Kritik Model “Wayang Slengekan”

Wayang

Dalang: Sawali Tuhusetya

Ketika saya memosting pernak-pernik seputar dunia “Wayang Slengekan” –kalau boleh saya menyebutnya demikian untuk menampilkan kesan nakal, mbeling, atau konyol– di blog ini, banyak respon menarik dari teman-teman bloger dan para pengunjung. Hal itu bisa dilihat dari beberapa komentar yang muncul. Sebagian besar mengikuti style postingannya yang kenes, mbeling, nakal, dan slengekan. Hal ini menandakan bahwa dunia pakeliran wayang belum mati. Apalagi, setelah jagad pakeliran wayang purwa sering digelar di beberapa stasiun TV. Makin banyak saja orang yang mulai melirik dunia wayang purwa. Sebagai hiburan sekaligus juga memenuhi rongga nurani dengan berbagai asupan dan “gizi batin” yang mencerahkan.

Nah, dalam “Wayangan Slengekan”, saya sengaja mengangkat isu-isu mutakhir yang dalam pakem pewayangan mustahil ditemukan. Di sini, saya bebas mengangkat beragam tema. Ada cinta, moral, ekonomi, demokrasi, hukum, nasib rakyat, arogani penguasa, bahkan juga persoalan-persoalan politik kontekstual. Dalam konteks demikian, saya bisa memiliki kesempatan secara imajinatif untuk memosisikan setiap tokoh dalam dunia pewayangan menjadi tokoh-tokoh riil yang ada dalam kehidupan kontemporer masa kini dengan menampilkan karakter tokoh mulai di tingkat grass-root hingga mereka yang berada dalam lingkaran elite kekuasaan. Dengan kata lain, raganya saya meminjam epos Mahabharata atau Ramayana, tetapi rohnya adalah karakter orang-orang yang ada di sekeliling kita.

Lantas, sebenarnya di manakah letak keunikan “wayang slengekan” ini? Sekadar latah, unjuk kekenesan, tumpahan rasa tidak puas terhadap situasi dan kondisi zaman, atau sikap frustrasi lantaran tidak ada media yang tepat untuk menumpahkan berbagai kritik? Wew… pertanyaan ini sebenarnya lebih layak dijawab oleh pembaca. Pembacalah yang pantas menilai kehadiran “wayang slengekan” di blog ini.

Meski demikian, secara pribadi, saya bermimpi untuk bisa menggapai dua fungsi substansial melalui “wayang slengekan” ini. Pertama, fungsi introduksi seni wayang kepada para pembaca. Kedua, fungsi kritik untuk menciptakan suasana keterbukaan di tengah mampatnya saluran kritik resmi, sehingga memicu munculnya media kritik alternatif. Ini artinya, “wayang slengekan” bisa saya jadikan sebagai “corong” untuk melontarkan kritik konstruktif secara tidak langsung dengan mengambil latar dunia pewayangan.

Jujur saja, saya sering mengalami kesulitan ketika meracik “wayang slengekan” ini kepada pembaca. Saya tidak cukup hanya membaca dan memahami lakon alias cerita dalam pakem pewayangan pada setiap momen dan peristiwa, tetapi juga harus banyak belajar bagaimana melontarkan seni kritik. “Kena iwake naging aja nganti buthek banyune” (Kena ikannya, tetapi tidak sampai membuat air jadi keruh). Dengan cara yang demikian itu, saya berharap “wayang slengekan” tidak akan terjebak pada situasi yang hanya sekadar mengumbar kritik, kenes, atau sekadar tumpahan rasa frustrasi terhadap kondisi zaman. Esensi “wayang slengekan”, dalam pandangan awam saya, memang sekadar “guyon pari kena”; mengkritik tanpa menyakiti, sehingga bisa memberikan sesuatu yang berguna bagi pembaca. Nah, ternyata memang bukan persoalan yang gampang.

Menyimak beberapa lakon “wayang slengekan” yang tergelar di blog ini memang sangat berbeda dengan rubrik pewayangan yang sudah ada di beberapa media, apalagi jika harus dibandingkan dengan pakeliran wayang yang sesungguhnya. Di berbagai media, rubrik-rubrik dunia pewayangan dikemas dengan lebih menonjolkan penampilan nilai filosofis yang terkandung di balik setiap lakon. Alur cerita, gaya bahasa, atau substansi isi ceritanya masih “pakem minded“.

Nah, “wayang slengekan” memang saya harapkan *halah* tampil beda. Bahasanya dikemas santai, gado-gado, dan tidak baku dengan konteks kekinian. Pakem wayang menjadi urusan nomor dua. Saya lebih terfokus untuk memilih isu-isu hangat dan aktual yang tengah berkembang di tengah masyarakat, baru kemudian masuk ke dalam bingkai pakem. Sangat masuk akal jika di pentas “wayang slengekan” ini muncul tokoh presiden, jenderal, menteri, profesor, peneliti, selebritis, atau tokoh-tokoh muda yang dalam pentas kehidupan masyarakat memang memiliki peran dalam ikut berkiprah mengendalikan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan desain “pakeliran” semacam itu, saya berharap “wayang slengekan” bisa membuka kemungkinan untuk menyuarakan kebebasan berpendapat atau melontarkan kritik dan opini, tanpa berpretensi untuk “menelanjangi” seseorang atau kelompok tertentu.

Selain itu, “wayang slengekan” juga ingin menaburkan “gosip” bahwa karakter orang semacam Sengkuni yang julig dan culas telah menjelma ke dalam sosok “Sengkuni-sengkuni” baru. Atau, bisa jadi sosok cendekiawan semacam Begawan Dorna yang rela “menjual” kebenaran demi kepentingan penguasa sudah bertaburan di sekeliling kita. Nah, bagaimana? ***

oOo

Keterangan:

Gambar diambil dari sini.

Comments

  1. lah, ganti lagi themenya?
    haibat lah… 😀
    ngomong-ngomong pak, saya suka dengan ide wayang selengekannya, kalau menulis masalah pendidikan suka speechless saya *hayah*
    uhm tetapi, mohon maaf sebelumnya, bila boleh saya mengajukan sedikit usulan, ada beberapa hal yang saya rasa dipaksakan, penggunaan benda-benda seperti senjata (bedil), juga sedan sport, itu kok agak gimana gitu, hehe…
    barangkali akan lebih “maknyuss” bila menggunakan nama-nama senjata tiap tokoh, kemudian ada catatan kaki-nya, pun dengan tunggangan masing-masing tokoh, sepertinya ada nama-nama kereta juga kan?
    ah, maap ya pak, saya usil nih, usul nda’ nggenah :112

    Goop’s last blog post..Terjepit

  2. edy

    saya amat suka dng fungsi introduksi-nya, pak
    berlawanan dengan paman goop, justru di situ pak dalang eh pak guru bisa ‘nakal’ dan bermain wayang dng seting jaman masa kini

    :112 :205 <<<smileynya lucu 😀

    edy’s last blog post..Curhat Pengguna Jalan

  3. Kalau dengan cara membuat wayang model slengekan seperti itu akan membuat wayang sebagai sebuah produk budaya survive, menurut saya sih dak pa-pa. Yang penting sih, kalau menurut saya (lagi), selama nilai-nilai yang diajarkan melalui wayang itu tidak hilang… 🙄

    suandana’s last blog post..some things ?bout me?

  4. Di dunia ini banyak Sengkuni-sengkuni pak…tapi banyak juga yang jujur dan polos seperti Bima, walau kasar (to the point).

    Menghadapi dunia seperti ini, diperlukan orang yang bisa berstrategi seperti Kresna (Wisnu0, karena kritikan pun harus disampaikan dengan bahasa pas, waktu yang tepat.

    Kemarin saya membaca di kompas tentang wayang beber, terus terang saya belum pernah menonton wayang jenis ini. Bapak mau menjelaskna…dan mungkin ceritanya?

    edratna’s last blog post..Kenapa mesti malas ke dokter?

  5. Menambahi bu edratna, kalau di wayang golek (sunda) ada tokoh seperti Semar dan anak-anaknya (Cepot, Gareng) yang menjembatani Rakyat dan Pemimpin, tapi nggak kayak DPR, mereka dikagumi dan dihormati oleh pemimpin, tapi juga sangat dekat dengan kehidupan rakyatnya 😉 Berani berkata benar meskipun kepada pemimpin dan bukan para penjilat.

    Donny Reza’s last blog post..Tentang Wanita Berjilbab

  6. ngomong-ngomong pak, saya suka dengan ide wayang selengekannya, kalau menulis masalah pendidikan suka speechless saya *hayah*

    Same here, fella… >:D<

    Tapi kadang saya cuma bisa jadi pembaca aja, sorry pak, baca tapi ga komen. 😛

    Goenawan Lee’s last blog post..All About Me

  7. @ Hanna Fransisca:
    hehehehe :292 mudah2an masih ada bahan yang bisa ditulis, mbak hanna. makasih.

    @ Goop:
    makasih masukannya, mas goop. bagus juga. tapi rasa2nya kontekstual ceritanya jadi tidak terasa lagi tuh.

    @ edy:
    heheheheh :DD bener juga bung caplang. lewat “wayang slengekan” saya punya banyak kesempatan utk slengekan dan sedikit nakal, hiks :411

    @ suandana:
    yaps, makasih masukannya, pak adit. mudah2an tdk terlalu mengumbar kenakalan dan keslengekannya sehingga nilai2 dalam dunia pewayangan masih bisa terjags. :296

    @ -kiMi-:
    Makasih apresiasinya, mbak kimi. tunggu aja deh lakon berikutnya, hehehehehe :DD

    @ edratna:
    Walah, ttg wayang beber saya juga masih minim referensinya, bu. rasa-rasanya belum memiliki kesanggupan untuk memosting dunia wayang beber. btw, semoga saja sengkuni2 itu mulai berkurang kehadirannya di negeri ini, bu. sebaliknya, yang hadir adalah banyaknya kaum “pendawa” yang selalu berjuang menegakkan nilai2 kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

    @ Donny Reza:
    Yups, kerangka ceritanya tak jauh berbeda dg wayang purwa jawa, mas donny. dalam wayang purwa juga ada kok punakawan yang menjadi penyambung lidah rakyat kebanyakan dalam menyuarakan aspirasinya.

    @ Goenawan Lee:
    yups, makasih mas gun. terima kasih kalau sdh berkenan membacanya, hehehehe :oke dan tidak harus komen, kok, mas.

    @ Ersis Warmansyah Abbas:
    makasih pak ersis. btw, pak ersis suka bahasa juwa rupanya. bahasa banjar + jawa kalau “dikawinkan” dalam sebuah “wayang slenegkan” bisa jadi cewrita yang heboh kali, ya, pak, wakakakaka :acc

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Kritik Model “Wayang Slengekan”

  8. Waduh….. sebenarnya agak “gawat” juga ya?? Mudah2an yang bikin tertarik bukan selengekannya aja tapi wayangnya sendiri juga mudah2an dapat menarik perhatian. Tapi nggak apa2lah, siapa tahu dengan ketertarikan dengan slengekannya pada akhirnya juga akan tertarik dengan wayangnya. Seperti halnya internet, nggak mungkin memperkenalkan internet tanpa memperkenalkan komputer. **halaah nyambung nggak ya??** :411

    Yari NK’s last blog post..Kentut Sepuas-Puasnya!

    ooo
    itu seperti haraoan saya, bung yari. dengan mendedahkan topik2 kekinian, wayang jadi gampang diikuti alur ceritanya *halah* sehingga lama2 tertarik utk mengapresiasi wayang. :293

  9. Wayang sebagai warisan budaya leluhur tampaknya sudah hampir lepuh ditelan zamannya, oleh karena itu dibutuhkan kreasi2 baru untuk menarik minat generasi muda, ya kang sawali ini salah satu anak bangsa telah mekakukan ide dan kreatifitas tersebut, sehingga wayang bisa juga dikondisikan dengan situasi ke kinian, orang bisa menyebutnya wayang kontemporer.

    Wayang jika digali secara baik banyak sekali manfaatnya, bahkan lakon2 wayang bisa menjadi idol anak2 sekarang mengalahkan lakon2 paman sam, cuma memang harus ada dukungan dari berbagai pihak agar wayang sebagai warisan leluhur mampu tetap hidup hingga generasi yang akan datang.

    Mengenai Pakem, dalang2 konservatif yang sangat “anti pembaruan”, menilai wayang slengean sudah jauh dari pakem /khittah nya, namun yang bsia kita lalukan sebagai generasi muda adalah orang2 tua tsb kita ajak urun rembuk supaya wayang tidak punah.

    resi bismo’s last blog post..bangga berbahasa

    ooo
    sepakat banget mas ario. wayang yang mengandung nilai adiluhung memang perlu dilestarikan dan sekaligus dikembangkan melalui kreasi2 baru agar lebih merakyat dan populer sehingga tdk punah. ttg dalang2 konservatif agaknya sekarang sudah mulai berkurang, mas. 💡

  10. ini yg jadi dalangnya bener2 pak sawali ya ??

    ooo
    tinggal dalang apa dulu, mas hangga, hehehehe :mrgreen: yang pasti bukan dalang teroris atau kerusuhan, wakakakakaka 😈

  11. wah, luar biasa pak! ide dan semuanya serba menarik :112
    dengan wayang slengekan ini kayae sampeab juga mewakili dunia blogger di kehidupan nyata.. bicara apa adanya dan punya misi tentunya..
    wayang sendiri merupakan salah satu budaya kita yang paling tua, kalo diformat begini saya yakin banyak yang suka kembali kepada wayang… Selamat berjuang pak! 🙄
    [coba smile :205 ].. lutju

    0000
    terima kasih mas azaxs atas apresiasinya, hehehehe 💡

  12. Asyik pak… kadang orang tak mau dikritik lagsung, tapi melalui sindiran mereka lebih merasa tertampar, hehehe…
    sekalian juga mengangkat budaya asli indonesia…;)

    yups, makasih, mas ansori. wew… selamat atas kelahiran putri kembarnya, ya, mas, semoga kelak menjadi bidadari2 yang hebat, hehehehe :112

  13. Terus terang pada beberapa cerita wayang yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, saya sangat suka. Tapi kalau melihat wayang yang ditayangkan semalam suntuk, saya nyerah. Apalagi Bahasa Jawanya saya banyak nggak pahamnya.

    Kalau wayang slengekan, pakainya Bahasa Indonesia kan Pak?

    Zulmasris last blog post..Anak-anak Itu?.

    yups, bener pak zul, pakai bahasa indonesia agar bisa dipahami oleh pembaca dari berbagai daerah, hehehehe 💡

  14. Bikin model blog komik wayang dong Pak, macam buatan matstriphe atau komikdagdigdug itu tuh.

    Iwan Awaludins last blog post..KBRI Malaysia

    oooo
    waduh, kalau harus paki komik, saya menyerah deh, pak iwan, hehehehe :mrgreen: tdk bisa membuat komik sih soalnya, hehehehehe 💡

  15. ridu kalo baca postingan wayang slengekan dari pak sawali ini, sambil berimajinasi kalo pak sawali jadi dalang beneran.. tapi kalo boleh nanya, pak sawali bisa ngedalang gak??

    btw ridu mo pake smiley kaya om edy yg lucu2 itu.. mana kok gak ada yah..

    ridus last blog post..Akhirnya Wisuda Juga..

    wew… saya tdk bisa ndalang yang sesungguhnya ridu, hanya senang menikmati dan suka berimajinasi ttg tokoh2 wayang itu, heheheheh 💡 btw, kok bisa ndak terlihat smiley-nya, gimana yah? yang lain kan bisa tuh? 😈

  16. Saya membuka Wayang Slengekan ini sampai 5 kali tetapi bukan karena judulnya slengekan terus saya mbacanya slengekan. Kronologinya sebagai berikut:
    1. Dari Viigo (RSS Reader). Begitu ada tanda bintang di Catatan Sawali yang berarti ada tulisan baru saya segera buka.
    2. Dari BB Browser. Di Viigo tidak bisa komentar makanya buka di BB Browser. Ketika nungguin loading ketiduran. Indosat lagi parah akses datanya.
    3. Dari Note Book. Belum dibaca keburu ketabrak kerjaan.
    4. dari BB Browser dalam perjalanan ke klien. Ketunda karena pangilan-panggilan masuk.
    5. Malam ini. Akhirnya khatam juga.
    -*-

    Saya senang dengan wayang slengekan yang digagas. Bukan untuk merusak pakem wayang melainkan membawa wayang agar mampu menyampaikan pesan-pesan kekinian. Kalau mau cerita yang baku, wayang purwolah yang harus dilihat. Kalau mau melihat wayang yang mengadopsi cerita-cerita baku namun berisi pesan-pesan kekinian, wayang slengekanlah yang perlu dinikmati.

    oooo
    wah, gpp, mas arif. syukurlah, akhirnya berhasil membaca juga, hehehehe 💡 yups, saya juga sepakat dg mas arif. “wayang slengekan” tdk dimaksudkan utk merusak pakem, tetapi lebih dimaksudkan utk mengintrodusir cerita pakeliran wayang ke dalam kemasan bahasa yang lebih mudah dipahami dengan menampilkan topik2 yang lebih kontekstual. yups, makasih mas arif. 💡 btw, kok commentluv-nya berubah jadi kode2 script, yaK? maaf, kodenya kuhapus saja, ya, mas :mrgreen:

  17. yaK? maaf, kodenya kuhapus saja

    Ada yang salah dengan blog saya kali ya? Saya belum ke sana seharian ini. :))

    ooo
    wew… masuk anginnya belum sembuh ya, mas, hehehehe 😡

  18. Kotake kok malih ono soal matematikane pak…
    Kemarin2 saya merasa tau banyak tentang wayang, tapi setelah baca wayangnya P. Sawali, saya jadi merasa gak tau apa2. :114
    Lalu saya berkesimpulan, saya tidak akan berjaya menjadi penulis sekiranya saya tidak menjadi pembaca terlebih dahulu. 😛
    Usul saya… (pasti ditindaklanjuti P. Sawali), tambah terus tulisan tentang wayang, biar saya bisa baca terus.
    Kosa wayang yg ada pada saya ternyata minimalis, sebatas Yudistira Basodara, Gatotkaca, Abimanyu, Setyaki, Kresna, Baladewa, Arimbi, Kunti, Srikandi, Mustakaweni, Jagal Abilawa, Duryudono, Hanoman, Anggodo, Anilo, Sengkuni, Durna dan sedikit yg lain.
    Yg saya ingat sebatas yang ada di mainan kecil tempo dulu, berupa selembar kertas segi empat bergambar 100 wayang, itupun dikurangi untuk gambar barisan, Jatayu, Banteng, Gajah dan gambar kewan lain sejumlah 10 buah. (P. Sawali ngalami itu gak ??). Lalu pencetaknya yaitu “Gunung Kelud” banting setir, nyetak gambar lain sejenis Monster raksasa yg ngobrak-abrik kota.
    Jaman main wayangan dulu, kalau istirahat sekolah tiba, saya & temen2 memanfaatkan untuk judi kecil2an dengan taruhan wayang. Ada yg disebut “umbul”, ada pula yg sejenis “tombok”. Yg terakhir ini ada “Blandar”nya, ada penomboknya.
    Saya jadi pengin pulang kampung dan kembali ke masa itu lagi…

    marsudiyantos last blog post..

    ooo
    wakakakaka 😆 ternyata ora beda adoh saka aku, pak mar. jaman cilikanku mbiyen pas nonton wayang mesthi dha totohan nganggo kartu wayang. kadang2 totohane gelang karet. wah, asyik juga membayangkan masa kecil pak, mar 💡 ttg wayangnya insyaallah masih dapat bahannya, pak, entah menarik atau tidak, hehehehehe 🙄 walah, pak mar malah hafal dg nama2 wayang segudang gitu kok, apalagi mbahnya pak mar kan punya wayang sakperabotane komplit :oke

  19. Yang buat menarik apresiasi masyarakat terhadap wayang salah satunya dengan wayang slengekan seperti itu. Namun dda konflik batin dalam diri ini antara esensi wayang yang sebenarnya dengan wayang Slengekan.. Tapi tak apalah, yang penting orang Jawa ora ilang Jawane.

    Tottzs last blog post..TN, Basket, dan Kerusuhan

    ooo
    yups, makasih mas tottz atas apresiasinya. mudah2an makin banyak yang suka wayang hehehehehe :oke

  20. Amiin

    Yen dhalang mung ngoyak mutu, pakelirane bakal ditinggalake penonton. Nanging yen mung mburu payu, bisa-bisa dianggep “nerak” aturan pedhalangan. Kamangka dhalang iku ora mung ngupaya upa, nanging uga jejer minangka kreator, agen perubahan, local genius, kapara dadi gurune masyarakat. Kepriye rekadayane dhalang supaya bisa “mronjol selane garu” ing satengah-tengahe situasi sing sok-sok ora ngungungake tumrap jagad pakeliran iki? (dosen saya)

    Tottzs last blog post..Hitam Pekat Asap Bus yang Menyebalkan

    ooo
    wah, salut banget dengan mas Tottz, nih 💡 tak kuduga, ternaya demikian fasih berbahasa jawa, setara dengan para dalang kondang itu. yups, kula sarujuk banget kalaih atur pangandikanipun mas tottz kala wau. panci leres, dalang kedah saged manjing ajur ajer :oke

  21. anisyaul faizah

    kulo sanget setuju sareng pendapate bapak,napa maleh lare sak niki isin lek ningali wayang padahal niku budaya seng kudu di lestarikan bahkan kadang mahasiswa sastra ndiri juga kurang suka dengan wayang (sebenarx saya suka tapi karena belum terbiasa saja dengan yang namanya wayang n palagi saya mahasisiwi sastra,pak!tolong dong pak bagi2 ilmunya?)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *