Reformasi Sekolah, Apa Kabar?

Sudah hampir satu dasa warsa peristiwa heroik itu berlangsung. Ya, seperti dikomando, para mahasiswa bergerak bersama-sama untuk melakukan perubahan; mendobrak sebuah rezim yang dinilai telah “mengkhianati” cita-cita luhur bangsa. Meski “intro”-nya cukup tragis dan perih menyayat-nyayat lantaran harus ada beberapa mahasiswa yang jadi “tumbal”, gerakan itu tidak sia-sia. Reformasi berhembus kencang di segala penjuru nusantara. Kebebasan berpendapat dan berserikat yang selama ini terbelenggu di atas tungku kekuasaan orde baru, akhirnya menemukan muaranya. Semuanya bebas berteriak dan menggemakan yel-yel reformasi yang terus menggema di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat.

Sudah hampir satu dasa warsa peristiwa heroik itu berlangsung. Namun, sudahkah benih-benih reformasi itu tumbuh subur di ladang-ladang peradaban negeri ini? Berhasilkah reformasi mengembangkan sayapnya sehingga mampu memberikan katharsis dan pencerahan di tengah-tengah peradaban yang sedang sakit, bahkan mati suri? Mampukah kepakan sayap reformasi memberikan imbas positif terhadap lahirnya para elite negara yang memiliki kepekaan terhadap nasib jutaan rakyat? Lantas, bagaimana dengan reformasi yang berhembus di tengah-tengah atmosfer dunia persekolahan kita yang diyakini sebagai “kawah candradimuka peradaban”, tempat menggembleng jutaan anak negeri yang kini tengah memburu ilmu?

***

Seiring dengan digulirkannya otonomi pendidikan, reformasi sekolah idealnya sudah bukan lagi sekadar wacana yang mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika, melainkan sudah menjadi sebuah keniscayaan sejarah, menjadi realitas praksis dalam dunia persekolahan kita. Mengapa reformasi sekolah demikian penting dipersoalkan? Setidaknya ada tiga argumen yang layak dikemukakan. Pertama, sekolah merupakan “ikon” masyarakat mini yang diharapkan mampu memberikan bekal hidup (life skills) yang sesungguhnya kepada peserta didik. Ini artinya, sekolah mesti menjadi institusi yang “merdeka” dalam menentukan masa depan bagi si anak yang hanya bisa terwujud jika angin reformasi berhembus segar ke sekolah-sekolah.

Kedua, sekolah merupakan lembaga publik yang memberikan layanan kemanusiaan kepada peserta didik. Sebagai lembaga publik, sekolah dituntut untuk memiliki tingkat akuntabilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas yang baik di mata publik sebagai “konsumen”-nya. Hanya melalui iklim reformasi yang sehat sekolah dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara terhormat dan bermartabat kepada publik.

Ketiga, sekolah merupakan salah satu agen transformasi menuju masyarakat masa depan yang sesuai tuntutan perubahan dan dinamika global. Dalam menghadapi tuntutan semacam itu, sekolah harus memosisikan diri sebagai institusi yang terbuka dan demokratis, sehingga dapat membangun dan membumikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan kepada peserta didik.

Namun, secara jujur harus diakui bahwa reformasi sekolah masih “jauh panggang dari api”. Sekolah belum dipahami sebagai institusi yang “merdeka”, tetapi masih dianggap sebagai subsistem dari sebuah struktur birokrasi pendidikan yang rumit dan kompleks. Para birokrat pendidikan pun masih menampilkan diri bagaikan “borjuis-borjuis” kecil yang berkarakter feodal, sehingga kebijakan-kebijakan yang muncul belum sepenuhnya berpihak kepada sekolah beserta stakeholder-nya. Sekolah hanya menjadi perpanjangan tangan dari birokrasi pendidikan yang acapkali berbenturan dengan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan. Sudah lama sekolah mendapat “stigma” sebagai produsen ijazah. Esensi fungsi dan perannya sebagai lembaga yang mampu melahirkan manusia-manusia unggul dinilai telah terabaikan.

Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil citra dan pamor sekolah akan meredup, bahkan mungkin kian hilang ditelan zaman. Kini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk menata sekolah melalui proses reformasi dalam arti yang sesungguhnya.

Pertama, reformasi pada aras manajemen sekolah. Kepala sekolah sebagai top-leader harus menyadari sepenuhnya bahwa sekolah yang dipimpinnya bukanlah warisan dan milik pribadi yang boleh dikelola “semau gue”. Setiap kebijakan yang hendak diambil sudah seharusnya melalui proses musyawarah yang melibatkan seluruh komponen sekolah (termasuk orang tua dan masyarakat).

Komite sekolah sebagai penjelmaan BP3 harus benar-benar diberdayakan, tidak sekadar menjadi “stempel” yang menjustifikasi kebijakan kepala sekolah seperti pada masa lalu. Para pengawas sekolah pun tidak lagi memosisikan diri sebagai “malaikat” yang menghambat karier kepala sekolah dan guru yang ingin melakukan perubahan-perubahan fundamental dalam lingkungan sekolah, tetapi justru harus mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi perwujudan reformasi sekolah.

Kedua, reformasi pada aras pembelajaran di kelas. Agar dapat mewujudkan reformasi pembelajaran di kelas, guru harus benar-benar memiliki status yang otonom dan mandiri. Dengan kemandirian tersebut, guru diharapkan dapat menjadi figur shi fu yang membawa suasana kelas bagaikan magnet yang mampu memikat dan menarik anak didik untuk belajar dalam suasana yang menyenangkan dan efektif.

Ketiga, reformasi pada aras evaluasi. Dihapuskannya evaluasi belajar tahap akhir nasioanl (ebtanas) menjadi ujian akhir nasional tidak akan memberikan imbas positif apa pun dalam dunia persekolahan selama bentuk yang digunakan masih berupa soal pilihan ganda. Selain tidak memotivasi guru mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, bentuk soal pilihan ganda hanya memperpanjang daftar keluaran yang tinggi nilai akademiknya, tetapi “bebal” sikap kritis dan daya nalarnya. Oleh sebab itu, untuk melahirkan tamatan yang benar-benar teruji kadar kecerdasannya, mereka perlu diuji melalui soal-soal uraian yang memerlukan daya nalar tingkat tinggi.

Persoalannya sekarang adalah, sudah siapkah pihak yang memiliki otoritas di bidang pendidikan menggulirkan “bola” reformasi dalam arti yang sesungguhnya kepada sekolah? Siap jugakah para praktisi pendidikan di lapangan menafsirkan dan menerjemahkannya menjadi tindakan dan aksi yang benar-benar menguntungkan dunia pendidikan? Nah, bagaimana? ***

No Comments

  1. *pake jaket almamater*

    BLOGER RAKYAT BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN!!

    pak, arti aras apa sih? 🙂

    caplang[dot]net’s last blog post..Cita-citaku

    0O0
    *kayak mau ikut demo, halah* Iya setuju banget, bung caplang, tak ada kekuatan yang sanggup mengalahkan apabila rakyat bersatu. BTW, “aras” itu bersinonim dengan tingkat atau level, hehehehehehe 😆

  2. sudah siapkah pihak yang memiliki otoritas di bidang pendidikan menggulirkan “bola” reformasi dalam arti yang sesungguhnya kepada sekolah?

    Selama sekolah masih dianggap sebagai sebuah bisnis, sepertinya kok sulit ya Pak?

    suandana’s last blog post..chatting?

    oOo
    bener banget pak. sekolah juga sulit maju dan berkembang karena yang berwenang mengambil keputusan biasanya lebih suka memelihara status quo. *halah*

  3. Bahkan sekarang di zaman (yang katanya) reformasi ini, makna demokrasi saja masih banyak disalahartikan. :mrgreen:

    …nah, tidak cuma di situ, di sekolah juga. Ya, selama sekolah masih dianggap sebagai produsen ijazah demi melanggengkan kerja di masa depan, toh sepertinya cita-cita ini akan tertunda terus. 😕

    Goenawan Lee’s last blog post..Kewajaran?

    oOo
    agaknya bener mas gun. reformasi hanay kenceng diteriakkan, tapi mlempem ketikan diimplementasikan. sekolah pun masih dihinggapi suasana semacam itu. muncul kesan, sekolah seolah-olah hanya menghasilkan pemburu ijazah belaka.

  4. wah…untungnya saya udah lulus sekolah… 😆 😆

    mengenai sekolah kayaknya cuma dianggap penghasil ijazah itu juga mempersulit kemajuan pendidikan di indonesia. kadang ada yang menganggap sekolah itu sekedar numpang lewat untuk ke perguruan tinggi…

    kalau mau reformasi, lebih baik jangan setengah-setengah… 🙄

    cK’s last blog post..Cerita Pendek: Cinta Sejati

    oOo
    emang kenapa kalo dah lulus sekolah, mbak chika? merasa terbebas dari suasana sekolah yang membelenggu, yak? saya juga sependapat dg mbak chika, kalo sekolah tdk melakukan perubahan, kemajuan pendidikan hanya akan menjadi mimpi. oleh karena itu, reformasi memang harus total. semangat!

  5. reformasi harus dimulai dari pribadi pak, me-reform ahlak sebelum memulai reform yang lain. Sisitem saya jamin dengan mudah bisa diubah, tapi kalau human resources-nya *weleh* masih kolot ya ndak ada bedanya..
    Para pendidik haruslah modern, tau teknologi, cerdas dalam berinteraksi. Pendidik bukan lagi orang2 yang datang kesekolah untuk sekedar buka buku kemudian membacakan materi lalu bikin soal dan akhirnya memberi nilai yang ponten 10 berarti pinter dan yang ponten 4 berarti bodo..
    Pendidik adalah orang2 yang memiliki kemampuan melihat dan mengembangkan bakat dari murid2nya yang nantinya bisa menjadi bekal masa depan.
    Setelah itu.. MARI KITA REFORMASI PENDIDIKAN KITA!! 🙂

    waaahhh… saya baru aja sok tau :mrgreen:

    *ditimpuk kapur tulis sama pak guru*

    brainstorm’s last blog post..Dahulu dan Sekarang

    oOo
    Kenapa ditimpuk, mas brain. tanggapan mas brain ok banget kok. saya sependapat. reformasi mental harus lebih diutamakan ketimbang sistem. dan itu memang harus di ulai dari diri sendiri. Yup, kita reformasi pendidikan kita, sekarang juga! semangat!

  6. Mungkin kita perlu belajar sama india kali pak. Di sana pendidikan no satu tuh, padahal negaranya nggak kaya kaya amatlah.

    danalingga’s last blog post..100

    oOo
    kalau memang sistem pendidikan lebih bagus, kenapa nggak mas dana? saya juga sepakat. kita ndak perlu malu2 mengadopsi sistem pendidikan negara lain sepanjang cocom dg keperibadian bangsa kita.

  7. O iya…. Pak Sawali…. saya mau tanya nih…. mungkin agak OOT tapi memang saya penasaran banget….

    Apakah kualitas blog2 yg dihasilkan rata2 oleh para blogger Indonesia sedikit banyak mencerminkan kegagalan/keberhasilan reformasi pendidikan di Indonesia? ❓

    Yari NK’s last blog post..Skala Scoville, Mengukur Kepedasan Cabai

    oOo
    wah, pertanyaan yang agak sulit dijawab nih bung yari. Namun, melihat kiprah para bloger yang sanggup menghadirkan tulisan2 kritis, saya yakin hal itu bisa dibilang sbg keberhasilan reformasi. kita bisa berpendapat dan menyampaikan kiritk secara bebas, tanpa ada tekanan dan perasaan takut

  8. Pertama, aku setuju dengan komen-nya Dana di-atas 😉

    Kedua, mungkin reformasi ini harus di-mulai dari tingkat TK atau SD sekalian, karena kader bangsa yang seperti itu yang harus di siap-kan untuk ber-saing ke-depan, dan tidak hanya menjadi kader bangsat sajat 😉
    Tapi, aku juga nggak berani men-generalisasi hal ini lho Pak Guru, karena aku juga pernah me-rasa-kan manfaat sekolah dengan sistem yang menarik dulu, tapi entah dengan sekarang…

    extremusmilitis’s last blog post..Ruang Kembara Imaji

    oOo
    sepakat bung militis. TK dan SD merupakan basis dunia persekolahan. dari level sekolah ini, apabila reformasi berjalan dengan baik, kelak mereka akan menyadari betapa pentingnya sebuah perubahan.

  9. :mrgreen: ikutan tuan brainstorm… para pelaku harus diurusin dulu, biar bisa ngurusin yang lain kemudian 😛
    ah tapi pak… kalo soal uraian… dan bukan pilihan ganda keren juga tuh… peluang mencontek juga kecil… dan langsung ketahuan :mrgreen:

    Goop’s last blog post..Mabuk

    oOo
    sepakat mas goop. lebih2 kalo ujian pake sol uraian (esai), asalkan dikoreksi secara benar, daya pikir siswa akan terlatih dan terasah. *halah*

  10. yah, bukannya pemerintah dalam UUD 1945 menyatakan bahwa 20% APBD n APBN tu buat pendidikan Pak? tapi nyatanya kok jauh banget ya pak kurangnya?
    lam kenal pak….

    maxbreaker’s last blog post..Habis nonton infotainment…

    oOo
    salam kenal juga, bung. nah itulah yang juga menjadi salah satu kendala peningkatan mutu pendidikan. pemerintah terkesan kurang konsisten terhadap peraturan yang telah dibuatnya. demikian juga anggaran pendidikan yang baru dalam kisaran antara 10-12% saja.

  11. Hmm,, Di Suatu buku tentang kesuksesan saya baca di salah satu babnya mengatakan “Sekolah menghasilkan orang-orang gagal”. Bukan berarti sekolahnya yg salah ,tetapi metode yang diterapkan kepada kita selama ini itu salah. Apalagi, nilai pendidikan seseorang ditentukan berdasarkan kekuatan hafalannya.
    Apakah orang-orang yang bekerja saat ini masih ingat akan pelajaran biologinya? sejarahnya? Meskipun sebenarnya orang yang kuat hafalannya akan mendominasi dia orang yang pandai dikelas. Selain itu, masalah saat ini adalah unsur malas. Bagaimana merubah orang yg malas menjadi rajin? itu yang perlu diperhatikan sebenarnya. So,, bagaimana reformasi kedepan? banyak faktor. Faktor malas perlu dibenahi, dan pendidikan yang terlalu menuntut hafalan juga. Sepertinya perlu sekali mengganti metode KBM

    Ivo’s last blog post..So Sibuk

    oOo
    teat sekali, bung. ruh kurikulum itu terletak pada proses pembelajaran, kalo proses pembelajaran amburadul, kacaulah semuanya. ya, reformasi sekolah memang banyak sekali faktornya. dan itu memang harus segera dimulai.

  12. Reformasi itu semu seperti fatamorgana sesaat pas lagi mabuk, tapi waktu ingin mengaplikasikannya semua orang lari terbirit bahkan terkencing-kencing seperti ayam kehilangan induknya *hiperbola dikit*.

    Gak usah jauh-jauh kalau ingin reformasi sekolah, gak usah sampe demo atau malah mogok ngajar dan bawa murid segala, cukuplah dengan ikut kegiatan penyetaraan S1 or D3, atau perbaiki itu kelengkapan sekolah dengan lebih memperhatikan keperluan para murid melalui komite sekolah dan BOS, atau paling mudahnya: Berikan nilai seadanya jangan didongkrak untuk murid Anda.

    Ah, susahnya susahnya kalo gaji guru kayak kita ini cuma 500 ribu kurang 🙁

    bisaku’s last blog post..Wahai Blogger, Jangan Kau Debat Imanku

  13. Lah, apa Pak Sawali mau pindah jadi guru TK atau SD?
    Kalo saya sih ingat kata-kata teman saya. Jangan terlalu berharap pada tindakan orang lain. Mulai saja bertindak, sekarang, sedikit demi sedikit, dari diri sendiri.
    Perlu juga cari teman yang seide, supaya ngga jalan sendirian dan juga bisa saling mengingatkan.
    Jadi, mau sekolahnya bobrok yang penting adalah guru dan muridnya. Mau ngga ada kelengkapan belajar, yang penting tetap guru dan muridnya.
    Sorri nih lagi emosi setelah baca buku novel laskar pelangi. Orang pintar seperti Lintang di buku itu, ternyata ngga bisa juga melawan kebutuhan uang.

    Iwan Awaludin’s last blog post..Selamat Ulang Tahun Sayang

    oOo
    sabar, pak iwan, sabar, hehehehe 😆 habis baca laskar pelangi-nya andrea hirata kok malah sensi tuh gemane? :mrgreen: ya lah, pak, guru perlu mereformasi diri sendiri, tapi tetep saja sistemnya juga harus bener, biar guru juga bisa menjalankan tugas dengan nyaman.

  14. “reformasi pada aras evaluasi. Dihapuskannya evaluasi belajar tahap akhir nasioanl (ebtanas) menjadi ujian akhir nasional tidak akan memberikan imbas positif apa pun dalam dunia persekolahan selama bentuk yang digunakan masih berupa soal pilihan ganda”

    model ini (pilihan ganda) memang bisa jadi pedang bermata dua, terkadang yang lebih pandai bisa kalah nilainya.
    UAN, menurut pandangan saya *halah* adalah sebuah ketidak adilan, karena standar pendidikan (mulai dari fasilitas sampai ketersediaan dan kesejahteraan tenaga pengajar) disetiap daerah tidaklah merata kalau tidak mau dibilang timpang.
    Pak, dari si Ijal saya tau bahwa kesejahteraan Guru di Jakarta jauh berbeda dengan guru di pinggiran jakarta yang sudah termasuk propinsi lain, padahal yang membatasi hanya sebuah jalan raya.
    Reformasi ininya aja dulu pak guru, sok tau yaa saya 🙂
    🙂
    🙂

    hadi arr’s last blog post..ADA LAGI YANG MATI

    oOo
    seoakat banget pak hadi. soal pilihan ganda selama ini dianggap kurang sahih sehingga tidak bisa membedakan siswa yang pandai dan yang tidak. bahkan, seringkali merugikan siswa berotak cemerlang. selain itu, juga kesenjangan yang masih terjadi antardaerah masih cukup lebar sehingga UN jadi kehilangan maknanya. ttg kesejahteraan guru? waduh, pak hadi, ntar banyak yang protes lagi kalo guru minta kenaikan gaji terus, hehehehehe 😆

  15. Aha, inilah yang jadi masalah utama reformasi sekolah. Sekolah sering kali dipandang sebagai perpanjangan tangan dari struktur birokrasi pemerintahan, khususnya birokrasi di Depdiknas.

    Saya setuju dengan itu, pak. Sekolah dikerdilkan hanya untuk tujuan-tujuan para birokrat itu. Sekolah juga kehilangan kemerdekaannya menjadi sebuah institusi pendidikan yang otonom, karena berbagai macam kepentingan birokrasi bertarung disitu.

    Jadi saya nggak heran kalau menjelang ujian akhir nasioanl (UAN) nanti, banyak sekolah-sekolah yang “ditekan” oleh birokrasi demi kepentingan mereka sendiri. Demi kebanggaan daerah, maka sekolah harus begini dan begitu, termasuk melegalkan segala macam cara-cara curang yang mengkhianati makna pendidikan itu sendiri.

    *itulah makanya sampai sekarang saya masih anti UAN* 🙂

    fertob’s last blog post..[Coda] : Tempe Yang Mewah

    oOo
    itulah ironi yang terus terjadi di negri ini dari tahun ke tahun, bung fertob. UN terus berjalan dengan segala macam bentuk kecurangannya. tapi berbagai bentuk pelanggaran dan penyimpangan terus dibiarkan tanpa tindakan tegas. sekolah pun sering tak berdaya menghadapi tekanan birokrasi sehingga otonomi sekolah yang sering digembar-gemborkan itu hanya slogan belaka.

  16. Tambah satu lagi pak!

    Reformasi pada aras kurikulum, reformasi di bagian ini sangat vital dampaknya bagi keberlangsungan pendidikan. Beban belajar yang ditanggung siswa sedemikian berat.. sementara, antar jenjang mengalami keterputusan link.. kurikulum kita kurikulum yang ingin menjadikan manusia Indonesia seperti SUPERMAN..

    gempur’s last blog post..Dari Bloger Iseng

    oOo
    Yup, sepakat banget, Pak Gempur. Kurikulum sekolah agaknya perlu direformasi jugak agar para siswa didik tidak terlalu stress, hehehehe :mrgreen:

  17. mengingatkan saya pada lagu iwan fals “Oemar Bakrie”

    Mbah Sangkil’s last blog post..???..

    oOo
    walah, hubungannya dengan reformasi sekolah apa, mbah, hehehehehe 😆 perlukah gaji guru direformasi juga agar mereka ndak naik sepdea ontel lagi kalo mau ngajar? *halah*

  18. Pak, saya kok jadi pesimis … 😕 Apa ya bisa kerusakan dunia pendidikan kita yang sudah sedemikian sistemik ini bisa diperbaiki dengan langkah-langkah di atas?

    Kalo jadi menteri pendidikan, saya lebih milih untuk mbubarin sekolah-sekolah. Mengonsep ulang semua dari awal, dari nol. Karena kerusakan yang sekarang sudah sedemikian parah, sistemik abis.

    Entahlah …

    STR’s last blog post..Guru yang Baik Adalah Guru yang Menggaji Muridnya: Kuantitas Lawan Kualitas

  19. reformasi itu bagi saya cuma menambal kain yang robek Pak :mrgreen:
    karena kainnya udah tua tambalannya malah akan tambah merobeknya *halah sok tau loh*
    yang kita perlukan kayaknya revolusi Pak
    =perubahan mendasar paradigma cara berpikir kita sebagai bangsa= 💡
    untuk menjadikan bangsa kita menjadi bngsa unggul memang diperlukan revolusi yang pertama-tama *harus* dari revolusi pendidikan & kebudayaan
    saya dukung Pak Sawali untuk menjadi Mendikbud guna memulai revolusi di bidang pendidikan & kebudayaan 😉

    tomy’s last blog post..LAYUNG-LAYUNG JINGGA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *