Dilema Peran Kaum Perempuan Pasca-Jawa

Entah, tiba-tiba saja saya tertarik berbicara mengenai dunia kaum perempuan, khususnya perempuan Jawa. Bukan sok sentimentil. Jujur saja, perempuan itu sosok universal yang selalu menarik diperbincangkan kapan dan di mana pun. *Halah* Lebih-lebih setelah banyak kaum perempuan yang terjun ke sektor publik. Muncul opini, kaum feminis berupaya melakukan pembebasan “mitos” kaum hawa yang bertahun-tahun lamanya merasa terpenjara akibat kultur patriarkhi yang demikian kuat mengakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Yup, peran perempuan Jawa pada masa lalu, konon diyakini hanya sebatas lingkup dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani suami). Bahkan, ada yang lebih ekstrem menyatakan peran kaum perempuan Jawa seperti adagium: yen awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek (kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut). Artinya, jika siang hari berperan sebagai pembantu, sedangkan pada malam hari sebagai “penghangat” tubuh suami. (Mohon maaf kalau saya terpaksa menggunakan adagium ini untuk menggambarkan betapa “suram”-nya dunia kaum perempuan Jawa masa lalu). Dengan kata lain, peran kaum perempuan Jawa tak lebih sekadar kanca wingking yang harus manut, taat, sendika dhawuh, dan rela diperlakukan sesuai kehendak suami; tanpa argumentasi.

Dalam Serat Centhini (Suluk Tambangraras yang ditulis pada tahun 1809 atas kehendak Susuhunan Paku Buwana V), digambarkan tentang hal-hal yang kontroversial, seperti ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh kaum santri, ajaran mistis kejawen, puisi tentang kebijakan moral, atau cerita adegan ranjang dan sodomi yang paling vulgar dan kelewat batas hingga dituduh porno. Berikut saya kutipkan beberapa cuplikannya yang saya ambil dari sini.

Ketika malam ketujuh belas tiba, Amongraga telanjang dan duduk bersila di buritan ranjang: “Dinda, ketahuilah bahwa raga ini seperti obor, roh nyalanya, ilmu asapnya, zat cahayanya. Padahal nyala tidak dapat dipisahkan dari obor maupun asap atau cahayanya.”

Di haluan ranjang, Tambangraras membungkuk dan berkata:
-Oh, Apiku! aku mendengar dan berkenan. Tapi tolong katakan, ketika si kekasih berkata kepada terkasihnya: “Aku terbakar bagimu”, siapakah yang terbakar? Apakah si kekasih yang terbakar bagi terkasihnya, atau sang terkasih yang terbakar api kekasihnya?
-Sebenarnya, Dinda, cinta adalah nyala agung yang membakar segalanya.
Di balik sekat berkerawang, Centhini merasakan malam undur diri sebelum pudar.

Dalam Serat Centhini juga digambarkan bahwa sosok perempuan (istri) ideal ibarat lima jari tangan. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat telunjuk, istri harus menuruti segala perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus mengunggulkan suami bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis. Ibarat jejenthik, istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani suami.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan peradaban yang terus bergerak pada ranah global dan mondial, peran kaum perempuan Jawa semacam itu agaknya sudah jauh mengalami pergeseran. Asumsi ini diperkuat dengan gencarnya perjuangan kaum feminis dalam upaya melakukan pembebasan “mitos” lama yang selama ini dinilai telah amat merugikan jagat kaum perempuan. Bahkan, perempuan Jawa modern saat ini sudah banyak yang mulai mendidik anak-anaknya dengan norma androgini, yakni norma lelaki dan perempuan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan hal-hal lain pada dirinya, tanpa dibatasi stereotipe peran yang berlaku. Melalui norma ini, anak laki-laki bisa mengekspresikan kelembutan dan anak perempuan bisa mengekspresikan keberanian.

Agaknya, pandangan feodalistik yang cenderung memosisikan kaum perempuan di bawah subordinasi kaum lelaki semakin terkikis. Sudah bukan zamannya lagi seorang istri hanya hanya menunggu kepulangan sang suami sekadar ingin melolos sepatu atau dasi yang diyakini sebagai simbol kesetiaan.

Memang harus diakui, pandangan feodalistik semacam itu tidak selamanya negatif. Setidaknya, nilai etika, kesetiaan, kelembutan, dan keharmonisan merupakan nilai positif yang terpancar dari sosok perempuan Jawa sebagaimana tergambar dalam Serat Centhini itu. Dalam konteks demikian, perempuan pasca-Jawa alias perempuan Jawa modern, seringkali dihadapkan pada situasi dilematis, antara mengikuti arus modernisasi dengan segenap dinamikanya; atau tetap menjadi sosok perempuan yang sarat sentuhan nilai tradisi; lembut, serba mengalah, sendika dhawuh, dan pasrah. Meminjam istilah Emile Durkheim, kaum perempuan pasca-Jawa, sedang berada dalam kondisi anomie; masih menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap budaya Jawa, tetapi gaya hidupnya sudah universal dan modern.

Tampaknya, kaum perempuan pasca-Jawa memang harus mencermati secara serius terhadap kondisi anomie yang, mau atau tidak, mesti dilaluinya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan sosok perempuan pasca-Jawa yang tidak kehilangan identitasnya atau jatidiri ke-Jawa-annya di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya yang demikian dahsyat?

Pertanyaan semacam itulah yang butuh jawaban serius. Artinya, di tengah fenomena pergeseran peran dari mono-peran ke dwi-peran, kaum perempuan Jawa modern tidak mengalami “keterkejutan” budaya yang justru akan makin menjauhkan figur perempuan modern dari sentuhan nilai ideal secara normatif sebagai kunci sukses hidup berumah tangga.

Mitos kanca wingking memang harus dibebaskan. Kaum perempuan dituntut untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik. Meski demikian, bukan berarti harus meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi. Nah, bagaimana menurut Sampeyan? ***

————————————-

Catatan:

  1. Gambar diambil dari sini.
  2. Tulisan ini juga saya persembahkan buat istri saya tersayang yang telah menjadi pencerah peradaban buat ketiga anak saya yang selama ini terlalu sering saya abaikan ketika “insomnia” saya kambuh. Mohon maaf, sayang, kalau selama ini saya belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik. Istriku, aku sayang kamu dan anak-anak kita. (Diilhami sentuhan lembut Pak Hadi ketika mengungkapkan rasa sayangnya kepada sang istri tercinta. Terima kasih Pak Hadi. Puisi Sampeyan menyadarkan saya betapa pentingnya bersikap romantis kepada seorang istri).

No Comments

  1. Perempuan, konon berasal dari kata empu. Seorang empu, mampu menciptakan keris yang maha dahsyat, sedahsyat kia nogososro, atau kyai sabukinten atau kyai sengkelat. namun adakalanya dia akan terbunuh oleh kerisnya sendiri, sebagaimana Empu Gandring. Maka seorang perempuan harus mampu menunjukkan eksistensi dirinya melalui penggalian keempuan yang dimilikinya. Tak harus sebagai wanita karir. Seorang ibu rumah tangga yang mumpuni, akan mampu mengasah mata batin, jiwa dan raga anak-anaknya laksana seorang empu melumuri warangan dan sipat kandel pada kerisnya. Seorang istri yang paripurna, akan mampu membentengi suami untuk senantiasa berjalan pada garis edar yang seharusnya, membantu menuntun arah sang nahkoda mengemudikan biduk rumah tangga. Seorang wanita karir yang hebat akan mampu meniti jenjang karirnya, tanpa mengabaikan nilai dan kewajiban kodratinya sebagai seorang perempuan. Maka dia layak dipanggil sebagai perempuan, atas dasar ke-empu-annya, bukan karena ke-empuk-annya
    Dee’s last blog post..Hijrah

    oOo
    sepakat banget mas nudee. emou juga mengandung makna orang yang dimuliakan, loh. ini artinya, perempuan bisa juga bermakna hamba Allah yang dimuliakan.

  2. Meminjam istilah Zainudin MZ, perempuan (istri) bukan hanya “Dapur – Sumur – Kasur”.
    Secara kasat mata saya melihat beberapa teman, jika keluarga dilandasi Iman yang kuat maka sehebat apapun kelebihan istri, setinggi apapun jabatan istri rasa hormat dan patuh pada suami merupakan hal yang “wajib”, sementara sang suami pun begitu pengabdian istri tidak menjadikannya “tuan”.
    Jadi Agama adalah kuncinya, entah dia Jawa, Sumatera dan lain sebagainya.Yang paling pasti laki-laki dan perempuan takan pernah bisa di-sejajar-kan meski dengan alasan emansipasi sekalipun, karena ada sunatullah yang membedakannya (dalam konteks kehidupan berumah tangga)

    hadi arr’s last blog post..HUMOR OTAK

    oOo
    Yup, komentar pak hadi mencerahkan banget, makasih pak.

  3. wow tulisan yang cukup menarik pak, jujur saja saya melihat ada suatu kekhawatiran akan hal ini memang terjadi pada kaum lelaki memnag. Tapi Saya rasa adat dan Budaya timur kita yang tetap memegang kodrat wanita dibawah pria tetap harus dipegang oleh para wanita. Kalau semua konsekuen pasti tidak mengurangi nilai feminimnya. Malah akan menjadi wanita yang jauh berkualitas, karena bisa memberikan sumbangsih dalam mengurangi penderitaan kaum lelaki. He he he … jangan takut para kaum lelaki tapi berdirilah dibarisan depan untuk memberikan support kepada kaum wanita.

    oOo
    oh, mbak melly menangkap kesan adanya kekhawatiran para suami kalo para istri sibuk berkarier, yak. walah, saya ndak pernah takut kok mbak terhadap “ancaman” kaum perempuan yang ingin meniti karier, asalkan kehidupan rumah tangga tetap happy. bener ndak, mbak?

  4. tapi kalo saya melihatnya ketika ada kesepakatan keseiyasekataan antara suami dan istri, apapun yg dilakukan apakah istri tetap menggunakan istilah dapur,sumur, kasur dan atau tidak sekedar itu,semuanya akan tetap berjalan indah.
    *ngomong opo to RuL, blum punya istri ngomong ngono 😀 *

    aRuL’s last blog post..Teknik Negosiasi

    oOo
    walah, bicara istri kan ndak harus punya istri duluan toh mas aRul. seperti halnya ketika kita bicara soal pekerjaan, toh kita ndak harus kerja dulu.

  5. Di minang (Padang) ada tradisi menarik garis keturunan berdasarkan jalur ibu (wanita). Apa ini memperlihatkan bahwa kultur minang telah menghargai kodrat wanita secara nyata ya ? 😉

    #Dasar minang ke sasar… gitu aja gak tau ? :mrgreen:

    herianto’s last blog post..Hidup Inikah Masalah??

    ooo
    wah, bisa jadi begitu pak heri. kultur matrilini bisa jadi memang sebagai upaya untuk menempatkan posisi kaum perempuan di tempat yang lebih terhormat dan bermartabat.

  6. Ke empat jari lainnya hebat. Hanya satu, ibarat telunjuk, istri harus menuruti segala perintah suami. Tidak selamanya seorang istri harus menuruti segala perintah suaminya. :mrgreen:

    Perempuan, ya, tidak semua perempuan beruntung. Sudah capek-capek melahirkan, membesarkan anak, memberi dukungan kepada suami, tapi suami-nya malah tak pernah memperhatikannya.

    Tapi, terima kasih Pak sudah memperhatikan perempuan khususnya yang di rumah. Memang seharusnya seorang suami memperhatikan istrinya. Ketika seorang suami sakit siapa yang merawat? siapa yang memasak? ketika suami dalam keadaaan susah, siapa yang mendampingi dan memberi semangat? Semuanya karena perempuan yang di rumah itu kan?

    Ya, tugas seorang perempuan bukan hanya menunggu suami pulang saja. Perempuan kalau bisa harus bijak mengelolah keuangan keluarga juga, harus belajar banyak agar ketika suaminya ajak ngobrol bisa nyambung semua. 😛

    Hanna Fransisca’s last blog post..Akhirnya Aku Kembali

    ooo
    sepakat banget mbak hanna, saya dapat pencerahan baru. jadi terharu mendengarkan nasihat mbak hanna. terima kasih ya mbak.

  7. Wahhhh….
    bagus… bisa menjadi pedoman untuk saya ini pak *halah*
    udah ah, nanti saya kian ga sabar 😳 bisa repot nih hahaha
    sampun pak, parengg

    Goop’s last blog post..Partiture

    ooo
    wah, postingan yang ini pas banget buat mas goop, hehehehe 😆 perlukah menimbang dan memperhatikan sebelum akhirnya memutuskan mas goop, halah! kok malah jadi ndak sabaran tuh emangnya kenapa? baca quote di postingan ini, yak? hehehehehe 😆

  8. Jaman sekarang sepertinya sudah banyak berubah njih pak, sekarang banyak juga suami-suami takut istri :mrgreen:

    Hi hi, bapak kagungan PDF nya (serat centini) ndak ya 😛

    ooo
    aha, masa iya sih pak sigid. ada yang menyingkatnya ISTI (Ikatan suamin tahut istri), halah. wah, maaf, pak, ndak punya file .pdf-nya.

  9. Terkadang kita masih memperlakukan istri (kamum perempuan) seperti payung saja, pas lagi ujan kita butuh, pas kepanasan, kita butuh, tapi pas gak butuh, boro-boro ditengok, inget aja gak..moga-moga kita lebih bisa menghargai perempuan (perempuan yang memang layak kita hargai) setinggi-tingginya… 😯

    Setiawan’s last blog post..Sinetron yang semakin tidak mendidik!

    ooo
    mungkin bisa saja mas setiawan. tapi kukira banyak juga kok kaum lelaki yang sangat menghargai istrinya. hidup bersama dalam paguyuban keluarga yang setara.

  10. Pak Sawali, …tulisannya benar-benar njawani, istilah-istilah yang rasanya lama tak terdengar. Tapi betulkah perempuan Jawa seperti itu? Saya agak ragu, karena bukankah yang menulis adalah kaum ningrat, orang-orang yang termasuk dalam lingkungan kraton? Bagaimana dengan rakyat jelata? Sejak saya kecil, seingatku justru kaum priyayi yang punya pendapat seperti itu, tapi kaum kebanyakan perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan..perempuan kesawah, jualan di pasar dsb nya. Ibu Kartini, yang termasuk ningrat, yang merasa terkungkung…apakah kaum wanita Jawa kebanyakan terkungkung?

    Maksud terkungkung disini maksudnya untuk kebaikan, agar tak terjadi hal-hal yang buruk, jika kaum perempuan muda bekerja di luar. Tapi kita juga mengenal Mooryati Sudibyo, yang di Kompas, menyatakan dia menikah dengan orang di luar istana agar mendapat kebebasan. Dan hasilnya memang hebat….

    Saya habis beli buku “Babat Tanah Jawi” yang isinya perang melulu, anak membunuh bapaknya, bapak membunuh ayahnya, antara saudara saling berperang…. dan anak sulungku terus menulis di blog…http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2007/12/
    janji-gue-di-tahun-2008.html…. tentang tak ingin menikah dengan perempuan Jawa, gara-gara membaca buku yang menunjukkan orang Jawa otoriter, seperti yang diceritakan dalam banyak buku tsb. Padahal ayah ibunya asli Jawa.

    Dalam kehidupan masa kecilku, saya sudah tak melihat perbedaan perempuan dan laki-laki, juga dilingkungan keluargaku yang suami isteri rata-rata pekerja. Apapun, sebetulnya semakin tingginya pendidikan, peran suami isteri adalah untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang sholeh, dan hasil yang nyata diperoleh dari kerja suami isteri, yang notabene perempuan dan laki-laki.

    Salam…hehehe…menarik sekali, membuat pembaca ikut diskusi. 🙄

    edratna’s last blog post..Jangan abaikan jika anda mengantuk berlebihan

    ooo
    bener sekali, bu, agaknya keum perempuan yang dimaksud dalam serat centhini itu diberlakukan bagi perempuan ningrat. meski demikian, di tengah masyarakat kita yang paternalistis, biasanya adat dan tabiat kaum priyayi yang dijadikan sebagai cermin hidup sehingga bisa juga berlaku bagi kaum perempuan kebanyakan.
    BTW, apakah memang benar orang jawa dikenal ortoriter sampai2 putra bu enny ndak mau nikah sama perempuan jawa. halah. kesetaraan gender antara laki2 dan perempuan itulah yang agaknya cocok diterapkan di negeri kita bu. saya juga sangat senang kalok bu enny ikut terlibat dalam diskusi ini. makasih bu.

  11. @ sigid: Walah, pengalaman pribadi nih mas? :mrgreen:

    Wah, bisa belajar banyak mengenai perempuan nih… Ada sosiologi, kultur, dan sejarah… :mrgreen:

    *baca komen yang ada, termasuk dari bu edratna*

    Gun N’ Roze’s last blog post..Maaf, (mungkin) aku yang dituju?

    ooo
    loh, mas gun kok tahu kalok yag diungkapkan pak sigit tuh pengalaman nyata. kayaknya cocok juga dibaca mas gun sebelum menetukan sikap. *halah*

  12. Fiuuhhh, akhir-nya aku bisa ngakses blog-nya Pak Guru juga, meskipun emang benar-benar susah masuk-nya 🙂

    Di-satu sisi aku sangat setuju dengan per-geser-an status yang di-alami oleh perempuan secara umum ke-arah yang memang lebih mapan dan equal dengan laki-laki, meskipun di-satu sisi lagi aku juga ber-harap agar mereka tetap memahami arti penting men-jadi seorang perempuan dan ibu dalam keluarga. Dan yang lebih penting lagi etika, norma, adat dan budaya yang ber-nilai positif seharus-nya di-pertahan-kan. Bukan begitu Pak Guru? 😉

    extremusmilitis’s last blog post..Kenapa Ber-Paling Kalau Hidup Penuh Warna

    ooo
    sepakat banget bung militis. itulah makna kesetaraan yang sesungguhnya. suami-istri bisa saling memahami peran dan kedudukannya masing2.

  13. siapa yang menjadikan Muhammad begitu pemberani?? sang perempuan bernama Khadijah
    siapa yang menjadikan Muhammad begitu pengasih?? sang perempuan bernama Aisyah
    siapa yang menjadikan Muhammad begitu bijak?? sang perempuan bernama zubaedah

    apa yang laki2 banggakan dari dirinya?? kuat? hebat? hanya laki2 bodoh yang merasa dirinya lebih mulia dari perempuan.
    bahkan raja Leonidas dari yunani bilang hanya dan karna perempuan laki2 bisa menjadi kuat dan tangguh..

    ah.. segala puji bagi Ibu.. 🙂

    brainstorm’s last blog post..ikhlas

    ooo
    wah demikian dalam pemahaman mas brain ttg sosok perempuan. setuju mas brain. meski demikian, tidak lantas berarti sebaliknya juga mas brain, kaum perempuan kurang menghargai suami.

  14. SETUJU dengan mitos kanca wingking ….

    -Ade-

    ooo
    loh, pendapat ade kok beda sendiri. emang ade seneng yak kalok hanya diperlakukan seperti kanca wingking, hehehehehe 😆

  15. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat telunjuk, istri harus menuruti segala perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus mengunggulkan suami bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis. Ibarat jejenthik, istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani suami.

    Menurut ilmu agama Islam juga Ridho Allah ada di Ridho Suami, jadi kalau sudah berkeluarga ridho dari Suami dulu, setelah itu baru ridho dari Ibu

    Ridu’s last blog post..Blog Readability Test

    ooo
    Ok, sepakat mas ridu. Hanya untuk yang kutipan serat centhini agaknya sudah banyak yang berubah dan mengalamai pergeseran.

  16. Wanita itu dianugrahi 3 kekuatan yaitu:
    1. kekuatan ketika mengandung anaknya, sebagai pengabdian mulia kepada suami
    2. kekuatan ketika sedang melahirkan, sebagai pengabdian seorang manusia kepada sang Pencipta
    3. kekuatan ketika mengurus anaknya, seorang ibu akan menjadi sekolah bagi anak-anaknya. http://awan965.wordpress.com/?s=ibu+adalah+sekolah+bagi+anaknya

    Wanita punya 3 kelemahan:
    1. ketika sedang “datang bulan”, maka ada beberapa aktivitas yang harus ditunda
    2. ketika sedang menjadi istri, wanita itu menjadi tanggung jawab suaminya
    3. laki-laki akan jatuh wibawanya apabila melakukan kekejaman terhadap wanita

    contoh wanita karir ada pada tokoh Sri Kandi
    contoh wanita pengabdi suami di rumah ada pada tokoh Subadra
    (kok cerita wayang sih).

    awan965’s last blog post..Senjakala Kekuasaan: Antara Soeharto dan Soekarno (bag.1)

    ooo
    walah, pak awan ternyata juga paham tentang seluk-beluk dunia pewayangan, yak. salut. Srikandi dan sumbadra memang sering dijadikan analogi sebagai figur perempuan yang sukses menggapai karier di sektor publik dengan prestasi yang mengagumkan sekaligus mampu bersikap lembut dalam kehidupan rumah tangga.

  17. Saya pikir kesimpulan Pak Sawali di akhir tulisan sudah cukup moderat, sudah cukup pas, dan saya sepakat untuk itu. Perempuan memang bukan untuk berada di atas atau di bawah laki-laki, tapi untuk jadi penolong yang sepadan dan dicintai. Hohoho …

    Saya tak nyari pacar ah … 😎

    STR’s last blog post..Berlian Porter Anti Pak Harto!

    ooo
    Loh, emang mas satria belum punya pacar, yak! hare gene kandidat ekonom berwajah handsome belum punya pacar? wakakakakaka 😆 hukumnya “wajib” untuk segera mencari dan memburunya, mas. Serbu!!!

  18. Walah ketinggalan lagi, kapan ya bisa posting komen di urutan atas dan tercatat sebagai the 1st coment di Sawali’s article? kayakya gak deh karna temen2 pasti dah pada ngintip dan siap untuk berkomentar begitu artikel pak sawali terbit*harusnya saya dikasih info dulu sebelum posting hehe*…..

    sejalan dengan pemikiran mas nudee diatas, perempuan baik itu sebagai wanita karir ataupun ibu rumah tangga tidak perlu meninggalkan sifat kelemahlembutannya yang merupakan icon dan kodratnya sebagai seorang perempuan. Permpuan memang harus maju seiring dengan perubahan zaman, namun tetap pada eksistensinya sebagai sosok yang ‘manis’ di hadapan sang suami. senadyan dadi ratu ananging tansah setuhu punopo dawuhe sang prabu..*walah malah ora nyambung babar blas*… salam kreativ

    ooo
    walah, ndak ada istilah ketinggalan mas mawan. Sampeyan bisa berkunjung kapan saja ke gubug ini. mas mawan juga ndak sulit kok menampilkan komen vertamax, lha wong bukan milik seleb blog kok, hehehehehe 😆
    Walah, pendapat masmawan sangat nyambung. justru di situlah letak substansinya mas.

  19. Ah, sebetulnya tugas beres-beres rumah, nyuci, nyetrika…itu kan tugasnya laki-laki. Tugas perempuan itu hanya satu, nurut…disuruh ke sumur, nurut…disuruh ke dapur, nurut…disuruh ke kasur juga harus nurut 😆

    Donny Reza’s last blog post..Kabar Baru, Tantangan Baru

    ooo
    Ha? Mas donny emang suka2 bagi tugas kayak gitu, yak. *halah*

  20. kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut

    Walah…. kok kesannya perempuan itu sebagai pelengkap penderita saja ya, terdengarnya rada sadiz gitu, seharusnya yang benar kan… kalo siang jadi sepatu, kalau malem jadi sprei ***halaaah garing!** huehehehe… :mrgreen: Nggak deh! Becanda!

    **MODE serius ON**

    Kalau saya sih percaya setiap budaya, termasuk budaya barat modern, tidak ada yang 100% sempurna, juga masalah persepsi tentang perempuan, ya untuk itu kita ambil saja yang baik2, yg cocok untuk perkembangan zaman tanpa melanggar norma2 sosial yang berlaku, yg berasaskan keadilan dan yang penting **halaah** kerjasama antara istri dan suami yang harmonis sehingga menghasilkan anak2 yang **halaah** soleh dan berkualitas.

    O iya pak Sawali tanya ya, kenapa komentar saya sekarang banyak **halaah** nya?? Ooo… itu karena saya udah **halaah** ketularan Pak Sawali. Ternyata ngomong ngetik **halaaah** itu ueenakk ya! :mrgreen:

    Yari NK’s last blog post..Pemandangan Bumi Kita di Malam Hari

    ooo
    * idiom itu sebenarnya digunakan utk menggambarkan posisi kaum perempuan jawa di masa lalu, khususnya kaum ningrat.*
    Sepakat banget dengan bung yari. suami-istri idealnya memang harus bisa “berkolaborasi” untuk menciptakan atmosfer lingkungan keluarga yang harmonis, Bung.
    Walah, iya nih baru beberapa kata sudah diseling *halah*. Lama2 emang terasa enak dan menyenangkan kalok komen pake *halah* ya Bung Yari. *halah*

  21. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mewujudkan sosok perempuan pasca-Jawa yang tidak kehilangan identitasnya atau jatidiri ke-Jawa-annya di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya yang demikian dahsyat?

    Yang kemudian saya pertanyakan adalah jati diri ke-Jawa-annya itu yang seperti serat centinikah?! hehehehehe..

    Sampai kapan pun tema perempuan selalu aktual dan relevan untuk diperbincangkan..

    Itulah kenapa saya meluncurkan tulisan ini.. Perempuan pasca-Jawa yang diharapkan santun dan tetap lemah lembut tapi memiliki kualitas intelektual yang tinggi.. Tak bermaksud memuji istri saya lo pak! hehehehe..

    oOo
    seperti disampaikan bu enny, serat centhini agaknya lebih pas kalo untuk jatidiri kejawaan kaum ningrat. yang berlaku bagi masyarakat kebanyakan agaknya lebih cocok kalo jatidiri perempuan pascajawa itu tetap lemah lembut dan andhap asor kepada suami meski sukses berkarier.
    ya, sepakat banget pak gempur. semangat!!!

  22. Dalam banget postingannya Mas Sawal mengenahi perempuan kali ini, meskipun belum bulan april (baca:hari kartini) hehehe… Selama ini saya juga memperlakukan istri sebagai partner dalam rumah tangga. Tidak ada yang memposisikan dirinya lebih tinggi dari siapapun kita saling menghargai saja, munkin karena kita sama-sama bekerja kali ya Mas.

    Totok Sugianto’s last blog post..Melaku-Melaku Nang Tunjungan

    oOo
    wah, sebuah keharusan itu mas totoks. bener sekali, suami dan istri mestinya harus bisa menjadi partner yang saling mengisi dan melengkapi. mudah2an semua keluarga di negeri ini bisa seperti keluarga mas totoks.

  23. Presiden Indonesia tdk ada yg lepas dari peran perempuan *ya iyalah*
    ➡ Pak Karno tergila-gila perempuan 😀
    ➡ Pak Harto dikuasai perempuan 😡
    ➡ Habibie gayanya kayak perempuan 😎
    ➡ Gus Dur dituntun sama perempuan 😐
    ➡ Megawati emang perempuan
    ➡ SBY namanya aja Susi…loh 😆
    jangan pernah abaikan peran perempuan, karena napas hidup kita dihembuskan dalam rahim perempuan :mrgreen:

    tomy’s last blog post..Surek Burek Barak Sana

    oOo
    Yup, sepakat banget, pak tomy. perempuan adalah pancer dan pencerah peradaban.

    1. semoga saya termasuk dalam perempuan pasca Jawa yang sesuai dengan paraghraf terakhir postingan Pak sawali: bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam mengambil perannya di sektor publik, tetapi tidak meninggalkan “naluri” keibuan yang penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami, lembut, hormat, etis, dan bermartabat tinggi

      oOo
      wah, salut nih, mbak is. pasti bisa deh. sukses buat mbak is, yak!

  24. namanya aja Amongraga. salahnya dijadiin panutan.. he he he… hidupnya ya ngurusin raganya aja. beda dengan Syeh Amongrasa dan Amongsukma *halah* :mrgreen: 😎

    Siti Jenang’s last blog post..Tuhan Menggabungkan Do?a?

    oOo
    Kalok bisa sekalian tiga mas jenang, amograga, amungsukma, dan amungrasa. ini juga *halah*

  25. pakdhe, lemek itu lebih tepat diartikan sebagai : alas, bukan selimut. kalau selimut kan tempatnya di atas, kalau alas di bawah.
    😀

    puput’s last blog post..Diantara

    oOo
    Walah, baru tahu kalau lemek itu mesti di bawah, hiks. Ok, makasih infonya, yak!

  26. wah bener2 top pemikirannya nim pak guru!!!

    saya juga pernah mengutip beberapa type wanita jawa menurut kamasutra di blog saya!!!

    wanita itu ada dua macam, yang fisik ok, dan kepribadian ok.

    kasus yang terjadi mungkin karena wanita itu kurang sadar posisi, alias kepribadiannya lupa kodrat kali ya!!!

    ridhocyber’s last blog post..Pilih Sport Bike atau Motor Bebek?

    ooo
    wew… ridho kayaknya suka juga mengamati dunia kaum perempuan, yak, wew… salut nih!

  27. kalau melihat suramnya nasib perempuan jawa, berarti salah ya yang mengatakan budaya jawa itu luhur buktinya nasib perempuan dalam tulisan ini

    ooo
    tak ada budaya yang sempurna kok. demikian budaya jawa. masih ada beberapa di antaranya yang terlalu feodal!

  28. Sebagai perempuan jawa, aku pernah mendapatkan treatment serupa, tapi aku berontak. Hasilnya aku terdupak dari rumah.

    Never mind, aku malah mendapatkan kemerdekaan penuh dan lebih mandiri ketimbang kakak/adik laki-laki.

    Juliach’s last blog post..?FITNA?

    ooo
    wew…akhirnya “pemberontakan” mbak juliach berbuah sukses yak? meski demikian, rumah juga jangan dilupakan loh, mbak, hehehehe 🙂 *halah sok tahu nih*

  29. wah…aku baru baca neh, bagus tulisanya, blognya rame pula…nemuin tulisan ini pas lagi bingung2nya nyari artikel ttg perempuan jawa…dari tulisan ini aku jadi tahu ada si Emile Durkheim yg bilang ttg perempuan pasca-jawa (heheh..ndeso aku ya…)
    yah…salam kenal deh

    syukurlah kalau ada manfaatnya, mbak rahma. salam kenal juga 😎

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *