Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

“Premanisme” dalam Dunia Pendidikan

3 Juli 2007 yang lalu, Presiden SBY mengeluarkan PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2007 TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL. Dalam lampiran II disebutkan, Pendidikan Dasar dan Menengah termasuk Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan (dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49%).

Menurut hemat saya, ada empat hal mendasar yang melatarbelakangi keluarnya Perpres itu. Pertama, Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang mustahil mampu mengelak dari pengaruh globalisasi. Mau atau tidak, Indonesia harus beradaptasi dengan “peradaban” dan tata dunia baru ke dalam arus global dan mondial, sehingga harus lentur terhadap setiap dinamika dan perubahan. Ini artinya, bangsa kita harus siap menerima kehadiran “preman-preman” asing, termasuk dalam sektor pendidikan.

Menjual Ideologi Lewat Blog

Beberapa hari belakangan ini, para blogger WP disentakkan oleh kehadiran blogger baru yang unik dan kontroversial. Pasalnya, blogger dengan nama “mistis” Ratu Adil Satria Pinandhita dengan slogan “Pendekar supersakti pemimpin seluruh manusia memasuki dimensi baru” itu selalu nangkring di BOTD WP pada posisi teratas. Efeknya, banyak blogger yang penasaran untuk mengunjunginya. Semakin banyak yang berkunjung, jelas akan makin mengangkat nama blogger itu “setinggi langit”.

Saya kira sudah banyak blogger yang “menelanjangi” kehadiran sang ratu itu dari berbagai sisi, mulai dari ideologinya yang provokatif, menyebarkan kesesatan, menaburkan kebencian, hingga memanipulasi komentar yang mampir di blognya. Ulasan tentang kahadiran “sang ratu” di antaranya bisa dilihat di sandynata, sandynata, BlogGirang, newradical, almascatie, die4pleasure, dan di blog-blog lain yang –mohon maaf– luput dari pantauan awam saya. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menyikapi ideologi-ideologi menyesatkan yang dengan sangat sadar dipublikasikan di dunia maya semacam itu?

Semata-mata Mencari Ridha-NYA

Ramadhan datang menjelang. Umat Muslim di seluruh belahan dunia menyambutnya. Bahkan, seluruh penghuni bumi ikut merasakan getaran hadirnya bulan religius yang akan mengangkat harkat manusia yang lebih terhormat dan bermartabat,…

Siapa Mau Jadi Bloger “Pemberontak”?

Jangan sewot dan geram ketika membaca judul postingan ini, hehehe 😀 Kata pakar pragmatik, untuk menafsirkan maksud sebuah tuturan, baik lisan maupun tulisan, perlu dipahami dulu konteksnya. Tuturan dalam situasi yang bagaimana, apa yang dibicarakan, di mana tuturan itu disampaikan, de-el-el? Dalam konteks ini, saya memiliki pengertian yang sedikit menyimpang dari makna leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam kamus tebal tersebut, kata pemberontak memiliki dua arti, yaitu: 1) orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah, pendurhaka; 2) orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). Kalau toh harus dimirip-miripkan, saya cenderung memilih arti yang kedua, yaitu orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). “Memberontak” tentang apa, kepada siapa, tujuannya apa? *pertanyaan retorik*

Dalam pengamatan awam saya, blog lebih bersifat personal. Bahkan, dalam banyak hal blog bisa menjadi “wakil” hati nurani sang pemiliknya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan publik. Dengan kata lain, karakter dan kepribadian sang pemilik blog –lagi-lagi ini penafsiran awam– bisa dilihat dari topik yang dipilih, bahasa tutur yang digunakan, blog-blog dan situs lain yang ditautnya, cara membalas komentar, hingga asesori yang dipakai untuk menghias “teras” blognya. Oleh karena bersifat personal, blog bisa dipakai untuk apa saja; berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah, mengungkapkan cinta, kerinduan, kebencian, deelel. :mrgreen:

*Kembali ke topik*

Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?

Ini soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.

Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).

“Bunuhlah Imajinasiku dengan Puisiku!”

Melalui millis KlubSastraBentang di http://groups.yahoo.com/group/klub-sastra/ saya baru dapat kabar kalau Saeful Badar telah “dihabisi” DDII Jawa Barat. Melalui pernyataan sikapnya, DDII Jawa Barat mengecam puisi “Malaikat” karya Saeful Badar yang dimuat di lembaran budaya “Khazanah” Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007. (Ketika saya kunjungi puisi tersebut sudah sirna). Menurut DDII Jawa Barat, puisi tersebut dinilai telah jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

Masih ada 9 pernyataan lain dari DDII Jawa Barat yang intinya menyatakan “penistaan” terhadap kepenyairan sekaligus “keislaman” Saeful Badar. (Pernyataan sikap DDII Jawa Barat selengkapnya bisa dilihat di sini). Menyaksikan kerasnya reaksi DDII Jawa Barat, redaksi Pikiran Rakyat segera meminta maaf dan menyatakan puisi “Malaikat” karya Saeful Badar tidak pernah ada. (Pantas saja ketika saya kunjungi sudah raib. Tapi Anda bisa membacanya di sini). Saeful pun telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Sementara itu, Fadjroel Rachman, penggagas Memo Indonesia menentang keras pengekangan itu. Berikut pernyataan sikapnya:

Pernyataan dari Fadjroel Rachman (via sms):
“Memo Indonesia menentang keras pemberangusan puisi MALAIKAT karya SAEFUL BADAR oleh lembaga dan individu manapun. Ini skandal perampasan hak kebebasan berekspresi” (Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, penggagas Memo Indonesia).

Nasionalisme Kita Telah “Mati Suri”?

……….
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
………

(WS Rendra dalam SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON)

Sengaja saya kutip puisi si Burung Merak untuk mengawali postingan ini. Mumpung lagi hangat-hangatnya soal nasionalisme mencuat ke permukaan menjelang 17 Agustusan ini. Sebuah puisi yang sarat parodi dan sindiran terhadap spirit nasionalisme kita yang dinilai mulai terkikis dan tergerus oleh nilai-nilai global. Bahkan, ada yang secara ekstrem menyatakan bahwa nasionalisme di negeri ini telah mati suri. Betapa tidak! Lihat saja anak-anak muda kita yang dengan begitu bangga menjadi pemakai benda-benda merk serba asing. Demikian juga ibu-ibu pejabat kita yang lebih suka menghambur-hamburkan uangnya ke Singapura daripada ikut memberikan keuntungan kepada para pedagang kaki lima. Lihat juga betapa banyaknya orang kaya baru alias OKB yang suka memarkir milyaran atau trilyunan rupiah di bank-bank luar negeri ketimbang ikut andil membesarkan bank-bank di negerinya sendiri. Agaknya, nasionalisme kita sudah benar-benar dijajah oleh “tuhan” lain bernama materialisme, hedonisme, konsumtivisme, fatalisme, chauvinisme, dan isme-isme culas lainnya.

17-Agustusan, Jangan Terjebak Seremoninya, Bung!

Gaung 17-an telah menggema di seantero tanah air, mulai dari pedalaman, pesisir, pegunungan, hingga ke dusun-dusun yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Semua anak bangsa saling berlomba merayakannya, mulai dari baca puisi, karnaval, hingga upacara-upacara. Namun, seringkali kita lupa menyentuh roh dan maknanya. 17-an hanya sebatas dimaknai bagaimana agar suasana yang dibangun tampak rame, meriah, dan gemebyar. Semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan.

Padahal, 62 tahun yang silam, para pejuang negeri ini mengorbankan jiwa dan raganya demi menjaga kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Mereka yang telah tenang di alamnya, tentu akan merasa sedih menyaksikan kondisi Indonesia yang kini masih silang sengkarut. Korupsi makin menjadi-jadi bagaikan gunung es –jika tutupnya dibuka mungkin seperti kotak pandora– angka kriminal tak juga drop, kemiskinan hampir mencapai 50 juta jiwa, pengangguran masih menguasai sebagian besar kaum muda kita. Quovadis bangsa kita pasca 62 tahun merdeka?

Pendidikan Kita hanya Mencetak “Anak Mami”?

Kita sungguh tak habis pikir menyaksikan berbagai adegan di atas panggung sosial-politik negeri ini. Kearifan, kedewasaan, dan kematangan berpikir tampaknya belum menyatu ke dalam gaya dan pola hidup para figur publik politik kita. “Dendam” pribadi sering dibawa-bawa ke dalam ranah politik publik. Simak saja perseteruan antara Presiden SBY dan Zaenal Maarif (dapat dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini, de-el-el). Perseteruan keduanya banyak menyita perhatian publik. Maklum. Apa yang dibicarakan menyangkut pribadi orang nomor 1 di negeri ini. Tak heran jika mulai anak-anak SMP hingga kakek-kakek ikut-ikutan ramai memperbincangkannya. Politik “balas dendam” masih menjadi “amunisi” kaum politisi kita dalam menjatuhkan lawan.