Mampukah Sekolah Menjadi “Benteng” Utama Apresiasi Sastra?

Rendahnya tingkat apresiasi masyarakat (publik) terhadap sastra hingga kini masih terus menjadi perbincangan hangat di kalangan pengamat dan pemerhati sastra. Acara baca puisi, cerpen atau teater, apalagi seminar/diskusi, sering luput dari perhatian publik; hanya dihadiri oleh beberapa gelintir orang saja. Keadaan semacam itu diperparah dengan rendahnya minat baca publik terhadap buku-buku sastra. Lihat saja di perpustakaan atau toko-toko buku. Buku-buku sastra hanya sekadar jadi pelengkap dan pajangan; dibiarkan terpuruk tak tersentuh.

Tidak heran jika Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa masyarakat kita telah dihinggapi gejala “rabun sastra”, sehingga gagal menikmati keindahan nilai yang terkandung dalam karya sastra. Padahal, dengan membaca karya sastra, pembaca akan memperoleh kegembiraan dan kepuasan batin berupa hiburan intelektual dan spiritual yang akan membuka ruang kesadarannya akan makna kebenaran hidup hakiki; menjadikan manusia yang berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap sikap arif dan luhur budi (Sumardjo dan Saini, 1994).

Hal itu tidak berlebihan, sebab –meminjam istilah Amini (1996)– karya sastra mengandung nilai edukatif sebagai “panduan” dalam memasuki kompleksitas kejiwaan manusia, hubungan antarpribadi dan masyarakat, hingga alam semesta dan Tuhan. Seraya menghibur, sastra menawarkan pathos, nilai kearifan, kedalaman perenungan, dan menjadi semacam model-model perilaku yang dikandungnya.

Hal senada juga dikemukakan oleh Hassan (1989) bahwa karya sastra merupakan gelanggang manifestasi berbagai kondisi manusiawi, sehingga mampu mementaskan representasi aneka ragam penghayatan manusia. Melalui karya sastra, manusia berpeluang melakukan objektivikasi penghayatannya secara mendalam; menjadi tempat diproyeksikannya pengalaman psikis manusia. Dengan demikian, pembaca akan terbimbing kepekaan nuraninya untuk mengukuhi nilai keluhuran dan kemuliaan budi dalam hidup, serta berusaha menghindari perilaku yang bisa menodai citra keharmonisan hidup di tengah komunitas dan paguyuban sosialnya.

Yang lebih memprihatinkan, gejala “rabun sastra” dinilai telah mewabah pula di kalangan pelajar kita. Tingkat apresiasi mereka terhadap karya sastra dinilai belum seperti yang diharapkan. Mereka lebih akrab bergaul dengan situs-situs porno –konon pada bulan April nanti akan diblokir– atau melambungkan khayal lewat play-station. Akibatnya, mereka menjadi begitu rentan terhadap imaji kekerasan, seks, dan narkoba.

***

Mengapa apresiasi sastra pelajar kita menjadi demikian rendah? Setidaknya, ada tiga argumen yang layak dikemukakan. Pertama, pelajar kita mulai kehilangan kepekaan terhadap persoalan-persoalan moral, agama, dan budi pekerti akibat merebaknya “doktrin” materialisme, konsumtivisme, dan hedonisme yang dikibarkan oleh “bendera” modernisasi. Imbasnya, gebyar lahiriah dan duniawi dianggap lebih memiliki pesona dan daya pikat ketimbang urusan batiniah, kemanusiaan, budaya, dan religi.

Kedua, situasi pengajaran sastra di sekolah belum sepenuhnya mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar apresiasi sastra secara suntuk, total, dan intens. Suasana pengajaran sastra berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan menegangkan. Siswa hanya diperlakukan bak “tong sampah” yang terus-terusan menerima transfer ilmu bercorak teoretis dan hafalan dari sang guru, tanpa disediakan ruang untuk berdiskusi, berdialog, dan bercurah pikir secara terbuka, interaktif, kritis, dan kreatif. Siswa hanya dibebani target untuk mencapai hasil maksimal dalam prestasi akademik tanpa diimbangi dengan pendalaman secara apresiatif.

Ketiga, tugas ganda guru bahasa Indonesia yang diwajibkan untuk mengajarkan sastra. Jika kita melihat fakta yang terjadi, secara jujur mesti diakui, guru yang mahir mengajarkan bahasa belum tentu tampil memikat ketika dituntut untuk mengajarkan sastra. Mengajarkan puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar, guru juga diharapkan mampu “berakting” dengan vokal, gerak, dan ekspresi yang memikat, sehingga secara sugestif mampu menggairahkan minat siswa untuk belajar apresiasi sastra.

Tuntutan semacam itu jelas tidak mudah dilakukan oleh guru bahasa yang minim minat, wawasan, dan “talenta” sastranya. Akibatnya, muatan sastra dalam kurikulum sering gagal diterjemahkan, bahkan dilewati begitu saja, lantaran dianggap bukan sebagai materi esensial yang akan diujikan dalam ulangan umum maupun ujian.

***

Kalau keadaan semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra di sekolah makin terpuruk dan terpinggirkan di tengah hiruk-pikuk peradaban. Menghadapi era global yang serba kompetitif dan berdaya saing tinggi, sekolah diharapkan benar-benar mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan ranah kognitif-psikomotorik an-sich, tetapi juga ranah afektif yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian siswa didik. Dengan demikian, keluaran pendidikan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial, sehingga kelak mampu bersaing di tengah-tengah arus global secara arif, matang, dan dewasa.

Dalam konteks demikian, pengajaran apresiasi sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan. Ini artinya, mau atau tidak, sekolah harus memosisikan diri menjadi “benteng” utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat, serius, dan optimal.

Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya ada empat hal penting dan urgen untuk segera diagendakan. Pertama, memberdayakan guru bahasa Indonesia. Karena juga dituntut untuk mampu mengajarkan sastra dengan baik, maka harus ada upaya serius untuk membekali mereka melalui berbagai forum semacam Temu Sastrawan, diskusi, atau pelatihan untuk memperkuat basis dan wawasan kesastraannya. MGMP sebagai wadah dan forum guru mata pelajaran, perlu direvitalisasi agar tidak terus-terusan “menganaktirikan” pengajaran sastra seperti yang terjadi selama ini.

Kedua, guru bahasa mesti lebih kreatif dengan terus berupaya menciptakan atmosfer pembelajaran sastra yang lebih menarik dan memikat; tidak hanya sekadar menyuapi siswanya dengan setumpuk teori dan hafalan. Pendekatan apresiatif yang membuka ruang diskusi dan bercurah pikir yang membuat siswa gemar dan cinta sastra harus benar-benar dihadirkan.

Ketiga, program SMS (Sastrawan Masuk Sekolah) semacam Sastrawan Bicara Siswa Bertanya seperti yang pernah dirintis Yayasan Indonesia dan majalah sastra Horison bekerja sama dengan The Ford Foundation perlu “dibumikan” di sekolah-sekolah untuk ikut menjawab kegelisahan guru yang selama ini dinilai telah gagal dalam mengajarkan apresiasi sastra.

Keempat, seiring dengan bergulirnya desentralisasi pendidikan dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), perlu dipikirkan adanya pelaksanaan ujian sastra yang lebih apresiatif agar para guru tidak lagi menganggap muatan sastra sebagai materi yang tidak esensial.

Keempat agenda tersebut perlu didukung dengan komitmen tinggi para pengambil kebijakan, ditunjang dengan fasilitas perpustakaan sekolah yang memadai. Dengan demikian, sekolah benar-benar akan mampu menjadi “benteng” utama apresiasi sastra, tidak hanya sekadar slogan dan retorika belaka. Nah, bagaimana? ***

ooo

Keterangan: gambar diambil dari sini, sini, dan sini.

Comments

  1. Budaya pop dan budaya instan adalah salah satu penyebab kurang lakunya sastra (atau budaya membaca). Tayangan audio visual memang lebih mudah dinikmati. Tanpa perlu berfikir panjang, pesan yang disampaikan bisa langsung dicerna.

    Mardies’s last blog post..Dhani Dewa Sudah Tidak Waras Lagi

    ooo
    wah, ya repot juga tuh mas mardies, kalau keagungan nilai karya sastra dah kalah sama budaya pop. makanya, perlu ada upaya revitalisasi secara serius melalui pengajaran sastra di sekolah.

  2. kayak karena bahasa Indonesia di jadikan satu dengan sastra Indonesia.
    mungkin perlu pemisahan tersendiri yah pak 🙂

    aRuL’s last blog post..Menulis buku vs Ngeblog

    ooo
    sebenarnya akan lebih bagus kalau pengajaran sastra dipisahkan dg pengajaran bahasa, mas, aRul. Tapi, hingga saat ini ketika KTSP sdh diluncurkan, ternyata belum juga bisa terealisasi.

  3. Pak Sawali, walau sejak awal saya senang baca, tapi saya sendiri menjadi bingung, apa definisi “sastra”? Ini pernah menjadi bahan diskusi menarik antara saya, anak sulung saya dan pak Jacob Soemardjo.

    Kalau kita pergi ke toko buku Gramedia, misalnya, maka yang masuk dalam kategori sastra adalah: buku karangan Pramudya A, karangan Dee (Dewi Lestari), karangan Nh Dini, karangan Langit Kresna Hariadi, karangan ES Ito (Rahasia Meede), karangan Andrea Hirata (Laskar Pelangi cs) dll. Padahal kalau saya mengacu pada pendapat pak Jacob S, ada beberapa buku yang sebetulnya tidak masuk kategori sastra…jadi apa namanya…?

    Nahh kalau dikaitkan dengan teater, baca puisi dsb nya….memang tak semua orang berbakat disini. Saya senang mendengarkan pembacaan puisi Taufik Ismail, tapi saya kurang memahami saat menonton teaternya WS Rendra. Membaca pun kadang saya suka bingung sendiri, saya baru saja membaca “Anak Bajang Menggiring Angin” karangan Sindunata (yang dikatakan sarat dengan filsafat), dan “Narasoma” karangan Pitoyo Amrih. Jujur saja, saya lebih menyukai alurnya Pitoyo Amrih (ini karangannya kedua, sebelumnya Antareja-Antasena belum bagus). Karangan Sindunata bagus, tapi banyak istilah yang menurut anak saya…terlalu berbunga-bunga, seperti sastra zaman dulu….

    Bagaimana kalau bapak menulis juga, apa yang dimaksud karya sastra dan non sastra…dan tentu lebih menyenangkan menceritakan perubahan yang ada sekarang. Komentar si bungsu…”buku jadul lucu ya bu, cerita kecantikn seorang putri bisa satu halaman sendiri “(bukunya termasuk karya sastra). Jadi jangan-jangan memang ada pergeseran pemahaman….

    (Maaf pak, komennya panjang, karena saya sendiri akhirnya bingung juga, karangan seperti apa yang dimaksud dengan sastra…..jangan-jangan perpustakaan sekolah jenis bukunya juga beda…).

    edratna’s last blog post..Sekilas mengenai usaha ?Pembiayaan?

    ooo
    makasih banget infonya, bu enny, mudah2an saya bisa membuat postingan tersendiri. apa yang ibu sampaikan memang sangat menarik. batasan antara buku sastra dan nonsastra memang masih sering kabur.

  4. wah, berarti tugas pak sawali nih sbg seorg guru
    tp mahasiswa2 jg mesti bantu nih 🙂

    hanggadamai’s last blog post..Allah Answer`s Always Is The Best

    oooo
    hehehehehe 😆 betul banget, mas hangga. tetapi sebenarnya bukan mlulu tugas guru, kok. peran para pengambil kebijakan juga sangat diperlukan.

  5. Saya setuju dengan Arul. Pelajaran Sastra harus dipisahkan dari Bahasa Indonesia. Menurut yang saya baca, zaman kolonial dulu pelajaran sastra lebih bermutu. Itu yang membuat orang seperti Soekarno bisa menguasai banyak bahasa. Minimal para pendiri bangsa menguasai 4 bahasa: bahasa daerahnya, bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

    Masa sih, zaman merdeka malah mundur pengajaran sastranya?

    Eh, pak pernah ke http://www.geocities.com/cahsleman nggak? Coba disasar sebentar. Hihihi, saya suka ketawa sendiri kalau ke sana.

    arif’s last blog post..Tes posting via email

    ooo
    yups, saya pun sepakat, mas, bahkan itu saya sudah banyak menulis ttg pentingnya pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa. namun, agaknya para pengambil kebijakan masih tersentuh juga, mas arif, hehehehe 😆

  6. saya setuju dengan komen ibu edratna, pak. gimana kalo bapak membahas dari awal secara sepintas apa yang dimaksud dengan sastra dan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai karya sastra.

    ooo
    yups, makasih banget mas tukang kopi. insyaallah, mas, hehehehe 😆

  7. Dee

    @arif a.k.a kombor
    Wah ternyata kang kombor suka nulis puisi juga tho? Aku oleh melu ngguyu cekikikan ora kang?
    setahuku sih, sastra yang aku kenal selama ini ada tiga: sastra pratama, sastra sumadya dan sastra utama.
    sastra pratama, masih relatif muda, berumur sekitar 50 tahun, tinggal di dekat masjid, anaknya dua, kerjanya mbedhak mencawak dan kodhok ijo;
    sastra sumadya, juragan tobong gamping, rumahnya di dekat sekolahan, dulunya bekas bajingan, sekarang gerobaknya pun masih ada, tapi sudah lama nggak jalan, soale sapine wis dibeleh siji, satunya lagi masuk angin keracunan daun munggur;
    sastra utama, sudah sepuh, pensiunan pesuruh SD, ning anake ayu tenan dab!

    Dee’s last blog post..Hello world!

    oooo
    wakakakaka …. aku juga ikut tertawa cekakakan, mas nudee, wakakakakaka ….

  8. 😐 hidup pak sawali…hehehe
    “sastra” yang jelas jarang ditemui di pendidikan tingkat smp

    Jiban’s last blog post..Nobar DO

    ooo
    wew… kok malah hidup, mas jiban, hiks. malapetaka itu dong namanya, wakakakakaka 😆

  9. “pelajar kita mulai kehilangan kepekaan terhadap persoalan-persoalan moral, agama, dan budi pekerti”

    betul sekali pak Sawali, betul …..
    orang-orang sekarang mulai ndak peka dan malah banyak juga yang jadi hedonis :mrgreen:
    setuju, setuju 😀
    memahami sastra ndak hanya butuh pikiran namun juga hati

    sigid’s last blog post..Jatuh Dalam Perkara Kecil

    ooo
    itulah kenyataan ironis yang terpaksa harus kita lihat dan saksikan, pak sigid, hiks. tantangan dunia pendidikan makin bertambah berat.

  10. Kalau keadaan semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra di sekolah makin terpuruk dan terpinggirkan di tengah hiruk-pikuk peradaban.

    Bukan kalau lagi Pak … sudah lama terjadi he he (maaf),

    Ersis WA’s last blog post..Menulis Itu Belajar (Praktik)

    ooo
    wah, kayaknya bener tuh pak ersis, hehehehe 😆

  11. saya sepakat! 😀 dan saat ini pemuda dan pelajar sudah beralih kepada budaya hedonisme, tulisan2 mengarah pada pornografi, kekerasan, budaya baratisme.
    nah, kalu seperti itu, kita apa perlu mencari siapa yg salah dan perlu di beri hukuman pak?
    karena saya rasa, penurunan budaya cinta sastra dan mencintai budaya itu sendiri sudah sangat degradasi, ini bisa jadi karena kebijakan2 yg secara sistemik mereduksi hal tersebut.. humm, kalo kata tmn sya hedonisme sistemik

    fauzan sigma’s last blog post..Kritik Terhadap Negara dari Rektor UNS

    ooo
    wah, kayaknya ndak banyak gunanya kalau harus mencari siapa yang salah, mas sigma, sebab biasanya akan berputar-putar dalam lingkaran setan.

  12. kalau dari saya sebenarnya hanya satu saja dulu pak yang perlu digalakkan di sekolah-sekolah, yakni budaya membaca. Khususnya membaca buku-buku sastra. Kalau perlu dalam satu bulan wajib tamat satu judul. Setelah itu guru bersama-sama murid mereview dari buku-buku yang sudah dibacanya. dst.

    Kemarin baru saja saya komplain kepada guru adik saya di salah satu SMAN di jakarta. Masak gurunya malah mewajibkan murid2-nya untuk menonton film ayat-ayat cinta, kalau tidak nonton maka tidak diberi nilai … wedew …. yang saya komplain kenapa tidak disuruh baca bukunya saja sih?

    ooo
    wah, saya setuju banget dengan mas riyo tuh. kurangnya minat baca juga sangat berpengaruh terhadap rendahnya apresiasi sastra siswa. sebenarnya ndak salah juga sih nonton fil AAC, tapi kalau sdh diindoktrinasi kayak begitu, wah repot juga, apalagi sama sekali belum pernah baca novelnya.

  13. Sepertinya sambung menyambung dengan urusan yang lain Pak. Di tempat kuliah juga mulai ada keluhan kalau mahasiswa sudah jarang yang ikut kegiatan di luar. Kebanyakan lebih suka main game dan chatting di depan komputer. Interaksi dengan orang lain jadi lebih sedikit sehingga kepekaan rasa juga berkurang.
    Jadi, ini kayaknya bukan hanya masalah sastra. Ini masalah kepribadian bangsa yang sudah berubah secara total.

    Iwan Awaludin’s last blog post..Jadi Kaya Lewat Saham

    000
    bisa jadi bener, pak iwan, dari budaya proliterate langsung meloncat ke budaya postliterate. jadi budaya literate-nya justru dilangkahi begitu saja. wah, repot juga ya pak iwan.

  14. Bagaimana?
    saya yakin seorang guru dalam hati nuraninya mau mengajar all out, bahkan sudah all out saya kira. Tapi urusan “dapur harus ngebul” saya rasa masih menghantui semua guru maupun guru bantu, sehingga bisa dipastikan konsentrasi guru untuk meng-upgrade dirinya menjadi pengajar sekaligus pendidik yang berkompentensi handal menjadi berkurang. Hal ini sangat berdampak terhadap kualiatas pengajaran serta anak didik.
    Bobot kurikulum yang terlalu berat dengan terlalu banyaknya mata pelajaran dan materi yang diajarkan membuat siswa/siswi “ogah/cape” melihat buku apa lagi membacanya, sampe rumah kalo tidak main PS yah keluyuran ke mall.
    Jadi kalo saya bisa lihat Pak Guru, selama pemerintah tidak menganggap pendidikan sebagai sokoguru pembangunan selama itu pula pendidikan khususnya kesusastraan akan menghadapi hambatan yang tidak sedikit.

    resi bismo’s last blog post..kenapa sih harus (selalu) makan beras/nasi?

    ooo
    yups, bisa juga mas ario, kalau mengajar nasih harus memikirkan urusan dapur juga, bisa jadi meruntuhkan semangat dan idealisme, termasuk bagaimana seharusnya menyajikan pengajaran sastra secara benar kepada siswa didik.

  15. weleh,,weleh,,jadi semakin ngeri kira2 seperti apa jadinya bangsa kita kalo generasi mudanya begitu ❓

    eNPe’s last blog post..Seminar Blog Biz Management

    ooo
    itulah repotnya, bu ita, kalau banyak generasi muda kita banyak yang tidak suka baca, hehehehe 😆

  16. manapuak aia di dulang, taciprat muko sandiri (pribahasa Minang).

    Pak Sawali,
    Membicarakan sastra dan anak sekolah nggak bakal selesai. Sebagai guru B.Indonesia, semua tugas kita. Harusnya kecintaan terhadap sastra sudah dimulai sejak dini (SD). Tapi kita tahu sendiri, di SD jarang ada guru bahasa, apalagi berlatar sastra. Adanya guru kelas. Jadi kalau kecintaan terhadap sastra dimulai di SMP atau SMA, kan sudah terlambat. Ditambah lagi, banyak guru Bahasa Indonesia yang tidak senang sastra dan kesulitan mengajarkan sastra pada siswa.

    http://zulmasri.wordpress.com

    Zulmasri’s last blog post..Wanita Sering Tidak Pede?

    yups, bener sekali pak zulmasri. idelanya sastra memang perlu diperkenalkan sejak sd. untuk itu, perlu dukungan buku teks yang tepat, sehingga secara tidak langsung anak sd sudah mulai bisa bersentuhan dengan sastra melalui buku teks itu.

  17. Btw, nge-blog bisa dikatakan sebuah kegiatan sastra nggak sih pak? Kalau misalkan bisa…mungkin sudah saatnya ‘kita’ mulai mengampanyekan blog masuk sekolah 😀 Maksud saya, sebelum belajar sastra, kenalkan dulu sama blog…trus, bagaimana nge-blog yang baik, bagaimana membina ‘relasi’ yang baik dan etika2 nge-blog.

    Setelah itu, tugaskan para siswa untuk bikin ‘pr’-nya seperti puisi, mengarang, dll lewat blog. Setelah menulis di blog, wajibkan siswa untuk memberikan komentar kepada -misalnya- minimal 20 blog di luar lingkungan teman-temannya. Ya, itung2 sebagai promosi blognya dia juga kan? Hehe…

    Donny Reza’s last blog post..Pernak-Pernik

    000
    wah, itu ide yang bagus, mas donny. blog bisa menjadi media yang tepat bagi para pelajar untuk belajar menulis sastra. sayangnya, keterbatasan koneksi internet masih menjadi kendala.

  18. Ridu mohon maaf banget sama bapak dan guru-guru bahasa Indonesia yang lain..

    Ntar ada postingannya kok pak.. maafin yah..

    ridu’s last blog post..Multiple Page

    ooo
    kenapa mesti minta maaf ridu, hehehehe 😆

  19. 😥 😐 saya gak bisa ngomong apa da pak,,,
    sungguh sedih meliat perkembangan negeri tercinta ini,,,

    kuta beach bali’s last blog post..Rancangan RUU Pornografi

    ooo
    wew… keprihatinan bung ochim kayaknya sama dg kita juga nih :mrgreen:

  20. Lihat saja di perpustakaan atau toko-toko buku. Buku-buku sastra hanya sekadar jadi pelengkap dan pajangan; dibiarkan terpuruk tak tersentuh.

    Buku-buku sastra jarang diminati mungkin karena mereka beranggapan bahwa belajar sastra itu sulit (walaupun memang sulit), dan mereka nggak tahu orientasinya kemana setelah belajar sastra.
    Btw, mo ijin nge-link, Pak. Boleh ya?

    Edi Psw’s last blog post..Polling: Tentang Pemblokiran Situs Porno

    ooo
    sebenarnya ndak sulit kok pak edy, malah banyak hal menarik yang bisa kita telusuri, hehehehe 😆 wah, mangga pak edy, mau ngelink postingannyakah?

  21. Menurut saya satu hal yang perlu disadari dulu bahwa tidak mungkin semua orang untuk mengapresiasi sastra. Sama halnya seperti tidak mungkin semua orang bisa mengapresiasi matematika, mengapresiasi sains, dan lain-lainnya, semua sudah ada bagian2nya dan karena manusia diciptakan beranekaragam. **halaah**
    Namun yang perlu ditekankan di sini sebaiknya bukanlah “pemaksaan” dalam mengapresiasi suatu bidang yang bertujuan semata2 hanya untuk meningkatkan kuantitas tapi yang lebih penting adalah meningkatkan kualitas mereka yang memang sangat mengapresiasi sastra. Dengan begitu mudah2an sastra di tanah air kita tercinta ini akan tetap jaya walaupun hanya dengan komunitas yang sedikit karena kita semua yakin bahwa sastra adalah bagian tak terpisahkan dari kebudayaan manusia modern……….. 🙂

    Yari NK’s last blog post..Film-Film Horror Yang Saya Sukai?..

    ooo
    yups, sepakat banget bung yari. tapi sebenarnya tidak susah juga kok mengapresiasi sastra, siapa pun bisa melakukannya dg baik, apalagi apresiasi sastra itu sebenarnya membukan berbagai kemungkinan terhadap tafsir. itulah yang membedakannya dengan buku2 science, termasuk matematika, yang mengandung monotafsir.

  22. Yung Mau Lim

    Sastra terpinggirkan?begitulah yang terjadi Pak!Jangankan sastra pak,pengetahuan bahasa Indonesia di kalangan orang muda bahkan dapat membuat miris dan mengurut dada.Sempat saya berpikir apakah mereka masih tinggal di Indonesia atau tidak. Agar sastra itu berjiwa dan bernyawa tentu pondasinya harus kuat yaitu Bahasa.Menurut saya bahasa itu menjadi bahan baku sastra yang paling dasar,berikutnya baru pemahaman dan penghayatan yang dapat meningkatkan nilai estetika dari sastra tsb.
    Tidak adanya jaminan negara terhadap masa depan rakyat juga menyumbangkan anti produktif dari bidang sastra itu.Saya yakin banyak talenta sastra yang sudah dibunuh sejak kecil,betapa tidak anak selalu diarahkan untuk mempelajari bidang2 yang dapat menguntungkan secara finansial di masa depan mereka,tentunya bermaksud untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dengan kemampuan sendiri.Sampai saat ini orang masih melihat sebelah mata terhadap sastra sebagai bidang yang dapat menghasilkan uang.Padahal menurut saya kalau digeluti secara profesional,bidang inipun tak kalah menariknya untuk mendapatkan kemapanan.Terus terang saja,hanya orang2 yang memiliki talenta lebih dan memiliki kesempatan untuk mengapresiasi sastralah yang dapat bertahan hidup di bidang ini,contohnya Bapak.Terima kasih! Jika ada pendapat saya yang salah mohon dikoreksi.

    ooo
    wah, terima kasih banget apresiasinya mas Yung Mau Lim. ini memang sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan bahwa kemampuan para siswa didik belakangan ini terhadap persoalan bahsa dan sastra makin menurun. adanya dorongan orang tua utk memilih bidang nonsastra yang lebih menjanjikan keuntungan finansial sebenarnya tidak juga bisa disalahkan, mas, asalkan basis apresiasi sastra mereka cukup kuat. kalo kita lihat banyak juga saintis yang suka sastra, termasuk di dalamnya andrea hirata. yang kita perlukan sekarang adalah bagaimana membekali anak2 agar mereka bisa memiliki basis apresiasi dan kecintaan terhadap sastra.

  23. Kalau untuk sinetron pasti BISA.
    Masyarakat kita semakin malas membaca karya sastra karena televisi lebih tampak nyata dan dramatis. Ada dua jenis reality show yang saban hari ditayangkan TV, yaitu kesedihan yang direkayasa dan didramatisir; serta kekerasan dan sadisme yang disajikan apa adanya dan telanjang. Dua-duanya lebih memikat buat masyarakat karena bisa dinikmati tanpa mikir, dan ada iming-iming hadiah jutaan rupiah, asal ngirim sms sebanyak-banyaknya……………………………………. :mrgreen:

    Robert Manurung’s last blog post..Totto-chan, Pendidikan Berbasis Kepribadian (1)

    ooo
    yups, bener banget bung robert. budaya post-literasi di negeri ini tampaknya lebih mendominasi ketimbang budaya literasi. ini sebuah loncatan peradaban. tayangan audio-visual agaknya lebih memiliki daya tarik ketimbang teks.

  24. liat komentnya panjang2 juga ya..???

    ooo
    wah, kalo itu ndak tahu juga mas, hehehehe 😆 tapi seneng juga menikmati komen teman2, hehehe :lo:

  25. benar2 menyindir saya… :mrgreen:
    sebenarnya anak-anak sekolah yang minat sastra itu lumayan banyak pak, tapi mereka tidak tahu harus menggunakan media apa… (sepertinya)..
    saya saja satu2nya siswa yang mau menulis di sekolah….
    dan faktor malas juga sudah mewabah….
    sampai mereka pikir sastra itu nggak ada gunanya…

    *sedih*

    Moerz’s last blog post..40 Miles Ego

    ooo
    ndak bermaksud menyindir siapa2 kok, apalagi mas moerz yang sudah demikian akrab terhadap dunia blog. bisa jadi pelajar yang ngeblog bisa menjadi salah satu bukti kalau mereka senang terhadap apresiasi sastra.

  26. Sepertinya semua terpinggirkan loh pak! kecuali yang menguntungkan secara ekonomi dan memenuhi selera pasar saja yang mendapat perhatian hehehhehe…

    komputer di sekolah sekarang malah ditiup angin kencang! di atas angin.. wekekekekeke….

    tapi, sastra memang tak semudah belajar linguistik.. sastra butuh imajinasi liar.. sastra butuh apresiasi lebih.. 😀

    gempur’s last blog post..Rindu Ini Terbendung

    ooo
    wew… terima kasih pak gempur. sebenarnya apresiasi sastra tdk berarti haru menciptakan teks sastra kok, pak, hehehehe 😆 syukur2 kalo bisa begitu. Namun, yang pasti kemampuan memahami dan menikmati karya sastra sudah menjadi bagian yang sangat penting dalam kegiatan apresiasi sastra. btw, kenapa juga komputernya di sekolah tertiup angin, pak? sedang terjadi musibah puting beliungkah? wakakakaka :mrgreen:

  27. Hmmm….sepertinya klo cuma bahasa indonesia aja yang diajarkan di sekolah, cuma yang general saja yang diajarin, setidaknya ada sekolah bahasa..acem ??

    Okta Sihotang’s last blog post..Penyakit apa yang menyebalkan ??

    ooo
    wew… bisa jadi begitu, mas okta!

  28. saya masih bertanya2 bagaimana pak sawali bisa nulis segini panjangnya… kalo saya ngetik 2-3 kata trus tekan » backspace jadi nya 1 kata :mrgreen:

    Samsul’s last blog post..Dilarang Bicara

    ooo
    walah, biasa aja kok mas samsul.

  29. DM

    Secara masif, sastra belum (betul-betul) diajarkan di sekolah kukira. Masih bias. Guru masih dikejar menyelesaikan kurikulum. Dalam kondisi seperti itu, apakah guru dapat melengkapi dirinya dengan buku-buku sastra secara rutin mengikuti perkembangan? Sastra masih label.

    DM’s last blog post..Cinta dalam Sepotong Roti. Sial!

    ooo
    yups, bener banget, mas, kalo pembelajaran sastra hanya sekadar memburu tuntutan kurikulum. pembelajaran hanya disajikan kulit luarnya saja!

  30. tidak semua orang tertarik dengan sastra, Pak. kalau seseorang tertarik dengan sastra ia pasti akan mencari tahu dan merenungi apa itu sastra. saya juga termasuk yang rabun sastra, lho.

    pengajaran sastra kita memang agak monoton. membosankan. apalagi kalau hanya disuruh sekedar membaca puisi, mengenal para sastrawan berikut sejarahnya, atau disuruh menulis. saya sendiri lebih tertarik kalau diajak membaca sebuah karya bersama lalu mencari makna yang tergandung di dalam tulisan itu sendiri. kalau sudah dapat senang rasanya. jadi, tidak merasa seperti membaca sesuatu yang membuat mumet kepala. hehe

    -salam-

    Hanna Fransisca’s last blog post..Bening Sungaiku

    ooo
    yaps, bener banget tuh, mbak. begitulah kalau pengajaran sastra bercorak teoretis dan hafalan, mbak hanna. pembelajaran menjadi sangat tdk menarik, bahkan membosankan. btw, ndak juga kok kalo mbak hanna rabun sastra, buktinya? blog mbak hanna kan banyak tuh postingan sastranta juga, hehehehe 😆

  31. kayaknya ada yg beda dengan tampilan blog ini ❓

    saya jadi merasa bersalah dan berdosa kepada guru sastra saya dulu pakdhe. saya sering nyepelein. ternyata materi2 pada pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pas sekolah dulu sangat saya rasakan manfaatnya ketika saya nyusun skripsi 😥

    masmoemet’s last blog post..3 in 1

    ooo
    wew… merasa bersalah? memang ada baiknya juga, masmoemet., tapi kejadian masa lalu kan ndak akan terulang kembali. agaknya memang kita perlu mulai mencintai bahasa dan sastra dalam arti yang sesungguhnya, mas.

  32. Aslkm..

    Ajarilah anakmu dengan SASTAR, niscaya ia akan jadi PEMBERANI (UMAR BIN KHATAB)

    itulah petuah seorang Umar pada anaknya, beitu mendalam.

    sy suka sekali sastra, dan apalagi sastra indonesia, tapi hanya sekedar mbaca dan menikmatinya aja….karna sastra itu Indah dan Menentramkan.

    Remaja kita skarang lebih banyak terpengaruh kehidupan HEDONIS dan SERBA INSTAN…….ngeri,tapi Alhamdulillah sudah banyak juga yg sadar akan budaya baca dan nulis

    mudah2an bangsa ini maju.

    olangbiaca’s last blog post..BERPIKIR MENDALAM

    ooo
    yups, bener sekali bung abdillah. tantangan anak2 masa kini makin berat karena adanya pengaruh global. mereka jadi gampang terpengaruh oleh tindakan2 yang bjauh dari tuntutan nilai moral dan agama. semoga saja anak2 muda itu bisa melewati masa2 kritis itu dg baik.

  33. oiya pak, sy inget……..bapak mirip deh dgn guru Bahasa Indonesia dan Sastra saya waktu STM dulu, namanya pak Aidil, jika sy masuk ke blog ini mengingatkan sy pada beliau (guru saya), dia sosok sederhana dan Bersahaja namun periang dan humoris…..

    olangbiaca’s last blog post..BERPIKIR MENDALAM

    ooo
    wah, bung abdillah bisa aja nih bikin perbandingan, hehehehe 😆 tapi kita kan belum pernah kopdar, bung, hiks.

  34. terus terang saja, cempluk masih blm paham ttg sastra..tapi ingin mencintai sastra itu..

    cempluk’s last blog post..Semarak Nyepi bareng Si JagoMakan

    ooo
    yups, sebenarnya sastra ndak harus dipahami mas cempluk, tapi untuk dinikmati keindahanya, hehehehehe 😆 syukurlah kalo mas cempluk sdh punya keinginan utk mencintai sastra.

  35. Hiks, saya dulu di SMA ngga dapet pelajaran sastra 🙁 . Untung sekarang ada blog pak Sawali ini yang sangat concern terhadap sastra Indonesia. Salam kenal 😐

    sharels’s last blog post..Akhirnya Delete Juga

    ooo
    loh, kok sampe bisa ndak dapat pelajaran sastra, mas sharels. emang ndak ada gurunya? btw, salam kenal juga mas, makasih telah berkenan silaturahmi ke sini!

  36. pelajaran sastra jaman saya hanya sebatas menghapal cerita, siapa yang mengarang dan tahun berapa. sementara pelajaran mengarang rasanya cuman jadi pelengkap saja.

    walau saya sendiri berharap lebih dari itu.

    dadan’s last blog post..Merubah K610 menjadi W660

    ooo
    wah itulah repotnya mas ramadhan kalo sastra hanya diajarkan secara teoretis dan hafalan. para siswa didik jadi tdk tertarik, bahkan makin jauh pergaulannya dg sastra.

  37. saya sepakat dengan bu enny, pak mohon dijelaskan pada kami kaum awam apa sih sebenarnya sastra…
    malah ada istilah sastra perlawanan dan sastra pinggiran, konon komik biru ada yang mengklaim sebagai bentuk sastra perlawanan…
    hmmmm
    jadi mumat pak guru
    😀

    sluman slumun slamet’s last blog post..Asam manisnya kedondong?.

    ooo
    walah, saya juga masih belajar kok pak slamet 😛 btw, mudah2an segera dapat bahannya, pak.

  38. Btw … Themesnya ganti Ijo ya pak? Wahh sempat ga percaya .. kirain buta warna *hahaha*
    Sepertinya ga cuma sastra aja pak yang kurang mengena di sekolah. kebanyakan mata pelajaran yang tidak hanya mengedepankan kognisi emang susah. Memang mudah mengajar matematika daripada apresiasi sastra, pelajaran seni budaya, dan sejenisnya, halah .. sok tau … ❓

    Mezza’s last blog post..Perjamuan Minum Kopi

    ooo
    wew… mbah hibah ndak buta warna kok, hiks. 👿 memang bener theme-nya hijau kok *halah* btw, tentang kesulitan mengajar itu juga sangat tergantung dari keahlian masing2 orang kok.

  39. Sebuah gagasan yang JEMPOLAN neh Pak,

    Tapi gimana yah..klu Guru Bhs Indonesia ternyata juga minim dalam hal pengetahuan SASTRA Pak. He..he..sepertinya perlu pencanangan program khusus seperti Pelatihan dan TRAINING buat guru Bhs Indonesia kepada para sastrawan seperti si Burung Merak ( WS. Rendra dll ). Cuman massalahnya lagi-lagi masalah DANA…Lah Pemerintah ngurusin SEMBAKO yg cenderung melonjak dah PUYENG jeh Pak…apa yah sempat mikir masalah PELATIHAN buat Guru..??.

    ooo
    pelatihan buat guru banyak juga dilakukan kok, mas santri. yang jadi persoalan, efektif atau tidak kegiatan semacam itu. sepanjang benar2 bermanfaat bagi guru, saya kira diklat semacam itu penting juga.

  40. Mas, aku punya resep buat itu.
    Nih, baca aja esaiku:

    (Agar pelajaran sastra tetap eksisi di sekolah, maka yang utama adalah jadikan) Guru sebagai Model Pembelajaran
    Oleh Zulfaisal Putera*

    Tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah. Yang susah adalah karena sebagai guru kita tidak membuatnya menjadi mudah. Berbagai keluhan sementara guru-guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia adalah betapa lelahnya dalam membelajarkan sastra kepada siswa. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah lelah itu karena kemauan guru untuk membelajarkan sastra sangat kurang atau karena kemampuan guru itu sendiri yang sangat minim.?

    Mari kita runut berapa faktor yang sering dijadikan alasan bagi guru agak ogah-ogahan membelajarkan sastra. Pertama, kurangnya buku-buku penunjang pembelajaran, seperti buku pegangan guru dan siswa; dan buku-buku karya sastra sebagai bahan bacaan siswa. Kedua, kurangnya pengetahuan guru terhadap materi pembelajaran sastra itu sendiri dibanding materi bahasa Indonesia. Ketiga, rendahnya minat siswa dalam mengikuti pembelajaran sastra di kelas.

    Kalau kita perhatikan ketiga alasan tersebut secara seksama, tampaknya ada tiga pihak yang menjadi cikal penyebab, yaitu faktor sekolah – dalam hal ini perpustakaan, faktor guru, dan faktor siswa itu sendiri. Ketiga faktor ini memang merupakan satu kesatuan yang sudah sangat kita maklumi menjadi faktor penting dalam segala persoalan persekolahan. Jadi, terlalu naif kalau persoalan pembelajaran sastra ikut-ikutan menjadi beban bagi persoalan persekolahan secara umum.

    Tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah. Yang susah adalah kalau guru tidak mau berusaha menjadi guru yang terbaik bagi siswa didiknya. Menjadi guru yang terbaik tidak harus sempurna sebagai guru. Paling tidak, seorang guru pembelajaran sastra harus betul-betul menjadi menjadi sosok yang dapat dijadikan motivasi bagi siswa. Motivasi untuk berpikir, bertutur, dan bertindak dalam memahami dan mengekspresikan dirinya di bidang sastra.

    Mari kita kaji kembali apa tujuan pemelajaran sastra menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi. Secara umum disebutkan sebagai berikut:

    1. siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.;

    2. siswa mampu mengekspresikan dirinya dalam medium sastra; dan

    3. siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

    Apa yang bisa kita, selaku guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia, lakukan untuk mengantarkan siswa-siswa kita mencapai tujuan pemelajaran itu? Sepatutnya kita bisa belajar dari sosok seorang guru mata pelajaran lain di sekolah kita. Percaya atau tidak, guru olahraga adalah salah satu guru yang selalu menjadi model bagi siswa didiknya. Lihatlah ketika seorang guru olahraga ingin mengajarkan dan meminta siswanya lompat tinggi atau loncat jauh, maka guru tersebut memberi contoh bagaimana melakukan itu (dan tentunya guru tersebut melakukan lompat tinggi atau loncat jauh terlebih dahulu di hadapan siswa).

    Percaya atau tidak, seorang guru pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK) haruslah mampu mempraktikan bagaimana menggunakan komputer, bagaimana berselancar di dunia maya, membuat e-mail, bahkan mendownload program-program melalui internet. Apalagi kalau kita melihat guru-guru bidang kesenian. Seperti seorang guru tari yang pastilah mampu menari. Seorang guru musik yang tentu pandai memainkan musik dan sekali-sekali menyanyi. Dan banyak contoh-contoh lainnya lagi yang menampakkan diri betapa guru harus menjadi model.

    Sekarang bagaimana kita selaku guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia? Bayangkanlah bagaimana kita memosisikan diri ketika siswa meminta kita mencontohkan bagaimana membuat puisi, bagaimana menulis cerpen, bagaimana meyusun sebuah karangan esai. Bayangkan juga bagaimana sikap kita ketika siswa kita memohon agar kita bisa mencontohkan bagaimana membaca puisi atau cerpen yang sebenarnya, bagaimana memerankan seorang tokoh dalam sebuah lakon drama. Dan rasakan juga ketika siswa ingin melihat bagaimana berpidato yang baik?

    Kalau setelah membaca sejumlah pembayangan di atas kita sebagai guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia lantas memberikan tanggapan dengan pernyataan bahwa semua yang diminta siswa itu bisa dipenuhi dengan menghadirkan contoh melalui kaset, video, atau mendatangkan seorang sastrawan ke dalam kelas. Ini adalah pernyataan untuk menutupi kekurangan yang dimiliki guru sekaligus upaya mengambil jalan pintas. Memang bisa, tapi tidak baik bila menjadi biasa. Karena selamanya guru sangat ketergantungan.

    Selama ini kita sering mendengar keluhan kurangnya, bahkan hampir tidak adanya fasilitas penunjang pembelajaran di sekolah – terutama sekolah-sekolah pinggiran dan pedesaan. Misalnya, tidak tersedianya tape recorder, vcd player (apalagi dvd player), apalagi LCD dengan perangkatnya. Kalau juga ada, muncul lagi masalah tidak adanya colokan listrik di kelas, atau malah terbatasnya persediaan listrik di sekolah. Bagaimana ingin merealisasi pernyataan di paragraf sebelumnya, kalau setelah itu tetap muncul keluhan masalah sarana.

    Tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah. Yang susah adalah kalau kita tidak mau dan tidak mampu menjadi model dalam pembelajaran. Betapa menyenangkannya saat mengajar kalau kita dapat memenuhi harapan siswa. Ketika siswa ingin belajar menulis puisi, kita tunjukkan beberapa puisi kita. Ketika siswa ingin mengetahui bagaimana seluk beluk menulis cerpen, maka dengan rasa bangga kita perlihatkan cerpen yang pernah kita buat (bahkan pernah dimuat di media massa). Pun juga ketika siswa meminta kita membacakan puisi, cerpen, atau bahkan bermain peran, alangkah lebih terhormatnya kita mampu mencontohkan itu semua.

    Apalagi kalau kita ingin menjadi guru yang bisa memompa prestasi siswa dalam bidang bahasa dan (khususnya) sastra dengan mengikutkan mereka dalam lomba-lomba penulisan atau pembacaan puisi atau cerpen. Tentu, dengan bangga kita bisa membagi pengalaman dan memberi kiat-kiat mengikuti kegiatan tersebut karena kita pernah mencoba ikut. Harapan siswa sebenarnya sangat sederhana bagaimana kita bisa menjadi guru utamanya dalam pembelajaran. Dan bukan televisi, internet, atau media massa.

    Tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah. Yang susah adalah kalau kita tidak mau belajar dengan teman-teman guru bahasa dan (khususnya) sastra di sekolah dan tempat lain. Sudah teramat banyak teman-teman guru kita yang sudah betul-betul menjadi model di kelasnya. Selain aktif menjadi guru di sekolah, juga sebagai pribadi aktif dan intensif melakukan kegiatan tulis menulis dan berprestasi dalam bidang itu. Bisa disebut beberapa nama, seperti Bapak. Erwan Juhara, guru SMA 10 Bandung; Ibu Iis Wiati, guru SMA 5 Bogor; Ibu Dian Aksanti, guru SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo; Ibu Eulis Anggia Budiarti, dari SMA 1 Jayapura; atau si kembar Cahyono dari Jawa Tengah. Ada lagi Bapak Abel Tasman, di Pekan Baru dan Bpk. Jamal T. Suryanata di Batu Ampar, Kalimantan Selatan, yang sama-sama guru SD. Dan banyak lagi kalau mau disebut.

    Sesungguhnya mereka telah membuktikan keberhasilannya dalam pembelajaran sastra, bukan sekadar membelajarkan, tapi sekaligus menjadi model. Indikasi keberhasilan tersebut adalah mampunya siswa didik mereka mengeskpresikan dirinya dalam bidang sastra. Berkarya dan mempublikasikannya di media-media yang ada. Tentunya juga peningkatan prestasi akademiknya dalam bidang kognitif. Dan yang lebih membanggakan adalah karya dan prestasi guru itu sendiri dalam bidang sastra dan kepenulisan yang menyebar, baik tingkat lokal, maupun nasional.

    Tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah. Yang susah adalah kalau setelah membaca pengalaman guru ini kita selaku guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia tetap tidak mau mengubah citra sebagai guru. Alangkah berdosanya kita kepada siswa-siswa kita kalau kita tidak bisa memegang amanat sebagai guru, seseorang yang patut digugu dan ditiru. Bagaimana bisa menjadi guru kalau sedikit pun yang ada dalam diri kita yang bisa ditiru oleh siswa. Sayang, kalau sebagai guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia belum menjadi model bagi materi pembelajaran kita sendiri.

    Jadi, tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah!

    Zul …’s last blog post..Efektivitas Ujicoba Ujian Nasional

    ooo
    wah, makasih banget tambahan infonya pak zul. *menjura hormat!*

  41. Bagaimana bila kita masyarakatkan sastra melalui blog??? Blog mungkin lebih menarik bagi murid karena sifat interaktifnya. Untuk tahap awal usul saya : Anda wajibkan atau anda anjurkan murid anda ngeblog dulu, setidaknya seminggu/dua minggu sekali mereka harus nulis karangan untuk tugas. Tulisan ini anda nilai dan dnilai oleh rekan2nya melalui komentar tentu saja. Saya rasa akan lebih menggairahkan kalo ada interaksi. SALAM PAK SAWALI. :-?:d

    Baca juga tulisan terbaru lovepassword berjudul Lupa Password Winforce(r)

    • wah, idea yang bagus, mas love. ide semacam ini sebenarnya sudah ada juga dalam pikiran saya, sayangnya, hingga saat ini dukungan koneksi net di sekolah pada umumnya masih sangat kurang. ke depan, mudah2an ide semacam ini bisa terwujud. makasih banget masukannya, mas love.

  42. Seriously liked this one particular, maintain up the good writing!I’ve been following your website for 2 days now and I should tell you I get tons benefits from your post. and now how do I subscribe to your blog?

  43. Took me time to study all the comments, but I truly loved the post. It proved to be very useful to me and I’m sure to all the commenters right here! It’s always nice when you cannot only be informed, but additionally engaged! I’m certain you had pleasure writing this article.

  44. Mas, ada pengalaman yang sangat berharga ketika saya mengikuti kegitan MMAS membaca menulis dan apresiasi sastra di Bogor, yaitu materi menulis puisi dengan teknik pancingan dan sumbang kata dan menulis populer dengan teknik copy the master.
    Teknik tersebut saya uji cobakan di sekolah saya di SMAN 1 Jayapura. Tanggapannya sangat luar biasa. Anak didik jadi bergairah dengan pelajaran sastra.
    Pada dasarnya mereka memiliki potensi bersastra yang luar biasa. SEkarang tinggal gurunya yang mampu membangkitkan potensi anak didik kita dengan teknik mengajar yang menarik dan dapat membangkitkan potensi sastra siswa yang mungkin terpendam.
    Selamat berkreasi dan berinofasi dengan teknik-teknik mengajar sastra yang lain.

    Salam dari Papua

    • sungguh, sebuah inovasi pembelajaran yang luar biasa, bu. terima kasih banget tambahan infonya, bu. semoga makin banyak rekan sejawat yang kreatif dan inovatif dalam mengajarkan sastra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *