Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarkhi, destruktif, bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna pendidikan hakiki. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada munculnya potensi konflik, chaos, dan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.
Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.
Dalam konteks yang demikian itu, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, penjilat, hipokrit, hedonis, besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi, dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara, KKN, misalnya, justru sering melibatkan orang-orang berdasi yang secara formal berpendidikan tinggi. Ini artinya, secara implisit, model pendidikan kita selama ini setidaknya telah memiliki andil terhadap merajalelanya ulah KKN yang menyebabkan negara kita tergolong sebagai salah satu negara di dunia yang cukup tinggi tingkat korupsinya.
***
Sementara itu, model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak ketimbang emosi dinilai juga telah menimbulkan masalah tersendiri di lapisan masyarakat akar-rumput. Pendidikan dasar dan menengah yang idealnya mampu menjadi basis penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur baku dan hakiki kepada siswa didik, menjadi sangat tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan kondisi lokal.
Bobot kurikulum yang telah dikemas secara monolitis dan sentralistis telah menyebabkan nilai-nilai kearifan lokal tidak bisa berkembang. Para peserta didik “dipaksa” menerima cekokan materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dengan pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Akibatnya, mereka menjadi kehilangan ruang berkreasi, kemerdekaan berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru terjebak dalam atmosfer pendidikan yang kaku, membosankan, dan tanpa gairah. Suasana pendidikan yang kurang kondusif semacam itu jelas mengingkari makna dan hakikat pendidikan dalam memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berpikir dan berjiwa merdeka, bebas dari tekanan dan paksaan.
Makna pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan. Diakui atau tidak, pendidikan kita selama ini belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka memang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna.
Atmosfer pendidikan yang kurang kondusif semacam itu diperparah dengan situasi lingkungan yang serba permisif, apatis, dan masa bodoh. Pada sisi yang lain, institusi keluarga yang mestinya menjadi penanam nilai-nilai religi, kultural, dan kemanusiaan, dinilai juga telah tereduksi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memburu standar hidup dan gebyar materi. Persoalan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan formal.
Beranjak dari konteks ini, memang tidak berlebihan kalau ada yang menilai bahwa maraknya konflik horisontal di berbagai penjuru tanah air seperti yang pernah, bahkan sering kita saksikan, salah satu penyebabnya ialah gagalnya institusi pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai pencetak generasi yang utuh lahir dan batin. Dunia pendidikan dinilai hanya sarat muatan kognitif, teoretis, dan penalaran, tanpa menyentuh aspek-aspek humaniora. Persoalan-persoalan moral dan budi pekerti menjadi luput dari perhatian. Lahan pendidikan humaniora dipersempit, bahkan dikepras, sedangkan muatan materi yang mengedepankan akal dan penalaran diberi bobot terlalu berlebihan.
Setelah era reformasi mulai menunjukkan titik terang dalam menguak tabir politik, ekonomi, dan hukum, sudah tiba saatnya untuk mengurai simpul dasar yang memasung tubuh pendidikan kita. Setidaknya, harus ada “kemauan politik” untuk melakukan revitalisasi pendidikan kemanusiaan, yakni pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif.
Pengalaman selama bertahun-tahun telah memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan hanya akan melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, tetapi kehilangan hati nurani dan perasaan. Ini artinya, revitalisasi pendidikan kemanusiaan semakin urgen dan relevan untuk diimplementasikan di tingkat praksis agar tidak terapung-apung dalam bentangan slogan, retorika, dan jargon belaka.
Sungguh terasa ironis kalau bangsa kita yang selama ini dokenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi, mengagungkan keluhuran budi, dan kesantunan berperilaku, akhirnya terjebak menjadi bangsa bar-bar, “kanibal”, dan pendendam, hanya lantaran pendidikan yang salah urus. Agaknya, sudah sangat mendesak dunia pendidikan kita disentuh oleh hal-hal yang bersifat humanistis dan religius. ***
ooo
Keterangan: gambar diambil dari sini.
Pak Sawali, jika saja…banyak pembuat kebijakan, guru, orangtua murid dan orang-orang yang berkepentingan mempunyai pemahaman yang sama dengan bapak…tentu bisa duduk bersama dan menyusun kebijakan pendidikan yang komprehensip.
Saya tak pernah berpikir bahwa pendidikan anak hanya dibebankan pada guru, karena orangtua dan lingkungan juga sangat berperan. Dan ini saya buktikan, dengan segala keterbatasan (dari sisi waktu, kelemahan fisik dsb nya), anakku berhasil menyelesaikan S1 adalah atas jasa semua pihak. Bahkan Satpam di Fakultasnya ikut berperan, juga ibu kantin yang menjual makanan, ibu dan mbak perpustakaan, serta mbak-mbak di administrasi….mereka inilah yang saling bahu membahu agar kelangsungan pendidikan tercapai. Tentu saja, para pengajar yang paling banyak berperan.
Jika saya melihat sekeliling saya, keberhasilan seseorang, karena dia bisa berinteraksi dengan semua pihak.
edratna’s last blog post..Pernahkan merasa kawatir disaingi junior?
oits bener sekali pak, dehumanisasi pendidikan telah menjalar ke dalam kelas sejak anak masih dilingkungan sekolah dasar dan terus merambat makin parah ke jenjang yang lebih tinggi, maka dari itu wanted pengambil kebijakan yang memang memahami pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia… halah
kangguru’s last blog post..Kode Etik
Assalaamu ‘alaikum pak. Ane sepakat ama penjabaran pak Sawali. Tafi kemudian ada sesuatu yang menggelitik ane setelah membacanya…
1. Kita sepertinya harus “bersabar” agak lama untuk mendapati bangsa ini menjadi baik. Karena para pemimpin, pejabat birokrat, pelaku usaha, para profesional dan sendi-sendi penggerak bangsa ini masih didominasi oleh mereka yang nota bene merupakan out put pendidikan pra reformasi yang pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti.
2. Ketika bangsa ini memerlukan percepatan perbaikan, sepertinya revolusi menjadi pilihan paling tepat. Karena jika harus menunggu habisnya SDM pra Reformasi, bangsa ini mungkin sudah keburu bangkrut. 👿
Ane bukan skeptis lho pak… 😀
Cabe Rawit’s last blog post..Tingkatan Pelecehan Seksual dan Cara Menghindarinya
Akhir kalimat pada paragraf terakhir mungkin bisa menjadi satu solusi untuk keluar dari masalah pendidikan, tidak cuma kepada siswa-siswinya tapi termasuk tenaga pengajarnya perlu memiliki sense of humanistic dan religious 😀
annots’s last blog post..Tertawa Santun
*o’on mode = ON*
pak dhe, berarti sistem CTL ( contectual teaching and learning >> bener ga ?? ) sebenarnya cuma formalitas atau riil ? aku jadi semakin tidak mengerti dan semakin khawatir terhadap nasib adek2 ku. wah sebenarnya apa yg terjadi didalam dunia pendidikan Indonesia ya pak dhe ?? bisa2 orang2 yg sudah memiliki bakat cerdas akan hijrah keluar negri untuk mengasah kemampuannya dan mengaplikasikan kecerdasannya disana. wah, apa yg akan terjadi kedepannya nanti ya pak dhe ?? apa mungkin ada pergantian kurikulum lagi ?? aku dulu jadi korban pergantian kurikulum pak dhe. ada beberapa makul yg diilangin. padahal harus mengulang karena aku o’on bgt. wah kalo dipikir2 jadi semakin moemet’z pak dhe
*komen yg ga nyambung*
masmoemet’s last blog post..Pindahan
Pak Guru Sawali,
Jika saya tak salah merangkum, sepertinya Pak sawali mengeluhkan dunia pendidikan seolah menjadikan Sentra sebagai PERAN dan ANDIL terbesar dalam CARUT MARUTNYA sistem Pemerintahan dan ” Kebejatan MORAL ” golongan Berdasi sudah sampai pada tingkatan Titik Nadir yang sangat memprihatinkan memang. Namun saya kurang sependapat jika PENDIDIKAN dijadikan obyek KESALAHAN ataupun SALAH ARAH.
Bukankah Pendidikan yang berorientasi pada ILMU TULIS dan Pijakannya jelas sekali adalah masih murni berupa AKAL dan PIKIRAN..??. yang dalam hal ini Ilmu tadi memiliki fungsi untuk menjawab permasalahan seputar TEKNOLOGI. Ketika kita berbicara masalah Teknologi ( sebagai perangkat LUNAK ), maka tak lepas dari pada si Pelaku ( sebagai perangkat KERAS )ya kan Pak..??.
Nah…disinilah sebenarnya permasalahannya mengingat perangkat LUNAK tadi memiliki fungsi yang sangat UNIVERSAL, artinya dia ( Ilmu ) bisa digunakan untuk berbuat BAIK dan BURUK. Nah sebenarnya yang BAIK dan BURUK tadi ILMUNYA ataukah ORANGNYA…??. Jika Manusia telah menyadari akan perannya sebagai MANUSIA SEJATI yang telah LINAMBARAN Sirr,Akal Pikiran, Budi dan Nafsu dari Gusti-Nya. Maka sudah semestinya sumber penyebab Permasalahan bangsa ini BUKAN terletak pada ILMU TULIS yang diperoleh lewat dunia Pendidikan, melainkan karena si MANUSIANYA yang GAK SADAR akan ” KODRAT dan IRODATNYA ” sebagai manusia. Kita-kita gak sadar kalau di dalam DIRI ini ada perangkat LUNAK yang TAK TERKENDALI yang dinamakan NAFSU ( EGO ). Jika boleh saya mengibaratkan sebuah kereta, Tubuh manusia adalah sebuah Gerbongnya, lah Nafsunya adalah Kuda-kuda Liar yang menarik Gerbong tadi. Jika Kuda-kuda liar ini TIDAK DIKENDALIKAN, apa yang terjadi…??. Mungkinkah Gerbong akan sampai ditujuan dengan selamat..??.
Nah…ternyata manusia harus memiliki KENDALI, guna mengendalikan NAFSU, EGO yang melekat dalam Diri ini. Ilmu Tulis ( Matematika, Fisika,Kimia, Biologi, Elektro ) yang diperankan dunia pendidikan Kurang bisa atau malah GAK AKAN BISA kita gunakan sebagai sarana untuk PENGENDALIAN hawa NAFSU dan EGO. Kenapa…?? karena ini sudah masuk wilayah BATIN, JIWA manusia. Yang tentu saja memerlukan disiplin ILMU dan GURU Pituduh yang lain. yang dalam Khaanah Jawa disebut Guru PURWO dan pada umumnya sih disebut Guru SPIRITUAL guna membuka KUNCI bagi manusia untuk menemukan Guru SEJATINYA…sebagaimana perintah ( QS. Al Maidah 35 ) dan ( QS Al Kahfi 17 ).
Jadi apakah tepat bila kita harus mengatakan bahwa ” Dunia PENDIDIKAN telah SALAH ARUS..??” Seperti yang Pak Sawali katakan pada penutup Postingan diatas..??. kayaknya gak deh Pak…he..he…
Nggelesod…nggondeli Pak sawali sing arep NGAMUK…
Pak, kalo mengharapkan orang lain berubah atau pemerintah berubah kayaknya sulit. Tapi kalau membuat kita sendiri berubah, masih bisa dilakukan. Setelah kita berubah, ajak orang-orang di sekitar kita berubah. Semakin lama mudah-mudahan semakin banyak orang yang berubah.
Cuma memang yang berubah ke arah tidak baik juga banyak. Akhirnya kita nanti akan berlomba-lomba antara yang baik dengan yang jahat. Siapa yang menang? Ngga tau, tapi kalau memang mau jadi baik kita harus tetap berusaha meskipun hasilnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan.
Usaha terus sampai mati!!!
Iwan Awaludin’s last blog post..Menjadi Kaya
Tergantung kepada Tujuan Awal kita dimana , bagaimana, dan untuk apa kita menggunakan pendidikan.
Sayangnya tidak semua orang bisa mempunyai pemikiran seperti yang dituturkan Oleh Pak Sawali.
Hanna Fransisca’s last blog post..Malam Gerimis yang Indah
Wah, tulisan berat njih pak 🙂
Betul sekali yang dipaparkan bapak, dewasa ini sepertinya lebih mudah mencari orang pinter daripada orang jujur, apalagi orang pinter yang jujur.
Seperti kata simbah-simbah “banyak wong pinter keblinger”.
Dan menarik seklai pemikiran tentang “pendidikan kemanusiaan”, karena pendidikan tidak hanya membentuk sklill namun pribadi dan pola pikir.
Seperti, membentuk manusia seutuhnya seperti yang tersirat dari paragraf terakhir.
Revitalisasi Pendidikan Kemanusiaan
Tulisan berat, apalagi yang mau ngomentari.
Tapi pepatah mengatakan, “Ringan sama dijinjing, berat yo culké”.
Eladhalah… Ternyata Pendidikan Kemanusiaan ya butuh evitalisasi to. Tak kirain cuma MGMP doang. Berarti dulunya apa ya Pemberdayaan Pendidikan Kemanusiaan juga?.
Terus, dananya dari mana ?. Apa ada blockgrantnya juga…
Semoga kita tidak termasuk orang2 yang punya paham berikut ini:
Semakin banyak belajar, semakin banyak yang kita tahu
Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita lupa
Semakin banyak yang kita lupa, semakin sedikit yang kita tahu
Jadi…, kenapa kita sibuk belajar ?.
Pendidikan di Indonesia memang memprihatinkan Pak…
Fenomena yang paling saya benci sekarang adalah kebanyakan siswa lebih mementingkan hasil akhir(nilai) daripada proses belajar, jadi untuk mendapat nilai bagus banyak yang menghalalkan segala cara kek nyontek..
maxbreaker’s last blog post..Negara Kita Telah Berhasil?
@ edratna:
yup, sepakat banget, bu enny. pendidikan anak perlu mendapatkan perhatian dari semua komponen, tak cukup hanya diserahkan kepada dunia sekolah saja.
@ kangguru:
feneomena itu sudah tampak sejak era orba, kangguru. kepedulian pemerintah utk mengangkat bidang humaniora sangat rendah dibandingkan bidang yang lain.
@ Cabe Rawit:
waalaikum salam mas cabe. wew… revolusi? memang bisa terjadi perubahan secara cepat, mas, tapi adakah jaminan kalau revolusi mampu mencapai tujuan yang diharapkan? agaknya memang butuh tahapan2, mas.
@ annots:
sepakat bangte, mas annots. apalagi, guru kan mesti menjadi figur teladan *halah*
@ masmoemet:
CTL sebenarnya termasuk pendekatan pembelajaran yang bagus, mas untuk mendekatkan materi pembelajaran pada dunia siswa. sayangnya, pendekatan ini dengan 7 komponennya masih belum bisa diterapkan oleh semua guru.
@ Santri Gundhul:
wew…. saya tidak menjadikan pendidikan sebagai sentral terpuruknya moralitas bangsa ini, mas santri gundul, hehehehe 😆 pendidikan hanya salah satu komponen yang ikut andil di dalamnya. ttg akal dan penalaran, itu justru perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan kita, tetapi juga perlu idimbangi dg intensifnya pengembangan nilai2 kemanusiaan agar jadi generasi yang utuh dan paripurna.
saya juga tidak mengatakan dunia pendidikan kita salah arus, mas, tapi salah urus, sangat beda maknanya. bisa jadi salah urus karena meminggirkan persoalan humanitas dan religiusitas tadi. yups, makasih banget tambahan infonya, mas.
@ Iwan Awaludin:
yups, sepakat, pak iwan. perubahan perlu dilakukan dari individu beranjak ke komunitas, lalu merata ke semua warga bangsa.
@ indra1082:
bener juga mas indra.
@ Hanna Fransisca:
walah, saya hanya suka iseng aja kok mbak hanna, hehehehe 😆
@ sigid:
yups, sebenarnya ndak berat juga pak sigid, hehehehe 😆 idealnya dunia pendidikan bisa seperti yang dimaksudkan pak sigid itu.
@ Marsudiyanto:
wew… jurusan pak mar kok trus ke blockgrant mgmp? tapi andai saja ada blockgrant utk pendidikan kemanusiaan ada baiknya juga loh, pak.
@ maxbreaker:
bener banget mas fadhiel. kalao hasil lebih dipetingkan ketimbang proses, akhirnya banyak bermunculan machiavelli baru yang menghalalkan segala cara.
Sawali Tuhusetya’s last blog post..Revitalisasi Pendidikan Kemanusiaan
Ini kali ya yang dimaksud kiri-kanan ok. Kalo kiri isi, kanan isi, jadi utuh. Hihi..kaya blekok tuh sekarang, kiri kanan isi. tangan kanan rokarban isi coklat, kirinya rokarban isi keju.
dhodotes’s last blog post..Takut kawin?
ooo
ya, ya, bener tuh carike. kayaknya blekok sudah mulai melek juga tuh ttg masalah pendidikan.
Terakhir kali mendengar masalah pendidikan kemanusiaan ini dikemukakan secara luas adalah di akhir tahun 80-an.Waktu itu para ilmuwan sosial (Fuad Hasan Cs) terlibat polemik dengan para teknokrat (Habibie Cs).
Tampa pendidikan kemanusiaan, lembaga pendidikan kita akan berubah menjadi pabrik robot atau yang lebih mengerikan : monster!
Makanya sekarang pejabat kita selalu mereduksi manusia menjadi angka. kalau ada pengangguran 25 juta di negare ini itu berarti ada 25 juta orang yang kehilangan semangat hidup, ketakutan menghadapi hari esok, dll, dll.
Masih ada nggak Pak lembaga pendidikan yang mementingkan pendidikan kemanusiaan atau Humaniora ?
Eobert Manurung’s last blog post..Hadiah 2 Juta Buat yang Mencomot Flash Disk-ku
ooo
yup, bener banget bung robert. lembaga pendidikan itu biasanya sangat bergantung pada kurikulum yang digunakan. selama kurikulum belum mengakomadir pendidikan kemanusiaan, agaknya sulit mendapatkan lembaga pendidikan yang punya komitemen untuk itu.
Yup, saya setuju dengan pak Iwan. Menunggu orang lain untuk berubah entah sampai kapan, tapi kita bisa memulai dari diri sendiri. Dan mudah-mudahan bisa memberikan pengaruh yang baik untuk orang-orang di sekitar kita. Semangat, Pak 🙂
enggar’s last blog post..Dead Poets Society
ooo
saya juga sepakat bu enggar. sebuah perubahan perlu diawali diri diri sendiri.
Tajam, dan menggugah. Itu akibat pendidikan bisa ‘dikelola’ siapa saja, asal bukan orang yang ahli pendidikan. Soalnya, kapan orang-orang pendidikan punya rasa pecaya diri, mengambil kembali ‘daerah toritorialnya’, kapan dan kapan ya?
Pak, mohon maaf, jangan terperangkap simpulan … Setelah era reformasi mulai menunjukkan titik terang … untuk melakukan revitalisasi pendidikan kemanusiaan, yakni pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif. … Itu menjebak persepsi. Pendidikan justru semakin carut marut. Semua?
Tapak-tapak pendidikan seperti dipatok pada UU; SPN, UU G&D, dan seterusnya iya. Impelmentasi? Lebih parah. Kita harus optimis memang, tapi kelemahan justru membalut orang-orang pendidikna, ya kita. Pandai mengelu, dan mengeluh.
Coba, 20% amar UUD dibelokkan termasuk gaji guru. Ini tidak terjadi di negara man pun. Mana perjuangan kaum pendidikan. Diam, seperti sediakala. Lebih parah Pak. Maaf ya Pak agak terbawa emosi he he. Tapi, ngak emosionallah. Tulis terus yang beginian.
Ersis W. Abbas’s last blog post..Sabar Itu Kekuatan
ooo
yup, memang masih banyak persoalan pada era pascareformasi yang amburadul, tapi reformasi harus diakui banyak membawa sebuah perubahan. dalam dunai pendidikan pun kini sdh ada otonomi pendidikan, meskipun kenyataannya masih berjalan tersaruk-saruk. ttg gaji guru yang dimasukkan ke dalam 20% apbn, wah, repot juga, pak. imbasnya cukup runyam. bisa jadi ini sebuah skenario untuk melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap subsidi pendidikan, palagi jika bhp nanti sudah berjalan.
Ikut prihatin pak! saya sering ndongeng di kelas ketimbang ngajarnya.. ngajar itu mudah khan?! yang sulit itu khan mendidik… Itulah kenapa saya berharap departmen pendidikan nasional kembali ke khittahnya… jangan menjadi departemen pengajaran nasional.. ehmmmmmm
ooo
yup, mendongeng itu tak kalah menarik dibanding dg fungssi mendidik, pak, hehehehe 😆
malah jd sudah semacam TM, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi napsu dia untuk KORUPSI ???
jadi inget cerita temen mantan siswa smu teladan di ngawi, saat ini sudah terjadi pergantian kepala sekolah, dan saat sang teman bertanya pada gurunya, gimana dengan kepala sekolah yang baru? responnya adalah, kepala sekolah sekarang serba duit, bahkan klo bisa mungkin makan aja yg emplok adalah lembaran duit bukan nasi 🙁
dan bener kejadiannya, saat temen dapat proyek dia ditanya mo ngasih berapa? dan di minta tanda tangan kuitansi kosong.
maap pak, bukan bermaksud mendiskreditkan guru, karena terus terang cita2 saya juga ingin menjadi seorang guru… saya menikmati bercerita dan bercengkrama didepan khalayak, walau kemampuan saya masih diatas air… belum menyentuh dasarnya 🙂
dobelden’s last blog post..Hidup untuk saling direpoti
delivery service..
pesanan sudah tersedia..
http://myresource.files.wordpress.com/2008/03/bannersawali.jpg
hehehe…
kalau kurang berkesan jangan digunakan pak..
moerz’s last blog post..SAYA KAYA..!!
ooo
yup, makasih banget mas moerz. ok deh, insyaaallah akan tetep saya pasang nanti!
Wah, situsnya bagus, Pak.
Salam kenal, saya akan baca-baca arsip lama.
Terimakasih untuk percikan ilmunya! 🙂
Peri negeri internet’s last blog post..[Script Gratis] eBay Auction Script untuk Situs PHP (WordPress dsb)
ooo
yup, salam kenal juga, kawan. halah, blog biasa aja kok. ok, makasih kunjungannya.
Tempat NOngkrong yang bagus. Saya beli kopi dulu, biar lebih lama di sini. Hehe
Pendidikan berbasis kemanusiaan dan keagamaan barangkali menjadi tawaran yang perlu dipertimbangkan serius. But kesulitan yang tampak adalah prakteknya dalam sistem pendidikan yang ada saat ini. kami kira, sistem pendidikan yang ada sekarang ini, menurut kalangan atas pendidik yang mencetuskan, telah mencakup dua hal tersebut. Wallahu a’lam.
Salam…
TB
Tukang Nongkrong’s last blog post..Sair Sajak Musthafa Amin (1)
ooo
yup, mudah2an kedua konsep pendidikan itu bisa diimplemetasikan sesuai dg tujuan.
uh… satu hal yang sayah ingat dari orang2 diatas, terlalu banyak masalah yang dipertimbangkan untuk menciptakan generasi berkwalitas.. saking banyaknya sampe lupa pada esensi pendidikan
semacam kita nih senang bermain diatas daun, terbuai dengan alunan angin sepoi-sepoi tapi melupakan akar yang seharusnya menjadi jantung kita, saat angin sepoi2 berlalu dan badai datang.. kita pun gugur bersama daun.
😀
almascatie’s last blog post..Pardidu : Seram & Buru
ooo
wew … pernyataan yang indah mas almas. yup, tak beda jauh dg dunia pendidikan kita saat ini, hehehehe 😆
Seperti yang dulu pernah saya komentarkan, Pak Sawali, penanaman nilai2 moral, kultur dan religi menurut saya sudah cukup sih jikalau dilihat dari cara kuliah atau orasi atau pendeknya secara teori pendidikan2 seperti itu sudah lumayan cukup di negeri ini (dibandingkan di negara2 yang sekular abis!) namun ironisnya pendidikan yang bergaya kuliah atau orasi tidak diikuti oleh teladan2 dan perbuatan2 nyata yang sesuai dengan nilai2 moral dan agama, sungguh ironis!! Berbeda dengan negara2 yang sekular habis, yang mungkin pendidikannya tidak bergaya “sok” moralis dan “sok” agamis tapi cukup dengan teladan2 dan perbuatan2 nyata yang moralis dan agamis di lapangan, sehingga perebutan atau pelanggengan kekuasaan dengan cara yang tak terpuji dapat dihindarkan, korupsi dapat diminimalisasi, dsb…
Yari NK’s last blog post..Asyiknya Belajar Geografi???
ooo
yup, bener sekali bung yari. sejak jadul, problem yang kita hadapi adalah nihilnya keteladanan dari orang2 yang seharusnya layak dijadikan anutan.
diriku sangat setuju dengan anda.
Pendidikan harus dirombak total agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang maju!!
hanggadamai’s last blog post..Hari yang Aneh Bukan?
ooo
wew… tidak harus dirombak total, kok mas hangga. memang masih banyak celah yang mesti dirombak, tetapi tidak harus total. malah repot nantinya.
watthauuuuw….
Saya kirain Pak Sawali mengatakan Pendidikan yang SALAH ARUS….gak tahunya setelah tak penthelengi meneh..halah..halah…SALAH URUS toh tibane.
Tuwas aku ndremimil ngalor ngidul ” mbelani Pendidikan ” Pak..pak..
Jebule tulisane Pendidikan yang SALAH URUS…yah…
Rupanya saya yang KEJEGLONG Pak sawali,
Mata musti diperiksakan kedokter neh, atau klu gak yah..perlu dikeceri ” Banyu kembang Suruh ” he..he..
Ngelimpruk…sambil menutup mripat…isin karo Pak Guru-ku
Santri Gundhul’s last blog post..APA ITU DOA
ooo
walah, biasa ajalah mas santri gundhul, hehehehe 😆 makasih juga komennya. sudah memberikan banyak info menarik ttg masalah pendidikan.
Mengomentari era setelah runtuhnya Orde Baru, saya kira namanya bukan reformasi melainkan refirmasi. Mengapa demikian? Karena era reformasi bukan membuat keadaan menjadi lebih baik melainkan sebaliknya, makin parah kondisinya. Korupsi yang di era Orde Baru dilakukan sembunyi-sembunyi, di era reformasi makin berani dilakukan. Kalau dulu Anggota DPR yang melakukan kunjungan tidak pernah membuka amplop ketika diangoni, konon Anggota DPR di era reformasi ini kalau dikasih amplop langsung dihitung. Kalau uangnya terlalu sedikit langsung dikembalikan.
Menyoal pendidikan, di era reformasi ini masih belum jelas visi pendidikan nasional kita. Artinya, era ini meneruskan ketidakjelasan visi pendidikan di era sebelumnya. Dus, nama era ini seharusnya reFIRMasi, bukan reFORMmasi.
Moh Arif Widarto’s last blog post..Kena Racun BlackBerry
ooo
wew… memang bener mas arif, reformasi hingga sekarang masih sebatas euforia. meski demikian, ada juga nilai plusnya. dalam dunia pendidikan, misalnya, sudah ada otonomi sekolah, meskipun implementasinya masih kaco juga.
mhhhhhhhhmmmmmmm
menghela napas panjang!
oh, ya gimana nurut pak sawali tentang pendapat saya yang ini!
sluman slumun slamet’s last blog post..Kota seribu mall?.
ooo
yup, langsung meluncur ke TKP.
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berorientasi ketuhanan, yakni membangun jiwa dan raga untuk menjadi insan yang kamil (utuh) tanpa landasan tersebut mustahil pembelajaran terhadap seorang manusia akan berhasil.
resi bismo’s last blog post..bertemu sahabat lama
ooo
yup, sepakat banget sang resi bismo. idealnya dunia pendidikan berorientasi kepada falksafah ketuhanan itu.
gimana mau maju lha wong salah satu departemen paling bobrok setelah depsos yahh diknas, eniwei dgn segala keterbatasan yg ada, seiring berjlnnya waktu, dan pergantian generasi brgkali,semoga bangsa ini bisa terlepas dr belenggu kebodohan. Ingat…. orang2 yg memimpin negeri ini skrg adalah salah satu contoh produk pendidikan kita jaman dulu….materi oriented !!!
agus rest’s last blog post..Ultras Gresik berbenah
ooo
yup, muda2an harapan itu bisa terwujud, mas.
Apa benar pendidikan Indonesia itu sangat jelek? Saya rasa ngga begitu deh. Terus terang, saya yakin orang-orang yang ada di atas sana tidak hanya berfikiran untuk menarik materi belaka. Pasti ada niatan dalam diri mereka untuk membuat negara Indonesia maju.
Usaha mereka, ya sampai disitu itulah. Merubah total apa yang sudah jadi sekarang, adalah pekerjaan yang akan sangat susah. Perubahan terhadap pendidikan saya kira sudah dilakukan juga, yang mungkin dilaksanakan oleh masing-masing sekolah dan juga guru. Misalnya banyak sekolah alternatif yang menawarkan pendekatan berbeda meskipun tetap mengakomodasi pendidikan yang sudah ada. Sebenarnya kan adanya kurikulum itu hanya panduan, yang eksekusinya ya nanti gurunya.
Dulu saya pernah tanya tentang kurikulum pendidikan luar sekolah. Katanya ya jeburin saja ke dunia nyata, maka sudah mulai belajar tuh anak-anak. Ngga ada panduan kurikulum. Lalu bagaimana caranya guru kehidupan (ya ortu, ya guru, ya tetangga, ya masyarakat) mengevaluasi hasil pendidikannya? Padahal katanya jam pelajaran yang paling banyak itu ya di kehidupan nyata. Lalu bagaimana kita bisa tahu bahwa pendidikan di dunia nyata itu berhasil dengan baik kalau kita sendiri ga tahu tujuannya, cara penyampaiannya, dan cara evaluasinya?
ooo
yup, saya juga sepakat pak iwan. dunia pendidikan kita memang butuh perubahan, tetapi bertahatp. tidak harus perubahan secara total. malah repot nantinya.
Pendidikan kekerasan secara tidak sadar dilakukan oleh orang tua, lingkungan dan guru. Itu yang selama ini saya tangkap. CMIIW
Mardies’s last blog post..Yahoo Messenger-ku Kenapa, ya?
ooo
wew… mas mardies punya kesan seperti itu, yak, hehehehe 😆
😕 bagozzzzzzzz ugga !!!!!!!!!!!!!!
bguzzzzzzzzzzz semua ayat2,,,tera lah korang