Dilema Peran Kaum Perempuan Pasca-Jawa

Kategori Opini Oleh

Entah, tiba-tiba saja saya tertarik berbicara mengenai dunia kaum perempuan, khususnya perempuan Jawa. Bukan sok sentimentil. Jujur saja, perempuan itu sosok universal yang selalu menarik diperbincangkan kapan dan di mana pun. *Halah* Lebih-lebih setelah banyak kaum perempuan yang terjun ke sektor publik. Muncul opini, kaum feminis berupaya melakukan pembebasan “mitos” kaum hawa yang bertahun-tahun lamanya merasa terpenjara akibat kultur patriarkhi yang demikian kuat mengakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Yup, peran perempuan Jawa pada masa lalu, konon diyakini hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Bahkan, ada yang lebih ekstrem menyatakan peran kaum perempuan Jawa seperti adagium: yen awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek (kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut). Artinya, jika siang hari berperan sebagai pembantu, sedangkan pada malam hari sebagai “penghangat” tubuh suami. (Mohon maaf kalau saya terpaksa menggunakan adagium ini untuk menggambarkan betapa “suram”-nya dunia kaum perempuan Jawa masa lalu). Dengan kata lain, peran kaum perempuan Jawa tak lebih sekadar kanca wingking yang harus manut, taat, sendika dhawuh, dan rela diperlakukan sesuai kehendak suami; tanpa argumentasi.

Dalam Serat Centhini (Suluk Tambangraras yang ditulis pada tahun 1809 atas kehendak Susuhunan Paku Buwana V), digambarkan tentang hal-hal yang kontroversial, seperti ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh kaum santri, ajaran mistis kejawen, puisi tentang kebijakan moral, atau cerita adegan ranjang dan sodomi yang paling vulgar dan kelewat batas hingga dituduh porno. Berikut saya kutipkan beberapa cuplikannya yang saya ambil dari sini.

Ketika malam ketujuh belas tiba, Amongraga telanjang dan duduk bersila di buritan ranjang: “Dinda, ketahuilah bahwa raga ini seperti obor, roh nyalanya, ilmu asapnya, zat cahayanya. Padahal nyala tidak dapat dipisahkan dari obor maupun asap atau cahayanya.”

Di haluan ranjang, Tambangraras membungkuk dan berkata:
-Oh, Apiku! aku mendengar dan berkenan. Tapi tolong katakan, ketika si kekasih berkata kepada terkasihnya: “Aku terbakar bagimu”, siapakah yang terbakar? Apakah si kekasih yang terbakar bagi terkasihnya, atau sang terkasih yang terbakar api kekasihnya?
-Sebenarnya, Dinda, cinta adalah nyala agung yang membakar segalanya.
Di balik sekat berkerawang, Centhini merasakan malam undur diri sebelum pudar.

Dalam Serat Centhini juga digambarkan bahwa sosok perempuan (istri) ideal ibarat lima jari tangan. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat telunjuk, istri harus menuruti segala perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus mengunggulkan suami bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis. Ibarat jejenthik, istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani suami.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan peradaban yang terus bergerak pada ranah global dan mondial, peran kaum perempuan Jawa semacam itu agaknya sudah jauh mengalami pergeseran. Asumsi ini diperkuat dengan gencarnya perjuangan kaum feminis dalam upaya melakukan pembebasan “mitos” lama yang selama ini dinilai telah amat merugikan jagat kaum perempuan. Bahkan, perempuan Jawa modern saat ini sudah banyak yang mulai mendidik anak-anaknya dengan norma androgini, yakni norma lelaki dan perempuan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan hal-hal lain pada dirinya, tanpa dibatasi stereotipe peran yang berlaku. Melalui norma ini, anak laki-laki bisa mengekspresikan kelembutan dan anak perempuan bisa mengekspresikan keberanian.

Agaknya, pandangan feodalistik yang cenderung memosisikan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum lelaki semakin terkikis. Sudah bukan zamannya lagi seorang istri hanya hanya menunggu kepulangan sang suami sekadar ingin melolos sepatu atau dasi yang diyakini sebagai simbol kesetiaan.

Memang harus diakui, pandangan feodalistik semacam itu tidak selamanya negatif. Setidaknya, nilai etika, kesetiaan, kelembutan, dan keharmonisan merupakan nilai positif yang terpancar dari sosok perempuan Jawa sebagaimana tergambar dalam Serat Centhini itu. Dalam konteks demikian, perempuan pasca-Jawa alias perempuan Jawa modern, seringkali dihadapkan pada situasi dilematis, antara mengikuti arus modernisasi dengan segenap dinamikanya; atau tetap menjadi sosok perempuan yang sarat sentuhan nilai tradisi; lembut, serba mengalah, sendika dhawuh, dan pasrah. Meminjam istilah Emile Durkheim, kaum perempuan pasca-Jawa, sedang berada dalam kondisi anomie; masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa, tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern.

Tampaknya, kaum perempuan pasca-Jawa memang harus mencermati secara serius terhadap kondisi anomie yang, mau atau tidak, mesti dilaluinya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan sosok perempuan pasca-Jawa yang tidak kehilangan identitasnya atau jatidiri ke-Jawa-annya di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya yang demikian dahsyat?

Pertanyaan semacam itulah yang butuh jawaban serius. Artinya, di tengah fenomena pergeseran peran dari mono-peran ke dwi-peran, kaum perempuan Jawa modern tidak mengalami “keterkejutan” budaya yang justru akan makin menjauhkan figur perempuan modern dari sentuhan nilai ideal secara normatif sebagai kunci sukses hidup berumah tangga.

Mitos kanca wingking memang harus dibebaskan. Kaum perempuan dituntut untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik. Meski demikian, bukan berarti harus meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi. Nah, bagaimana menurut Sampeyan? ***

————————————-

Catatan:

  1. Gambar diambil dari sini.
  2. Tulisan ini juga saya persembahkan buat istri saya tersayang yang telah menjadi pencerah peradaban buat ketiga anak saya yang selama ini terlalu sering saya abaikan ketika “insomnia” saya kambuh. Mohon maaf, sayang, kalau selama ini saya belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Istriku, aku sayang kamu dan anak-anak kita. (Diilhami sentuhan lembut Pak Hadi ketika mengungkapkan rasa sayangnya kepada sang istri tercinta. Terima kasih Pak Hadi. Puisi Sampeyan menyadarkan saya betapa pentingnya bersikap romantis kepada seorang istri).

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

37 Comments

  1. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan sosok perempuan pasca-Jawa yang tidak kehilangan identitasnya atau jatidiri ke-Jawa-annya di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya yang demikian dahsyat?

    Yang kemudian saya pertanyakan adalah jati diri ke-Jawa-annya itu yang seperti serat centinikah?! hehehehehe..

    Sampai kapan pun tema perempuan selalu aktual dan relevan untuk diperbincangkan..

    Itulah kenapa saya meluncurkan tulisan ini.. Perempuan pasca-Jawa yang diharapkan santun dan tetap lemah lembut tapi memiliki kualitas intelektual yang tinggi.. Tak bermaksud memuji istri saya lo pak! hehehehe..

    oOo
    seperti disampaikan bu enny, serat centhini agaknya lebih pas kalo untuk jatidiri kejawaan kaum ningrat. yang berlaku bagi masyarakat kebanyakan agaknya lebih cocok kalo jatidiri perempuan pascajawa itu tetap lemah lembut dan andhap asor kepada suami meski sukses berkarier.
    ya, sepakat banget pak gempur. semangat!!!

  2. kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut

    Walah…. kok kesannya perempuan itu sebagai pelengkap penderita saja ya, terdengarnya rada sadiz gitu, seharusnya yang benar kan… kalo siang jadi sepatu, kalau malem jadi sprei ***halaaah garing!** huehehehe… :mrgreen: Nggak deh! Becanda!

    **MODE serius ON**

    Kalau saya sih percaya setiap budaya, termasuk budaya barat modern, tidak ada yang 100% sempurna, juga masalah persepsi tentang perempuan, ya untuk itu kita ambil saja yang baik2, yg cocok untuk perkembangan zaman tanpa melanggar norma2 sosial yang berlaku, yg berasaskan keadilan dan yang penting **halaah** kerjasama antara istri dan suami yang harmonis sehingga menghasilkan anak2 yang **halaah** soleh dan berkualitas.

    O iya pak Sawali tanya ya, kenapa komentar saya sekarang banyak **halaah** nya?? Ooo… itu karena saya udah **halaah** ketularan Pak Sawali. Ternyata ngomong ngetik **halaaah** itu ueenakk ya! :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Pemandangan Bumi Kita di Malam Hari

    ooo
    * idiom itu sebenarnya digunakan utk menggambarkan posisi kaum perempuan jawa di masa lalu, khususnya kaum ningrat.*
    Sepakat banget dengan bung yari. suami-istri idealnya memang harus bisa “berkolaborasi” untuk menciptakan atmosfer lingkungan keluarga yang harmonis, Bung.
    Walah, iya nih baru beberapa kata sudah diseling *halah*. Lama2 emang terasa enak dan menyenangkan kalok komen pake *halah* ya Bung Yari. *halah*

  3. Ah, sebetulnya tugas beres-beres rumah, nyuci, nyetrika…itu kan tugasnya laki-laki. Tugas perempuan itu hanya satu, nurut…disuruh ke sumur, nurut…disuruh ke dapur, nurut…disuruh ke kasur juga harus nurut 😆

    Donny Reza’s last blog post..Kabar Baru, Tantangan Baru

    ooo
    Ha? Mas donny emang suka2 bagi tugas kayak gitu, yak. *halah*

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top