Pendidikan Spiritual di Sekolah, Apa Kabar?

Hingga saat ini, saya masih terkesan dengan pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia pendidikan. Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis, dan selalu menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan dunia persekolahan kepada “khittah”-nya sebagai pencerah spiritual. Dalam buku Pasca-Indonesisa, Pasca-Einstein (1999), misalnya, Rama Mangunwijaya pernah bilang bahwa dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya –apalagi berpikir kritis-praktis– adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.

Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, demikian Rama Mangunwijaya yang semasa hidupnya akrab dengan lingkungan pendidikan kumuh di bantaran Kali Code Yogyakarta, telah membikin cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.

Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita. Maraknya fenomena dan perilaku anomali semacam itu, disadari atau tidak, merupakan imbas dari sistem pendidikan yang telah gagal dalam membangun generasi yang utuh dan paripurna.

Pertama, selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, pelajar yang baik senantiasa dicitrakan sebagai “anak mami” yang selalu mengamini semua komando gurunya. Mereka ditabukan untuk bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir. Akibatnya, mereka tampak begitu santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan bringas di luar tembok sekolah.

Kedua, anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan (hampir) tidak pernah dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan spiritualnya. Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting peranannya dalam melahirkan generasi yang utuh dan paripurna justru dikebiri dan dimarginalkan. Kebijakan dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah, indoktrinasi, dan “membunuh” penalaran siswa yang dikukuhkan lewat dogma-dogma dan mitos-mitos.
***
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan.

Kecerdasan spiritual mewujud dalam perikehidupan yang diliputi dengan kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nuruni, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Sebaliknya, ketidakcerdasan spiritual menunjukkan diri dalam ekspresi keagamaan yang monolitis, eksklusif, dan intoleran yang sering meninggalkan “jejaknya” pada korban konflik atas nama agama, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan.

Kerdilnya kecerdasan spiritual yang mencuat dalam bentuk perilaku yang gemar berkonflik atas nama etnis dan agama, jelas menjadi keprihatinan kolektif kita sebagai bangsa. Ke depan, dunia pendidikan kita harus bersikap antisipatif dengan memberikan sentuhan perhatian yang cukup berarti terhadap ranah spiritual siswa. Kurikulum dan kebijakan pendidikan harus benar-benar mengakomodasi ranah spiritual siswa secara proporsional dan substansial.

Mata pelajaran Pendidikan Agama, selain ditambah alokasi waktunya, hendaknya juga tidak sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori dan hafalan, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat spiritual yang membuka ruang kesadaran nurani siswa di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk. Hal itu harus didukung oleh semua guru lintas mata pelajaran dengan mengintegrasikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan ke dalam materi ajar yang diampunya.

Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan hendaknya mampu menjadi figur keteladanan spiritual di hadapan peserta didik. Guru hendaknya juga mampu “menanggalkan” jiwa yang kasar dalam mendidik. Sikap pendidik harus demokratis, lebih “conscientious“, lebih mawas diri, yang otomatis akan menular ke jiwa anak didik.

Di tengah situasi Indonesia yang masih “silang-sengkarut” akibat krisis multiwajah dan konflik berkepanjangan, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katarsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu disanjung puji sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya menjadi sebuah “Indonesia” yang terpinggirkan. ***

Keterangan: Gambar diambil dari sini dan sini.

Comments

  1. kalo hanya sekedar penambahan waktu belajar unruk pendidikan agama kayaknya gak cukup deh pak guru!!1

    harus di tambah dengan kegiatan extra di luar jam sekolah, mungkin seperti kajian agama rutin tiap minggu, dan kegiatan keagamaan lainnya yang di lakukan secara berkala dan diawasi pihak guru dan sekolah!!!

    dulu di sekolahan saya ada kegiatan agama di luar sekolah tiap jum’at sore, dan semua wajib dateng!!!

    konsekwensi yang gak datang adalah : surat panggilan kepada orang tua wali!!

    mungkin bisa di terapan!!!

    ridhocyber’s last blog post..Pilih Sport Bike atau Motor Bebek?

    ooo
    wew… apa yang diterapkan di sekolah ridho itu kayaknya layak dicontoh nih. makaish infonya, yak!

  2. pendidikan sangatlah penting apalagi buat negara miskin seperti kita..
    kapan bangsa ini bebas dr kebodohan ya?

    hanggadamai’s last blog post..Rektor IPB Diancam Mati!

    ooo
    yup, sepakat banget, mas hangga, untuk terbebas sepenuhnya dari belenggu kebodohan kayaknya memang butuh beberapa generasi lagi nih.

  3. wew,bener bgt pak,emang skrg sekolah itu lbh trfokus pada hapalan, dan budaya kritis itu sepertinya sudah hilang!

    mengenai pndidikan agama,di skolah ridu dulu,walaupun skolah negeri umum (bkn skul agama) tp khidupannya sangat religius.

    ridu’s last blog post..Jalanan dan Jalanku

    ooo
    kayaknya begitu ridu. murid2 melalui un, misalnya, seperti disihir utk menjasdi penghafal klas wahid tuh. wew… salut banget nih sama sekolah ridu.

  4. Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik … ya tapi itu soalnya. Kalau dalam kapasitas sekolah formal, gurulah yang tanggung (bukan jawab). Nah, bagaimana dengan kespritualan guru. Disini soal pokoknya. Guru kita agak payah, ditimpa pula aneka tuntunan yang tidak rasional … seolah-olah seleuruh beban ditimpakan pada guru. Kasian guru dong.

    Berikutnya, pendidikan di RT dan masyarakat ngak link-en-macth … Tanggung jawab lebih dilempar pada guru. Jangankan tentang ‘roh’ pendidikan, ngajar saja masih jauhlah. Untuk itu seyogyanya:

    1. Keompetensi guru ditingkatnya, sarana dan prasarana dilengkapi, gaji guru dilayakkan …
    2. Ortu, masyarakat, pemerintah, dan sekolah saling bahu membahu.

    Soalnya, semua iti ada dalam retorika, bukan aplikasi. Dan, … ngak berani nulisnya ah … (Kalau ditimpuki Pak Sawali kan repot).

    Ersis W. Abbas’s last blog post..Menulis, Menebar Manfaat

    ooo
    yup, sepakat banget pak ersis. terlalu berat memang beban yang mesti diemban seorang guru, sementara kompetensi guru sendiri juga masih perlu ditingkatkan. emang ada apa kok ndak ditulis saja, pak ersis, pasti lebih yahud dan oke, hehehehehe 😆 nggak bakalan nimpuk kok, pak, malah menjura hormat sama pak ersis.

  5. faktor lingkungan turut mendidik seseorang, disatu sisi ada beberapa guru yang membawa masalah pribadi di luar sekolah tapi dibawa masuk dalam kelas dan dilampiaskan kepada siswa.

    kemampuan Spiritual seseorang akan membentuk pribadi yang pada akhirnya akan memiliki kecerdasan emosi dan intelektual. Pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan secara intens mungkin akan bermanfaat. -cmiiw-

    annots’s last blog post..Awal cerita

    ooo
    yup, sepakat banget mas annots. faktor lingkungan juga besar pengaruhnya terhadap nilai2 spiritual seorang anak. kalo mereka berada pada lingkungan yang tepat, nilai2 spiritual mereka pasti juga akan berkembang dg baik. btw, kalo masih ada guru yang mencampuradukkan urusan di luar sekolah dg urusan mengajar dan mendidik wah, repot banget tuh.

  6. Lho dunia pendidikan, utamanya sekolah, bukannya sudah menjadi kawah candradimuka pak?
    Menghasilkan anak-anak yang pandai bertarung dan bertempur..

    ooo
    sebagian memang sudah, mas nazieb, tapi kayaknya masih banyak juga yang masih tiarap.

  7. Pak itu rama mangun apa romo mangun sih?

    Soale kalo romo mangun salah satu idola saya tuh. 😀

    danalingga’s last blog post..Jenuh Nge-Blog

    ooo
    hanya beda ejaan aja, mas dana. menurut ejaan jawa sih penulisan yang bener katanya rama, hehehehe 😆 yang kumaksud ya nromo mangun itu.

  8. guru sepatutnya memiliki kompetensi spiritual yang lebih dari pada muridnya pak! sayangnya, acapkali di tempat saya, beberapa murid secara spiritual lebih cakap ketimbang gurunya. kesalehan sosial yang ditampakkan melampaui usianya, sementara sebagian guru lebih tak tertata secara spiritual. So? whats the solution?

    ketika saya sampaikan pada guru yang under estimate tataran perilakunya, dia bilang: “saya bukan guru agama, saya guru ….., so, wajar dong kalo saya begini….”.. lalu saya harus bilang apalagi pak sawali?!

    gempur’s last blog post..Reporter Berjilbab Mulai diterima?

    ooo
    yup, sepakat banget pak gempur. walah, kalo menghadapi guru yang under estimate sepertinya repot juga, pak. penanaman nilai spiritual itu idealnya kan bukan hanya tanggung jawab guru agama saja, melainkan terintegrasi lintas mapel.

  9. Mungkin sebaiknya pendidikan agama langsung di lakukan turun ke masyarakat, agar tahu penerapan dari teori-teori agama itu. 😀

    danalingga’s last blog post..Jenuh Nge-Blog

    ooo
    boleh juga mas dana. hanya masih seirng terbentur dg waktu yg teralokasikan dalam kurikulum. itu bisa dilakukan mungkin lewat ekskul.

  10. Berdasarkan pengamatan saya (*halahh..*), ada 3 komponen penting agar (proses)“penggemblengan jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya” bisa berhasil dgn sukses….yaitu Guru, Ortu dan Lingkungan. Dari ke-3 komponen tsb (dgn memandang “jutaan anak bangsa” sbg obyek) , yg bisa di-sinergi-kan, dimaksimalkan dan diperdayakan adalah Guru dan Ortu, sedangkan Lingkungan sangat susah untuk diajak “kerjasama” karna itu (lingkungan) sangat bergantung pada tempat dimana “jutaan anak bangsa” (itu) sering “kelayapan”. Mengharapkan agar “jutaan anak bangsa” hanya ber-“kelayapan” di lingkungan yg baik2 aja sangatlah susah sehingga untuk menyiasati agar “jutaan anak bangsa” tidak terpengaruh ato mengalami penurunan kualitas/degradasi moral maka disinilah perlunya mengoptimalkan peran Guru dan Ortu.
    Mengadop istilah di dunia per-serdadu-an, “The Man Behind The Gun” …kalo Guru dan Ortu di ibaratkan sbg “The Man”-nya dan “The Gun”-nya adalah mata pelajaran agama/kurikulum (dlsb)… maka seberapa-pun bagus/canggih-nya “The Gun”-nya tapi klo para “The Man” yg mengawakinya gak punya kualitas “babar blas” (maka) akan percuma. Bahwasanya Guru adalah “juga manusia-punya rasa-punya hati….dan punya segudang permasalahan “internal” dalam hidup dan menghidupi keluarganya “ maka sangat bisa dimaklumi klo banyak yg(sudah)kagak focus (lagi) dgn “kerjaan”-nya. Salah satu sebabnya karna “Negara” belum bisa memberi “gaji yg layak” sehingga banyak para “pejuang tanpa tanda jasa” ini yg punya “side job” so gimana bisa focus….apalagi mengharapkan “improvisasi/inovasi “ guru dlm mengajar …..rasanya kok seperti menegakkan benang basah aja (Pak ). Dan disinilah pentingnya orang tua..mengambil alih “tongkat komando” ato paling tidak bersedia berbagi tugas untuk menghadapi ketidakfocusan guru dalam “menggembleng jutaan anak bangsa (agar)menjadi generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus cerdas spiritualnya”. Jika kita menjadikan Khalil Gibran sbg acuan dalam memahami dunia per-“anak”-an maka seharusnya kita tidak boleh menyalahkan “sang anak” karna “anakmu bukanlah anakmu tapi anaknya kehidupan” …. lagian anak adalah (hanya) sbg “obyek” dalam rantai pendidikan yg semakin hari semakin bundet-ruwet bin acak-acakan. Lantas….menyalahkan guru….??? Saya rasa….itu tindakan yg sangat tidak bijaksana, klo ada pihak yg harus disalahkan…..marilah kita menyalahkan diri kita sendiri karna sbg orang tua…kita terlalu sibuk dgn “kesibukan” (yg sering dibuat-buat )shg sering melupakan tanggung-jawabnya sbg “partner” guru dalam mendidik anak.

    ooo
    yup, begitulah bung serdadu kondisi dunia pendidikan kita saat ini. tantangannya makin rumit dan kompleks. sering terjadi kontradiksi antara nilai spiritual yang diajarkan di sekolah dng apa yang terjadi di tengah2 kehidupan masyarakat. kenyataan yang terjadi di sekeliling bena2 sudah acapkali bertentangan scr diametral dng nilai spiritual yang diajarkan di sekolah. makanya, sya sepakar dg bung serdadu. hrs ada sinergi antara orang tua, guru, dan tokoh2 masyarakat.

  11. Pak Sawali,
    Tak semua masalah dapat dibebankan pada sekolah, harus ada kerja sama antara guru, orangtua dan lingkungan ( termasuk pemerintah).
    Jadi anak dididik tak sekedar pintar (IQ), namun secara bertahap akan menjadi anak yang bijak (EQ)…namun agar bisa sensitif terhadap kesulitan orang lain, maka perlu ditingkatkan SQ nya. Untuk mendidik ketiga hal tsb, sekolah mempunyai keterbatasan, karena tak setiap saat guru dapat memonitor dan bergaul dengan anak didiknya.

    Situasi lingkungan yang semakin tak peduli, individual, juga membahayakan, karena sensitivity anak akan kurang untuk menolong orang lain yang sulit. Jadi saya salut sama Direktur saya, diantara kesibukan beliau, kalau ada rapat di sekolah bersama orangtua murid, beliau selalu hadir sendiri. Ini yang membuat saya sebagai anak buahnya juga nyaman, karena saya juga bisa minta ijin untuk urusan pengambilan rapor dsb nya.

    Pertemuan antara orangtua dan guru sangat penting, disini saya dulu juga mendapatkan sharing pengalaman bagaimana cara mengawasi anak-anak agar tak terkena narkoba…ortu saling bertukar telepon rumah dan Hp…jadi kalau anak ijin ada pengajian dirumah teman, kita bisa saling mengecek. Dan rasanya tak ada alasan sibuk, karena komunikasi yang makin mudah. Saat anak bungsu saya mau merayakan kelulusan dengan tidur di Anyer, beberapa ortu menawarkan diri mengawal putra putrinya, dan saya hanya titip pesan karena tak mungkin cuti.

    edratna’s last blog post..Pintar dan, atau pintar-pintar

    ooo
    sepakat banget bu enny. ketiga komponen pendidikan (guru, orang tua, dan lingkungan) memang perlu bersinergi untuk bersama2 mendidik anak. yup, makasih juga kiat-kiatnya, bu.

  12. Saya kira akan sangat berat jika kita berharap ada perbaikan tingkat spiritual pada anak dengan mengandalkan peran guru. Peran orang tua yang semestinya lebih dominan dalam menanamkan aspek spiritual anak.

    Saya setuju dengan alokasi penambahan waktu belajar. Perbaikan pola hubungan orang tua dan guru, serta maksimalisasi peranan ekstra kulikuler yang berkaitan dengan spiritual bisa juga dikedepankan.

    indra kh’s last blog post..Tahu Tauhid Lembang

    ooo
    yup betul sekali, bung indra. beban guru di sekolah juga sudah terlalu berat. utk kurikulum sekarang (KTSP) kayaknya penambahan jam utk pendidikan agama bisa juga, tergantung kebijakan sekolah masing2. akan lebih bagus lagi jika ditambah dengan kegiatan ekskul.

  13. sepakat pak. pendidikan adalah alat pencerahan. bukan hanya semata alt untuk mencari uang kelak. mungkin pendidikan agama bisa sedikit dimodifikasi pak. bukan monoton seperti sekarang. biarkan agama itu membumi, bukanhanya hubungan antara manusia dan tuhan. namun lebih dari itu. ajak anak2 kita ke tempat2 kumuh dimana tuhan ada disana. menyapa sesama makhluk tuhan namun berbeda kondisi.

    magma’s last blog post..2DY IS MY SIST B?DAY

    ooo
    wih, ide bagus ini. makasih banget infonya, mas magma.

  14. Pendidikan spiritual, atau pendidikan agama?

    Pertanyaan di atas sama dengan pertanyaan berikut: Perguruan tinggi agama (Islam) misalnya, sebenarnya mengajarkan mahasiswa untuk menjadi seorang yang spiritual(is) (islam), atau menjadi seorang ahli ilmu agama? Kayaknya, seorang spiritualis itu beda dengan seorang ahli agama. Tak selalu seorang spiritualis itu ahli agama, atau sebaliknya.

    Itu di perguruan tinggi, lah sekolah di tingkat bawahnya?

    mrtajib’s last blog post..Mentradisikan Research bagi Warga Kampung!

    ooo
    wew… kayaknya beda kang tajib. untuk menjadi seorang spiritualis kayaknya kok ndak harus sampai ke bangku PT. di sekolah, yang ditanamkan adalah nilai2 spritual agar mereka dapat memahami, menghayati, danm mengamalkan nilai2 itu dalam kehidupan kesehariannya.

  15. tepat sekali kang sawali, pendidikan spiritual penting. Tidak mululu harus dikonotasikan dengan pendidikan Agama, apalagi jatahnya cuma 1 jam. Intinya pendidikan spiritual harus dipastikan ‘terselip’ disetiap mata pelajaran, sehingga siswa dilatih untuk memahami, meyakini kemudian mempraktekan bukan hanya menghapal apa2 yang telah mereka dapatkan dibagku sekolah.

    resi bismo’s last blog post..musim pancaroba

    ooo
    yup, kalau pendidikan spiritual hanya diserahkan sepenuhnya kepada guru agama, walah, bisa repot, resi. perlu ada sinergi dan integrasi lintasmapel.

  16. walah ya bener banget! disadari atau tidak pendidikan spritual di sekolahan memang sangat penting manfaatnya bagi masa depan anak didik itu sendiri.

    nico kurnianto’s last blog post..Blogger Ubaya pertama (versi dunianiko)!

    ooo
    yup, sepakat banget mas niko. kalao bisa sih anak memiliki 4 kecerdasan sekaligus, intelektual, emosional, spiritual, dan sosial.

  17. Memang betul, mapel agama yang saya peroleh saat SMA lebih banyak hapalan2nya, jd hati saya tdk bisa tersentuh dari mapel itu. Eh, malah dari majalah2 rohani hati saya baru bisa tersentuh.
    Pak, kalo yahoo id bpk dikirim lewat email aja gimana? Cz saya biasa ngenet lewat hp, jadinya blm bisa nemuin id bpk. Maklum, jarang ke warnet. Cz lebih irit pake hp sih, tlg kirim ke elfrida_tse2@yahoo.co.id ya pak.
    Makasih sblumnya
    GBU

    Elfrida’s last blog post..Boleh Nggak Sih Kita Selingkuh ???

    ooo
    wew… bener juga mbak frida. kalo hafalan pelajaran jadi membosankan. btw, ttg yahoo.id boleh deh. tunggu nanti saya kirim lewat email. ok?

  18. untuk pendidikan religi, mungkin pendidikan informal lebih efektif.

    Samsul’s last blog post..Evaluasi Diri

    ooo
    wew… bisa jadi begitu mas samsul. tapi bukan berarti pendidikan agama di lembaga pendidikan formal tidak menarik loh asalkan dikemas lewat pembelajaran yang variatif.

  19. *Wah ngomong pendidikan agama di sekolah… Berat sekali, Pak. Minimal buat saya. Ilmu agama saya rendah nih. Huehehe. Aduh coba ahh ikut diskusi yang menantang ini*.

    Setahu saya, ada hal yang menarik dari pendidikan agama waktu jaman saya masih duduk di Sekolah Dasar, Menengah serta Atas (SMU) di RI dahulu.

    Yaitu, teman saya, si Yuyun, yang kebetulan beda agama… Manyun sendirian di luar kelas. Ia berdiri di luar kelas, keluyuran dari satu pintu kelas ke pintu kelas lainnya. Karena ia beda agama.

    Kami di kelas, dicekoki dengan berbagai macam ancaman neraka (Dan giliran selangkangan surga, disensor. hehe). Waktu itu saya berfikir, betapa beruntungnya si Yuyun.

    Pendidikan agama di sekolah kami, jadinya benar-benar membuat saya dan Yuyun begitu berbeda. Begitu jauh jarak rentang kami ketika bicara soal agama. Ia selalu menutup diri. Dan saya, ahh, saya tidak pernah diajarkan untuk menghormatinya. Kami hanya diajarkan, bahwa kamilah yang terbaik. Tanpa cela.

    *Maaf Pak Sawali, kalau komen ini kalau menyinggung perasaan. Maaf, ilmu agama maupun spiritualitas saya memang tidak banyak*

    arifkurniawan as bangaiptop’s last blog post..Sex, Drugs dan Raungan Musik Cadas

    ooo
    walah, bangaip sukanya merendah begitu, hehehehehehe 😆 pengalaman bangaip seperti rasa2nya juga dialami oleh banyak siswa sekolah yang lain kok. yang diajarkan di sekolah tak lebih dari sebuah dogma ttg benar dan salah, sehingga siswa merasa jenuh. akibatnya, agama menjadi sebuah doktrin yang kaku. kondisi semacam ini bisa teratasi *halah sok tahu nih* jika pendidikan agama di sekolah disajikan dg metode yang variatif dan langsung menyentuh ke persoalan riil sehari-hari.

  20. pelajaran spiritual tidak hanya didapat dari agama saja, semua mata pelajaran seharusnya memberikan pengetahuan2 spiritual itu.

    aRuL’s last blog post..SPMB dan duit

    000
    yup, sepakat banget mas aRul. seharusnya begitu, tidak hanya diserahkan sepenuhnya kepada guru agama saja.

  21. Menurut saya memang penting memperkenalkan kembali nilai-nilai spiritual di dalam setiap pelajaran yang diajarkan (bukan hanya dalam perlajaran Agama saja) karena bagaimanapun juga spiritual juga memegang peranan penting yang tidak terhindarkan di dalam banyak persoalan di dunia nyata atau dunia kerja.

    Namun pendidikan spiritual seyogianya memang jangan hanya berupa teori atau orasi yang hanya mirip kuliah atau nasihat2 belaka saja, tetapi kalau perlu dengan teladan2 dan contoh2 nyata dari para pendidik yaitu guru dan orang tua. Bagaimana? Setuju kan? **halaah** 😀

    Yari NK’s last blog post..Terkontaminasi???.!

    ooo
    setuju banget bung yari. idealnya memang begitu. nilai2 spiritual mestinya disajikan secara lintasmapel dan perlu keteladanan dari pendidik.

  22. fenomena aneh lain di sebuah negara yang aneh, dan punya sistem tatanan kehidupan yang tidak kalah anehnya… 🙁

    suandana’s last blog post..sidang?

    ooo
    hahahahaha 😆 memang kita sudah lama hidup di sebuah negeri yang aneh, kok, pak adit.

  23. Saya kutip nih sedikit:

    Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.

    Nah, yang saya tahu, hal semacam ini sudah mewabah banget Pak. Saya sempat terjebak dengan orang-orang semacam ini. Padahal dia sepertinya taat ibadah, tapi kelakuan, duh naudzubillah. Padahal secara pendidikan pun bisa dibilang tinggi, tapi kenapa bisa begitu?

    Jadi, pendidikan agama di sekolah kita itu harus seperti apa?

    Cukupkah hanya dengan penambahan jam pelajaran?
    Cukupkah hanya dengan penanamanan nilai keimanan dan spiritual lewat lintas pelajaran?

    Saya pikir, yang paling utama pembentukan landasan nilai keimanan itu ada di dalam keluarga. TApi, sekali lagi, tak semua keluarga mampu melakukannya.

    mathematicse’s last blog post..Cerita dari Kang Abdul

    ooo
    ok, makasih banget pak jupri. agaknya memang penanaman nilai spiritual akan lebih bagus dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian dikuatkan di lingkungan sekolah dan masyarakat. jika ke-3 lingkungan ini sinergis, bisa jadi anak2 akan memiliki landasan spiritual yang kuat dan kokoh.

  24. kalau pendidikan spiritual telah diberikan dari keluarga *sejak mereka kecil*, insya allah akan memiliki pegangan dalam menjalani kehidupan. lagipula yg lebih penting adalah teladan bukan sekedar teori2 saja 😀

    eNPe’s last blog post..Tanggapan Ujian Akhir Nasional

    ooo
    yup, sepakat banget bu ita. penanaman nilai spiritual dalam lingkungan keluarga harus kokoh dan kuat untuk selanjutnya dikuatkan di lingkungan sekolah.

  25. seperti nya kembali lagi ke si anak peserta didik tersebut, di Padang kebanyakan anak-anak walaupun kurang pelajaran agama namun mereka berkiprah diluar seperti da’i cilik

    ooo
    yup, bisa jadi bung. meski demikian, anak2 juga butuh pendampingan dari orang tua dan guru agar mereka memiliki motivasi yang kuat untuk bisa menerima nilai2 spiritual dg baik.

  26. Pendidikan spiritual juga sebenarnya masih kurang apabila hanya diberikan di sekolah.. sebaiknya perlu kesadaran dari orang tua juga sehingga ada kegiatan spiritual selepas pulang sekolah, seperti mengaji atau sekolah agama, sehingga komposisi nya bisa seimbang antara mengejar target dunia dengan target akhirat.

    RiEducation’s last blog post..Setelah Makan Siang

    ooo
    yups, sepakat banget mas riedu. idealnya begitu. harus ada sinergi.

  27. Mata pelajaran Pendidikan Agama, selain ditambah alokasi waktunya, hendaknya juga tidak sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori dan hafalan, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat spiritual yang membuka ruang kesadaran nurani siswa di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk.

    mustinya ada pelajaran hakikat ya pak, biar siswa2 tsb tidak terpaku pada simbol2 dan atribut2

    joyo’s last blog post..Karikatur nabi Muhammad??(2)

    ooo
    walah, apa tidak terlalu berat mas kalau harus ada pelajaran hakikat, sementara yang syariat saja juga masih kerepotan. “kedalaman dan hakikat sipritual” dalam konteks kalimat itu sebenarnya lebih tertuju pada nilai2 spiritual yang lebih mendasar sifatnya untuk membuka ruang kesadaran siswa terhadap realitas multiagama yang ada di negara kita.

  28. Sejak kebudayaan Melayu menjadi kebudayaan Indonesia, sesungguhnya secara pelan-pelan kita sudah mulai meninggalkan budaya kesantunan dan kepatutan. Perubahan budaya yang didukung dengan derasnya arus infiltrasi modernisasi (yang memang kita butuhkan)juga telah mengubah orientasi pendidikan di Indonesia. Sekali pun di atas kertas tetap dinyatakan bahwa landasan pendidikan kita adalah menciptakan sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa, tapi pada perangkat yang menyertai kebijakan orientasinya adalah menciptakan sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi dan kompetitip. Persoalannya usaha bersaing itu tidak didasari oleh kesadaran bahwa harus tetap mengedepankan kesantunan dan kepatutan. Akibatnya, semua sistem dalam pendidikan di Indonesia tidak bisa bergerak dalam tataran idealis tapi tataran praktis. Pendidikan spritual, barangkali, hanyalah pelengkap sebuah sistem pendidikan yang terlanjur menyebut diri sebagai pencerdas kehidupan bangsa. Mungkin sekali ini pendidikan kita seperti terlihat kokoh, tapi sesungguhnya rapuh. Siswa dan guru hanyalah korban. Pemerintan dan masyarakatlah yang menjadi operatornya.

    Tabik!

    Zul …’s last blog post..Nonton Film Ayat-Ayat Cinta Bareng Siswa : Sebuah Pembelajaran

    ooo
    yups, makasih banget tambahan infonya pak zul. semoga saja dengan pendidikan spiritual yang memadai, siswa dan guru tidak lagi menjadi korban karena pemerintah juga sudah memiliki landasan spiritual yang kokoh. tapi kapan ya pak kondisi semacam itu bisa terwujud?

  29. bagaimana dengan mata pelajaran ‘Budi Pekerti’ Pak Sawali. jangan hanya menekankan pada pendidikan agama saja. karena bangsa ini terlalu bangga dengan predikat ‘bangsa religius’ namun hanya terhenti pada tataran syariat saja 😀 yang sangat berpotensi sebagai komoditas konflik 😥 yang ujung2nya malah makin memperpuruk bangsa ini.
    nah Budi Pekerti spertinya perlu kembali menjadi kurikulum sekolah

    tomy’s last blog post..IQRO’ Pembacaan Muhammad Atas Tuhan

  30. Nah, itu…saya juga sering risih dengan ‘cara’ pendidikan Agama di sekolah2. Bikin males jadinya. Saya justru bersemangat belajar Agama itu melalui diskusi.

    Donny Reza’s last blog post..Belajar Bijak

  31. @ tomy:
    pendidikan budi pekerti juga penting pak tomy. tapi percuma juga dijadikan sebagai mapel tersendiri kalau pola dan model pembelajarannya masih teoretis dan dogmatis. anak2 mestinya lebih diajak untuk melakukan diskusi dan simulasi tentang persoalan2 riil yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

    @ Donny Reza:
    Yup, memang harus ada perubahan mas donny. proses pembelajaran pendidikan agama jangan lagi memosisikan siswa sebagai objek semata, melainkan justru sebagai subjek. ajak mereka berdiskusi dan bersimulasi melalui teknik dan strategi pembelajaran yang menarik.

    sawali’s last blog post..Gapit *)

  32. Sepakat! Dulu saya pikir ini semua terjadi karena gaji guru yang minim, tetapi nyatanya nyaris tidak berubah meskipun gaji guru sekarang sudah jauh lebih baik dibandigkan saat saya SMA dulu 🙁
    Salam kenal.

    ooo
    ada juga pengaruh gaji terhadap kinerja guru mas riyo, meskipun tidak begitu signifikans, hehehehehe 😆 yup, salam kenal juga mas riyo. makasih kunjungannya.

  33. Pendapat saya sih…kalau di sekolah lebih ditekankan pada pendidikan spiritual..karena bagaimanapun negara kita kan begitu plural (kecuali kalo sekolah tersebut sudah berbasiskan suatu agama tertentu). Sedangkan pendidikan agama lebih besar tanggung jawabnya oleh keluarga…karena sebagian besar keluarga di negara kita menganut satu agama (kecuali dalam keluarga kawin campur).

    miss unita’s last blog post..Kita Semua Membaca?Yuuuk?!

    ooo
    yup, bagaimanapun juga penanaman nilai spiritual dalam lingkungan keluarga perlu mendapatkan penguatan dari dunia sekolah agar pengembangan nilai2 tersebut bisa lebih uth dan komprehensif. perlu ada sinergi antara pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

  34. Salah satu sudut pandang yang agak keluar dari pokok bahasan ya, Kang.

    Saya masih percaya guru2 senior masih ada yang memegang nilai2 yang Kang Sawali singgung. Mengapa saya punya keyakinan itu? Karena saya ngalamin nilai-nilai itu, setidaknya dulu begitu.

    Mengapa makna luhur tulisan Kang Sawali sekarang sulit terwujud, sedangkan dulu masih bisa, yang terjadi mungkin begini, Kang.

    1. Dulu, pendidik begaji rendah tidak begitu pusing dengan harga beras, telur, gula pasir, dll. Hal itu menghadirkan ketenangan batin, fokus dalam mendidik (*luas) anak didiknya, sehingga tidak hanya target materi pengajaran saja yang ingin dipenuhi, tetap sekaligus mental spiritual murid, sekalipun guru itu bukan guru agama. Tentunya masing2 dengan cara sendiri2.

    2. Sekarang,…

    Dari sudut pandang ini saja (ekonomi), muaranya ke kemampuan negara menjamin kesejahteraan, tidak hanya dari sisi fluktuasi gaji, tapi penyelarasannya dengan harga kebutuhan (pokok) di pasaran. Ujung2nya bisa jadi ke masalah korupsi juga yang mengurangi kemampuan negara pada thn anggaran berjalan berikutnya.

    Saya yakin banyak terdapat sudut pandang yang lain. Artinya masalah ini memang masalah serius yang tidak bisa dipikirkan dan diselesaikan hanya oleh satu-dua pihak yang berkompeten saja.

    dhodotes’s last blog post..Ikhlas Carik’e bilang, “Blekok benar.”

    ooo
    wah, setuju banget dengan pendapat carike. persoalan pendidikan memang perlu menjadi tanggung jawab semua pihak. penghasilan guru, memang ada pengaruhnya terhadap kinerja guru, meskipun kurang begitu signifikans. yang tidak kalah penting, memang perlu ada sinergi antara orang tua, guru, dan tokoh2 masyarakat dalam penanaman nilai2 spiritual kepada anak. ok, makasih banget pencerahannya carike, hehehehe 😆

  35. Dalam prakteknya Pak, pendidikan spritual itu akan dianggap sama dengan pendidikan agama. Padahal, kalo nggak salah, spiritual itu fokusnya adalah mengenai pengalaman bersama dengan Tuhan ; sebaliknya agama adalah mengenai apa yang bisa kita pikirkan mengenai Tuhan. Tolong dikoreksi Pak Guru, yang jelas kedua hal itu bisa beda dan memang ada baiknya beda…sebab belon pernah kejadian orang berperang karena masalah spiritual.

    Salam Merdeka!

    Robert Manurungaa’s last blog post..Desy Nonjok Cowok di KRL

    ooo
    yup, bener banget, bung robert. saya sepakat itu. memang perlu ada perbedaan antara pendidikan agama dan spiritual. menurutku, pendidikan agama merupakan salah satu cara untuk menanamkan nilai2 spiritual itu. salam merdeka juga bung!

  36. Saya jadi teringat kejadian beberapa hari lalu, ketika saya nguber-uber KECOAK dengan sapu lidi, niat awalnya sih mau tak pateni tuh Kecoak. Tiba-tiba saja anak kecil saya yang masih TK kecil berteriak ” Jangan dibunuh yah…!!” Kasihan, dia kan mau cari makan…??
    Mak dheg…hati serasa TERSENTAK….!! Anak yang masih saya anggap INGUSAN ternyata telah memiliki BUDI PEKERTI LUHUR…ketimbang bapaknya ini.

    Yah…anak yg kita anggap masih kecil, ternyata dalam DIRINYA telah memiliki ” WELAS ASIH ” yg begitu kuat, walaupun terhadap Hewan sekalipun.

    Ternyata SPIRITUAL itu telah ada di dalam DIRI setiap manusia, Pak Sawali…Jadi peran Guru PITUDUH hanya tinggal membukakan KUNCI nya saja.
    dan Agama malahan terkadang MERACUNI sang DIRI manusia, jika penerapan dan APLIKASINYA masih terbatas kULIT LUARNYA dan kaweruh yang ditanamkan masih seputar Teks book dan HAFALAN saja. Terlebih-lebih jika AGAMA itu sudah diberikan dalam bentuk ” DOKTRIN ” yang pada akhirnya AGAMA hanya akan menjadi DOGMA mengikat dan memperSEMPIT akal dan pikiran murid.

    Ajaran perilaku ” Alam semesta ” kayaknya lebih mengena dan bisa MBALUNG SUMSUM pada diri murid untuk menjadikan KESADARAN berperilaku LUHUR dalam bersosialisai masyarakat dan kehidupan sosial.

    Agama sudah semestinya, di AJARKAN, di KENALKAN untuk mengembalikan Eksistensi manusia yang telah mewarisi 99 sifat Tuhan kan…?.

    Nggelesod…memandangi si Kecilku..yah Guruku…yang telah mengajari aku tentang ” WELAS ASIH ” walau terhadap Hewan sekalipun…

    ooo
    yup, sepakat banget mas santri gundul. putra mas santri gundul sudah memberikan pelajaran yang sesungguhnya bagaimana kita mestu menerapkan nilai2 spiritual itu ke dalam kehidupan nyata. kalau nilai2 semacam itu disampaikan secara teoretis seringkali akan terjebak pada dogma yang pada akhirnya nilai2 spiritnya justru jadi kabur.

  37. Di Perancis, tidak ada pendidikan agama di sekolah umum (negeri) karena sekolah ini laik. Tidak berarti kami hidup tanpa aturan dan tidak mempunyai rasa kemanusiaan.

    Di sini anak dididik lebih manusiawi, sehingga anak pun tumbuh secara manusiawi pula.

    Aku pikir anak jadi malah tambah bingung jika cekoki dengan pendidikan agama, pancasila dsb jika lingkupnya tidak ada contoh yang benar dan reel.

    Juliach’s last blog post..Aku jadi takut

  38. sambungan:

    contohnya:
    – Anak sudah males melanjutkan sekolah jika orang tua nunggak bayar SPP, karena Kepala Sekolah/guru nagih dengan marah-marah bahkan mengancam dia tidak naik kelas/lulus. Hal ini akan menjadi ketakutan yg tidak mendasar, yang akan terbawa ketika dia tumbuh dewasa.

    Bisa juga ketakutan menjadi orang miskin timbul, sehingga dia tidak mau menjadi miskin. Dia akan melakukan apa saja sehingga dia tetap jaya.

    – Anak akan bertanya, “Mengapa aku harus jujur jika Presiden saja boleh korupsi?”

    – Beragama tetapi ada perang antar agama. Lah bukannya di pelajaran agama diajarkan kasih sayang? Pemerintah sendiri tidak bisa langsung meredakan konflik itu.

    Ini hanya salah satu contoh dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.

    Juliach’s last blog post..Aku jadi takut

  39. Bahasannya berat. Nggak sanggup berkomentar. Tanda tangan prrsensi saja aahhh…

    Arif’s last blog post..Mari Peduli

  40. Kebijakan dan kurikulum pendidikan kita belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih memprihatinkan, guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku, monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang berkhotbah, indoktrinasi, dan “membunuh” penalaran siswa yang dikukuhkan lewat dogma-dogma dan mitos-mitos.

    ……….> ikut mengamini keprihatinan Pak Sawali

    Gak usah risau pak masalah anak itu bawaan dari rumah kok, guru tidak sepenuhnya tanggung jawab dalam hal pendidikan keagamaan /moralitas. Karena secara teori guru sudah memberikan mata ajar dari kurikulum.
    Yang patut dihawatiri adalah pengaruh anak tak baik namun tidak sebaliknya… inilah sebenarnya tugas yang cukp berat…. 😀

    wah, makasih banget tambahan infonya, mas kyai kurt 🙄

  41. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at 2 Mei 2008)

    Strategi Pendidikan Milenium III
    (Tengkulak Ilmu: Rabunnya Intelektual Ilmiah)
    Oleh: Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. MANUSIA adalah binatang yang menggunakan peralatan. Tanpa peralatan, ia bukan apa-apa. Dengan peralatan, ia adalah segala-galanya (Thomas Carlyle).

    DALAM momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008, sangat tepat berbenah diri. Banyak kalangan menilai betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Ini ditandai dengan produktivitas kerja rendah sehingga ekonomi lemah, karena tidak efesien, efektif dan produktif dalam mengelola sumber daya alam yang meski begitu melimpah.

    Lalu, mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah?

    KAPITAL manusia adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara, sama halnya seperti pabrik, perumahan, mesin-mesin, dan modal fisik lainnya. Diakui dimensi teknologi, strategi, aliansi global dan inovasi merupakan komponen penting yang akan mempengaruhi keuggulan kompetitif pada masa depan. Namun demikian, komponen itu masih bergantung pada kembampuan manusia (Gary S. Becker).

    Dalam ilmu matematika ada acuan dasar sederhana penilaian apa pun, yaitu posisi dan perubahan. Jadi, jika bicara kemajuan pendidikan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah berkaitan di mana posisinya dan seberapa besar perubahannya dibanding bangsa lain di bidangnya.

    Berkaitan dengan perubahan, ada dua cara posisi untuk unggul yaitu bertahan dengan keunggulan lokal dengan fungsi terbatas atau menyerang dengan keunggulan global dengan fungsi luas. Misal, menjadi ahli orang hutan Kalimantan yang endemik, atau menjadi ahli kera seluruh dunia. Jelas, sangat sulit menjadi unggul satu keahlian untuk global diakui secara global, sedang unggul keahlian untuk lokal diakui secara global pun – seperti tentang orang hutan Kalimantan (apalagi tentang gorila), didahului orang (bangsa) lain. Ini terjadi disemua bidang ilmu. Mengapa?

    Indonesia (juga negara terkebelakang lain) memang negara yang lebih kemudian merdeka dan berkembang, sehingga kemajuan pendidikan pun belakangan. Umumnya, keunggulan (sekolah) pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan keunggulan lisensi, bukan produk inovasi sendiri. Contoh, sekolah (dan universitas) yang dianggap unggul di Kalimantan bila pengajarnya berasal menimba ilmu di sekolah (dan universitas) unggul di pulau Jawa (atau luar negeri). Sedang di Jawa, pengajarnya berasal menimba ilmu di luar negeri. Jika demikian, pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi) Indonesia atau di daerah tidak akan pernah lebih unggul di banding pusat atau luar negeri. (Ada beberapa sekolah atau universitas yang membanggakan pengajarnya lulusan universitas bergengsi atau menonjolkan studi pustaka di Jawa dan luar negeri. Artinya, ini sekadar tengkulak atau makelar (broker) ilmu dan teknologi). Dan memang, selalu, beban lebih berat bagi apa dan siapa pun yang terkebelakang karena harus melebihi kecepatan lepas (velocity of escape), kemampuan kemajuan yang unggul di depan untuk menang. Perlu kemauan keras, kerja keras dan strategi tepat mengingat banyak hal terbatas.

    WALAUPUN Anda berada pada jalan yang benar, maka akan tergilas jika Anda cuma duduk di sana (Will Roger).

    Lalu, mengapa otak orang lain unggul? Ada contoh menarik, Sabtu 30 Juli 2005 lalu, Michael Brown dari California Institute of Technology mengumumkan “Keluarkan pena. Bersiaplah menulis ulang buku teks!”. Astronom Amerika Serikat ini, mengklaim menemukan planet ke-10 dalam sistem tata surya yang diberi nama 2003-UB313, planet terjauh dari matahari, berdiameter 3.000 kilometer atau satu setengah kali dari Pluto. Planet ini pertama kali terlihat lewat teleskop Samuel Oschin di Observatorium Polmar dan teleskop 8m Gemini di Mauna Kea pada 21 Oktober 2003, kemudian tak nampak hingga 8 Januari 2005, 15 bulan kemudian.

    Sebuah penemuan kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa, yang sebenarnya biasa saja dan mungkin terjadi di Indonesia andai ilmuwannya memiliki alat teleskop serupa. Tanpa teleskop itu, ketika memandang langit mata kita rabun, sehingga yang terlihat hanya langit malam dengan kerlip bintang semata. Sejarah mencatat, ilmuwan penemu besar sering ada hubungan dengan kemampuannya merancang atau mencipta alat penelitian sendiri. Tycho Brahe membuat sekstan (busur derajat) pengamatan benda langit, Johannes Kepler dengan bola langit sebagai peta astronomi, Isaac Newton membuat teleskop refleksi pertama yang menjadi acuan teleskop sekarang, atau Robert Hooke merancang mikroskop sendiri. Dan, alat teknologi (hardware) pengamatan berjasa mendapatkan ilmu pengetahuan ini disebut radas, pasangan alat penelitian (software) pengetahuan sistematis disebut teori.

    ILMUWAN kuno kadang menekankan pentingnya seorang ilmuwan membuat alat penelitian sendiri. Merancang dan membuat sesuatu alat adalah sebuah cabang keahlian ilmiah (Peter B. Medawar).

    Lalu, sampai di manakah perkembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi) di negara lain? Untuk (ilmu) pengetahuan sosial, di milenium ketiga kesejajaran dan keterpaduannya dengan ilmu pengetahuan alam, hangat di berbagai belahan dunia. Di ujung tahun 2007 lalu, Gerhard Ertl, pemenang Nobel Kimia tahun itu, kembali mengemukakan bahwa ilmuwan harus menerobos batasan disiplin ilmu untuk menemukan pemecahan beberapa pertanyaan tantangan besar belum terjawab bagi ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan menyatu seiring waktu. Banyak ilmuwan peserta forum bergengsi itu menjelaskan tugas penting ke depan yang harus diselesaikan berkenaan masalah batas, batasan atau titik temu pada dua atau lebih disiplin ilmu. Kemudian sejalan itu, tanggal 28 – 30 Maret 2008 lalu, di Universitas Warwick, Warwick, Inggris, berlangsung British Sociological Association (BSA) Annual Conference 2008, dengan tema Social Worlds, Natural Worlds, mengangkat pula debat perseteruan terkini yaitu batas, hubungan dan paduan (ilmu) pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dalam pengembangan teori (ilmu) sosial dan penelitian empiris, mencoba menjawab pertanyaan kompleks yang selalu mengemuka di abad ke 21 dalam memahami umat manusia. Berikutnya, tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008, di Universitas Melbourne dengan tema Re-imagining Sociology.

    Ini peluang momentum besar (yang hanya satu kali seumur dunia) bagi siapa pun, baik universitas atau bangsa Indonesia untuk berlomba memecahkan masalah membuktikan kemajuan, keunggulan dan kehormatan sumber daya manusianya di milenium ketiga ini. (Dari pengalaman, pandangan rendah bangsa lain terhadap Indonesia (dan pribadi), tergantung kualitas kita. Kenyataannya, ilmuwan besar di universitas besar di benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia pun, dengan rendah hati mau belajar (paradigma Total Qinimain Zain: The (R)Evolution of Social Science: The New Paradigm Scientific System of Science dengan saya) selama apa yang kita miliki lebih unggul dari mereka.

    SUMBER daya manusia harus didefinisikan bukan dengan apa yang sumber daya manusia lakukan, tetapi dengan apa yang sumber daya manusia hasilkan (David Ulrich).

    Akhirnya, di manakah tempat pendidikan terbaik belajar untuk unggul secara lokal dan global di banding bangsa lain? Di University of Reality di kehidupan sekitar! Dengan syarat (mencipta dan) memiliki alat teknologi (hardware) atau alat teori (software) hebat sendiri. Jika tidak, semua mata intelektual ilmiah rabun, karena belajar dan memahami kehidupan semesta dengan otak telanjang adalah sulit bahkan mustahil, sama halnya mencoba mengamati bintang di langit dan bakteri di tanah dengan mata telanjang tanpa teleskop dan mikroskop. Sekarang rebut peluang (terutama untuk akademisi), bangsa Indonesia dan dunia krisis kini membutuhkan Galileo Galilei, Francis Bacon, dan Rene Descartes muda. Jika tidak, akan hanya menjadi tengkulak ilmu, dan harapan memiliki (serta menjadi) sumberdaya manusia berkualitas lebih unggul daripada bangsa lain hanyalah mimpi. Selamanya.

    BODOH betapa pun seseorang akan mampu memandang kritis terhadap apa saja, asal memiliki peralatan sesuai tahapan pemahaman itu (Paulo Freire)

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru, Kalsel, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *