Mengapa Pamor Guru Meredup?

Sinyalemen tentang meredupnya pamor guru sebenarnya sudah lama terdengar, bahkan gaungnya masih sering menggema hingga sekarang. Sosok guru menjadi objek yang gampang mengundang perhatian, tanggapan, dan penilaian tersendiri dari berbagai kalangan. Hal ini sangatlah beralasan, sebab gurulah yang berada di garda depan dalam “barikade” pendidikan sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, dan pendidik yang langsung bersentuhan dan bergaul dengan peserta didik sehari-hari di sekolah. Gurulah yang dinilai sangat dominan dalam mewarnai “kanvas” pendidikan. Tidaklah berlebihan jika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam gerak dan dinamika pendidikan, orang beramai-ramai menuding guru sebagai biangnya.

Keberadaan guru kalau boleh ditamsilkan seperti lampu bangjo. Kehadirannya sangat penting dan amat dibutuhkan untuk memperlancar arus lalu lintas. Ketika guru mampu menjalankan tugasnya dengan baik, profesional, penuh dedikasi, disiplin, kreatif, inovatif, wibawa, dan mumpuni di bidangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, bahkan menjadi sebuah keniscayaan. Ya, memang seharusnya dalam menjalankan tugas-tugas profesinya, guru harus memiliki landasan idealisme semacam itu. Lampu bangjo pun akan diperlakukan seperti itu. Tak seorang pun pengendara yang akan berteriak-teriak ketika lampu bangjo berfungsi dengan baik. Namun, ketika sang guru melakukan penyimpangan dan kesalahan sedikit saja, hal itu dianggap sebagai noda dan “dosa” tak terampuni. Gugatan dan hujatan pun terus mengalir (nyaris) tanpa henti. Hampir sama dengan para pengendara yang berteriak-teriak, bahkan mungkin mengumpat, ketika lampu bangjo mati.

Secara jujur memang harus diakui, apresiasi masyarakat terhadap profesi guru pun mulai berkurang. Pamor guru makin meredup di tengah atmosfer peradaban yang gila dan kacau. Gurulah yang harus menanggung beban ketika mutu pendidikan merosot, meruyaknya perkelahian antarpelajar, merajalelanya dekadensi moral dan involusi budaya, atau kian keringnya aplikasi nilai-nilai kesalehan hidup di atas panggung kehidupan sosial.

images-guru.jpgPersoalannya sekarang, mengapa pamor guru meredup? Mengapa sosok yang selalu disanjung puji dan dielu-elukan lewat lirik “Hymne Guru” –yang benar diciptakan oleh Sartono atau T. Prawit, ya? Mungkin pakar “telematika” kita siap untuk membuktikan “kesaktian”-nya lagi? :mrgreen: –bagaikan “pelita dalam kegelapan” itu seakan-akan sudah tak berdaya lagi menghadapi arus budaya global yang demikian dahsyat menggerus nilai-nilai luhur hakiki? Mengapa guru tidak lagi menjadi profesi yang membanggakan, bahkan konon guru hanya tinggal menunggu saat-saat kematiannya? Bisa jadi masih ada setumpuk tanda tanya yang bisa ditimbun untuk mempertanyakan keberadaan guru yang makin tersisih oleh dinamika dan hiruk-pikuk zaman.

tawuran-pelajar.jpgBanyak fakta yang bisa diungkap untuk menggambarkan bahwa saat ini profesi guru benar-benar tengah mengalami degradasi nilai yang cukup serius. Kasus guru disatroni muridnya saat pembagian rapor atau pengumuman kelulusan, stigma guru sebagai pembual dan penjual kecap di kelas, atau kasus guru nyambi yang menelantarkan murid-muridnya, merupakan deret keprihatinan yang layak direnungkan dan dicari penyebabnya, sehingga bisa ditemukan solusinya. Jika kondisi semacam itu terus dibiarkan, jelas sangat tidak menguntungkan bagi citra dan kredibilitas guru sebagai figur yang dijuluki sebagai “pahlawan butuh tanpa tanda jasa” itu.

Dalam penafsiran awam saya –yang kebetulan berprofesi sebagai guru *halah, masak jeruk makan jeruk, hehehehe 😀 * — ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab meredupnya pamor guru. Pertama, terjadinya pergeseran nilai, etika, moral, dan budaya akibat kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang melanda masyarakat kita. Tayangan film yang mengintrodusir adegan-adegan kekerasan, brutal, sadis, dan berbau porno, baik melalui tayangan TV maupun media hiburan yang lain, setidak-tidaknya telah ikut memicu munculnya sikap agresif, sadis, dan brutal, kering dari sentuhan nilai kemanusiaan dan kearifan dalam kepribadian pelajar kita. Imbasnya, mereka tidak peduli lagi batas-batas kesopanan, kesusilaan, dan tata krama, sehingga berakibat pada menurunnya rasa hormat terhadap guru mereka sendiri.

tawuran2.jpgKedua, mulai tumbuhnya sikap permisif (serba boleh) di sebagian besar masyarakat kita terhadap segala macam bentuk perilaku kejahatan, amoral, dan anomali sosial. Kasus-kasus semacam penodongan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, manipulasi, dan “antek-antek”-nya dinilai sebagai kasus yang wajar terjadi di tengah peradaban gila dan kacau ini. Akibatnya, masyarakat yang diharapkan dapat menjadi kekuatan kontrol terhadap segala perilaku menyimpang menjadi lemah. Masyarakat hanya sekadar melimpahkan tanggung jawabnya kepada pihak yang berwenang saja. Demikian juga masyakarat kita dalam memandang perilaku menyimpang yang melanda pelajar kita. Masyarakat kita *yang pasti tidak semuanya demikian lho, ya* telah menganggap sebagai hal yang galib terjadi jika seorang pelajar merokok atau tidak hormat lagi kepada guru atau orang tua.

Ketiga, masih kuatnya anggapan bahwa guru adalah pribadi yang harus selalu tampil perfeksionis, tanpa cacat dan cela, berbudi luhur dan mulia bagaikan seorang resi yang hidup di sebuah institusi pertapaan tempoe doeloe yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan tanpa pamrih. Anggapan semacam itu justru menjadi “bumerang” bagi guru itu sendiri. Mereka jadi serba salah dalam bersikap dan bertingkah laku, sempit ruang geraknya, dan setiap sepak terjangnya selalu berada dalam bingkai sorotan dan pengawasan dari berbagai pihak.

Keempat, guru dinilai telah gagal menanamkan dan mengakarkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti dalam jiwa siswa didik di sekolah sehingga menjadi brutal dan tak bermoral. Gurulah yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap kegagalan itu. Penilaian semacam itu jelas akan menggiring publik luas pada opini bahwa guru bukan lagi sebagai profesi luhur yang senantiasa menjadikan dedikasi, loyalitas, dan berjuang tanpa pamrih sebagai basis pengabdiannya.

Kelima, memudarnya wibawa guru di mata peserta didik. Banyak pengamat menyatakan bahwa wibawa guru merupakan kata kunci untuk melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pernyataan semacam itu jelas masuk akal sebab jika wibawa guru hilang, mustahil segala macam bentuk penanaman dan pengakaran nilai-nilai yang berlandas tumpu pada ajaran-ajaran luhur dan suci bisa diwujudkan secara riil oleh peserta didik.

Dan keenam, tingkat kesejahteraan guru yang dinilai masih timpang jika dibandingkan dengan beratnya beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Alasan klasik inilah yang konon menjadi pemicu banyak guru yang nyambi di luar profesinya untuk menambah penghasilan. Akibatnya, proses belajar-mengajar jadi kacau dan tersendat-sendat, siswa didik berada dalam kondisi tidak siap belajar, hancur pula pamor sang guru.

Mengingat keberadaan guru begitu penting dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan, maka sikap dan tindakan bijak dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam menyikapi meredupnya pamor guru. Di pundak gurulah nasib anak-anak bangsa negeri ini dipertaruhkan. Jangan biarkan kondisi yang tidak kondusif menelikung tugas dan profesi guru. Orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah yang dikenal sebagai pilar penyangga roda pendidikan, harus bersinergi, saling introspeksi, dan senantiasa memiliki “kemauan baik” untuk mengangkat pamor guru.

Paling tidak, ada empat agenda penting dan mendesak untuk menyelamatkan pamor guru agar mampu menjalankan kiprahnya sebagai “pencerah” peradaban. Pertama, perlu tindakan tegas terhadap berbagai media hiburan yang menafikan dan menihilkan sisi edukatif sehingga meracuni jiwa dan kepribadian pelajar kita. Tentu saja dengan cara yang arif dan persuasif, tidak dengan cara mengangkat pedang dan brutal yang tidak jauh berbeda dari cara-cara preman. Nihilnya hiburan-hiburan yang menyesatkan, paling tidak, sudah mampu ikut berkiprah membantu guru dalam menanamkan dan mengakarkan berbagai macam nilai kepada siswa didik.

Kedua, masyarakat harus mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap segala macam bentuk tindak kejahatan dan tingkah amoral lainnya, termasuk kenakalan remaja. Hal ini sangat penting dan urgen untuk direalisasikan dalam tataran praksis, sebab anak yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang sarat dengan tindak kejahatan, mereka juga akan belajar jadi penjahat.

Ketiga, perlu diciptakan sebuah imaji atau citra bahwa guru adalah manusia biasa yang tidak bisa luput dari khilaf dan dosa. Citra semacam itu justru akan mampu menumbuhkan sikap guru yang manjing-ajur-ajer, adaptif, mengabdi tanpa beban, dan merasa dimanusiawikan. Dus, tak perlu lagi dicitrakan sebagai sosok perfeksionis yang pantang berbuat salah. Ini tidak lantas berarti bahwa guru mesti ditolerir ketika melakukan kesalahan yang melawan hukum.

Keempat, pemerintah mesti benar-benar serius dan menepati janjinya yang telah memiliki “kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan guru seperti yang tertuang dalam UU No. 14 /2005 tentang Guru dan Dosen. Pemerintah tidak boleh setengah hati, apalagi menyiasatinya dengan Ujian Sertifikasi Guru yang pada kenyataannya justru menimbulkan masalah baru, bukan solusi jitu untuk menaikkan kesejahteraan guru.

Jika keempat agenda tersebut bisa diwujudkan dan diimplementasikan secara nyata, saya kira profesi guru yang selama ini telah terpuruk dan marginal di tengah kompleksnya tantangan peradaban akan kembali bangkit dan bersinar menerangi kegelapan. Nah, bagaimana? Mungkin ada pendapat lain? ***

AddThis Social Bookmark Button

No Comments

  1. iyah pak , guru memang seharusnya menjadi teladan bagi murid-muridnya. tapi tidak sedikit guru yang sekarang ini yang sudah melenceng dari wibawanya sebagai guru .

    memang banayk yang harus diluruskan ya. hehe

  2. Menurut saya pak Sawali, lingkungan-lingkungan eksternal yang negatif yang berdampak pada perilaku individu bukan terjadi di Indonesia saja, di negara majupun seperti di AS, lingkungan-lingkungan eksternal yang berdampak negatif juga tumbuh sumbur! Di AS, berbagai macam obat/zat2 psikotropika seperti methedrine (meth), cannabis, dan sebagainya bahkan sudah menjamur di kalangan anak2 sekolah! Tayangan2/media2 porno/tak mendidik?? Wah, Indonesia ‘ketinggalan jauh’ dibandingkan AS! :mrgreen:
    Namun, kita lihat juga di AS/negara2 maju, guru2 dapat lebih terfokus pada pekerjaannya sebagai guru, dan juga dapat berlaku/bertindak lebih profesional dalam arti sebagai seorang guru tugasnya bukan hanya mengajar di dalam kelas tetapi juga sebagai pendidik dalam arti kata yang luas. Ini mungkin perbedaan antara guru2 di Indonesia dan di negara2 maju.
    Lingkungan2 sosial yang negatif mungkin tidak akan pernah dapat kita eradikasikan sepenuhnya dan mungkin lingkungan2 sosial yang negatif akan selalu ada dalam sebuah masyarakat, untuk itu yang perlu lebih difikirkan/difokuskan adalah bagaimana mempersenjatai diri sendiri guna menghalau pengaruh2 negatif tersebut, juga para guru harus mempersenjatai dirinya dengan fokus pada pekerjaan (kalau di sini lagi2 masalahnya klasik: gaji yang kecil 🙁 ) dan profesionalisme yang tinggi, agar para guru dapat melindungi para anak didik dan lingkungan sekolahnya dari pengaruh2 negatif, kalau hal ini dapat dilakukan oleh para guru, insya Allah para guru akan mendapatkan pamornya kembali yang meredup! 🙂

  3. Tu smua tergantung ama sifat n perilaku seorang guru pak…kalo mereka menjadi guru hanya mengejar pamor n gaji yang gede, ya….hidup mreka g akan petnah tenang…mreka akan selalu mrasa kekurangan terus…..N g semua guru kaya gitu.

  4. jangan sinis pa,
    tetap semangat dengan profesi yang memang kita cintai dan kita baktikan kepada negara. Kan bersyukur nih kita bisa kerja dan diangkap jadi PNS yah walaupun dari segi penghasilan 🙂

    Namun kita juga bersyukur dengan tidak banyak diliriknya profesi ini, berarti masih banyak lowongan pekerjaan kelak 😛

  5. Pernah liat iklan hari raya dari PT Jarum? Nah, seperti itulah sosok guru seharusnya. Bukan seseorang yang selalu minta dikasihani. Tetap tegar dan jangan cengeng, belajar dan teruslah belajar.

  6. ah ya…kalo menurud saia sendiri yang faling berfengaruh adalah faradigma masyarakat yang menganggap guru hanyalah sebagai pengajar pelajaran yang sifatnya materi,bukan budi pekerti, mereka sekarang befikir, bahwa sekolah hanya dijadikan ajang mencari nilai, dan batu loncatan untuk ke jenjang selanjutnya, yaitu universitas, tidak lebih. hal itu disebabkan karena fikiran masyarakad yang “modern” menganggap kuantitas lebih berharga dibanding kualitas.

  7. @ tiar:
    Oh, gitu, ya, Mas Tiar, ya? Memang betul guru memang perlu menjadi teladan bagi murid2nya. Tapi jangan sampai memosisikan guru sebagai sosok yang “sempurna” gitu, sebab justru akan jadi beban bagi guru itu sendiri. OK.

    @ Yari NK:
    Ya, ya, benar sekali Bung, ya. Pengaruh eksternal yang negatif hampir terjadi di berbagai belahan dunia. Mugkin benar apa yang Bung Yari katakan, pengaruh kesternal di AS, misalnya, lebih dahsayat dibandingkan negeri kita. Tapi agaknya kultur kita memang jauh berbeda dengan yang di Amrik sana, sehingga pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan pun akan berbeda. Tapi sebagai komparasi agaknya memang dunia pendidikan kita juga perlu melirik bagaimana dinamika dunia pendidikan yang berlangsung di negera lain. OK, makasih masukannya yang sangat berharga ini, Bung.

    @ epa:
    Ya, betul sekali, kawan. Sifat dan perilaku guru akan sangat berpengaruh terhadap semangat dan etos kerjanya. Mudah2an saja guru tidak hanya sekadar menuntut naiknya gaji, tetapi juga harus diimbangi dengan semangat dan komitmen yang bagus untuk meningkatkan mutu pendidikan. OK, makasih.

    @ rudyhilkya:
    Hahaha … 😀 Saya bukannya sinis, lho, ya, tapi realitasnya memang begitu. OK, makasih sarannya.

    @ enggar:
    Ya, ya, ya, benar sekali, Bu Enggar. Dunia pendidikan di negeri ini memang membutuhkan sosok guru yang tangguh dan tidak gampang menyerah pada keadaan. Mudah2an saja, meski banyak disindir sana-sini, guru tetap mampu menjalankan tugasnya dengan baik, sabar, semangat, tegar, dan punya komitmen. OK, makasih, Bu Enggar.

    @ hoek:
    Wahm jadi merinding nih baca komennya Mas hoek. Memang benar ya, Mas hoek, feneomena yang tampak memang belum berubahnya paradigma masyarakat. Sekolah seolah2 hanya untuk mengejar trafik, eh, nilai yang tinggi untuk kepentingan pendidikan selanjutnya. Saya setuju paragdigma semacam itu harus diubah. Mas hoek mungkin punya cara untuk mengubah paradigma masyarakat semacam itu? OK, makasih Mas hoek.

  8. Jadi senyum-senyum sendiri membaca komentar pak Rudy. 😛

    Pertama, perlu tindakan tegas terhadap berbagai media hiburan yang menafikan dan menihilkan sisi edukatif sehingga meracuni jiwa dan kepribadian pelajar kita.

    Hambatannya, mayoritas masyarakat, apalagi orangtua banyak yang terbius media hiburan semacam ini.
    Misalnya ibu-ibu terbius sinetron-sinetron–apalagi telenovela–yang nggak begitu mendidik. 😛

    Ketiga, perlu diciptakan sebuah imaji atau citra bahwa guru adalah manusia biasa yang tidak bisa luput dari khilaf dan dosa. Citra semacam itu justru akan mampu menumbuhkan sikap guru yang manjing-ajur-ajer, adaptif, mengabdi tanpa beban, dan merasa dimanusiawikan. Dus, tak perlu lagi dicitrakan sebagai sosok perfeksionis yang pantang berbuat salah. Ini tidak lantas berarti bahwa guru mesti ditolerir ketika melakukan kesalahan yang melawan hukum.

    Nah, saya sangat salut dengan para guru yang dengan lapang dada berkata “Anda boleh mendebat saya, menyanggah pendapat saya.”
    Namun dengan catatan yang didebat adalah pendapat guru, itupun dengan cara yang sehat. 😉

  9. guru? ada pertanyaan yang mengganjal nih..
    apa guru dengan dosen sudah beda tugasnya?
    apa yang diceritakan dalam hymne guru itu blum tentu berarti dosen juga?
    maaf mungkin agak OOT tapi setidaknya ketika ini sudha dijawab akan merujuk ke pertanyaan saya selanjutnya tentang isi posting ini..
    terima kasih

  10. @ rozenesia:
    – Ya, ya, ya, betul sekali, Mbak, eh, lupa lagi, Mas Roze, agaknya bukan anak2 saja yang terbius hiburan2 picisan, ya, ibu2 pun malah kecanduan.

    – Nah, figur guru zaman sekarang memang sudah saatnya memiliki karakter seperti itu, Mas, demokratis dan tidak otoriter. Karakter guru semacam itu yang akan membangkitkan motivasi dan imajinasi siswa untuk bersikap kritis dan cerdas. Debat dengan siswa didik pun nggak masalah sepanjang yang dijadikan topik adalah soal2 keilmuan, bukan masalah pribadi, hehehe 😀
    Terima kasih, Mas, sumbangan pemikirannya.

    @ aRuL:
    Hehehe 😀 Tugas guru dan dosen? Wah, saya kira kok ada bedanya, ya Mas aRul. Memang benar sih, guru dan sama2 memiliki tugas sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tapi, dosen *halah* lebih banyak bergelut dengan dunia keilmuan dan pengabdian masyarakat seperti tercermin dalam Tridarma PT itu. Coba Mas aRul baca selanjutnya di http://www.imhere-dikti.net/request.php?70/ (pasal 4 dan 5).
    Agaknya hal itu yang membedakan strata sosial guru dan dosen pun berbeda. “Ironi” yang tercermin dalam “hymne guru” lebih tepat ditujukan kepada guru ketimbang dosen, hehehe :mrgreen:
    OK, kira2 begitu menurut pendapat awam saya Mas aRul. OK, makasih sumbangan pemikirannya.

  11. @Sawali dan aRul: Saya kira antara guru dan dosen sama saja. Dosen itu cuma “ngegaya” bergelut di PT. Sedang kan guru di pendidikan dasar. Menangani kedua jenajng pendidikan ini sama sukarnya. Bahkan mungkin lebih sukar di pendidikan dasar.

  12. @ mathematicse:
    OK, makasih Pak Al-Jupri. Saya setuju dengan pendapat Pak Al-Jupri, tugasnya memang sama, menjadi agen perubahan –ini menurut istulah UUGD lho, Pak– untuk meningkatkan mutu pendidikan. Yang beda mungkin “lahan”-nya, hehehehe 😀 Ibarat petani, guru itu yang membuka dan mencangkuli lahan, lantas menanam bibitnya, dosen yang “panen”, hehehehe 😀 OK, makasih, Pak, sumbang pemikirannya.

  13. rozenesia…Misalnya ibu-ibu terbius sinetron-sinetron–apalagi telenovela–yang nggak begitu mendidik.

    disagree…
    kau bukan Tuhan, jangan mencap sesuatu dengan sebutan yang g begitu mendidik…justru telenovela itu lebih memperlihatkan kehidupan yang terjadi di sekitar secara lebih gamblang. apa anda hendak berkata bahwa kehidupan yang terjadi di sekitar itu nggak begitu mendidik? 😕

    rudyhilkya…jangan sinis pa,
    tetap semangat dengan profesi yang memang kita cintai dan kita baktikan kepada negara. Kan bersyukur nih kita bisa kerja dan diangkap jadi PNS yah walaupun dari segi penghasilan 🙂

    Namun kita juga bersyukur dengan tidak banyak diliriknya profesi ini, berarti masih banyak lowongan pekerjaan kelak

    disagree…
    ada seseorang yang menangguhkan keinginannya untuk menjadi guru karena banyaknya peminat jurusan berbasis kependidikan di perguruan tinggi…
    kata siapa profesi guru tidak dilirik…???sayangnya saat ini profesi guru justru sangat dilirik tapi dengan maksud lain, yakni hanya dilirik untuk menyelamatkan muka…pikiran semacam…yang penting dapet kerja meskipun cuman jadi guru daripada nganggur

    guru juga manusia…bukan karena itu lantas kita harus memperjuangkan guru…tapi justru karena guru adalah manusia maka guru juga tidak lepas dari sifat tamak, jaga gengsi, egois dan segala macamnya yang selalu dimiliki manusia pada umumnya…

    ya ya ya…silahakn saja ambil staples dan bungkam saja mulut saya yang terlalu banyak berceloteh ini

  14. @ celotehsaya:
    Hahahahaha 😀
    Good, good, good. Di alam demokrasi ini tidak ada yang ngelarang kok beda pendapat, betul nggak, Mas?
    OK, makasih dah “berceloteh”, eh, maaf, memberikan sumbang komentar di blog ini. OK, salam hangat.

  15. Untuk 4 agenda-nya Pak Guru:
    Agenda Pertama: Akur Pak Guru.
    Agenda Kedua: Persis, ini harus menjadi tanggung jawab bersama.
    Agenda Ketiga: Kan Guru juga manusia 😉
    Agenda Keempat: Ya, kesejahteraan Guru emang harus bener-bener di jadi-kan prioritas Pak Guru, tapi jujur aku agak sedikit kesal waktu ngeliat para Guru ninggalin murid-murid-nya yang lagi belajar untuk demo di jalanan beberapa waktu lalu, demi sebuah kesejahteraan? Maaf lho

    Sedikit tambahan dari aku Pak Guru:
    Agenda Kelima: Seorang Guru harus memulai dari diri-nya sendiri untuk bisa lebih baik dan kembali ke jalur profesi dan tanggung jawab-nya sebagai Guru.
    Ini seperti-nya sejalan dengan yang udah kita bahas sebelum-nya yaks Pak Guru,

    Tak seorang pun pengendara yang akan berteriak-teriak ketika lampu bangjo berfungsi dengan baik. Namun, ketika sang guru melakukan penyimpangan dan kesalahan sedikit saja, hal itu dianggap sebagai noda dan “dosa” tak terampuni.

    Menjadi seorang Guru itu harus siap lahir batin dengan segala konsekuensi…

    *sighhh jad inget Papa almarhum dengan contoh kecil dan realistis-nya*
    Dulu, waktu dia kebetulan jadi kepala sekolah, dia sering meng-hukum Guru-Guru yang telat datang. Waktu aku tanya, apa wajar?, dia jawab “Kalau Guru-nya aja Telat, Gimana Murid-nya* 😉

  16. Good, good, good. Di alam demokrasi ini tidak ada yang ngelarang kok beda pendapat, betul nggak, Mas?

    memang ndak ada jang ngelarang beda pendapat…tapi kalo pendapatnja dirasa terlaloe membahajakan…hmmmm…ik ndak jakin ik masih bisa bertjeloteh dengan tenang lagi…

    *merasa hawa memboenoeh dari orang disekeliling*
    ahh OOT…

    BTT…

    pamor goeroe kalo ik bilang ja ndak meredoep…

    tapi sedikit teromabang-ambing karena pendidikan di Indonesia dikoeasai total oleh pemerintah…dan kalo ngeliat komen pertama ik, dah djelas lho kalo propesi goeroe moelai dilirik oleh pemoeda sekarang…sajangnja selama perdjoeangan mendjadi goeroe itoe ada seleksi alamnja…

  17. @ Hanna:
    Terima kasih atas supportnya, Mbak Hanna. Doakan ya Mbak! Makasih.

    @ extremusmilitis:
    Wah, lha yaitu itu yang sering bikin dunia pendidikan di negeri ini kacau :mrgreen: Gimana mau jadi siswa yang cerdas kalau sering ditinggal pergi guru2nya, hehehe 😀 Muda2an saja itu hanya bersifat kasuistis.

    Wah, untuk agenda ke-5 setuju banget, Bung. Memang sudah saatnya guru harus kembali ke “khittah” sesuai dengan profesi dan tanggung jawab. Ok banget.

    Hahaha 😀 Ya, mungkin benar, Bung, ya, jadi guru itu harus siap lahir batin dengan segala konsekuensinya. Wah, apa yang dilakukan almarhum Papanya Bung Militis saya kira langkahnya sangat benar. Sebagai orang yang dituakan, wajarlah kalau menegur guru yang telat datang. Itu seperti yang Bung Militis katakan, guru juga perlu jadi teladan bagi murid2, kan? Bagaimana murid bisa disiplin kalau gurunya aja sering datang terlambat? :zzz: Ok, komentar Bung sangat penting dan berharga buat kemajuan dunia pendidikan kita. Makasih.

    @ celo *kagak log in*:
    Wah ini Mas “celotehsaya”, ya? Hahahaha 😀 Jangan merasa kalau orang2 di sekeliking kita itu “kejam”, hehehehe 😀 asalkan kita juga bersikap hati2. Betul, nggak, Mas? Ini dunia maya. Siapa pun tak ada yang bisa ngelarang untuk bikin komen, bahkan yang OOT atau sampah sekalipun. Saya kira itu konsekeuensi dari postingan dan komentar kita sendiri. Kalau kita kritis tetapi dilandasi alasan yang logis, masuk akal, saya kira banyak orang akan salut kepada kita. Sebaliknya, kalau kita bikin postingan atau komentar yang bisa menyinggung perasaan orang, sarat intimidasi, nyrempet SARA, ya konsekuensinya, kita harus siap2 untuk menerima resikonya, hehehe 😀
    OK, makasih, Mas, ya? Yang penting gunakan blog untuk banyak bersilaturahmi dan menambah *halah* wawasan. Saya kira ini langkah terbaik apabila kita memang sudah berniat untuk ngeblog.

  18. tapi koq saya melihat beda peran dosen dan guru, seperti dosen sekedar memberikan ilmu itu, sedangkan guru lebih banyak tanggung jawab moralnya untuk mendidik.

    Oia…. coba gaji guru seperti di jepang, lebih tinggi dibanding gaji kerjaan yang lain.. gimana ngak dilirik kalo di Jepang.

    yah memang sih karena guru disiapkan menjadi tenaga pendidik yang harus tau lebih banyak dari yang terdidik.

  19. @ Shelling Ford:
    Mungkin bisa juga berpengaruh, Mas, *Mas Joe ini, ya?* khususnya terhadap moralitas pelajar masa kini. Tapi, budi pekerti dihidupkan lagi pun, menurut saya kok nggak akan banyak gunanya kalau model pembelajarannya cenderung indoktrinasi dan dogmatis. Setiap guru mapel apa pun sebenarnya kan memiliki tanggung jawab moral *halah* untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti. Jadi, nggak perlu jadi mapel tersendiri. Nah, mungkin yang mendesak segera dilakukan adalah memberdayakan dan meningkatkan prefesionalisme guru. OK, Mas Joe, makasih, ya, salam hangat.

    @ aRuL:
    Nah, saya kita itu juga tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya, hehehehe 😀 Dari esensi tugasnya sih sama, sebagai agen pembelajaran. Tapi dari sisi keilmuan, ya seperti yang dibilang Mas aRul itu, dosen lebih banyak berkecimpung dalam dunia keilmuan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sedangkan guru *nah ini tentu lebih berat* memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik dan menanamkan nilai2 itu.
    Masalah gaji guru, wah, jangankan dengan Jepang, Mas, dengan negeri Jiran yang kita kuya2 karena sering “merampas” produk budaya kita pun dah kalah jauh. Tapi, kalau gaji guru terus diungkit-ungkit, hehehe 😀 nanti dikira guru nggak pernah mau bersyukur :mrgreen:
    OK, mas aRul, makasih, ya responnya. Moga2 ke depan nasib guru lebih baik sehingga bisa menjalankan tugasnya secara profesional.

  20. Maaf kalau terlalu simplisis bahwa masalah kita sebenarnya berakar pada Kebodohan dan Ketepurukan (fakir/miskin) sebab bukankah kata Nabi saw: “kaadal faqru an yakuuna kufron” hampir saja kemiskinan itu membawa kepada sikap kekufuran…

    JIka masalah itu terselesaikan, maka saya kira dampak2 negatif masayarakat: kebebasan, permisif dan lain2 itu akan tereliminasi oleh kecerdasan individu masing2.

    Masalah guru yang dianggap seperti “dewa” saya kira itu memang tergantung si gurunya. Kalangan pesantren telah dididik oleh perkataan Imam Ali KW: “undzur ma qola walaa tandzur man qolla” lihatlah apa yang diucap jangan melihat siapanya..”

    aduh maaf komentare kebanyakan bang… 🙂

  21. @ kurtubi:
    Ya, ya, ya, betul sekali Mas Kurt, akar permasalahan di negeri ini memang berawal dari kemiskinan dan keterbelakangan. Itulah yang seharusnya menjadi “public enemy” :mrgreen: karena bisa mendekatkan kepada kekufuran. Nah, tapi salah satu esensi pendidikan kan juga untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan itu, hehehehe 😀 Nah, itulah pentingnya performa guru.
    Malah senang kalau komen Mas Kurt panjang, kok, sungguh, malah mendapatkan banyak masukan dan info2 menarik, khususnya dari dunia pesantren.
    OK. salam.

    @ kangguru:
    Hahahaha 😀 Mungkin benar Kangguru, ya? Dunia pendidikan di negeri ini sudah lama salah urus sehingga jadi kacau dan amburadul :mtgreen:

  22. Kalo saya intinya permasalahannya berawal dari tidak adanya minat pengelola negara ini sejak awal untuk menjadikan pendidikan sebagai aset pembangunan terpenting/terdepan.
    Pengelola negara [sejauh yg saya mampu lihat] hanya berkutat pada masalah : kstabilan politik dan peningkatan ekonomi, padahal itu semua hanya dampak.

    Berkaitan dengan perbincangan istilah guru dan dosen, menurut saya, dosen adalah subset (bagian) dari guru. Setiap dosen adalah guru, setiap guru belum tentu dosen.

    Salam guru. 😀

  23. @ Herianto:
    Wah, setuju banget Pask Heri. Saya pun juga berpendapat seperti itu. Pendidikan di negeri ini (nyaris) tidak diurus dengan baik. Pemerintah dengan berbagai macam argumen, selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Itu pun masih ditunggangi dengan kepentingan2 politik. Dampaknya jelas, pendidikan pun terpuruk, HDI kita ancur.
    Tentang guru dan dosen, saya juga sependapat, Pak. Dosen pada dasarnya juga guru.

  24. Masalah penghasilan guru seringkali menjadi kambing hitam kurang baiknya kinerja guru. Tapi berkali-kali ada kenaikan gaji, banyak guru yang serta merta menaikkan pula kreditnya ke bank, jadi yaaa…perbaikan penghasilan jadi tak terasa.
    Saya kira guru juga harus selalu ingat untuk terus bersyukur dan berusaha hidup qona’ah. Agar keikhlasan hati terus terjaga, sehingga dapat selalu bekerja mendidik siswa dengan usaha terbaik. Mendidik dengan hati, menjadikan mereka manusia yang kaya hati.

  25. @ weti:
    Terima kasih responnya. Hahahaha 😀 Saya sendiri sebenarnya juga dah agak risih ketika membicarakan soal yang satu ini. Tapi bagaimanapun juga faktor yang satu ini harus inheren dikemukakan ketika kita membicarakan kinerja guru. Dus, penghasilan guru merupakan salah satu di antara sekian faktor yang akan sangat memengaruhi kinerja guru. Makanya, saya mengatakan salah satu agenda, bukan satu-satunya. OK, salam.

  26. @ almascatie:
    Oh, begitu, ya, Mas. Mudah2an saja motivasinya bukan semata-mata agar cepet2 bisa diangkat jadi PNS, tetapi karena memang memiliki “dunia panggilan” sebagai seorang guru. Betul nggak, Mas Almas? OK! Nggak usah usah mirislah :mrgreen:

  27. alhamdulillah,
    sampai sekarang aku selalu punya mindset bahwa guru tuh seorang pahlawan.
    jadi pengen nonton iklan tivi yang cerita tentang guru yang istrinya sakit tapi ga pakai uang sekolah, tapi membayar biaya rawat dengan menjual motor. Kebersamaan anak didik pun terlihat disaat moment penyerahan sebuah sepeda pada sang guru.
    Wow… Dalem banget…

  28. @ bakazero:
    OK, makasih, Mas, Bobi atas apresiasinya terhadap profesi guru. Yah, seperti itulah potret guru Indonesia yang sesuangguhnya. Polos, jujur, dan tidak gampang goyah oleh iming2 materi.
    OK, makasih sekali lagi, mas Bobi. OK, salam.

  29. Saya juga merasa prihatin mas. Knapa profesi guru sekarang dikatakan hanya dilihat pakai sebelah mata saja? Padahal profesi guru adalah profesi yang mulia. Dapat disejajarkan dengan pejuang yang membela tahan air kita. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

    Kalo dijelaskan satu-satu memakan banyak waktu mas. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

  30. UUGD sudah berjalan, di sebagian daerah proses sertifikasi dengan menyertakan portofolio masih menjadi hal pelik. Lalu adalagi profesi guru dilirik hanya untuk menyelamatkan muka daripada dicap pengangguran ….. hehehe 🙂

    Benar-benar humor luar biasa di republik tercinta,
    aparatur negara yang didalamnya termasuk guru karena makan gaji dari pajak yang dibayarkan rakyat,
    sudah semestinya kita legowo dengan apa yang ada …
    diperjuangkan pun masih mandeg di sisi sana di sisi sini …
    belum lagi ada ide beda guru dan dosen … wah menambah muram potret negeri tercinta yang semakin banyak penduduknya, semakin padat bahasanya dan hanya bersatu di kala Indonesia dipanggil Indon Sial 😉

    Setelah itu bubar kabeh … bey beh ….

  31. @ rudyhilkya :
    hehehehehe 😆 Begitulah ironi yang terjadi di negeri ini, Pak. Semua pihak harus siap untuk melakukan perubahan. Dunia pendidikan harus menjadi “panglima” pembangunan, tak hanya sekadar digembar-gemborkan dalam bentuk slogan.

  32. Salam kenal Pak Guru. Saya baru sempat masuk rumah Panjenengan, meski pernah lewat. Saya ini pemula di wordpress. tolong ajari saya tentang ngeblog. Saya belum mampu aplikasi blog, termasuk membuat link-link. Tolong kalau ada waktu dikirim ke zaenal30@yahoo.co.id.

  33. Salam kenal Pak Guru. Saya baru sempat masuk rumah Panjenengan, meski pernah lewat. Saya ini pemula di wordpress. tolong ajari saya tentang ngeblog. Saya belum mampu aplikasi blog, termasuk membuat link-link. Tolong kalau ada waktu dikirim ke zaenal30@yahoo.co.id.
    Terimakasih banyak

  34. Mengapa pamor guru meredup?
    a. sudah lupa Ajining diri ana ing lati
    b. sudah lupa Ajining salira ana ing busana
    c. terlalu diktator
    d. lain-lain

  35. Salam kenal Pak Guru, makasih lho aku diberi kesempatan mampir, kenapa pamor guru meredup? menurut pengamatan aku
    1. banyak guru yang mengajar masih tex book
    2. jam mengajar sering telat
    3. setuju dengan ( epiet ) sudah lupa Ajining diri ana ing lati
    4. setelah otonomi daerah, guru tidak/kurang diberikesempatanuntuk pelatihan pelatihan, seingga profisionalisme tidak meningkat

  36. nah kan,,,,, kalau dah ketangkep gmn???
    Ortu juga kan yg repot,, kalau di tangkep gk bonyok,,, dah dingin. asik kalae ya kalau di penjara ada cwe na..? w jga mau kale ;P~

    \ by angga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *