Menunggu “Lonceng Kematian” Lewat Ujian Nasional

Jika tidak ada aral melintang, Ujian Nasional (UN) mulai SD hingga SMA/MA/SMK, akan digelar serentak pada Mei 2008. Mendiknas telah mengeluarkan Permen Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2007/2008 pada 5 November 2007.

Jika dicermati, ada beberapa perubahan mendasar dibandingkan dengan pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2007/2008, selain terjadi penambahan mata pelajaran, juga terjadi peningkatan kriteria nilai kelulusan.

Mata pelajaran yang diujikan secara nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 antara lain: 1) Mata Pelajaran UN untuk SMP, MTs, dan SMPLB meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); 2) Mata Pelajaran UN SMA dan MA: (a) Program IPA: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi; (b) Program IPS: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Matematika, Sosiologi dan Geografi; (c) Program Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya (Antropologi), dan Sastra Indonesia; (d) Program Keagamaan meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam; 3) Mata Pelajaran UN SMALB, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika; 4) Mata Pelajaran UN SMK, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Kompetensi Keahlian Kejuruan.

Adapun kriteria kelulusan antara lain: (1) memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau (2) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran, dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; (3) Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana pada ayat (1).

Setiap perubahan, apa pun wujud dan bentuknya, pasti akan menimbulkan reaksi. UN pun dari tahun ke tahun tak luput dari kondisi semacam itu. Banyak kalangan yang tidak setuju jika UN digelar. Apalagi, sekarang sudah diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di mana sekolah memiliki hak otonom untuk mengelola sekolahnya sendiri, termasuk dalam menggelar kegiatan penilaian (evaluasi). Namun, agaknya pemerintah –melalui Badan StandarNasional Pendidikan (BSNP)— memiliki kebijakan lain. UN pun jalan terus, meski setiap tahun harus “panen” demo.

Bagi pendukung kebijakan pemerintah, UN dinilai cukup strategis dan relevan sebagai starting point untuk mendongkrak mutu pendidikan yang dianggap sudah berada di ambang batas kecemasan. Ketertinggalan SDM kita di bidang sains dan teknologi harus dikejar melalui peningkatan mutu keluaran sekolah agar kelak mereka tidak mengalami “gagap budaya” ketika menghadapi berbagai perubahan di tengah-tengah peradaban global. Bagi sekolah-sekolah maju, terutama di kota-kota besar, keputusan tersebut mungkin tidak memberikan dampak kejutan apa-apa. Kelengkapan dukungan sarana/prasarana/fasilitas sekolah dan keakraban mereka terhadap dunia mulitimedia bisa menjadi jawaban terhadap tuntutan kelulusan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Namun, bagi sekolah-sekolah pinggiran di pelosok-pelosok desa yang secara geografis jauh dari sentuhan kemajuan peradaban modern, kriteria kelulusan yang terus meningkat dari tahun ke tahun bisa jadi akan menjadi beban tersendiri. Selain minimnya dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas, sekolah-sekolah pinggiran pada umumnya menghadapi masalah rendahnya tingkat kecerdasan input, sikap permisif, dan masa bodoh orang tua terhadap pendidikan atau minimnya tenaga pengajar yang andal dan profesional. Ini artinya, sekolah-sekolah pinggiran akan menghadapi masalah baru akibat banyaknya siswa yang diperkirakan tidak bisa lulus.

Yang lebih memprihatinkan, ternyata UN dinilai kurang sahih; tidak mampu memotret kompetensi siswa yang sesungguhnya. Masih ingat, siswa “berprestasi cemerlang” yang akhirnya gagal menempuh UN? Ya, secara psikologis anak bernasib “malang” ini jelas akan dihinggapi sikap inferior dan rendah diri secara berlebihan akibat stigma “bebal dan bodoh” yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya. Dampak psikologis semacam ini, disadari atau tidak, memiliki daya “pembunuh” yang luar biasa terhadap motivasi anak dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang terbelah (split personality), menjadi anak-anak yang terampas masa depannya akibat vonis “bebal dan bodoh” yang mereka terima.

diskusi-kelompok.jpg

dikusi-2.jpg

UN juga menjadi beban bagi guru-guru yang mengajar di kelas akhir, khususnya pengampu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Tidak sedikit yang stres dan selalu dihinggapi kecemasan karena khawatir mata pelajaran yang diampunya menjadi “kambing hitam” dan biang penyebab ketidaklulusan siswa. Bagi guru kelas akhir, saat-saat menjelang pelaksanaan UN adalah situasi yang menegangkan dan mendebarkan sehingga harus memeras otak dan menempuh berbagai cara untuk menyiapkan siswa didiknya dalam menghadapi UN; entah melalui les, drill soal-soal, atau pemadatan materi. Belum lagi menghadapi tuntutan dan tekanan dari atasan yang “mewajibkan” mereka untuk menjadi “dewa penyelamat” citra dan marwah sekolah.

Siapa pun setuju, mutu pendidikan di negeri ini harus ditingkatkan. Sudah saatnya bangsa ini memiliki generasi-generasi masa depan yang andal dan mumpuni sehingga mampu berkiprah dan proaktif dalam menghadapi tantangan zaman di tengah-tengah peradaban global, tidak hanya sekadar jadi penonton. Namun, terlalu naif jika mutu pendidikan semata-mata diukur berdasarkan tinggi rendahnya batas kelulusan siswa.

Penentuan kriteria kelulusan rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25, pada hemat saya, justru memiliki kelemahan yang cukup mendasar, yaitu tidak diakuinya perbedaan kemampuan siswa secara individual. Bahkan, bisa dibilang telah mengebiri perbedaan individual anak yang seharusnya ditumbuhkembangkan secara optimal di bangku sekolah sesuai dengan talenta mereka masing-masing. Selama tiga tahun memburu ilmu di bangku sekolah, anak-anak negeri ini seperti menunggu “lonceng kematian” lewat UN.

Secara alamiah dan kodrati, anak-anak pada hakikatnya memiliki perbedaan kemampuan. Anak yang menonjol di bidang kesenian, misalnya, belum tentu berkemampuan yang sama di bidang eksakta. Anak yang menonjol di bidang ilmu-ilmu sosial, bisa saja lemah penguasaannya terhadap ilmu-ilmu alam. Demikian pula anak-anak yang memiliki talenta di bidang olahraga, bisa jadi mereka memiliki kelemahan dalam menguasai bidang yang lain.

Namun, dengan kriteria kelulusan semacam itu muncul kesan kemampuan anak-anak negeri ini hendak diseragamkan. Mereka harus memiliki standar kemampuan yang sama. Agar bisa lulus, mereka harus mendapatkan nilai minimal 4,25 atau 4,00 dengan catatan mata pelajaran yang lain minimal harus 6,00. Akibat peraturan tersebut, bisa saja terjadi seorang peserta UN –sebut saja si A– yang mendapatkan nilai rata-rata 7,50 terganjal kelulusannya karena ada salah satu mata pelajaran yang nilainya di bawah 4,00. Sebaliknya, siswa yang mendapatkan nilai rata-rata 5,25 –sebut saja si B– karena secara kebetulan nilai setiap mata pelajaran 5,25 bisa meraih predikat lulus, memperoleh ijazah, dan berhak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kalau mau jujur, si A jelas lebih bermutu karena hanya memiliki kelemahan pada salah satu mata ujian dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuan pas-pasan yang merata di semua mata ujian. Pertanyaannya sekarang, generasi masa depan macam apakah yang diinginkan negeri ini. Generasi semacam si A yang berkemampuan menonjol di bidang tertentu atau generasi semacam si B yang berkemampuan pas-pasan secara merata di berbagai bidang? Jika generasi semacam si B yang dibutuhkan, lantas untuk apa program penjurusan di SMA/MA/SMK atau fakultas di perguruan tinggi? Sia-sia saja program “spesialisasi” itu diterapkan jika pada kenyataannya perbedaan kemampuan anak secara individual dikebiri dan tidak diapresiasi.

Jika generasi semacam si B yang lebih dibutuhkan, maka harus ada pemikiran ulang dalam menetapkan kriteria kelulusan siswa. Patokan yang digunakan bukan batas nilai minimal mata pelajaran, melainkan batas nilai minimal rata-rata untuk semua mata pelajaran yang diujikan, misalnya dengan mematok nilai rata-rata akhir 5,75. Dengan cara demikian, kelemahan siswa pada mata pelajaran tertentu bisa tertutup oleh keunggulan siswa pada mata pelajaran yang lain.

Sebelum makin banyak korban yang berjatuhan, alangkah bijaksananya apabila ada “kemauan politik” pemerintah untuk mengkaji ulang kriteria kelulusan sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 34 Tahun 2007. Langkah ini akan lebih banyak manfaatnya daripada membiarkan jutaan anak bangsa di negeri ini terampas masa depannya. Kriteria kelulusan dengan menggunakan nilai rata-rata akhir, pada hemat saya, lebih masuk akal dan memanusiakan peserta didik secara utuh. Kemampuan individual siswa diakui dan dihargai, sehingga anak-anak yang memiliki kemampuan di bidang tertentu tidak menjadi “kelinci percobaan” yang sia-sia akibat kebijakan yang belum teruji benar kesahihannya.

Yang perlu dipikirkan, harus ada penegakan hukum secara jelas dan tegas untuk mengantisipasi munculnya kecurangan dan manipulasi nilai yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pengawasan dan koreksi UN harus benar-benar dilakukan secara ketat, fair, jujur, adil, dan transparan. Mereka yang diduga terlibat dalam praktik kecurangan dan manipulasi nilai harus ditindak tegas, tanpa pandang bulu. Jika penegakan hukum dilakukan secara konsisten, bukan mustahil negeri ini akan memiliki sistem pelaksanaan UN yang benar-benar objektif dan akuntabel.

Yang tidak kalah penting, hargailah guru –yang kebetulan mendapatkan tugas sebagai pengawas– atau siapa pun yang ingin membongkar kecurangan-kecurangan tentang pelaksanaan UN. Jangan sampai kasus yang menimpa Kelompok Air Mata Guru dalam Ujian Nasional di Medan beberapa waktu yang lalu kembali terulang. Mereka justru harus mendapatkan perlindungan hukum karena telah membantu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, bukannya diintimidasi dan ditakut-takuti. Kriteria kelulusan meningkat bukan berarti harus bersikap permisif dengan membiarkan berbagai ulah kecurangan berlangsung di depan mata, bukan? Nah, bagaimana? ***

——————————–

Catatan:

Teman-teman guru yang membutuhkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) UN SMP dan Jadwal UN Tahun 2007/2008 bisa mengunduhnya di sini.

AddThis Social Bookmark Button

Comments

  1. Dee

    nyunggi klenthing isi kanji
    sing penting nomer siji

  2. Dee

    menurut saya, bolehlah UN dipakai sebagai second opinion, tapi jangan mutlak sebagai penentu kelulusan. biarlah kelulusan di tangan sekolah, dan biarlah publik yang menilai output sekolah yang bersangkutan. UN dipakai untuk evaluasi tentang ketidakmerataan kualitas pendidikan dan dipakai menentukan strategi depdiknas untuk menyamakan kualitas pendidikan secara nasional. maap, usulan ra mutu dari seseorang yang awam tentang pendidikan.

    (nyunggi klenthing isi susu
    ora penting tur ora mutu)

  3. Dee

    sing ora mutu, maksudnya komentarku lho pak saw, bukan tulisan sampeyan.

    nyunggi klenthing ditali jarik
    sing penting iso hetrik

  4. Suara ini agaknya mencoba mendobrak sisi gelap dari dunia pendidikan. bahwa ternyata masih ada banyak celah-celah pendidikan yang sangat potensial membawa problem. Alih-alih pemerintah mencoba mengeliminir, tapi justru memberikan beban pada insan pendiikan: guru-murid-orangtua dan tentu saja maysarakat.

    jadi gimana usulannya pak… untuk mengakkan supremasi hukum terkait dengan masalah kecurangan dalam ujian.

    Memang sih pragmatis pak, saat sekolahnya banyak murid tidak lulus, menjadikan nilai sekolah itu sendiri ambruk. malu kan pak… nah pragmatisme ini siapa dong yang membuka peluang… pemerintahahkah, murid-muridkah atau para gurunya….???

  5. Di-satu sisi memang UN ada nilai positif-nya juga lho Pak Guru. Sebagai ajang pen-seleksi-an anak bangsa yang di-harap-kan mampu ber-saing di era global. Meskipun di-satu sisi pada proses pelaksanaan-nya, ke-tidak merata-an proses pendidikan dan fasilitas yang bermutu dan sama di-semua tempat, men-jadi-kan UN ini jelas-jelas tidak bisa di-jadi-kan tolok ukur yang akurat.
    Jadi kalau menurut aku, mungkin akan lebih baik jika UN ini tetap di-ada-kan tapi di-kelompok-kan ber-dasar-kan satu atau dua bidang saja yang di-kuasai oleh tiap siswa-siswi. 😉

  6. @ Dee:
    Walah, di podium satu, pakai rengeng-rengeng parikan segala.
    Di podium 2 dah mulai serius nih. Ya, ya, memang sudah banyak yang mengusulkan agar UN bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan hanya sebagai alat standarisasi pendidikan sehingga akan terlihat mutu pendidikan di berbagai daerah yang hingga saat ini belum merata. Sekolah yang bermutu rendah itulah justru yang perlu dibantu sehingga mampu meningkatkan mutu.
    Di podium 3, rengeng2 lagi pakai parikan? Walah!

    * Tuku tape nyang pasar kliwon
    Mas Nude hetrix senenge guyon * 😆
    OK, salam.

    @ kurtubi:
    Itulah persoalan ruwet yang masih menghinggapi dunia pendidikan kita Mas Kurt. UN bukan lagi sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi tujuan, sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses. Menurut saya *halah sok tahu nih* kalau prosesnya bagus, hasilnya pun akan bagus. Sejak awal UN harus disepakati sebagai alat, bukan sebagai tujuan. OK, salam.

    @ extremusmilitis:
    Ya, ya, ada yang bilang bahwa UN memang masih diperlukan, Bung Militis. Dalam UU no. 20/2003 pun sudah ditegaskan bahwa yang berhak menilai siswa itu selain guru, juga sekolah dan pemerintah. Ini artinya, pemerintah pun berhak untuk menilai kompetensi siswa melalui UN. Namun, terus terang saja dengan adanya penambahan mapel UN, beban belajar siswa jadi bertambah. Lha wong 3 mapel aja, masih banyak yang belum bisa lulus 100% kok, :mrgreen: apalagi ini ditambah mapel lain. Yak, mudah2an saja para siswa didik benar2 dalam kondisi siap untuk menghadapinya. OK, salam.

  7. Saya kok nggak percaya ya Ujian-ujian semacam itu bisa meningkatkan kemampuan seorang anak. 12 tahun sekolah + 5 tahun kuliah, saya tidak pernah merasakan ‘manfaat’ dari ujian, karena belajarnya juga merasa terpaksa, tidak dari hati yang paling dalam, bukan karena saya ingin belajar…:)

  8. kayaknya para guru dan pemerintah perlu didudukan dalam satu ruang diskusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *