Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi.
Saya kira tak ada seorang pun yang bisa membantah bahwa guru memiliki peran yang amat vital dalam proses pembelajaran di kelas. Gurulah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, gurulah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan hakiki.
Ketika sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru akan menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata siswa didiknya. Mulai model potongan rambut, busana yang dikenakan, hingga sepatu yang dipakai akan ditelanjangi habis oleh murid-muridnya. Belum lagi bagaimana gaya bicara sang guru, caranya berjalan, atau kedisiplinannya dalam mengajar. Di mata sang murid, guru seolah-olah diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela. Itu juga makna yang tersirat dalam akronim “digugu lan ditiru” (dipercaya dan diteladani). Tidak heran kalau banyak kalangan yang berpendapat bahwa maraknya tindakan premanisme, korupsi, manipulasi, penyalahgunaan jabatan, pengingkaran makna sumpah pejabat, jual-beli ijazah, dan semacamnya, gurulah yang pertama kali dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap maraknya berbagai ulah anomali sosial semacam itu.
Harus diakui tugas guru memang berat. Mereka tidak hanya dituntut untuk melakukan aksi “lahiriah” dalam bentuk kegiatan mengajar, tetapi juga harus melakukan aksi “batiniah”, yakni mendidik; mewariskan, mengabadikan, dan menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada siswa didik. Ini jelas tugas dan amanat yang amat berat ketika nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah demikian jauh merasuk dalam dimensi peradaban yang chaos dan kacau.
Ketika guru menyatakan bahwa korupsi itu haram dan melawan hukum, tetapi apa yang dilihat oleh anak-anak dalam praktik kehidupan sehari-hari? Ya, mereka bisa dengan mudah menyaksikan dengan mata telanjang betapa nikmatnya hidup menjadi koruptor. Hukum menjadi tak berdaya untuk menjerat mereka. Bahkan, mereka bisa bebas melenggang pamer kekayaan di tengah-tengah jutaan rakyat yang menderita dan terlunta-lunta akibat kemiskinan yang menggorok lehernya. Ironisnya, tidak sedikit koruptor yang justru merasa bangga ketika mereka bisa mempermainkan hukum. Jika keadaan mendesak, mereka bisa pasang jurus “sakit pura-pura”. (Kalau sakit beneran baru tahu rasa, hehehehe )
Ketika guru mengajak anak-anak untuk melestarikan dan mencintai lingkungan hidup, apa yang mereka saksikan? Ya, para pembalak dan preman-preman hutan ternyata juga setali tiga uang. Hukum seolah-olah telah lumpuh dan tak sanggup menjamah mereka. Jelas-jelas sebuah kondisi yang amat bertentangan secara diametral. Nilai-nilai luhur hakiki yang disemaikan di sekolah benar-benar harus berhadapan dengan berbagai “penyakit sosial” yang telah bersimaharajalela di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Lantas, bagaimana? Haruskah guru ikut-ikutan bersikap permisif dan membiarkan anak-anak larut dalam imaji amoral dan anomali sosial seperti yang mereka saksikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat? Haruskah gambaran tentang citra koruptor dan pembalak hutan yang hidup bebas dan lolos dari jeratan hukum itu kita biarkan terus berkembang dalam imajinasi anak-anak bangsa negeri ini? Gampangnya kata, haruskah anak-anak kita biarkan bermimpi dan bercita-cita menjadi koruptor dan pembalak hutan?
Tunggu dulu! Kalau proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya; guru cenderung bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah, upaya penyemaian nilai-nilai luhur hakiki saya kira akan sulit berlangsung dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi, kalau anak-anak hanya diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog dan berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur kepada siswa didik hanya tinggal menunggu waktu. Dalam konteks demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk mendesain proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas. KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran.
(Rekan-rekan sejawat guru yang memerlukan berbagai model inovasi pembelajaran bisa men-download-nya di blog sawali’s site. Gratis!!!)
Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer kelas tidak terpasung dalam suasana yang kaku dan monoton. Para siswa didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi, berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi konsep dan kaidah-kaidah keilmuan sendiri, bukan dengan cara dicekoki atau diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan untuk berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Tentu saja, secara demokratis, tanpa melupakan kaidah-kaidah keilmuan, sang guru perlu memberikan penguatan-penguatan sehingga tidak terjadi salah konsep yang akan berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Melalui suasana pembelajaran yang kondusif dengan memberikan kesempatan kepada siswa didik untuk bebas berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan cara demikian, tugas guru sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik diharapkan bisa terimplementasikan dengan baik. Meskipun korupsi, manipulasi, dan berbagai jenis “penyakit sosial” menyebar dan meruyak di tengah-tengah kehidupan masyarakat, melalui proses rekonstruksi konsep yang dibangunnya, anak-anak bangsa negeri ini mudah-mudahan memiliki benteng moral yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk melakukan tindakan culas yang merugikan bangsa dan negara. Nah, bagaimana? ***
Wah… ini lagi2 persoalannya seperti lingkaran setan ya pak Sawali? Nilai Luhur harus ditanamkan bersama antara guru dan orang tua murid agar proses penanaman nilai luhur tersebut dapat terjadi secara berkesinambungan. Masalahnya kalau banyak orang tua yang ‘kurang mendukung’ kebijakan guru2 untuk menanamkan nilai-nilai luhur pada anak didiknya, maka boleh dikata bahwa usaha para guru akan menjadi sia-sia. Tetapi tidak ada salahnya bagi para guru untuk mulai menanamkan nilai-nilai luhur pada anak didiknya dengan cara yang inovatif, mudah-mudahan kelak para anak didik yang kini ditanamkan nilai2 luhur oleh para guru, akan menjadi orang2 tua yang bijak dan akan menanamkan nilai2 luhur pada anak2 mereka di rumah, kelak.
Btw, pertamaaaaaaaax ya?
Saya sangat setuju, jika kelas adalah sebuah masyarakat mini… bukan memenjarakan atau mungkin memasung, apa mungkin ini ya, penyebab mereka yang membolos?? Ato mungkin karena murid hanya merasa sebagai keranjang sampah?? Lagi-lagi Ohm Sawal, membuka sebuah pintu kesadaran baru, Terima Kasih Pak
@ Yari NK:
Tepat sekali bUng Yari. Saat ini dunia pendidikan menghadapi tantangan besar, terutama dalam upaya menanamkan nilai2 luhur kepada siswa didik, karena banyak nilai yang sering berbenturan dengan kenyataan2 pahit yang terjadi di tengah2 kehidupan masyarakat. Makan dari itu, perlu keterlibatan orang tua dalam penanaman nilai2 luhur itu. Tidak hanya diserahkan sepenuhnya kepada para guru di sekolah. Para guru pun perlu berubah paradigmanya. Penggunaan metode pembelajaran harus mampu melibatkan partisipasi murid dalam kegiatan di sekolah. OK, Bung Yari, makasih, salam hangat.
@ goop:
Terima kasih Mas Goop, yak, atas apresiasinya. Kalau siswa semata-mata jadi objek dan mereka diperlakukan seperti keranjang sampah, wah, risikonya bisa fatal, Mas Goop. Suasana kelas jadi seperti bilik penjara yang sumpek. Nah, apa yang terjadi selepas mereka dari “penjara” sekolah? Wah, macem2lah. ada yang tawuran, pesta pil setan, seks bebas, dll. Saya kira itu merupakan imbas dari tidak nyamannya para murid belajar di kelas yang tersetting dalam suasana yang kaku dan menegangkan
OK, Mas Goop, trims dan salam hangat.
Postingan bagus nih, pak. Tugas seorang guru memang berat. Bukan hanya mengajar dan mendidik tapi juga harus membimbing muridnya bagaimana bermasyarakat. Saya selalu salut dan menghormati seorang guru. Sungguh mulia. Sangat tidak adil rasanya kalau pratik korupsi, atau hal-hal buruk yang terjadi, guru yang disalahkan. Kesadaran dari diri murid itu sendiri, bimbingan orang tua di rumah dan lingkungan juga sangat berperanan penting.
bener kata uncle goop, fostinganna membuad saia melek akan sebuah masalah yang menimfa dunia fendidikan kita. ah ya, tafi kalo guru style na kaku, malah murid-muridna jadi gimmannaa gittu…
tafi konsep inovasi fembelajaranna bagus ko’ pak! smangadh yak!
Pak,begitu besarnya peran guru dalam mencerdaskan bangsa, pernah saya simpulkan bahwa sistim pendidikan dan kurikulum jenis apapun namanya hanya sebagai pemain figuran saja.Bahkan pernah terlintas di benak saya bahwa belajar di gedung sekolah,rumah,gubuk sekalipun sama saja,yang terpenting adalah kualitas guru dan ketekunannya dalam mengajar.
Tentang erosi moral yang terjadi dalam masyarakat kita saya berpendapat seorang guru bertanggungjawab untuk memperbaikinya dengan cara menyuntikkan energi2 positip secara rutin dan sistimatis.Jika 10 dari 100 anak yang mendengar bertingkah laku sopan,jujur dan penuh kasih,bukankah itu sudah satu keberhasilan?
Yang sangat penting seorang guru harus selalu memberi teladan kepada murid2nya,perkara akan ditiru atau tidak itu urusan belakang.Just do it! ( bukan Just Duit, he5)
tapi pak, guru itu juga perlu belajar apa itu inovasi, gimana memunculkannya, bagaimana melanjutkannya, dan seterusnya.
nah inovasi itu kalo saya melihatnya itu masih kurang, hanya beberapa dari mereka saja yang bisa mengerti arti inovasi.
Ketika semua guru tau makna secara lahiriah dan batiniahnya sebuah inovasi, InsyaAllah sebuah pendidikan bagaimanapun caranya bisa berhasil.
@ Hanna: Terima kasih Mbak Hanna atas dukungan moralnya terhadap profesi guru. Memang benar Mbak, tugas guru saat ini banyak tantangannya. Oleh karena itu, saya setuju dengan pendapat Mbak Hanna, lingkungan keluarga dan masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam upaya menanamkan nilai2 luhur kepada anak. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bersinergi dalam membangun masa depan anak2 bangsa. OK, salam hangat.
@ hoek: Ya begitulah Mas Hoek. Agaknya sudah bukan zamannya lagi guru bersikap otoriter. Sikap demokratis yang sangat menghargai siswa didik juga perlu dibangun. Dengan cara demikian, suasana kelas tidak terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan menegangkan. Ok, gitu, yak, Mas Hoek. Salam hangat.
@ Yung Mau Lim: Tepat sekali, Mas Lim, kalau boleh memanggilnya demikian, hehehehe 😀 sebagus apa pun konsep kurikulum dan semegah apa pun gedung sekolahnya, peran guru tetap nomor satu.
“Tentang erosi moral yang terjadi dalam masyarakat kita saya berpendapat seorang guru bertanggungjawab untuk memperbaikinya dengan cara menyuntikkan energi2 positip secara rutin dan sistimatis.” Wah, pendapat yang bagus dan mencerahkan ini, mas, saya sangat setuju itu. Ya, mudah2an saja para guru tidak kehilangan semangat dalam menjalankan tugasnya selaku pendidik di tengah gerusan moral yang demikian kompleks dan dahsyat menyerbu sendi2 kehidupan. OK, Mas Lim, terima kasih dan salam hangat.
@ aRuL: Betul sekali Mas aRul. Inovasi pembelajaran sudah saatnya terus dilakukan, tidak hanya sekadar teori, tetapi justru harus sudah memasuki pada tataran praktik. Dunia pendidikan di negeri ini akan maju apabila banyak guru yang kreatif dan inovatif dalam mengelola proses pembelajaran sehingga suasana kelas menjadi menarik dan menyenangkan. OK, Makasih Mas aRul, salam hangat.
Sip postingan-nya Pak Guru, jadi inget waktu masih sekolah dulu, apalagi aku kan anak Guru juga 😉
Kalau aku melihat dari perspektif yang kalau menurut opini-ku:
Menjadi seorang Guru berarti, siap menerima tanggung jawab lahir dan batin, tidak hanya di sekolah, tapi juga di lingkungan sosial masyarakat, dan itu tidak mudah!!!. Maka-nya aku pribadi sering merasa jengah ketika melihat banyak orang menyalah-kan para Guru untuk semua keburukan dari anak-anak-nya tanpa pernah peduli lingkungan si anak dalam keluarga, yang bisa saja ternyata menjadi penyebab ke-hancuran moral anak dan ketidak-peduli-an sang anak terhadap pendidikan
Meskipun juga, yang membuat aku sedih, sering sekali aku melihat kalau ternyata para murid itu masuk ke dalam kelas, bukan karena keinginan tetapi lebih ke ke-terpaksa-an karena ke-takut-an mereka akan profil sang Guru. Belum lagi ke-monoton-an metode pengajaran yang sering terjadi. Dan apalagi kalau ternyata, sang Guru sendiri-pun tidak bisa menerap-kan sejalan dengan apa yang diajar-kan-nya.
Jadi, selain dari inovasi metode pengajaran yang pak Guru saran-kan yang aku sangat setuju dengan itu, sebaik-nya juga hubungan komunikasi yang baik antara Guru, Murid, Keluarga, harus di perbaiki. Karena sebaik apapun inovasi tersebut kalau tidak didukung hubungan komunikasi yang baik, tidak akan pernah berjalan dengan semesti-nya
Bukan begitu pak Guru? 😉
Nice post! *langsung kangen zaman SMA di mana 3 tahun jadi kelinci percobaan gonta-ganti kurikulum*
Menurut saya memang benar, dalam menanamkan nilai luhur, yang terpenting adalah sinkronisasi positif antara guru dan murid.
@ extremusmilitis:
*Oh, terkenang masa2 remaja dulu, ya, Bung, hehehe 😀 Remaja memang masa yang indah untuk dikenang, gitu katanya*
Wah, saya sangat setuju dengan pendapat Bung Militis, guru memang harus benar-benar memiliki dunia panggilan sehingga siap menjalankan tugas lahir batin dalam keadaan apa pun. Sementara itu godaan di luar sangat kompleks yang jelas2 sangat memengaruhi bagaimana perilaku anak. Oleh karena itu, seperti yang Bung katakan, guru harus memilili metode dan strategi yang tepat utk menanamkan nilai2 luhur kepada anak agar tidak salah arah. Kalau guru tidak lagi menghargai siswa bahkan cenderung bersikap otoriter, wibawa guru hanya ada di depan siswa. Setelah guru pergi hilang sudah kewibawaannya. Saya kira langkah yang terbaik memang harus ada sinergi antara orang tua, guru, dan tokoh2 masyarakat agar anak bangsa negeri ini tidak salah urus. Wah, pendapat Bung Militis makin memperkaya khazanah pemikiran dalam dunia pendidikan kita. OK, Bung, salam militis.
@ rozenesia:
*Kok sama seperti Bung Militis, Mbak. Sama2 nostalgia waktu SMA.* Iya, betul sekali Mbak Roze. Harus ada sinkronisasi positif antara guru dan murid. kalau bertolak belakang, wah jelas bisa berabe tuh, Mbak. Guru ngomong begini, tapi muridnya berperilaku begitu. Susah jadinya. OK, Mbak, mudah2an saja semua komponen yang terlibat dalam dunia pendidikan menyadari bahwa moralitas anak2 bangsa negeri ini harus segera diselamatkan sebelum dampak yang lebih fatal akan menimpa. Bukankah anak2 bangsa yang kini tengah menuntut ilmu kelak akan menjadi pemimpin masa depan. OK, Mbak Roze, makasih, ya, salam hangat.
*ngakak rozenesia disangka cewek hahahaha*
Hahaha 😀 jadi Mbak Roze itu laki2 toh! Waktu aku blogwalking dan baca about me-nya, aku jadi bingung nih, Mas Arul. Lha panggil saja yang gampang dan dekat dengan namanya yang cenderung feminim, hehehe 😀
Mbak, eh, Mas Roze, *diketawain Mas aRul, nih* mohon maaf ya kalau selama ini saya selalu salah sapa
Tambahan lagi avatarnya itu, lho!
saya kebetulan masih SMA pak .KTSP memang udah ada dan udah dilaksanakan , tapi pada prakteknya kok sama aja pak kaya yang dulu – dulu . kami-kami ini masih kebanyakan ndomblong .hehehe….
Inovasi sperti ini memang diperlukkan . postingan yang bagus pak .
oia , saya ngurus mading di sekolah . kalau postingan2 seprti ini saya minta ijin untuk saya copy boleh gak ? ntar tak pasang gitu. . .
Oh, SMA dah ngeblog, salut betul nih, Mas Bachtiar. Mudah2an jejak sampeyan diikuti oleh teman2 yang lain. Ngeblog manfaatnya luar biasa ketimbang tawuran, kan, hehehe 😀
Sebenarnya untuk KTSP Kurikulum 1994 dah jauh perbedaannya, Mas. Beban belajar dan materi sudah dirampingkan sehingga memberikan keleluasaan bagi guru untuk memacu kompetensi siswa hingga tuntas betul. Teorinya begitu. Kalau sekarang belum tampak perbedaannya, kali aja karena belum lama diterapkan.
OK, salam ngeblog, asal jangan lupa belajarnya. Biar jadi orang hebat, jadi pejabat, hehehehe 😀
Numpang OOT`
Hush…
Nggak apa, pak. Saya enjoy aja. 😛
Avatar yang sekarang ini emang foto saya, pak. 😛
cuma kenapa bibirnya pink kayak cewek? Saya warnain di photoshop.
Saya sih lulusan 2007.
Beda sama mas extremusmilitis yang udah bangkotan. 😛
*dimutilasi*
@ rozenesia:
OK, makasih infonya, Mas Roze. Inilah asyiknya ngeblog di WP. Bisa curhat dan diskusi serius tapi enjoy, hahaha 😀 OK, sekali lagi makasih dan salam hangat.
Makasih juga juga kepada Mas aRul.
Salut untuk pak Sawali, dengan profesi gurunya.
tapi terus terang pak, kalo semua tanggung jawab untuk “meluruskan” anak bangsa dibebankan pada guru, ya jelas tidak mungkin.
Lah sekolah kan paling hanya beberapa jam saj pak, paling lama sekitar 7 jam, setelah itu yah mereka kembali kekeluarganya, kalau keluarganya tetep tidak peduli, ya sis-sialah pekerjaan pak guru…
@ hoeda:
Tepat sekali, kawan. Makanya perlu ada sinergi *halah sok tahu* antara pendidikan yang berlangsung di lingkungan sekolahm keluarga, dan masyarakat. Kalau penanaman nilai2 luhur hanya dilakukan oleh guru, wah, jadi serba rumit dan kompelks jadinya. Pendidikan keluarga dan masyarakat harus bersama-sama menanamkan nilai2 luhur hakiki kepada anak2 bangsa. OK, salam.
Ass. Saya baru saja mengikuti Lomba Inovasi Media Pembelajaran yang diselenggarakan oleh LPMP Jawa Barat dan alhamdulillah karya yang saya bawakan mendapat predikat juara 1 untuk jenjang SMP. Sepengetahuan saya karya media/alat peraga yang saya temukan belum pernah dipublikasikan oleh pihak-pihak lain. Jika Pak Sawali mengijinkan saya ingin berbagi melalui blog ini, barangkali bisa bermanfaat bagi rekan-rekan guru, siswa dan penggemar matematika. Saya menunggu kabar selanjutnya dari bapa, terimakasih.
Wa’alaikum salam,
Sebelumnya saya mengucapkan selamat atas keberhasilan Bapak berhasil meraih Juara I Lomba inovasi pembelajaran yang diselenggarakan oleh LPMP Jawa Barat. Wah, seneng sekali kalau Bapak berkenan berbagi dan sharing ilmu kepada sesama. Kebetulah di blog saya: http://sawali.info/ saya menyediakan halaman khusus untuk mengunduh file-file yang bisa dimanfaatkan oleh teman2 guru. Kalau sempat, Bapak bisa mengunjunginya di blog saya itu. Sekaligus kalau Bapak juga berkenan, silakan Bapak mengirimkan file inovasi pembelajaran yang berhasil meraih juara I itu lewat email saya. Lewat attachment saja Pak biar nggak repot.
Terima kasih sebelumnya, Pak.
Salam hangat dan hidup Guru Indonesia,
beruntung sekali saya bisa menemukan tulisan Bapak.kebetulan saya sedang mencari informasi terbaru terkait inovasi pembelajaran khususnya tingkat SD untuk memenuhi salah satu tugas kuliah saya. mohon bantuan dan infonya ya Pak Sawali. trm ksh sblmny
good. banget tulisannya!!
buat tugas matakuliah kurikulum pembelajaran ^^
Bapak Sawali yang baik saya bu guru TK adakah karya/makalah bapak tentang Inovasi Pembelajaran di TK? trimakasih.