Wisuda

Cerpen: Sawali Tuhusetya Bola mata Mak Sarmini berkaca-kaca. Tanpa terasa, kedua pipinya yang nampak keriput basah oleh air mata. Dadanya ditimbuni rasa haru yang sulit diterjemahkan. Tubuhnya yang kurus tenggelam…

Pengakuan

Warti hamil! Kabar itu segera menyentakkan kampung. Kalau Warti bersuami, jelas tak bermasalah. Tetapi, perempuan bertubuh pendek, berwajah kasar, dan berambut keriting itu jelas masih perawan, meskipun tergolong perawan kasep…

Sastra Koran vs Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.

Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.

Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Siapkah Guru Sastra Menyongsong KBK?

RENDAHNYA tingkat apresiasi sastra di kalangan pelajar sudah lama mencuat ke permukaan. Berbagai macam forum diskusi digelar unluk menemukan solusinya. Terakhir, program 'Sastrawan Masuk Sekolah' diusung oleh Yayasan Indonesia, Majalah…

Tumbal

Orang-orang bagai rusa masuk kampung. Bingung. Subuh tadi, anak Lik Karimun yang baru berusia tujuh bulan, hilang. Konon, si Nok tiba-tiba raib dari sisi tetek simboknya. Kontan saja Yu Painem…

Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?

Ini soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.

Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).

Legenda Sisyphus dan Bongkar Pasang Kurikulum

Tiba-tiba saya teringat Sisyphus. Tokoh fiktif dalam mitos Yunani kuno yang diperkenalkan oleh Albert Camus itu, menurut hemat saya, layak dijadikan sebagai analogi terhadap kebijakan “penguasa pendidikan” negeri ini yang suka bongkar pasang kurikulum. Konon, lantaran mengetahui rahasia para dewa, Sisyphus dikutuk dan harus mengangkat batu ke puncak gunung. Namun, selalu gagal. Batu itu kembali menggelinding ke lembah dan Sisyphus harus kembali mengangkatnya ke puncak. Berulang-ulang. Saini KM dalam sebuah puisinya menggambarkan sosok Sisyphus seperti berikut ini.

Sisyphus

Dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.

Jatuh dan bangkit di Babel, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit: Apakah artinya ini?

Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.