UJIAN NASIONAL DAN KEKUASAAN HEGEMONI NEGARA

Pada awal masa baktinya, Mendiknas, Bambang Sudibyo, banyak menuai kritik. Kapasitasnya sebagai ekonom dinilai kurang tepat untuk mengurus masalah pendidikan yang demikian rumit dan kompleks. Untuk membuktikan kelayakannya sebagai orang nomor satu di jajaran Depdiknas, dia mencanangkan tekad untuk melahirkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh, yakni cerdas secara rohaniah, intelektual, sosial, emosional, estetika, dan kinestetik melalui sistem pendidikan nasional.
Mendiknas juga bertekad untuk menghapus ujian nasional (UN). Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi X DPR RI dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 14 Maret 2006, misalnya, dia meminta BSNP untuk melakukan kaji ulang antara kesesuaian ujian nasional dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, tekad Mendiknas belum juga terwujud. UN tetap jalan terus. “Ancaman” Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang akan mengelar aksi besar-besaran akibat banyaknya anak genius yang gagal menghadapi UN tahun lalu pun tidak meruntuhkan semangat pemerintah untuk mendongkrak mutu pendidikan lewat UN. Tampaknya, Mendiknas tak berdaya menghadapi gencarnya desakan Wapres, Jusuf Kalla, agar UN tetap digelar.

Bisa jadi benar apa yang dikemukakan oleh pakar kebijakan pendidikan, Tilaar (2003), bahwa kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang kerap dijadikan ruang intervensi kekuasaan transmitif (legitimatif), yaitu pelanggengan ideologi para penguasa terhadap rakyat atau peserta didik yang amat kental dengan nuansa budaya indoktrinasi, top down, dan politik penguasa sebagai penyetir dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan lebih kental beraroma kepentingan-kepentingan kelompok elite. Dunia pendidikan telah terkooptasi oleh kekuasaan hegemoni negara. Imbasnya, dunia pendidikan kita dinilai hanya akan melahirkan proses penggiringan, pembodohan, dan penjinakan warga oleh kepentingan segelintir elit penguasa.

Pendidikan yang semestinya men¬jadi alat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan menjadi lumpuh dan tak berdaya. Pendidikan yang idealnya mampu menumbuhsuburkan nilai budaya pembebasan dalam proses pembelajaran tak lebih hanya sekadar “kuda tunggangan” demi memenuhi ambisi sekelompok elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Ruang kebebasan berekspresi dan alternatif pilihan yang merdeka bagi setiap warga negara pun nyaris tak bergema dari balik tembok-tembok sekolah.

Beban Guru
Kini, saat-saat yang menegangkan sudah mulai berdenyut di berbagai daerah. Jika tidak ada aral melintang, UN SMA/MA/SMK dilaksanakan pada 17 s.d. 19 April 2007, sedangkan UN SMP, MTs, SMPLB, dan SMALB digelar pada 24 s.d. 26 April 2007. Ibarat menunggu lonceng kematian, tidak sedikit birokrat pendidikan di daerah yang mulai dicekam kepanikan. Pasca keluarnya Permendiknas Nomor 45 Tahun 2006 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007, dunia pendidikan seperti menyimpan api dalam sekam. Dalam Permendiknas tersebut disebutkan bahwa peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN, yaitu (1) memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25; atau (2) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00.

Dibandingkan tahun lalu yang mematok angka kelulusan 4,26 dengan nilai rata-rata tidak boleh kurang dari 4,51, bobot kelulusan tahun ini jelas lebih berat. Sangat beralasan kalau pada akhirnya banyak pejabat pendidikan di daerah yang “kebakaran jenggot”. Demi mengangkat citra dan marwah daerah, mereka merasa perlu membentuk tim sukses secara berjenjang yang bertugas mengawal sekaligus mengantarkan para murid sukses menempuh UN. Siapa lagi kalau bukan guru yang mesti menanggung beban? Menjelang ujian, mereka harus tampil bak “pesulap” yang harus melahirkan para penghafal kelas wahid secara instan. Berangkat pagi pulang sore demi mencekoki siswa didiknya lewat drill soal-soal UN. Murid-murid diperlakukan bak “keledai”; patuh dan penurut, tanpa sedikit pun diberi ruang dan kesempatan untuk berpikir –apalagi mendebat— secara kreatif dan terbuka. Terpasung dalam kerangkeng keilmuan yang semu, jenuh, dan membosankan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang gencar digembar-gemborkan itu tidak lagi punya makna. Proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (baca: Paikem) pun hanya mengapung-apung dalam slogan. Celakanya, tidak sedikit sekolah yang terpaksa mengorbankan mapel non-UN. Jika perlu, hanya mapel UN saja yang digelontorkan ke dalam “tempurung” kepala para murid. Toh, soal-soal ujian mapel non-UN disusun dan dikoreksi oleh guru sendiri sehingga lebih gampang diatur. Paradigma “potong kompos” seperti inilah yang seharusnya segera dihentikan lantaran –disadari atau tidak– makin mempercepat proses pembusukan iklim dan atmosfer dunia pendidikan kita. Jika dibiarkan terus mengakar dan mewabah, bukan mustahil dambaan untuk menghasilkan manusia yang memiliki kecerdasan menyeluruh –utuh dan paripurna– seperti yang pernah dilontarkan oleh Mendiknas hanya sekadar retorika belaka.

Meskipun demikian, tidak lantas berarti UN menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur mutu serta akuntabilitas penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menjembatani antara mutu dan akuntabilitas pendidikan tanpa mengabaikan proses yang dijalani guru dan siswa.

Dalam kondisi demikian, idealnya UN hanya digunakan untuk kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada meka¬nisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah. Tentu saja hal ini memerlukan “kemauan politik” untuk saling percaya antara pemerintah dan pengelola sekolah, termasuk guru.

Jangan sampai terjadi fenomena pengambilalihan penentuan kelulusan siswa dari mekanisme sekolah oleh pemerintah melalui UN terus berlangsung. Sudah saatnya dunia pendidikan kita melepaskan diri dari kekuasaan hegemoni negara. Dunia pendidikan –meminjam istilah Mochtar Buchori (1995)—harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri; perubahan-perubahan apa yang boleh terjadi dan apa yang tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus lebih aktif untuk mengarahkan pertumbuhan dirinya dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah dan imbauan yang datang dari luar. Nah! ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *