Korpri dan Mutu Pelayanan Publik

Tanggal 29 November 1997, hari ini Korpri genap berusia 26 tahun. Sejak terbentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971, banyak kalangan menilai, Korpri kian eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya sesuai fungsinya sebagai wadah non-kedinasan bagi pegawai negeri.

Kesetiakawanan Sosial Versus Masyarakat Konsumtif

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.

Fenomena Pilkades di Era Reformasi

Suasana tegang, panas, dan mencekam sempat mewarnai proses pemilihan kepala desa (pilkades) di beberapa desa wilayah Jawa Tengah belakangan ini. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk yang dianggap menjadi “lawan politik”-nya, dan amuk massa terhadap fasilitas umum milik masyarakat nyaris menjadi “irama” khas yang menggema di sela-sela pesta demokrasi itu.

“Anak-anak Bukanlah Keranjang Sampah”

“Generasi masa depan yang manusiawi harus menjadi pencipta sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang lain, kenyataan “ada bersama” harus dijalami dalam proses “menjadi” (becoming) yang tidak pernah selesai.” Adagium itulah yang mengantarkan Drs Sawali, MPd meraih juara I dalam lomba Inovasi Pembelajaran SMP Tingkat Nasional Bidang Studi Bahasa Indonesia yang digelar oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan, Depdiknas, pada 1-4 Desember 2006 di Hotel Pitagiri Jalan Palmerah Barat 110, Jakarta.

Wasit Sepak Bola dan Dunia Pendidikan

Sungguh terasa sesak dada saya ketika menyaksikan pertandingan sepak bola Penyisihan Grup Piala Asia antara PSSI vs Arab Saudi, Sabtu, 14 Juli yang lalu. Bukannya persoalan kualitas pemain yang memang Arab Saudi harus diakui lebih baik daripada pemain-pemain kita. Arab Saudi jelas memiliki tradisi sepak bola yang lebih baik karena sudah berkali-kali mengikuti ajang bergengsi; Piala Dunia. Sekali lagi bukan persoalan kualitas pemain, melainkan lebih disebabkan oleh kepemimpinan wasit asal Uni Emirat Arab itu yang bikin saya ikut-ikutan kesal.

Menulis Buku Teks

Menulis buku teks merupakan pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Mereka yang sudah terbiasa duduk berlama-lama di depan layar monitor komputer pasti bilang bahwa menulis buku teks ternyata mengasyikkan. Hampir-hampir lupa waktu. Namun, bagi mereka yang jarang berhadapan dengan komputer, menulis jadi pekerjaan yang amat menjenuhkan dan menyulitkan. Belum lagi mesti mematuhi standar penilaian buku pelajaran yang biasanya sudah ditentukan oleh Pusat Perbukuan atau Tim Editor Penerbit Buku.

KETIKA PENDIDIKAN MEMBERHALAKAN PASAR

Dalam sebuah kesempatan, Garin Nugroho, pernah bilang bahwa dunia pendidikan kita tidak lagi mencerahkan dan telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai-nilai rasionalitas dan etos kerja keras, misalnya, telah disulap menjadi sikap instan. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tetapi dikembalikan pada pasar (Suara Pembaruan, 20/3/07).

Kelulusan dan Perilaku Vandalistis

Jumat, 22 Juni 2007, pukul 14.00 WIB, sekolah mengundang orang tua/wali murid kelas 9 untuk menerima hasil ujian. Sebuah momen yang mendebarkan, menegangkan, dag-dig-dug, dan senam jantung. Ya, jerih payah anak-anak bangsa selama tiga tahun lamanya akan ditentukan pada saat itu. Hanya ada dua jawaban yang mereka tunggu: “Lulus” atau “Tidak Lulus”.

Waspadai Komersialisasi Pendidikan

Tradisi tahunan kembali digelar. Dunia persekolahan kembali ramai disibukkan menerima siswa baru. Dari tahun ke tahun, rutinitas semacam itu hampir selalu memunculkan fenomena komersialisasi. Ya, komersialisasi pendidikan yang menyertai momentum pendaftaran siswa baru agaknya sulit dibendung. Paling tidak, fenomena semacam itu bisa dilihat dari dua persepektif. Pertama, merebaknya kultur instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan. Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan.