PPada era ’80-an, Semarang masih memiliki iklim dan “aura” kesenian yang mampu menghidupkan para penggiat seni untuk berkiprah. GOR Simpang Lima saat itu tidak melulu hanya digunakan sebagai ruang unjuk kemampuan dan kompetisi para atlet dari berbagai penjuru kota. Banyak agenda kesenian yang bergaung dari balik gedung yang cukup besar dan bergengsi tersebut. Si Burung Merak, WS Rendra pun pernah pentas di gedung yang kini telah tersulap menjadi pusat perbelanjaan mewah yang memanjakan selera konsumtif orang-orang berkantong tebal.
Namun, seiring dengan kibaran bendera modernisasi yang mengusung gaya hidup kapitalistis, konsumtif, materialistis, dan hedonis, Kota Semarang (nyaris) kehilangan “aura” keseniannya. Kini, hampir sulit ditemukan gedung-gedung “bergengsi” yang berkenan menampung agenda-agenda kesenian dan kebudayaan lantaran secara finansial dianggap sangat tidak menguntungkan.
Pentas-pentas seni dan budaya hanya digelar di ruang-ruang sempit yang relatif tidak memiliki “magnet” yang mampu menyedot publik untuk berduyun-duyun mendatanginya. Gedung-gedung kesenian yang telah menjadi pusat kegiatan seni Kota Atlas ini sudah lama digusur oleh mesin-mesin kapitalisme. Gedung GRISS dan Ngesti Pendawa sudah tak tercium lagi aromanya, tergilas “roda-roda” zaman beberapa tahun silam.
***
Memasuki kota Semarang saat ini tak ubahnya berada di tengah rimba belantara bisnis lengkap dengan segenap aksesori kapitalistisnya yang tidak ramah dengan kaum pekerja seni, pengap, dan tidak kondusif bagi perkembangan dunia kesenian. Setiap jengkal tanah Kota Semarang di mata pemilik modal seolah-olah harus memiliki “nilai jual” yang menggiurkan dan menguntungkan secara finansial. Praktis, “rahim” ibukota Jateng ini dalam beberapa tahun terakhir hampir tidak pernah mampu melahirkan seniman sekaliber almarhum Ki Narto Sabdo. Talenta generasi berdarah seniman sudah “terbunuh” lantaran tak ada ruang yang cukup untuk melakukan eksplorasi dan eskperimentasi berkesenian.
Yang memprihatinkan, Sobokartti, salah satu gedung seni tradisional yang masih tersisa –yang pernah menjadi saksi sejarah bersinarnya pamor kesenian Kota Semarang– pernah juga memicu kontroversi, bahkan konflik. Yup, kaum pemilik modal –kalau memang hendak dijual kepada mereka– mana yang tak tergiur? Mereka yang punya naluri bisnis jelas akan memandang Sobokartti sebagai obyek yang nyaman dan menguntungkan.
Menyaksikan “sengketa” Sobokartti tak ubahnya menyimak “pertarungan” antara kapitalisme dan idealisme para pekerja seni. Yang berhasrat untuk menjual barangkali memandang Sobokartti sudah tidak efektif lagi bagi perkembangan dunia kesenian. Bangunannya dianggap sudah terlalu tua dan sudah tampak kedodoran dalam menampung agenda-agenda kesenian. Dengan menjualnya, barangkali akan didapatkan pengganti gedung kesenian yang lebih bagus dan representatif. Namun, bagi kaum pekerja seni yang masih memiliki idealisme, Sobokartti sudah dianggap sebagai ruang publik yang mampu memberikan inspirasi tersendiri dalam kiprah berkesenian. Terlalu mahal risiko kulturalnya jika harus dijual.
Namun, bagi saya, yang lebih substansial sebenarnya bukan semata-mata menjadikan Sobokartti sebatas simbol Kota Lama yang harus dilestarikan keberadaannya, melainkan harus ada komitmen secara kolektif dari semua pihak untuk menjadikan Sobokartti sebagai ruang publik yang mampu menghidupkan kembali denyut kesenian rakyat Kota Semarang, bahkan Jateng.
Sudah saatnya ingar-bingar Kota Semarang yang tengah mengalami proses “metamorfosis” menuju kota metropolitan diimbangi dengan berdayanya gedung-gedung kesenian rakyat sebagai sumbu kekuatan kultural para pekerja seni. Sungguh naif jika Kota Semarang yang telah lama dikenal sebagai kota kesenian akhirnya harus mengalami nasib tragis; kehilangan warisan bernilai dan kehabisan napas untuk berkesenian. Semetropolis apa pun sebuah kota akan kehilangan “roh”-nya apabila sudah tidak memiliki denyut dan dinamika berkesenian.
Mestinya kita bisa meniru Pemerintah Cina dan Jepang dalam menghidupi kesenian tradisional. Menurut I Made Bandem, Rektor ISI Yogyakaita (dalam Direktori Seni Tradisi Jawa Tengah, 2003: xii), seni tradisional di Cina dan Jepang pada awalnya berada pada posisi minoritas. Namun, setelah mendapatkan banyak masukan, akhirnya disadari perlunya pembuatan kebijakan dan pembelaan terhadap kesenian tradisional. Dengan amat sadar, pemerintah Cina dan jepang membangun museum kesenian, kantong-kantong ekspresi seni tradisi, atau panggung terbuka. Seni tradisi diberi dana, bahkan dicarikan dana hibah dari berbagai negara. Ya, dua “Macan Asia” ini akhinrya menjadi negara maju tanpa harus kehilangan seni tradisionalnya.
Di negeri kita? Oh, alih-alih menghidupi kesenian tradisional, gedung-gedung bersejarah yang memiliki “aura” kesenian pun kalau perlu dijual kepada kaum pemilik modal. ***
Bangsa ini memang lebih suka latah kepada budaya luar negeri (terutama Jepang dan Barat). Di kala bangsa lain sibuk menggali kebudayaannya sendiri untuk promosi pariwisata, kita berleha-leha dengan konsumtivisme. Wajar kalau akhirnya kebudayaan kita yang terlantar ini mendapat perhatian lebih dari tetangga serumpun kita.
STR’s last blog post..Guru yang Baik Adalah Guru yang Menggaji Muridnya: Kuantitas Lawan Kualitas
oOo
bisa jadi begiu mas satria. akibat sikap latah itu, bangsa kita justru abai terhadap budayanya sendiri.
Ah, bapak, kapan sih era idealisme mampu bertanding dengan kapitalisme..
Lokalitas hanya akan menjadi santapan kapitalisme, dengan catatan menguntungkan.. kalo nggak! silakan tergerus dan tergusur..
Mari bercita-cita menjadi utopis sejati.. hehehehehehehe
gempur’s last blog post..Dari Bloger Iseng
oOo
Yup, bener banget pak gempur. uang lebih dihargai ketibang pemikiran2 kreatif. walah, kalok jadi utopis sejati, mimpi terus dong, pak? *halah*
Kondisi yang seperti itu memang sangat memprihatinkan.. bener banget, gedung2 bersejarah banyak yg beralih fungsi menjadi tempat bisnis, ya karena kekuatan modal! kasihan donk generasi yg akan datang,gak bisa melihat bukti fisik saksi bisu sejarah
Ridu’s last blog post..Social Engineering (Bag. 2)
oOo
itulah persoalannya bung ketika kekuatan kaum kapitalis unjuk gigi. mereka sering abai terhadap nilai2 seni dan budaya. entah, bisa jadi generasi negeri ini makin kehilangan orientasi budaya dan keseniannya.
Wah setuju banget pak, sebenarnya saya iri terhadap masyarakat jepang dimana para perempuan “muda” disana tidak malu untuk memakai kimono (pakaian khas jepang) dibanding dengan indonesia apakah ada anak-anak muda yang mau memakai kebaya? selain itu masyarakat jepang juga sangat menjunjung tinggi bahasa nasional mereka, dimana mereka “enggan” untuk mempelajari bahasa lain karena saking cintanya dengan bahasa persatuan mereka sendiri. Dibanding masyarakat indonesia yang lebih bangga menyerap bahasa asing dari pada harus memakai bahasa indonesia.
sungguh ironis
oOo
bener banget mas hair. agaknya generasi muda kita pun mulai abai terhadap budayanya sendiri sampe2 untuk pakek busana ajah mesti niru2 bangsa lain. ironis juga yak? demikian juga dalam hal berbahasa. agaknya mereka lebih merasa bangga dan terhormat apabila dalam berbahasa menggunakan istilah2 asing. *halah*
Memang susah, Pak… Tapi saya sependapat dengan brainstorm. Satu saat nanti, bangsa ini akan merindukan budayanya kembali. Nah, sampai saat itu tiba, ya sebisa mungkin kita jaga agar tidak keburu punah… 🙂
SEMANGAT!!!
suandana’s last blog post..kupu-kupu?
oOo
mudah2an harapan itu bisa terwujud, pak adit. kembali ke akar budaya. semangat!