Legenda Sisyphus dan Bongkar Pasang Kurikulum

Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.

Sisyphus

Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.

Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?

Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.

Sastra dan Anomali Sosial Generasi Muda Masa Kini

Saya tersentak ketika membaca sebuah berita seperti ini.

INDRAMAYU (Pos Kota) – Beredarnya video mesum yang diperankan sepasang pelajar SMA di Indramayu, membuat gerah Bupati Indramayu dan pejabat muspida lainnya. Bupati H Irianto MS Syarifudin lalu bikin gebrakan akan memeriksa keperawanan sekitar 3.500 siswi SMP dan SMA atau sederajat di seluruh Indramayu.
“Pemeriksaan bertujuan memberitahukan orangtua siswa soal status keperawanan anak gadisnya,” ujar Bupati Indramayu H Irianto MS Syarifudin di sela-sela pembakaran 2.600 buku sejarah di Kantor Kejari Indramayu, Selasa (14/8). Jika hasil pemeriksaan medis diketahui terdapat siswi SMP/Mts dan SMA/SMK/MA tidak perawan lagi atau kegadisannya sudah hilang, maka orangtuanya akan dipanggil sekolah.
“Orangtuanya akan diingatkan untuk lebih waspada dalam mendidik putrinya sehingga jangan hanya bisa menyalahkan sekolah atau gurunya saja,” kata Bupati Irianto MS Syarifudin.

Sementara itu, berita dari kota Gudeg Yogyakarta juga tak kalah menyentakkan.

Sutradara Upi Avianto mengaku tercengang membaca hasil survei terhadap sejumlah remaja Yogyakarta yang dilakukan dalam rangka penggarapan film antologi empat sutradara perempuan, “Lotus Requiem”. Survei itu mengungkap pandangan dan perilaku seks remaja di Yogyakarta, yang menurut Upi, telah jauh melewati batas.

“Rasanya seperti ditampar sewaktu membaca hasil survei itu,” kata Upi, di Jakarta, akhir pekan lalu. Upi mencontohkan anak-anak muda itu bukan hanya telah terbiasa melakukan seks bebas, mereka bahkan telah lihai dan mempunyai cara tersendiri menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan akibat seks bebas.

“Bunuhlah Imajinasiku dengan Puisiku!”

Melalui millis KlubSastraBentang di http://groups.yahoo.com/group/klub-sastra/ saya baru dapat kabar kalau Saeful Badar telah “dihabisi” DDII Jawa Barat. Melalui pernyataan sikapnya, DDII Jawa Barat mengecam puisi “Malaikat” karya Saeful Badar yang dimuat di lembaran budaya “Khazanah” Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007. (Ketika saya kunjungi puisi tersebut sudah sirna). Menurut DDII Jawa Barat, puisi tersebut dinilai telah jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

Masih ada 9 pernyataan lain dari DDII Jawa Barat yang intinya menyatakan “penistaan” terhadap kepenyairan sekaligus “keislaman” Saeful Badar. (Pernyataan sikap DDII Jawa Barat selengkapnya bisa dilihat di sini). Menyaksikan kerasnya reaksi DDII Jawa Barat, redaksi Pikiran Rakyat segera meminta maaf dan menyatakan puisi “Malaikat” karya Saeful Badar tidak pernah ada. (Pantas saja ketika saya kunjungi sudah raib. Tapi Anda bisa membacanya di sini). Saeful pun telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Sementara itu, Fadjroel Rachman, penggagas Memo Indonesia menentang keras pengekangan itu. Berikut pernyataan sikapnya:

Pernyataan dari Fadjroel Rachman (via sms):
“Memo Indonesia menentang keras pemberangusan puisi MALAIKAT karya SAEFUL BADAR oleh lembaga dan individu manapun. Ini skandal perampasan hak kebebasan berekspresi” (Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, penggagas Memo Indonesia).

Puisi Heroik dan Kepekaan Akal Budi

Ada sikap latah yang sering hinggap dalam diri para pemimpin, pejabat, “penghuni” senayan, atau orang-orang terhormat yang sudah biasa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Saat-saat menjelang Agustus-an seringkali dijadikan sebagai momentum untuk menunjukkan kepekaan akal budi dan kesalehan hati nurani. Orang mulia dan terhormat yang biasanya amat “alergi” terhadap puisi, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk menjadi pembaca puisi yang baik di atas mimbar terhormat. Dengan tampilan meyakinkan, mereka lantang membaca puisi heroik, kata demi kata, larik demi larik, bait demi bait. Meski dengan vokal, intonasi, dan penghayatan pas-pasan, mereka amat bangga mendapat aplaus meriah auidens yang merasa “tersihir” dan terpukau. Pejabat kok mau ya, baca puisi? Olala!

Ingin mendownload puisi-puisi heroik? Cari saja di sini! atau kunjungi saja URL ini!

17-Agustusan, Jangan Terjebak Seremoninya, Bung!

Gaung 17-an telah menggema di seantero tanah air, mulai dari pedalaman, pesisir, pegunungan, hingga ke dusun-dusun yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Semua anak bangsa saling berlomba merayakannya, mulai dari baca puisi, karnaval, hingga upacara-upacara. Namun, seringkali kita lupa menyentuh roh dan maknanya. 17-an hanya sebatas dimaknai bagaimana agar suasana yang dibangun tampak rame, meriah, dan gemebyar. Semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan.

Padahal, 62 tahun yang silam, para pejuang negeri ini mengorbankan jiwa dan raganya demi menjaga kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Mereka yang telah tenang di alamnya, tentu akan merasa sedih menyaksikan kondisi Indonesia yang kini masih silang sengkarut. Korupsi makin menjadi-jadi bagaikan gunung es –jika tutupnya dibuka mungkin seperti kotak pandora– angka kriminal tak juga drop, kemiskinan hampir mencapai 50 juta jiwa, pengangguran masih menguasai sebagian besar kaum muda kita. Quovadis bangsa kita pasca 62 tahun merdeka?

Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi

Puluhan mayat terjepit mengenaskan di sela-sela reruntuhan dan puing-puing bangunan yang porak-poranda. Bau busuk menyembur-nyembur. Ratusan burung pemangsa bangkai terbang rendah. Lantas, dengan kecepatan tak terduga menyerbu mayat-mayat itu. Dengan kekuatan penuh, paruh dan kuku burung-burung ganas itu mencengkeram dan mencabik-cabik puluhan mayat yang sudah penuh belatung.
“Crok… crok … cruok!” Ratusan burung pemakan bangkai berpesta. Rakus. Buas. Lalat dan serangga terbang berhamburan.

Dhawangan

Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

Tumbal

Orang-orang bagai rusa masuk kampung. Bingung. Subuh tadi, anak Lik Karimun yang baru berusia tujuh bulan, hilang. Konon, si Nok tiba-tiba raib dari sisi tetek simboknya. Kontan saja Yu Painem menjerit-jerit histeris. Lik Karimun yang tidur di sisi Yu Painem pun limbung. Tubuhnya loyo.

Marto Klawung

Untuk ke sekian kalinya, Marto Klawung kembali mengamuk. Sorot matanya liar, ganas, menantang. Ke mana-mana, dia membawa parang terhunus, berkilat-kilat. Kalau sedang kambuh, nyaris tak ada seorang pun yang sanggup menjinakkannya.

Sang Pembunuh

Sepekan lagi, aku akan segera terbebas dari sekapan penjara terkutuk ini. Hampir sepuluh tahun, aku dipaksa mengakrabi dunia lembaga pemasyarakatan yang busuk. Busuk baunya dan orang-orang yang menghuninya. Ini memang sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan. Penjara memang tempatnya para pesakitan. Setidaknya, mereka pernah berbuat keji. Dalam kamus hukum jelas tersurat bahwa orang yang dinyatakan bersalah harus menjadi penghuni bui. Menurut orang yang arif dan bijak, bui itu konon bisa dijadikan sebagai medium pertobatan agar para penghuninya tidak mengulang perbuatannya. Tapi, itu teori yang terlalu absurd jika diterapkan untuk saya. Seperti sudah saya kemukakan bahwa saya menjadi penghuni ruang sumpek berjeruji besi ini karena dipaksa. Saya telah menjadi korban permainan busuk juragan Karta yang kaya.