Korpri dan Neofeodalisme dalam Birokrasi

Pada 29 November 2007, Korpri genap berusia 36 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971 ini –warisan rezim Orde Baru– dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Dengan doktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, Korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan. Sungguh, bukan soal mudah mengakomodasi dan mengakumulasi beragam profesi dalam satu visi.

Meskipun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap.

imageskorpri.jpg Dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian disebutkan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (klausul Menimbang butir a). Untuk itu, diperlukan Pegawai Negeri yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (klausul Menimbang butir b) .

Makna dan nilai luhur yang tersirat dari ketentuan tersebut ialah bahwa dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya, seorang pegawai harus mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan bertanggung jawab kepada bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia, dilandasi semangat religius, dedikasi, dan loyalitas tinggi.

Tampaknya ketentuan tersebut belum sepenuhnya terinternalisasi secara intensif oleh segenap jajaran warga Korpri. Diakui atau tidak, masih ada keeenderungan pegawai kita yang bermental feodal dan elitis. Status priyayi yang diwariskan oleh kaum penjajah tampak belum benar-benar terkikis. Mereka bukannya mau melayani masyarakat dengan sikap yang baik dan tulus, melainkan malah minta dilayani ala “borjuis kecil”. Bahkan, di dalam Korpri ditengarai telah muncul fenomena neo-feodalisme dalam tatanan birokrasi. Para pegawai yang seharusnya menjadi abdi negara dan abdi masyarakat justru terkesan elitis dan eksklusif. Mereka dinilai makin jauh jaraknya dari masyarakat.

Yang memprihatinkan, tragedi penggusuran dan razia terhadap pedagang-pedagang kecil masih marak dan terus terjadi di berbagai kota. Bahkan, isu penilapan beras untuk rakyat miskin (raskin) atau bantuan untuk korban bencana sudah jadi rahasia umum yang terungkap di depan publik. Esensi utama sebagai abdi masyarakat belum terealisasikan dalam tataran praktek. Idiom-idiom miring, semacam pungutan liar (pungli), manipulasi dan mark-up anggaran, kolusi, korupsi, atau nepotisme masih sangat kental melekat dalam tubuh Korpri.

Keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu pelayanan di sektor publik yang ditandai dengan ruwetnya birokrasi dan masih sumirnya pemahaman budaya disiplin masih sering terdengar. Simaklah “somasi terselubung” yang gencar disuarakan oleh masyarakat luas lewat Surat Pembaca di berbagai media cetak. Kasus ganti rugi tanah yang dinilai tidak layak, belum optimalnya pelayanan hukum sehingga memicu munculnya rumor “mafia” peradilan, pengurusan sertifikat tanah yang berbelit-belit, atau lambannya pelayanan administrasi di kantor-kantor yang bersentuhan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat merupakan fenomena umum yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai. Dalam keadaan demikian, Korpri harus semakin mempertajam visi dan misinya dalam menegakkan disiplin pegawai, mengakarkan roh spiritual ke dalam nurani setiap pegawai, dan meningkatkan profesionalisme pegawai dalam upaya memberikan pelayanan publik yang bermutu dan berbobot.

Setidaknya, ada tiga agenda penting yang perlu dilakukan oleh Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan profesional pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan dan terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif, afektif, dan psikomotorik andal.

Kedua, mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu “pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat belajar secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan, untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya.

Ketiga, mempertinggi integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan setumpuk dosa dan penyimpangan moral.

Melahirkan pegawai yang tinggi integritas kepribadiannya jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Korpri di tengah-tengah semakin dahsyatnya pola hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis yang melanda kehidupan global saat ini. Dalam hal ini, Korpri harus lebih gencar lagi dalam mengakarkan kode etik “Panca Prasetya Korpri” kepada para pegawai, sehingga tidak terperangkap menjadi slogan moral yang kehilangan nilai spiritualnya. Kode etik tersebut harus mendarah daging dan bernaung-turba ke dalam nurani pegawai, tidak cukup sekadar dihafalkan tanpa penghayatan dan pengamalan.

Sisi lain yang penting dicermati adalah tak henti-hentinya “meniupkan” roh spiritualisme ke dalam dada warga Korpri. Dengan semangat spiritualisme yang terus memancar, warga Korpri akan semakin optimal mengemban tugas sehinngga tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan “konyol” yang bisa meruntuhkan namanya sebagai seorang abdi negara dan abdi masyarakat.

Dengan demikian, menjalani profesi sebagai pegawai negeri tidak semata-mata berupa pelepasan energi fisik untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada tugas tersebut juga melekat faktor spiritual. Selain menghasilkan sesuatu, mereka juga dapat mengekspresikan diri dalam melaksanakan tugasnya yang berfungsi sebagai simbol menjadi sebuah “kode” yang menunjuk nilai atau makna tertentu (Sartono Kartodirdjo, 1994:105).

Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, agaknya bisa menjadi resep mujarab dalam mencegah berjangkitnya “penyakit” moral. Dengan landasan spiritual yang tinggi, tanpa ada pengawasan melekat pun seorang pegawai tidak akan mudah tergiur dan tergoda untuk melakukan tindakan tercela, sebab setiap gerak-geriknya senantiasa merasa diawasi oleh Yang Maha melihat.

180px-arjuna-kl.jpg Agar bisa memberikan mutu pelayanan yang baik kepada publik, pengejawantahan nilai-nilai kepemimpinan luhur perlu menjadi sebuah keniscayaan bagi pegawai negeri. Agaknya, insan pegawai negeri, khususnya para pemimpin di jajaran birokrasi, bisa becermin dan sekaligus mengambil hikmah dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi. Ajaran ini mengandung delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia modern di tengah-tengah dahsyatnya gerusan nilai global yang gencar menawarkan gaya hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis.

Pertama, watak bumi (simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih). Kedua, watak matahari (mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan). Ketiga, watak bulan (mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama). Keempat, watak angin (bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras).

Kelima, watak samudra (mampu menampung keluhan, aspirasi, dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi). Keenam, watak air (bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semangat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama). Ketujuh, watak api (memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul). Dan kedelapan, watak bintang (tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela).

Agaknya, nilai-nilai dalam ajaran Asthabrata terkesan “perfeksionis” dan terlalu berlebihan diharapkan dari figur seorang pegawai negeri. Untuk bisa direalisasikan pada tataran praktik dibutuhkan perhatian serius dan kesadaran tinggi. Akan tetapi, jika komitmen dan tanggung jawab moralnya senantiasa ditujukan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara serta seluruh masyarakat, nilai-nilai luhur tersebut bukan mustahil akan menjadi entitas jatidiri warga Korpri yang pada gilirannya akan muncul sosok pegawai yang bervisi kerakyatan, kemanusiaan, kejujuran, dan tidak korup.

Di tengah-tengah arus globalisasi, visi dan misi yang mesti dipikul Korpri sebagai satu-satunya wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri memang tidak semakin ringan. Dalam kondisi demikian, Korpri mesti bersikap terbuka terhadap kritik sehingga tidak akan terjebak menjadi sebuah organisasi yang kaku dan tertutup.

Seiring dengan meningkatnya taraf hidup dan pendidikan masyarakat, Korpri juga semakin dituntut untuk mampu memberikan mutu pelayanan publik yang baik dan memuaskan. Hanya dengan cara demikian, kiprah Korpri akan semakin eksis, citra pegawai negeri akan terbangun, masyarakat pun akan semakin respek terhadap keberadaan Korpri dan pegawainya. Sebuah tantangan yang butuh dijawab oleh Korpri. Nah, dirgahayu Korpri! ***

AddThis Social Bookmark Button

No Comments

  1. @ qzink666:
    Yak, tepat sekali Bung Zarathustra *eh, maaf* Bung qzink666, maksud saya, hehehehe 😀 Hari Korpri tahun ini mudah2an bisa menjadi momentum yang tepat bagi insan pegawai untuk melakukan perubahan. OK, Bung qzink666, makasih.

    @ kangguru:
    Oh, begitu, yak, Kangguru! Bahkan, malah sering dipungut iuran, ya, hehehehe 😀 OK, makasih, Kangguru.

  2. Lha kalo kangguru yang notabene jadi anggotanya saja belum merasakan manfaatnya, terus kayak saya yang dudu sanak dudu kadang, kapan ya ketetesan manfaatnya?

  3. Dirgahayu Kopri, pak. Wah, delapan watak Begawan Kesawasidhi patut kita contohi.

    Moga ke depannya tidak ada lagi pegawai negeri yang kurang disiplin. Yang bekerja pada saat ada atasannya. Kemudian bermain kartu donimo atau bersantai ria ketika tidak ada yang mengawas.

  4. Kenapa jadi dua, Pak. Tolong Hapus satu yach…
    Tadi kasih koment terus cek kembali tidak ada. Sekali keluar dua, Pak. Maunya kembar kali, he he he. Walah, dasar gaptek saya ini, Pak. Maklumi aja yo…

    Salam.

  5. Mengapa orang kita seperti berebut menjadi PNS, bahkan konon sampai sanggup menyediakan uang ‘pelicin’ yang jumlahnya lebih dari cukup untuk memulai sebuah usaha sendiri yang berprospek?

    Rasanya bukan karena demikian menggebunya niat mereka untuk mengabdi kepada masyarakat.

    Aku membayangkan, suatu saat di negeri ini, menjadi PNS sama seperti profesi biasa lainnya, di mana reward hanya bagi mereka yang berkualitas, dan punishment buat mereka yang berotak culas.

    Kalau sekarang sih, masih lebih sering sebaliknya.

    Dengan segala hormat dan pengharapan, Dirgahayu KORPRI, jadilah lebih baik, plis…

  6. Ajaran Asthabrata, yaa benar-benar pewayng sejati nih… saya jadi inget guru SD saya yang ahli dan mahir bersilat lidah dan kaki menerangkan tentang filosofi ajaran2 Asthabrata… Duuh Guru memang digugu dan ditiru.. saya sih berharap semoga dengan berbagai fasilitas pemerintah, menaikkan gaji dan menghilangkan kesan Oemar Bakri tidak lagi ya kang. Kendal di sana-sana sini banyak, tapi kesejahteraaan di sana sini pun banyak. Disamping penghargaan secara materi maupun imateri… misalnya: saat ketemu pasti disenyumi oleh anak-anak muridnya. Duuh enaknyajadi guru.

    Hidup Korp Guru … 🙂

  7. oupsss jadi inget inget tadi siang waktu nolak orderan buat baju koprs pgri dari salah seorang yang saya kenal padahal bukan karna sok nasionalis mau menetang korupsi tapi cuma karna saya malas mengerjakan orderannya karna sedang produksi untuk kepentingan sendiri dan juga saya males berurusan dengan orang pelit yang mau menekan harga serendah2nya dan mengambil untung setinggi tingginya huhuhu
    berarti saya sedikit membantu negara ini yah mas dalam memerangi korupsi huhuhu walaupun sebenernya nggak sengaja hiihihihi.

    waktu itu saya sempat nanya ma dia pa nggak terlalu tinggi naikinnya segini? kan selisihnya jauh ni? belum lagi ongkos yang di keluarin guru2 dari pedesaan itu buat ngambil bajunya yang ke kota bisa hampir sama dengan modal yang kita keluarkan buat baju ini…..
    die dengan nyantenya bilang “alah…negara ini yang bayar” katanya sambil tertawa terbahak-bahak
    waktu itu saya juga tertawa terbahak bahak secara saya kan penjilat kalo udah ama klien hihihihihi
    akhirnya dengan modal belagak nelpon berkali-kali saya kemukakan alasan nggak ada stock bahan dan saya berhasil menolak orderan tersebut hihihihi

    kasihan guru yang selalu tertindas….
    salut buat guru yang masih mau menjadi pahlawan tanpa tanda jasa
    selamat ulang tahun

  8. Momentum hari Korpri bisa dijadikan sebagai awal perubahan. Semoga tidak ada sebutan ” Bataliyon 703″ artinya datang jam tujuh, hasil kerja nol, pulang jam 3

  9. Sampai saat ini saya merasakan tak ada manfaatnya Korpri bagi pegawai negeri. Saya juga tidak tahu apa kerjanya korpri selama ini. Mudah-mudahan saya salah. Saya ingat dulu waktu kerja di daerah Sudirman Jakarta, PNS kalau pake baju korpri di kantor, kalau dipake di luar malu euy..

  10. Pertanyaan saya dari dulu tentang korpri, sipilkah atau militerkah? terus terang bingung jadinya, semenjak SD dulu, yang namanya korps sudah ditanamkan di kepala saya adalah milik militer, seperti korps marinir, korps kopassus de el el.

    Pertanyaan saya, *dengan asumsi kalo korps benar milik militer* kenapa sih sipil dimiliterkan pula? *halah*

    pun pak sawali, kulo mboten mangertos bab meniko! monggo njenengan ingkang paring ilmu! kulo tenggo!

  11. Mas Ut, kalo PNS masuk jam 7 pulang jam 3 ya bagus lah (biar pun kerjanya nol). Yang sering terjadi khan dalam jam kerja banyak yang klayaban. Ada juga yang nyambi kerjaan lain. Jadi dapat gaji bulanan sebagai PNS tapi juga punya penghasilan lain.

  12. @ Hanna:
    Makasih, Mbak Hanna. Petuah luhur dari sang begawan agaknya memang layak diteladani. Mudah2an makin banyak pemimpin birokrasi di Korpri yang mampu mengejawantahkannya dalam praktik birokrasi kita.
    *Saya juga sering megalami hal yang sama, kok, Mbak, bukan karena gaptek lhoh, hehehehe 😀 *

    @ Toga:
    Nah, menurut hemat saya hal itu juga yang membikin birokrasi di negeri ini ruwet dan bertele-tele. Bang Toga. Kalau rekruitmennya dah main suap, gimana jadinya kelak kalau jadi pejabat. Bisa jadi akan menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modalnya, kan :mrgreen: Yak, kita harapkan KORPRI bisa lebih bersih dan berwibawa.

    @ kurtubi:
    Walah, ajaran Asthabrata agaknya memang tidak mudah diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, tapi bukan berarti tidak bisa, Mas Kurt. Inti ajarannya mengajak para pemimpin untuk bisa menjadi pribadi yang bersih dan layak diteladani bawahannya.

    @ bedh:
    Betul sekali, Mas bedh. Seringkali orderan macam gitu hanya menguntungkan secara sepihak. Ujung2nya para anggota yang kena. Saya salut nih sama Mas bedh yang telah berani menolaknya.

    @ mas ut:
    Wahm dapat tambahan idiom baru nih dari Pak Ut: ” Bataliyon 703″ artinya datang jam tujuh, hasil kerja nol, pulang jam 3. Birokrasi model apaan, ya, pak, kok kerja lama tapi nggak ada hasilnya. Wah, perlu diperhatikan secara serius oleh para pengambil kebijakan nih, Pak.

    @ danalingga:
    Yak, terima kasih Mas Dana, semoga para anggota Korpri makin sejahtera 😆

    @ doeytea:
    Walah, seperti keresahan Kangguru, Pak Dudi. Mudah2an saja kesejahteraan anggota Korpri bisa meningkat seiring dengan perbaikan kinerjanya. Selain itu, untuk meningkatkan citra Korpri sehingga tidak malu lagi ketika memakai seragam Korpri di tengah keramaian, hehehehe 😆

    @ goop:
    Terima kasih banget Mas Goop. yak, mudah2an makin banyak pemimpin birokrasi yang mau menerapkan ajaran sang begawan.

    @ gempur:
    Walah, pertanyaan yang untuk dijawab nih, Pak Gempur. Menurut kamus sih, korps itu berarti himpunan orang (badan, organisasi) yg merupakan satu kesatuan. Jai, korps mestinya tidak hanya dipakai dalam dunia kemiliteran saja. Bisa jadi, istilah itu sudah mengalami penyempitan makna kali, yah, akibat militerisme yang selama rezim Orba berkuasa, menjadi sebuah kekuatan “penjinak” masyarakat sipil.

    @ marsitol:
    Ya, ya, ya, betul seklai Mas Marsitol. Mauk jam 7 hasil kerja 0 pulang jam 3, bisa jadi karena waktunya lebih banyak digunakan untuk ngobrol atau main game, hehehehe :mrgreen: Korpri memang telah berubah seragamnya. Idealnya juga diikuti perubahan paradigma bagaimana agar mereka mampu memberikan pelayanan publik secara baik dan memuaskan.

    @ caplang™:
    Walah, sudah saya cheklist, Bung Caplang! Silakan, mangga!

    @ abee:
    Yak, doa Mas Abee mudah2an terkabul. Terima kasih.

    @ suandana:
    Walah, yang penting bukan ingat hari ulang tahun atau seragamnya, kok, Pak. Tapi semangat dan kinerjanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. *Halah sok tahu, yak!*

  13. @ imam:
    Hehehehe 😀 Agar bisa disiplin mesti pakai sanksi dan pengawasan, ya, Pak? Wah, agaknya untuk mendisplinkan para anggota Korpri masih harus pakai cara seperti itu, ya, Pak.

    @ almascatie:
    Walah, “penyakit” feodalisme sudah sampai sejauh itu, ya, Mas Almas. Moga2 ndak ditiru anak cucu.

    @ liezmaya:
    Walah, Mbak Maya kayaknya lagi sibuk nih, sampai nggak sempat mbaca. Tapi makasih lho Mbak dah mampir.

  14. Yah begitulah Pak Sawali…. walaupun memang birokrasi itu diperlukan namun birokrasi yang berlebihan dan membingungkan hingga merugikan sungguh merusak perekonomian suatu negara. Hal itu ditambah pula dengan aturan main yang tidak jelas! Klop sudah!
    Memang banyak pegawai negeri sekarang terutama mereka2 yg menyelanggarakan dan melaksanakan birokrasi tidak berniat untuk menjadi ‘abdi masyarakat’, mereka hanya mencari kekayaan dan menikmati kekuasaan di jalur birokrasi. Sungguh ironis, birokrasi yg tadinya bertujuan untuk memperjelas aturan main, di negeri ini malah menjadi salah satu sumber kekacauan bagi perekonomian terutama!

  15. @ panda :
    Hahhahaha 😀 Ya, ya, ya, benar Bung Pandapotan, PNS baca postingan ini, nggak, ya? Nggak tahulah! Yang penting nulis aja, dibaca orang apa nggak, nggak peduli, hehehehe 😆

    @ Yari NK:
    Walah, sampai sejauh itu, yak, Bung Yari, kekacauan birokrasi di negeri ini. Birokrasi bukan lagi menjadi sarana untuk me-manage dengan baik, tetapi justru sering menjadi tujuan itu sendiri. Walah2x. Repot juga ya Bung. Dampaknya berpengaruh juga terhadap perekonomian, khususnya. Ya, ya, ya!

  16. Setiap hari, ibu saya berangkat jam 8 pagi lebih sedikit terus pulang jam 11.45. Dapat tunjangan itu-ini. Sampe rumah masih bisa praktek. Dapet kendaraan dinas. Ya dengan make baju korpri ini. Enak tenan 😀

  17. @ ardians :
    Walah, ueeenak betul tuh, Mas Ardians. Kalau dihitung cuma berapa jam kerjanya per hari? Hehehehe :mrgreen: Dapat kendaraan dinas lagi. Waduh, mungkin hal itu yang mengilhami banyak orang untuk jadi PNS 😆

  18. Baru tiga hari gak bertandang ke sini sudah ketinggalan 3 postingan. Benar2 produktif nih pak Sawali … 😀

    Saya gak korpri, tapi kayaknya memang gak optimal ya produktivitas korpri kita, kedisiplinan juga kurang…

    Menurut saya sistem kontrol pegawai kita (korpri) juga bermasalah…
    Eh, apa iya ya ?

  19. @ Herianto :
    Saya kira Pak Heri nggak salah. Kinerja para PNS agaknya memang perlu ada perubahan mendasar, termasuk proses rekruitmennya. Itu dah jadi rahasia umum, Pak.
    BTW, ya hanya tulisan begini doang, Pak Her.

    @ tobadreams :
    Hehehehehe 😆 Bang Toba biasa aja nih, hehehehe 😀 OK, salam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *