Ujian Nasional dan Kekuasaan Hegemoni Negara

Pada awal masa baktinya, Mendiknas, Bambang Sudibyo, banyak menuai kritik. Kapasitasnya sebagai ekonom dinilai kurang tepat untuk mengurus masalah pendidikan yang demikian rumit dan kompleks. Untuk membuktikan kelayakannya sebagai orang nomor satu di jajaran Depdiknas, dia mencanangkan tekad untuk melahirkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh, yakni cerdas secara rohaniah, intelektual, sosial, emosional, estetika, dan kinestetik melalui sistem pendidikan nasional.

Mendiknas juga bertekad untuk menghapus ujian nasional (UN). Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi X DPR RI dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 14 Maret 2006, misalnya, dia meminta BSNP untuk melakukan kaji ulang antara kesesuaian ujian nasional dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, tekad Mendiknas belum juga terwujud. UN tetap jalan terus. “Ancaman” Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang akan mengelar aksi besar-besaran akibat banyaknya anak genius yang gagal menghadapi UN tahun lalu pun tidak meruntuhkan semangat pemerintah untuk mendongkrak mutu pendidikan lewat UN. Tampaknya, Mendiknas tak berdaya menghadapi gencarnya desakan Wapres, Jusuf Kalla, agar UN tetap digelar.

Bisa jadi benar apa yang dikemukakan oleh pakar kebijakan pendidikan, Tilaar (2003), bahwa kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang kerap dijadikan ruang intervensi kekuasaan transmitif (legitimatif), yaitu pelanggengan ideologi para penguasa terhadap rakyat atau peserta didik yang amat kental dengan nuansa budaya indoktrinasi, top down, dan politik penguasa sebagai penyetir dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan lebih kental beraroma kepentingan-kepentingan kelompok elite. Dunia pendidikan telah terkooptasi oleh kekuasaan hegemoni negara. Imbasnya, dunia pendidikan kita dinilai hanya akan melahirkan proses penggiringan, pembodohan, dan penjinakan warga oleh kepentingan segelintir elit penguasa.

Pendidikan yang semestinya menjadi alat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan menjadi lumpuh dan tak berdaya. Pendidikan yang idealnya mampu menumbuhsuburkan nilai budaya pembebasan dalam proses pembelajaran tak lebih hanya sekadar “kuda tunggangan” demi memenuhi ambisi sekelompok elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Ruang kebebasan berekspresi dan alternatif pilihan yang merdeka bagi setiap warga negara pun nyaris tak bergema dari balik tembok-tembok sekolah.

Kini, pemerintah telah membunyikan “tambur” kekuasaannya. The Show must go on! Ujian Nasional (UN) telah resmi dicanangkan sebagai jembatan akhir anak-anak bangsa negeri ini dalam meniti masa depannya melalui tingkat satuan pendidikan masing-masing. Mendiknas telah meluncurkan keputusan Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2007/2008. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga telah mengeluarkan keputusan Nomor 984/BSNP/XI/2007 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UN tahun 2007/2008.

Saat-saat yang menegangkan pun mulai berdenyut di berbagai daerah. Jika tidak ada aral melintang, UN SMA/MA/SMK dilaksanakan pada 22 s.d. 24 April 2008, sedangkan UN SMP, MTs, SMPLB, dan SMALB digelar pada 5 s.d. 8 Mei 2008. Ibarat menunggu lonceng kematian, tidak sedikit birokrat pendidikan di daerah yang mulai dicekam kepanikan. Dunia pendidikan kita seperti menyimpan api dalam sekam. Dalam Permendiknas Nomor 34 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN, yaitu (1) memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau (2) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.

Banyak kalangan menilai, pematokan angka kelulusan semacam itu jauh dari rasa keadilan karena mengebiri kemampuan siswa secara individual. Siswa didik yang sama sekali tidak memiliki minat dan kemampuan di bidang Matematika, tetapi memiliki kelebihan di bidang bahasa, misalnya, bisa jadi dia dia tidak akan pernah bisa lulus lantaran gagal mencapai patokan nilai yang telah dipersyaratkan. Sekadar contoh, taruhlah, misalnya si A mendapatkan nilai Matematika 3,00, sedangkan nilai Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan IPA, masing-masing mendapatkan nilai 9, 00. Rata-rata nilai yang diperoleh si A adalah 7,50. Bandingkan dengan nilai si B, yang mendapatkan nilai setiap mata pelajaran , misalnya, 5,25, sehingga rata-rata nilai yang diperoleh adalah 5,25. Berdasarkan kriteria, si A tidak lulus, sedangkan si B bisa lulus dengan mulus, meskipun dengan nilai pas-pasan.

Kalau boleh menilai, kompetensi si A jelas lebih memiliki “nilai tambah” yang bisa diandalkan untuk membangun masa depan negeri ini karena hanya memiliki kelemahan di satu bidang saja dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuan pas-pasan secara merata di seluruh bidang. Di sinilah letak ketidakadilan itu! Siswa didik yang memiliki nilai rata-rata “hebat” bisa saja tersungkur akibat tertebas “ganas”-nya pedang UN karena gagal meraih nilai minimal yang dipersyaratkan. Ini artinya, UN nyata-nyata telah mengebiri potensi anak secara individual yang akan berimbas pada terbunuhnya “talenta” anak-anak negeri ini sejak dini. Tak heran apabila pendidikan di negeri ini gagal melahirkan generasi masa depan yang memiliki jiwa “enterprenuer” sejati lantaran telah “dibunuh” sebelum berkembang. Yang bisa dihasilkan hanyalah para tukang dan robot-robot masa depan yang hanya tunduk dan patuh pada komando sang majikan.

Ironisnya, dalam upaya mendongkrak angka kelulusan, pejabat pendidikan di daerah banyak yang “kebakaran jenggot” dan menghalalkan segala cara. Demi mengangkat citra dan marwah daerah, mereka merasa perlu membentuk tim sukses secara berjenjang yang bertugas mengawal sekaligus mengantarkan para murid sukses menempuh UN. Siapa lagi kalau bukan guru yang mesti menanggung beban? Menjelang ujian, mereka harus tampil bak “pesulap” yang harus melahirkan para penghafal kelas wahid secara instan. Berangkat pagi pulang sore demi mencekoki siswa didiknya lewat drill soal-soal UN. Murid-murid diperlakukan bak “keledai”; patuh dan penurut, tanpa sedikit pun diberi ruang dan kesempatan untuk berpikir –apalagi mendebat— secara kreatif dan terbuka. Terpasung dalam kerangkeng keilmuan yang semu, jenuh, dan membosankan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang gencar digembar-gemborkan itu tidak lagi punya makna. Proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (baca: Paikem) pun hanya mengapung-apung dalam slogan. Celakanya, tidak sedikit sekolah yang terpaksa mengorbankan mapel non-UN. Jika perlu, hanya mapel UN saja yang digelontorkan ke dalam “tempurung” kepala para murid. Toh, soal-soal ujian mapel non-UN disusun dan dikoreksi oleh guru sendiri sehingga lebih gampang diatur. Paradigma “potong kompos” seperti inilah yang seharusnya segera dihentikan lantaran –disadari atau tidak– makin mempercepat proses pembusukan iklim dan atmosfer dunia pendidikan kita. Jika dibiarkan terus mengakar dan mewabah, bukan mustahil dambaan untuk menghasilkan manusia yang memiliki kecerdasan menyeluruh –utuh dan paripurna– seperti yang pernah dilontarkan oleh Mendiknas hanya sekadar retorika belaka.

Meskipun demikian, tidak lantas berarti UN menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur mutu serta akuntabilitas penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menjembatani antara mutu dan akuntabilitas pendidikan tanpa mengabaikan proses yang dijalani guru dan siswa.

Dalam kondisi demikian, idealnya UN hanya digunakan untuk kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah. Tentu saja hal ini memerlukan “kemauan politik” untuk saling percaya antara pemerintah dan pengelola sekolah, termasuk guru.

Jangan sampai terjadi fenomena pengambilalihan penentuan kelulusan siswa dari mekanisme sekolah oleh pemerintah melalui UN terus berlangsung. Sudah saatnya dunia pendidikan kita melepaskan diri dari kekuasaan hegemoni negara. Dunia pendidikan –meminjam istilah Mochtar Buchori (1995)—harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri; perubahan-perubahan apa yang boleh terjadi dan apa yang tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus lebih aktif untuk mengarahkan pertumbuhan dirinya dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah dan imbauan yang datang dari luar. Nah! ***

Comments

  1. Saya bukan hanya menolak UN. Saya bahkan menolak adanya lembaga sekolah. Sejak SMP saya sudah benci sekolah. SMA pernah ada niatan kuat untuk keluar. Hanya banyak teman yang membuat saya masih mau bersekolah.

    Sekolah buat saya adalah lembaga pemaksa dan pelanggar HAM. Saya nggak suka Matematika, tetapi dipaksa untuk mendapat nilai bagus. Apakah jika saya pintar Matematika lantas masa depan akan terjamin?

    Pernah juga berfikir dan sedikit curhat untuk berhenti kuliah. Ah, lagi-lagi teman-teman masih menarik-narik baju

    Mardies’s last blog post..Kisah Perjalanan Ke Puncak Termulus di Dunia

  2. Pak,…UN hanyalah labeling…
    tapi apa yang ada dibelakang dan prosesnya UN, ITU yang menjadi masalah UTAMA…

    saya rasa postingan ini udah mewakili cerita proses dan dinamika proses UN yang bermasalah itu…

    Kadang saya berpikir bentuk2 pendidikan alternatif yang lbh flexible, agar diterima DikNas tanpa syarat. Berat dan jalan panjang, tetapi “pendidikan adalah proses” .. bukan labeling dan pematokan “harga mati kualitas” .. seperti kampus2 besar kita yang malah melahirkan robot2 sipa kerja.

    leksa’s last blog post..Evolusi Kota

  3. Di Amerika gak ada yang namanya UN, tapi masalahnya kalo di Indonesia gak ada UN, nanti gak ada standardisasi untuk pendidikan donk? tiap-tiap juga kan berbeda kondisinya, baik dari segi kualitas sarana dan prasarana sekolah sampai mutu guru itu sendiri, beda donk fasilitas antara di Jakarta dengan di daerah NTT, ya kalo menurut saya UN itu diganti sama Regional Exam gitu. buat standardisasi pendidikan kita aja di setiap, jadi pemerintah bisa tau sejauh mana sih pendidikan kita ini.

    ridu’s last blog post..Survey Tawa Warga Jakarta

  4. Saya setuju sekali dengan tulisan di paragraf terakhir itu, Pak… Sudah saatnya dunia pendidikan lepas dari kekuasaan hegemoni negara… Sudah saatnya wapres berhenti berusaha menunjukkan kekuasaannya dengan cara ikut campur dalam urusan departemen pendidikan…
    Tapi, kalau UN sudah menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan profit begitu besar… 🙁
    Belum lagi kalau UN dipandang sebagai sebuah sarana politik (banyak kepala sekolah dan kepala dinas yang merasa seperti duduk di atas bara lho… 😐 )…
    Tapi, saya yakin kalau masih banyak orang yang memiliki itikad baik untuk melakukan perubahan dan sekarang sedang bekerja keras untuk mewujudkannya… SEMANGAT!!! 😀

    suandana’s last blog post..tentang pencapaian cita-cita?

  5. Saya sekarang kok malah jadi bingung tentang Ujian Nasional ini ya pak. Ndak tahu yang sebenarnya apakah ujian ini tepat atau tidak, jadi ndak paham.
    Dan yang kadang menambah bingung, begitu ganti penguasa/ menteri, kebijakan kadang juga berganti. 😕

    sigid’s last blog post..Dante’s Inferno Test

  6. Yang saya tidak mengerti pak Sawali, kenapa anak genius nggak lulus kok diributkan?? Padahal pendidikan kita kan juga selain berbasis pada intelektual juga berbasis pada spiritual, emosional, sosial dan sebagainya seperti yang pak Sawali tulis di atas. Sedangkan anak jenius itu kan baru memenuhi syarat intelektualnya saja, namun belum tentu memenuhi syarat dalam spiritual, emosional, sosial dan lain-lainnya, jadi kenapa diributkan ya?? Atau apakah yang mereka inginkan hanya faktor intelektualnya saja yang dinilai?? Ataukah mereka itu orang2 yang ‘munafik’?? Mereka gembar gembor berbicara mengenai spiritual, emosional, sosial dan lainnya padahal mereka sebenarnya masih sangat silau dan terpaku dengan yang namanya ‘intelektual’?? Aah…. nggak tahu deh! :mrgreen:

    Tapi pak Sawali, agak OOT, lebih banyak orang kalau dihina “Goblok Lu!!” pasti marah dan sakit hati, dibandingkan kalau ‘dihina’ “Emosional Lu!” **halaah ini mah nggak sakit hati sama sekali** atau “Asosial Lu!” apalagi “Nggak Spiritual Lu!!”, itu berarti menandakan bahwa “intelegensia” masih yang paling ‘bergengsi’ ya pak? Huehehe…. :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Mode Atau Bego ya?

  7. @ cempluk:
    walah, sangat mudah utk komen vertamax di blog ini mas cempluk. jangan mas cempluk, jangan dekati anak SMA-nan itu. dia lagi ujian, hehehehe 😆 ttg UN agaknya memang selalu seru dan memancing perhatian publik mas cempluk itulah sebagian dari dunia pendidikan kita itu.

    @ Mardies:
    sebuah keberanian yang layk diapresiasi mas mardi. tapi agaknya indonesia masih butuh hal2 yang formal kayak gitu. utk cari kerjaan saja mesti melampirkan ijzah, toh?

    @ Anang:
    walah, kok pakek laporan dan lemparan2 segala sih mas anangku, hiks.

    @ leksa:
    yup, sepakat banget mas leksa. kayaknya dunia persekolahan kita agaknya masih berorientasi pada hasil, bukan pada proses. gimana tidak, lha wong angka kelulusan tinggi dg cara yang ndak bener malah lebih dihargai ketimbang hasil UN anjlog yang ditempuh secara jujur.

    @ ridu:
    idelanya memang UN hanya sebagai sarana utk pemetaan mutu pendidikan, mas ridu, bukan sebagai penentu kelulusan, sehingga dapat diketahui sekolah yang bermutu dan yang tidak. yang kurang bermutu itulah yang perlu dibantu supaya bisa mengejar kemajuan.

    @ suandana:
    harapan pak adit sama dengan saya, pak. mudah2an ke depan yang memegang kunci kekuasaan di negeri ini memberikan ruag gerak yang bebas bagi institusi pendidikan untuk memanage sekolahnya masing-masing.

    @ sigid:
    itulah problem klasik yang selalu muncul setiap tahun pak sigid. banyak menteri yang selalu ingin tampil beda utk menunjukkan kinerjanya. sitema pendidikan yang kurang stabil semacam itu justru bisa menjadi penghambat dalam peningkatan mutu pendidikan.

    @ Yari NK:
    iya juga sih bung yari. anak genius akan tetap lulus dg prestasi yang bagus sepanjang kriteria kelulusan dan prosesnya benar. merak juga layak protes sbg bukti bahwa UN selama ini dinilai kurang sahih. UN memang tidak bisa menilai potret kompetensi siswa secara komprehensif, Bung. jadi yang diuji hanya kemampuan kognitifnya doang.

    sawali tuhusetya’s last blog post..Ujian Nasional dan Kekuasaan Hegemoni Negara

  8. STR

    Punya wapres kayak JK (jas kiding) emang bikin kepala nyut-nyutan. Alasannya apa dia melakukan desakan untuk mempertahankan UN?

    STR’s last blog post..Aku, Cintaku, dan Selir-selirku

    oOo
    Gini loh mas satria, hehehehe 😆 Pak JK itu kan sering pergi ke luar negeri. Konon, beliau sering malu setiap kali ditanya kolega2nya ttg tingkat HDI negeri kita. Indonesia konon kualitas HDI-nya itu paling rendah. akhirnya beliau yang terus mendesakkan keinginannya untuk meningkatkan HDI lewat UN itu, supaya kalau ditanya lagi dapat jawaban paten bahwa kriteria kelulusan sudah naik dari tahun ke tahun. perkara HDI masih tetap rendah, meski kriteria kelulusan sudah dinaikkan, itu bisa jadi persoalan ke sekian. yang penting pemerintah sudah punya kemauan politik utk bekerja keras meningkatkan mutu pendidikan. walah, akau juga jadi ikut2an ndak mudheng. hanya lewat UN yang kayak gitu apa bisa HDI bangsa ini terdongkrak? *Ikut2an pusing utk bikin analogi yang pas, hiks*

  9. Di mana-mana tetap perlu ujian standar. Bayangkan kalau orang mau melamar kerja di perusahaan, terus harus diuji nulis, menghitung. Masa si perusahaan mau menguji yang kayak gituan lagi? Kan mendingan jatah ngujinya diberikan kepada negara.
    Kecuali kalau memang mau hidup mandiri. Silahkan tidak sekolah juga ga papa, kalo merasa ga perlu. Kalo berharap sekolah itu memberikan hanya yang kita suka, ya memang enak. Apalagi kalo Tuhan itu memberikan hanya yang kita suka. Enak tenan toh? Tapi hidup itu ga cuma ada hal-hal yang kita suka. So, sekolah juga sama. Bukan pemaksaan/pelanggaran HAM.
    Di Amerika ga ada UN? Lalu test GMAT, SAT, TOEFL itu apa? Ya sami mawon untuk menguji si siswa punya kemampuan standar atau tidak. Sama saja deh. Cuma ada yang dilakukan sebelum lulus, ada juga yang dilakukan setelah lulus.
    Yang mau neruskan sekolah, ya harus lulus testnya. Kalo yang ngga mau neruskan, ya ngga lulus juga ga papa.

    Iwan Awaludin’s last blog post..Balon

    oOo
    Yup, standar mungkin perlu, pak iwan, tapi hanya utk memotret profil satuan pendidikan sehingga bisa diketahui sekolah yang sudah sesuai standar dan yang belum. Nah, yang UN ini ternyata bukan lagi sebagai standar mutu, tapi sudah menjadi penentu kelulusan, sehingga semua siswa di setiap tingkatan di berbagai daerah yang berbeda2 kondisinya itu maunya diseragamkan. kalo toh UN tetap diselenggarakan, idealnya hanya sebagai alat saja, bukan tujuan, hiks. selain itu, saya lebih setuju kalo yang dijadikan kriteria kelulusan itu rata-rata nilai, bukan patokan nilai minimalnya, sehingga potensi anak secara individual tidak dikebiri dan dipinggirkan. masak anak yang dapat rata2 lebih tinggi dikalahkan sama anak2 yang rata2nya lebih rendah? :mrgreen:

  10. cK

    untung masa-masa UN sudah lewat… 🙄

    cK’s last blog post..Review Film: August Rush

    oOo
    syukurlah, mbak chika, bisa lolos dan ndak jadi korban UN, hehehehehe 😆

  11. STR

    @ Iwan Awaludin: Logikamu piye toh, Om? Mosok UN mau disamakan dengan GMAT sama TOEFL?? Coba kamu bandingkan sendiri lah subject yang diujikan. GMAT itu spesifik untuk manajemen bisnis, TOEFL itu spesifik untuk kemampuan bahasa. Lha UN?? UN masih menuntut anak2 SMP SMA untuk jadi manusia super dengan subject-subject yang melebar dan ndak spesifik!!!

    Soal suka atau tidak suka, menurutku jawabanmu itu ndak nyambung sama posting ini! Kalo memang mendapatkan bidang pelajaran yang disukai adalah hak murid, ya berikan itu saja! Ndak usah paksa murid untuk belajar yang lain! Orang sukanya bahasa kok disuruh belajar hitung-hitungan (dalam bobot dan porsi yang sama pula). Maunya apa? Biar jadi superman? Itu malah akan jadi pembunuhan karakter, tau?

    Enak tidak enak itu biar jadi urusan Tuhan. Manusia ndak usah ikut-ikut ngatur dan menentukan. Yang penting, sekolah harus memberikan yang terbaik buat murid. Dan yang terbaik itu adalah yang sesuai kebutuhan murid! Bukan kebutuhan guru atau negara!

    Manusiakan manusia!!!!

    STR’s last blog post..Aku, Cintaku, dan Selir-selirku

  12. “misalnya si A mendapatkan nilai Matematika 3,00, sedangkan nilai Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA, masing-masing mendapatkan nilai 9, 00.”
    Gak dobel tuch nilai matematikanya pak?
    Tapi saya sepakat dengan pendapat pak sawali yang mengatakan bahwa Si A lebih punya nilai tambah dari pada si B. Boleh jadi si A lemah di Perhitungan, tapi kalo dia jago bahasa ingris kan siapa tau natinya si A akan menjadi Dubes Indonesia untuk Malaysia, secara dia itu jago berbahasa. dan dengan terpilihnya dia sebagai dubes yang pandai berunding/ melobi, bisa jadi penyiksaan yang selalu dialami Oleh TKI kita bisa berkurang dech

    Hair’s last blog post..Benarkah Tuhan Maha Kuasa?

    oOo
    wah, makasih banget mas hair koreksinya. yup, betul juga, nanti saya edit, mestinya bahasa indonesia, tuh, hiks. dah pikun kali yeeee 😆 ya, mas hair, kalau potensi anak “dibunuh” bisa jadi generasi masa depan negeri ini hanya akan diisi oleh generasi yang berkemampuan merata, tapi pas2an. jadi repotlah!

  13. @ STR dan Iwan Awaludin:
    hahahahahaha 😆 kenapa jadi pada sensi begini ketika membicarakan topik ttg UN, hiks :mrgreen: Persoalannya sebenarnya simpel saja. Standar nasional pendidikan memang penting dilakukan, termasuk dalam hal penilaian. hal itu juga yang melatarbelakangi lahirnya PP 19/2005 tentang standar nasional pendidikan. Nah, kalau standar penilaian pendidikan ingin dilihat berdasarkan hasil UN, mestinya UN hanya dijadikan sebagai sarana untuk memotret profil setiap satuan pendidikan, bukan sebagai penentu kelulusan. dari standar penilaian tersebut akan terlihat satuan pendidikan mana yang sudah sesuai dg standar dan yang belum. satuan pendidikan yang kualitasnya belum sesuai dg standar nasional inilah yang perlu dibantu, disubsidi fasilitas dan prasarananya sehingga bisa mengejar kemajuan. yang sekarang ini beda. utk dapat dana blockgrant atau Ruang Kelas Baru (RKB) saja justru yang dijadikan persyaratan adalah nilai UN. sekolah yang nilai UN-nya tinggi justru gampang dapat bantuan, sedangkan yang rendah nilai UN-nya justru malah ndak dapat bagian. ini mengakibatkan disparitas antarsatuan pendidikan dan antardaerah makin melebar. ttg TGMAT, SAT, TOEFL itu memang beda dg UN karena sudah menyangkut hal2 yang sangat spesifik sesuai dg tuntutan dan persyaratan dalam bidang tertentu.

    Sawali Tuhusetya’s last blog post..Ujian Nasional dan Kekuasaan Hegemoni Negara

  14. Pak sawali, bukannya memuji, tapi terus terang saya suka baca Blog bapak. Ada 2 alasan mengenai hal ini

    1. Tulisan bapak berbobot
    2. Komentar2 dari pembaca blog bapak juga berbobot

    terus terang saya kurang menyukai Blog yang isinya cuma curhat2 melulu, kalo begini ngeblog bukannya membuat kita cerdas, malahan kita menjadi goBlog

    Hair’s last blog post..Benarkah Tuhan Maha Kuasa?

    oOo
    walah, mujinya janga ketinggian mas hair, ntar jatuh saya, hiks. ok, makasih apresiasinya, yak!

  15. Tulisan Pa Sawali sebetulnya untuk memotivasi para pelaku “dunia pendidikan” agar mengefektikan dan mengefesienkan program ujian nasional agar jangan sampe sekedar rutinitas belaka, tapi dapat dijadikan alat ukur, bukan alat pelulusan belaka. Salam

    awan’s last blog post..Guru ?SMP Pinggiran? yang Kreatif

    oOo
    Yup, idealnya begitu, pak awan. UN hanya sekadar alat, bukan tujuan.

  16. saya kira inilah yang namanya salah satu contoh tumpang tindih pembangunan yang sempat ditulis oleh msa STR. UN sebagai penentu kelulusan sangat bertentangan dengan KBK maupun KTSP. Jika hanya untuk menjadi alat ukur standar mutu, itu gak masalah, meskipun menyisakan tanda tanya, tapi kalau menjadi penentu kelulusan, jelas itu mengebiri siswa, terutama yang lulusan SMA dan SMK. Bukankah KBK yang berbasis kompetensi siswa itu tak mengijinkan penyeragaman kemampuan dan kompetensi? Juga bukankah KTSP yang disusun oleh satuan pendidikan dimaksudkan untuk menentukan sendiri kemampuan dan kompetensi siswa? Kenapa kemudian di ujungnya harus diseragamkan? Ah, jadi bingung saya!

    Belum lagi “tindakan tak terpuji” yang seharusnya tak dilakukan institusi pendidikan justru mengajari dan mendidik siswanya untuk membudayakan kecurangan dan kepura-puraan massal? Ah, jadi ngeri sendiri…

    pamit dulu pak!

    gempur’s last blog post..Political Will untuk Petani?

    oOo
    bener juga pak gempur seperti apa yang ditulis oleh mas satria itu. dunia pendidikan pun tak luput terkena imbas tumpang tindih kebijakan. UN yang seharusnya hanya menjadi sarana permetaan mutu justru menjadi tujuan. repotnya, banyak pejabat yang menggunakan UN sebagai momentum untuk mengangkat marwah pribadi dan institusinya. Bahkan, tak jarang yang menghalalkan segala cara utk mencapai tujuan. repot jadinya.

  17. Ada tambahan lagi nih pak, cuma mau kritik dikit, gak apa-apa kan?
    ketika saya membaca pendapat pak sawali yang mengatakan bahwa sejatinya UN jangan dijadikan sebagai standar kelulusan tapi hanya dijadikan sebagai tolak ukur pemetaan mutu pendidikan secara nasional itu benar. Gak mungkin dong sekolah2 di jakarta yang fasilitasnya sangat lengkap, standar kelulusannya disamakan dengan sekolah2 di papua sana, dan kalau dianalogikan itu sama saja dengan memberikan suatu soal Trigonometri pada seorang remaja usia 17 tahun dengan seorang bayi yang baru lahir?
    Tapi setelah saya kaji kembali ternyata pendapat pak sawali itu punya kelemahan yang amat “Fatal”. kelemahan-kelemahan itu antara lain:

    1. Siswa Yang Cerdas, rajin mengerjakan PR, berbudi pekerti baik, atau siswa yang bodoh, malas mengerjakan PR, suka melawan sama guru semuanya akan LULUS. Sekarang muncul pertanyaan, kok siswa yang bodoh, malas mengerjakan PR dan suka melawan sama guru bisa lulus? Padahal semua kriteria kelulusan tidak mampu ia penuhi, baik dari segi intelegensi maupun dari segi etika?
    Misalkan saya ambil contoh SMA Burung Elang, yang dimana status dari sekolah ini adalah swasta. Disadari atau tidak ternyata alasan untuk mendirikan sekolah swasta itu lebih condong pada masalah “keuntungan” ekonomi semata. Semua orang pasti tau kalau SMA Negeri tetap menjadi pilihan utama orang tua dan para Siswa untuk bersekolah, secara SMA negeri itu lebih bergengsi dan biaya pendidikannya juga relatif lebih murah. SMA swasta hanya dijadikan sebagai cadangan saja, kalau-kalau siswa yang bersangkutan tidak diterima di SMA negeri. Karena siswa yang berminat bersekolah di sekolah swasta sangat sedkit, maka pihak dari sekolah swasta tersebut mencari cara untuk menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat bahwa sekolah mereka tersebut berkualitas dan pantas untuk disejajarkan dengan sekolah negeri. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah meluluskan semua siswa mereka, baik itu yang pandai maupun yang bodoh. kenapa cara ini mereka lakukan? Karena anggapan sebagian besar masyarakat kita, bahwa kualitas suatu lembaga pendidikan itu hanya diukur dari seberapa besar lembaga pendidikan tersebut mampu meluluskan siswa-siswa mereka dengan nilai yang bagus. Nah kalau Indonesia menerapkan pendapat pak sawali sebagai salah satu kebijakan pendidikan kita, maka saya yakin dan percaya bahwa siswa-siswa yang bersekolah di lembaga swasta akan lulus 100 % dengan predikat “Cumlaude”.
    Kalau ada yang bertanya lagi, bagaimana dengan sekolah Negeri? apakah siswa yang bodoh, malas mengerjakan PR, dan suka melawan sama guru semuanya akan lulus juga? saya jawab ia. Kok bisa? itu karena sebagian besar “guru-guru” kita malas untuk berurusan dengan siswa model begini setiap hari. Mau dinasehati berapa kali juga tetap gak mau dengar apa yang disampaikan guru mereka, ibaratnya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. dari pada pusing-pusing mikirin siswa kayak begini, mending dilulusin aja deh biar bibirnya bapak ama ibu guru gak bengkak lantaran tiap harus menyeramahi siswa model beginian. saya yakin pak sawali pernah berurusan dengan siswa seperti ini.

    2. Siswa akan menjadi malas untuk belajar, karena mereka yakin dewan guru disekolah akan meluluskan mereka. Ini pengalaman pribadi banget, terus terang waktu menghadapi UN tahun kemarin saya (mungkin juga semua siswa di Indonesia) belajar supaya bisa lulus dengan nilai yang baik dan tidak malu-maluin orang tua (hehe….. sekedar info nich, Ayah saya adalah mantan kepala sekolah waktu saya SMA dulu, sedangkan Ibu saya adalah guru Bahasa Indonesia. Mulai dari kelas 1 sampai kelas 3 SMA yang ngajarin bahasa indonesia dikelas saya adalah Ibu saya sendiri, capek dech). dan kalau pendapat pak Sawali tentang masalah UN ini diterapkan, maka yakin dan percaya bahwa para siswa akan menjadi malas unrtuk belajar. Apalagi kalau orang tua siswa tersebut adalah kepala sekolah di lembaga pendidikan yang bersangkutan (gue banget), pasti siswa yang bersangkutan akan malas belajar karena mereka yakin orang tua mereka akan meluluskan mereka.

    Sekarang apa jalan keluarnya?
    Untuk masalah ini saya belum menemukannya, tapi kalau udah ketemu Insya Allah saya akan Share di sini.

    catatan:
    pendapat ini berdasarkan sudut pandang saya sebagai seorang siswa, saya tidak tahu bagaimana sudut pandang seorang Guru seperti pak sawali dalam menyikapi masalah ini.

    Waktu SMA dulu saya bersekolah di SMA Negeri paling bergengsi di kota saya, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pasti pak sawali gak tau daerah saya kan?

    Komentar ini lebih panjang dari pada artikel yang saya tulis di blog saya.

    kalau pak sawali mau menyangah pendapat saya, monggo, secara kita ini saling belajar. saya tunggu jawabanya ya pak!

    Hair’s last blog post..Benarkah Tuhan Maha Kuasa?

    oOo
    terima kasih mas hair. ini akan menjadi sebuah diskusi yang menarik. apa yang mas hair kemukakan itu tidak salah. saya pernah mengalaminya juga ketika mengajar di SMA swasta (1990-1995). terlibat sebagai panitia di sekolah yang kebetulan mengolah nilai, memverifikasi nilai, hingga akhirnya menentukan kelulusan. realitasnya yang dulu memang seperti itu. rumus kelulusan yang digunakan adalah: p+q+r dibagi 3 (dengan nilai r = nilai ujian berkoefesiein 2 atau 1,5). nilai p dan q ternyata sangat rawan terhadap manipulasi sehingga sekolah bisa seenaknya mengatrol nilai hingga batas limit teratas. utk menaikkan gengsi dan citra sekolah, mereka dg gampang meluluskan siswa 100%. karena sarat manipulasi, rumus pqr itu sekarang sudah tidak digunakan lagi. Nah, UN yang saya maksud hanya dijadikan sbg sarana pemetaan mutu ehingga bisa terlihat mana sekolah yang bermutu dan yang tidak. misalnya, secara nasional pemerintah menerapkan standar rata2 kelulusan UN sebesar 6,00. kelulusan diserahkan ke sekolah masing2. ini artinya, sekolah di tiap daerah akan berbeda2 kriteria kelulusannya. nah, secara nasional akan terlihat, sekolah mana yang menentukan krteria jauh di bawah rata2 secara nasional, misalnya 4,00. Nah, mengapa kriteria kelulusannya serendah itu? ini yang penting diperhatikan oleh pemerintah sehingga sekolah tersebut yang justru perlu mendapatkan perhatian. bisa saja sebuah sekolah meluluskan siswanya 100% asalkan sudah berdasarkan kesepatan oleh semua komponen sekolah. nah, nanti masyarakat yang akan menilai. sekolah yang kriteria kelulusannya rendah cenderung akan ditinggalkan oleh masyarakat sehingga pemerintah perlu mengambil sikap. sekolah tersebut harus disubsidi. dilengkapi sarana dan fasilitasnya sehingga bisa sejajar dg sekolah lain, bahkan bisa menentukan kelulusan dg kriteria yang sama secara nasional. selain itu, juga akan berimbas ke sekolah yang lebih tinggi. siswa yang lulus dengan nilai yang rendah, tentu saja akan menjadi pertimbangan sekolah lanjutan berikutnya atau dunia perguruan tinggi. Saya kira ini akan lebih masuk akal dan adil sehingga siswa tidak ada yang dirugikan. Hal ini juga akan memicu sekolah untuk memikirkan kualitas output dan out-come-nya.

  18. tan

    seandainya pak, UN di cabut, lantas evaluasi yang ideal yang seperti apa ya? yang bisa merangkum ketiga ranah dalam pendidikan.

    jika kelulusan ditentukan oleh sekolah, apa tidak di khawatirkan nantinya akan bersifat subyektif, malah memungkinkan terjadinya proses suap-menyuap. mungkin! selain itu juga, terbuka kesempatan mendongkrak angka kelulusan dengan segala cara untuk menaikkan gengsi sekolah.

    ahh… saya mulai sok tahu. *ocehan prustasi korban UN*

    tan’s last blog post..Belalang dan Anjing

    oOo
    UN bukannya dicabut mas tan, melainkan hanya utk pemstaan dan satandar mutu pendidikan secara nasional. jadi, un bukan lagi sebagai penentu kelulusan. kriteria kelulusan setiap sekolah bisa jadi berbeda. nah, sekolah yang kriteria kelulusannya rendah sehingga semua siswanya lulus, nanti masyarakat yang akan menilai. demikian juga sekolah lanjutan berikutnya atau perguruan tinggi. para lulusan yang rendah nilai kelulusannya rasanya agak sulit diterima di sekolah lanjutan atau PT. UN dg sistem semacam itu juga akan memacu sekolah yang bersangkutan untuk meningkatkan kualitas output dan outcome-nya.

  19. jadi sampai kapan hegemoni itu akan bertahan? :mrgreen:

    oOo
    walah, bisa jadi menunggu sampai ada perubahan, kang guru. kapan perubahan itu? tinggal menunggu saatnya tiba, hehehehe :mrgreen:

  20. Imam Baehaqie

    Pak Sawali. Saya setuju dengan ide-ide Bapak. Mudah-mudahan KTSP bisa terealisasi dengan baik, sehingga pemfungsian UN sebagai standar kelulusan siswa tidak lagi terjadi. Saya sebagai mantan Kepala MTs Al-Islam Rowosari,Kab. Kendal, Jateng yang pada saat ini melangkah menjadi peneliti bidang religi, sosial, humaniora, dan pendidikan turut prihatin dengan kenyataan yang sedang mendera dunia pendidikan kita. HP saya 081325580299.

    ooo
    terima kasih, pak baehaqie. ke depan mudah2an un menjaid lebih baik dan bukan abg penentu kelulusan. btw, selamat menekuni tugas barunya, pak, semoga sukses. salam kreatif.

  21. Pada KTSP sudah jelas cara penilaian ke 3 ranah kemampuan seseorang siswa dengan mengacu pada penetapan KKM oleh masing-masing guru Mata Pelajaran. Itu berarti bahwa siswa itu sendiri yang menentukan dia tuntas atau tidak atas KKM yang telah ditetapkan oleh guru pada setiap sekolah, jadi kalau ada penentuan lulus (tuntas) yg lain semisal UN berarti menyalahi prinsip-prinsip KTSP dan menghilangkan hak sekolah/guru dan bahkan hak siswa. Menyangkut standarnisasi pendidikan untuk bahan kebijakan boleh saja dilakukan semacam ujian nasional tapi tidak menjadi standard ketuntasan/kelulusan seseorang siswa. Oleh karena itu maka disimpulkan UN boleh ada tapi tidak untuk menentukan tuntas (lulus) tidaknya seseorang siswa, tapi sebagai bahan standarnisasi kebijakan di bidang pendidikan.

    • itulah yang dikritik banyak pengamat, mas. sungguh disayangkan kalau UN yang tak relevan dg pelaksanaan KTSP masih terus dipertahankan. perlu ada perubahan mendasar agar UN bukan sebagai penentu kelulusan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *