Pendidikan Kita hanya Mencetak “Anak Mami”?

Kita sungguh tak habis pikir menyaksikan berbagai adegan di atas panggung sosial-politik negeri ini. Kearifan, kedewasaan, dan kematangan berpikir tampaknya belum menyatu ke dalam gaya dan pola hidup para figur publik politik kita. “Dendam” pribadi sering dibawa-bawa ke dalam ranah politik publik. Simak saja perseteruan antara Presiden SBY dan Zaenal Maarif (dapat dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini, de-el-el). Perseteruan keduanya banyak menyita perhatian publik. Maklum. Apa yang dibicarakan menyangkut pribadi orang nomor 1 di negeri ini. Tak heran jika mulai anak-anak SMP hingga kakek-kakek ikut-ikutan ramai memperbincangkannya. Politik “balas dendam” masih menjadi “amunisi” kaum politisi kita dalam menjatuhkan lawan.

Pekik “Merdeka” dan KTSP

61 62 tahun sudah negeri ini merdeka. Namun, secara jelas dan nyata, kita masih merasakan betapa banyaknya pernik-pernik kehidupan yang silang-sengkarut. Dari sisi ekonomi, kita masih dihantui situasi krisis. Lapangan kerja menyempit, sementara angka pengangguran makin mencuat tajam. Di bidang hukum, masih banyak koruptor kelas kakap yang luput dari incaran dan jerat hukum. Dari sisi demokrasi, kita juga masih melihat banyaknya kelompok masyarakat yang lebih suka mengandalkan otot dan mengacungkan pedang dalam memperjuangkan kepentingan ketimbang hati nurani dan sikap rendah hati. Yang tak kalah menyedihkan, dunia pendidikan yang diyakini menjadi motor penggerak peradaban, belum juga menampakkan hasil yang nyata. Kualitas SDM kita masih jauh tertinggal dibandingkan negeri jiran kita, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, atau Vietnam yang bertahun-tahun lamanya diselimuti kabut perang saudara.