum bisa “dewasa” dalam berpikir, berucap dan bertindak… maka selama itupula-lah “tindakan bar-bar” akan tetap terjadi.

    Memang tidak mudah menghilangkan “tindakan bar-bar” di setiap “pesta demokrasi” di negeri ini… tapi dgn menyiapkan pimpinan masa depan melalui proses regenerasi yg benar akan bisa mengurangi bahkan meniadakan segala macam bentuk “tindakan bar-bar”.

    Dalam hal ini… tidak ada salahnya… klo para politisi mencontoh “militer” dalam menyiapkan pemimpinnya sehingga siapapun yg menjadi Panglima(nya) maka gak pernah terjadi gejolak ato tindakan bar-bar. Tq.

    serdadu95s last blog post..ini bukan blog militer….

    ooo
    yups, mudah2an saja, bangsa kita cepet menjadi dewasa dalam berdemokrasi, bung serdadu. proses regenerasi secara mapan memang diperlukan, bung. lebih bagus lagi kalau calon pemimpin masa depan itu bener2 dikehendaki oleh rakyat melalui sebuah pesta demokrasi itu.

  17. yups mari kita menjadi “aktor” demokrasi yang jujur, ksatria, dan mampu menahan diri sesuai dengan idaman Ibu Pertiwi. ***

    hanggadamais last blog post..Diriku merasa 5 L

    ooo
    hehehehehe 🙄 mudah2an mas hangga. lalu, komen mas hangga mana? hiks.

  18. sebaiknya tidak ada pilkada lagi, uang rakyat banyak terkuras disana. sementara hasilnya juga tidak maksimal. dari awal saja prosesnya sudah seperti permainan judi. siapa yg modalnya besar bisa ikut bermain, yg gak punya modal silahkan kepinggir. dan bisa ditebak yang menang pasti berharap modal balik dengan keuntungan berlipat. :acc

    Totok Sugiantos last blog post..WP 2.5, Mau?

    ooo
    saya juga sepakat dg mas totok. jabatan bupati/walikota, bahkan juga gubernur malah lebih bagus kalau menjadi jabatan karier, bukan jabatan politik. 🙄

  19. pilkada iku sakbangsane pilkoplo yo ki? ulun mboya ngerti opo karepe titah ing ngarcopodo, regejegan goleg panguwasan. wong yo besuk bakale tumekane pejah, mujur ngalor mlumah ngablah-ablah, diurugi lemah, owalah…
    sesama semar dilarang saling menasihati 😀

    Nayantakas last blog post..Lompong

    ooo
    nah, la ya koyo ngono kuwi, ki nayantaka, horekgdan kahananing donya saiki. beda karo kayangan toh, ki. ning marcapada isine mung padha padudon, marakke ora tentrem. wew.. begegeg uge2 sardulita mel, mel, mel… eee, moga2 ki nayantakan tansah pinaringan rahayu nir hing sambikala. 💡

  20. Saya rasa, pelaku kerusuhan dan korban gak tau apa2 soal masalah mereka, mereka cuma dibayar. Saya jug apernah liat sendiri setelah ngelempar gedung kejaksaan mereka di bayar Rp. 5000

    Bambosis last blog post..Naluri Sombong

    ooo
    waduh, sudah keterlaluan itu sekali demo hanya 5 ribu perak. yang keterlalu itu sebenarnya yang mbayari atau yang dibayar, yak 😈

  21. Setiap mendengar aksi-aksi primitif bapak2 birokrat/orang2 negeri ini, selalu saja saya inget Taufiq Ismail; “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia…

    Monggo, Pak
    [ngluyur…]

    ariss_s last blog post..Saya & (Pameran) Buku Islam

    ooo
    hahahaha 😆 begitulah bangsa kita mas ariss. tapi, bagaimanapun juga kita berharap akan adanya sebuah perubahan. dan itu akan berhasil apabila dimulai dari atas. yang bawah2 pasti ikutan. :oke

  22. Topik yang begini memang “makanan” Pak Sawali : mengupas perilaku politik sambil dibetot ke wilayah budaya. Mudah-mudahan analisa ecek-ecekku ini tidak meleset 💡 🙄 .

    Soal kekerasan yang mencemari pilkada; juga kecenderungan yang makin meluas yaitu segregasi sosial karena berseberangan dalam pilkada; juga money politics; tampaknya itu semua berurat berakar pada perubahan sosial di negara ini :

    1.Materialisme yang dicangkokkan oleh Orde Soeharto
    2.Rayuan konsumerisme dan pameran kemewahan oleh bandit-bandit birokrasi, politik, kemasyarakatan dan keagamaan yang menjadi kaya raya dengan cara-cara yang serong.
    3.Kemerosotan ahlak bangsa
    4.Lunturnya solidaritas sosial
    5.Disorientasi cita-cita bersama sebagai bangsa dan negara; sehingga orang jadi mmentingkan diri sendiri

    Salam Merdeka !

    Robert Manurungs last blog post..Indonesia Butuh Pemimpin Berjiwa Negarawan

    ooo
    🙄 makasih banget analisisnya, Bung Robert. bisa makin memperluas dan memperdalam kajian dalam postingan ini. Oke banget dan saya sepakat itu. 🙄
    salam merdeka juga bung robert! 💡

  23. aSL.

    Ya..begitulah, manusia di negeri ini, setelah dikungkung selama 32 tahun, ibarat ayam dilepas dari kandangnya. bebas, bebas meng-expresikan apa saja. hak politik, hak keyakinan, hak mengemukakan pendapat, dan hak2 lainnya bisa di aktualisasikan semuanya, karena era reformasi katanya. Kadang aktualisasik itupun melanggar adab, etika, sopan santun, norma, adat, agama, budaya ketimuran.

    Mungkin masih belajar….ya..sebuah kemajuan mungkin. tapi setidaknya kita bisa belajar dewasa dari semua ini.

    ooo
    yaps, begitulah bung abdillah. sepertinya kita telah melakukan kekeliruan secara kolektif dalam memahami makna reformasi. kebebasan sudah demikian dipahami terlalu jauh dari esensinya. mudah2an ada perubahan yang lebih baik, ya, bung!

  24. moga saja…masyarakat kita semakin dewasa dan cerdas dlm memahami dinamika perpolitkan indonesia dewasa ini.

    Saling menghormati, saling memahami, saling komunikasi, saling tolong menolong, saling berempati, bermoral, tahu etika..dll…mungkin itu sekelumit sikap2 terpuji bagi politikus kita atau yg mau belajar jadi politikus, termasuk para pendukung para politikus (kader dan simpatisan)

    yup…liat2 dari sekarang..buat 2009 ..hehe

    Alex Abdillahs last blog post..BERPIKIR MENDALAM

    ooo
    kita berharap kondisi seperti itu bung. menghargai perbedaan agaknya bisa menjadi basis yang kuat dalam menghadapi situasi semacam itu. yups, 2009 kayaknya masih bakal ramai nih, bung abdillah :oke

  25. Berarti sama-sama waras gilanya ya pak. Yang melakukan kecurangan dengan yang dicurangi. Hatinya tidak sama-sama bersih.
    Semoga Pilkada kita (baca: Pilkada Jateng) 22 Juni besok ga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.. kita-kita sih mintanya diparingi lancar, siapapun yang terpilih hendaknya dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Amin.

    Tottzs last blog post..Hitam Pekat Asap Bus yang Menyebalkan

    ooo
    yaps, mudah2an hal itu bisa terwujud, mas tottz. kita berharap pilkada di jateng berlangsung lancar tanpa ada aksi kekerasan 💡

  26. :DD Halah…
    capek-capek nulis komentar panjang, kok lupa gak tak jumlah tebakane pak Sawali :mrgreen: Capeeeek..dheh…nulis lageh..

    Klu Gak siap KALAH, mbok yah gak usah ikutan BERTANDING kenapa.. :112
    Melihat, memandangi barisan Pemadam Kebakaran yang ikut-ikutan refot ” Cancut Tali Wondo ” memadamkan PEMBERANGUSAN dengan mempertaruhkan JIWA dan RAGANYA…akibat ulah manusia-manusia yag gak SIAP KALAH dalam bertanding.

    Di negara mana pun yang menganut paham demokrasi mustahil “mengalalkan” cara-cara “purba” yang vulgar itu dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ini artinya, mengajak kita semua untuk bisa menjadi “aktor” demokrasi yang jujur, ksatria, dan mampu menahan diri sesuai dengan idaman Ibu Pertiwi. ( by Pak Sawali )

    Lah kan negeri ini kan emang belum MAJU toh Pak…?? :411

    Ngeloyor sambil Jalan MUNDUR…. :112

    Santri Gundhuls last blog post..BERBEDA Haruskah Ekstrem..??

    ooo
    naih tuh, kan, kan sudah saya berikan catatan, hehehehe 😆 mesti ngisi box komentar dulu. maaf juga mas santri kalau malah bikin repot. dalam berdemokrasi, idealnya harus siap untuk menang atau kalau secara terhormat, mas santri, hehehehe 💡

  27. maraknya aksi kekerasan dalam pilkada memiliki korelasi dengan belum matangnya demokrasi kita, entahlah.
    Tapi untuk pilkada depan yang sudah mengakomodasi calon independen, Konfigurasi permasalahan pilkada bisa saja nantinya semakin rumit.

    petaks last blog post..Jangan buang koran bekas anda!

    ooo
    bisa jadi begitu, mas. kapan negeri kita bisa lulus belajar berdemokrasi, yak? :oke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *