Menulis, Perlukah Bakat?

Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan rekan-rekan sejawat dalam sebuah pelatihan menulis, seringkali muncul pertanyaan menggelitik. Benarkah menulis itu memerlukan bakat? Percaya atau tidak, saya selalu menjawab dengan penuh optimisme bahwa tidak sepenuhnya keterampilan menulis itu bergantung pada bakat. Kalau bakat selalu menjadi ketergantungan, tentu tak akan pernah lahir penulis-penulis besar. Selain itu, jika tesis bahwa menulis itu sangat ditentukan oleh bakat alias talenta, entah sudah berapa orang yang terbunuh “adrealin”-nya untuk memulai menulis ketika mereka merasa dirinya telah gagal mengekspresikan pikiran dan perasaannya ke dalam bentuk teks.

menulisPernyataan bahwa keterampilan menulis sangat ditentukan oleh bakat hanya akan melahirkan calon-calon penulis “gagal”. Mereka yang tengah mengalami kesulitan untuk memulai menulis langsung “tiarap” karena merasa dirinya tidak berbakat menjadi seorang penulis.

Lantas, bagaimana? Kalau teori “Tabularasa” masih diyakini kebenarannya bahwa setiap manusia lahir ibarat kertas putih berselaput lilin, maka jelas yang diperlukan adalah penggalian dan pengembangan potensi diri. Tuhan telah menganugerahkan banyak “talenta” pada diri setiap hamba-Nya sejak lahir, tentu saja termasuk dalam ranah menulis. Akan menjadi sebuah kesia-siaan kalau “talenta” yang sama sekali belum digali dan dikembangkan, lantas buru-buru mem-vonis dan memberikan stigma pada diri sendiri tidak bisa menulis.

Penulis-penulis besar tidak akan pernah lahir karena semata-mata bergantung pada bakat. Keterampilan menulis diperoleh lantaran minat, kesungguhan, dan kesetiaan untuk menekuninya. Dalam sebuah diskusi, sastrawan Ahmad Tohari, pernah bertutur, entah sudah berapa cerpen yang ditolak redaksi sebuah media cetak nasional. Namun, toh, Kang Tohari, demikian penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Jentera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari ini akrab dipanggil, tak pernah mengenal kata “mutung” dalam kamus kepenulisannya. Padahal, saat itu dia sudah menjadi seorang novelis besar

Kalau cerpen karya pengarang sekaliber Ahmad Tohari saja masih bisa ditolak oleh redaksi media cetak, bagaimana halnya dengan karya penulis-penulis pemula? Tentu akan terasa amat “naif” jika sekali ditolak lantas menganggap diri tidak bakat menulis, kemudian “kapok” untuk menggoreskan penanya di atas kertas. Almarhum Pramudya Ananta Toer juga pernah bilang bahwa jika ingin menjadi seorang penulis besar, resepnya adalah menulis, menulis, dan menulis. Ini artinya, yang lebih menentukan seseorang berhasil menjadi penulis bukan semata-mata lantaran bakat yang ada dalam dirinya, melainkan kesungguhan untuk terus menggali dan mengembangkan potensi dirinya dengan terus berimprovisasi dan berkreasi dalam ranah kepenulisan.

Yang tidak kalah penting, tentu saja adalah menciptakan iklim dan atmosfer yang mampu merangsang adrenalin untuk menulis. Hal itu bisa diciptakan dengan banyak membaca, bergaul dengan sesama teman penulis atau calon penulis, atau mengikuti berbagai program pelatihan. Memanfaatkan jejaring sosial, semacam facebook atau twitter, bahkan blog, bisa dimanfaatkan sebagai media untuk menciptakan atmosfer kepenulisan. Fakta membuktikan, sudah banyak penulis yang besar karena peran media virtual ini.

Tentu saja, karya-karya tulisan kita belum teruji benar kualitasnya apabila belum sanggup menembus “barikade” redaksi media cetak yang dikenal super-ketat. Di sanalah sesungguhnya kualitas karya kita diuji di ruang publik. Blog dan jejaring sosial barulah sebatas piranti dan media untuk mampu meretas jalan menuju ruang kepengarangan yang sesungguhnya. Dengan kata lain, ada baiknya kita merambah media cetak juga di tengah keasyikan kita memenuhi dinding status jejaring sosial dan postingan di blog dengan beragam ekspresi. Nah, salam kreatif! ***

47 Comments

  1. menulis hanya perlu pengetahuan abjad kemudian diarangkiai jadi kataa dan kemudian dirangkai jadi kalimat. itulah inti dari menulis

  2. Bila menulis merupakan suatu bakat, maka apa yangterjadi dalam kehidupan dunia ini selalu saja dihubungkan dengan suatu bakat, dan tidak melihat suatu usaha dalam menggali potensi diri dalam proses kerja keras dengan ketekunan.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah’s Blog

    • pandangan dalam masyarakat umum agaknya masih seperti itu, mas. seorang anak langsung diberi label tak berbakat, meski potensinya blm digali dan dikembangkan.

  3. betul. Bakat saya sebenarnya photomodel. Menulis cuma suka aja, nggak bakat. Sekian dan terimakasih…

    #hahahaha

    • loh bener, mas. kan sekarang banyak yang mata pencahariannya menulis, dan cukup utk menghidupi keluarganya.

    • konon dua aktivitas ini saling berkelindan, pak. biasanya baca dulu baru dilanjutkan dg aktivitas menulisnya.

  4. apakah “harus” penulis besar memiliki wawasan yang luas? apakah bisa dengan pengetahuan ala-kadarnya saja bisa menjadi penulis yang hebat pak sawali?

    • tidak selamanya seorang penulis harus memiliki wawasan yang luas, mas yusron, meski ada pengaruhnya juga terhadap kualitas tulisan.

  5. Abu

    Diperlukan “kejeniusan” untuk menjadi penulis “luarbiasa”, sebelum menjadi itu ada baiknya kita mencoba menulis, belajar walau hasilnya saat ini adalah “biasa”

  6. Menulis hanya bermodalkan minat baca. Selanjutnya minat menulis.
    Maka, istilah baca-tulis lebih tepat ketimbang tulis-baca.

    • hem … ada benernya juga itu, mas roni. dari aktivitas membaca biasanya muncul inspirasi baru utk menulis.

  7. saya termasuk orang yang tidak berbakat menulis. tetapi saya tidak pernah akan bosan ngeblog, hehehe

    kalau ini memang maksa. tetapi mungkin orang punya bakat menulis masing masing. ada yang berbakat menulis narasi. ada yang berbakat menulis sains, dan lain lain

    • walah, kok tahu kalau ndak berbakat menulis, mas jar, hehe …. saya kira benar, tidak semua penulis mampu menulis berbagai macam genre tulisan.

    • konon memang seperti itulah seharusnya, mas fajar, lebih mementingkan aksi ketimbang hanya berpikir soal berbakat atau tidak.

    • beteul sekali, pak, makin banyak tulisan yang ter-publish di blog, makin lancar menulisnya, hehe ….

  8. hmmm…berarti perjalanan seorang blogger untuk menjadi berpangkat “penulis” baru setengah jalan ya pak? wah tantangan baru nih bagi sesama blogger 🙂

  9. Kuncinya memang beristiqomah dalam proses pembelajaran untuk menulis. Belajar menulis, sebagaimana belajar hal yang lain, tidak akan pernah mengenal kata selesai kecuali ketika maut menyambut seseorang. Monggo terus menulis…..

  10. Ketika kita belajar di kelas, pasti ada waktu / pelajaran menulis. Terkadang menulis di kelas itu hanya untuk mencatat pelajaran yang disampaikan oleh Bapak/Ibu Guru. Pengembangan untuk menulis itu jarang dilakukan di kelas. Untuk pengembangan bisa dilatih sendiri-sendiri. Meskipun tak punya bakat menulis, bila kemampuan menulis terus diasah maka akan bisa menjadi seorang penulis.
    Terima kasih, Pak Sawali.

  11. jika ingin menjadi penulis handal, latihlah sedari dini untuk selalu bersama pena dan kertas.
    perbanyak gaul dengan orang-orang jurnalis. banyak belajar cara dan pola fikir komedian menjabarkan kata-kata .

  12. menulis itu tidak sepenuhnya bakat…cumadiperlukan niat berlebih untuk menuangkan apa yang ada di pikiran, itu yang biasanya malas dilakukan orang….

  13. Saya pikir menulis itu tidak membutuhkan bakat namun sebuah keahlian yang mana menulis bisa dipelajari dan diasah sedemikian rupa agar kita bisa baik dalam menulis
    Semua orang bisa menulis asalkan ia tidak buta huruf
    NIce share Pak Sawali

  14. pak sawali, ini winterwing pak. saya ingin memberi tahu bapak kalau winterwing sekarang berubah total. sekarang dia berubah menjadi blog kumpulan cerpen. bapak kan ahli cerpen jadi bapak bisa mengoreksi pak ya?

  15. Setuju Pak Sawali.

    Bakat itu menurut saya sangat bergantung pada kebiasaan juga.

  16. setuju pak, benar, seperti dalam dunia seni sketsa, bakat itu nomor dua, yang utama adalah serius belajar dan latihan. salam pagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *