Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator

Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir sebuah antologi (baik puisi maupun cerpen). Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan. Begitu pentingkah sebuah antologi bagi seorang penulis sehingga perlu terus berjuang untuk mewujudkannya?

Ya, ya, ya! Antologi memang bisa menjadi alat dan media untuk mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari “panggilan” hidup, tetaplah butuh sebuah pengakuan. Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sebuah tujuan.

Bang Kempul Bergaya Selebritis: Sebuah Refleksi

Setelah jadi wakil rakyat, gaya hidup Bang Kempul berubah drastis. Kesibukannya luar biasa padat. Ia memang sering mangkir dan selintutan pada agenda yang “kering” dan melelahkan, tapi selalu hadir pada acara-acara “basah” yang mengalirkan kerincing dhuwit ke koceknya. Mobil mewahnya yang nongkrong di garasi siap memanjakan ke mana pun lelaki muda berjidat licin itu pergi. Rumah dinasnya magrong-magrong, lengkap dengan segenap perabot dan fasilitas serba mewah. Busana yang membungkus tubuhnya pun harus bikinan luar negeri yang konon bisa membuat pemakainya pede dan bergengsi.

Topeng

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun mungkin sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Goresan dan lekuknya terkesan disamarkan, tidak tegas. Warnanya pun sudah kusam, menandakan ketuaan. Orang-orang kampung menyebutnya topeng tembem. Tapi dengan topeng itulah nama ayah Barman, Marmo, pernah melambung sebagai pemain reog yang dikagumi pada masa jayanya.

Membebaskan Dunia Pendidikan dari “Virus” Politik

Pemilihan Presiden (Pilpres) memang baru akan berlangsung 2009 nanti. Namun, denyutnya sudah kita rasakan mulai sekarang. Para calon presiden (Capres) mulai “tabur pesona” dengan menjaga komunikasi seramah dan seefektif mungkin. Sebisa-bisanya membangun citra dan imaji positif di tengah-tengah publik untuk meraih simpati. Sikap kritis terhadap kepemimpinan RI I pun kian gencar dilakukan. Yang pasti, para Capres mulai ancang-ancang dan memasang strategi untuk menjerat rival politiknya sekaligus merangkul berbagai kelompok dan organisasi untuk membangun citra positif secara kolektif.

Dunia pendidikan dan dunia politik memang merupakan khazanah yang berbeda. Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia secara utuh dan paripurna, sedangkan dunia politik sangat erat kaitannya dengan proses bertindak dan mekanisme kebijakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan visi dan platform perjuangannya. Untuk mencapai tujuan, para politikus tidak jarang menempuh langkah dengan menghalalkan segala macam cara. Kawan bisa jadi lawan, lawan pun bisa menjadi kawan. Tidak heran apabila publik sering dibuat tercengang oleh ulah para elite politik yang suka berubah-ubah pendirian.

“Fasisme” dalam Dunia Pendidikan

Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana “fasis”, terpasung dalam cengkeraman rezim penguasa yang otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan nurani menjadi nihil.

Mereka menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri. Tidak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan negeri ini mudah digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, destruktif, bahkan mudah terkontaminasi oleh “virus” disintegrasi.

Sang Primadona

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Dada Tarmi naik-turun. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Kehadiran Surtini benar-benar membikin hatinya gerah. Sudah hampir sepuluh tahun ia malang melintang di dunia ketoprak tobong, belum pernah seorang pun yang mampu menggeser perannya sebagai rol dalam sebuah lakon. Yang membikin hatinya makin masygul, tidak ada seorang pun yang berupaya melakukan pembelaan-pembelaan. Betapa tidak sakit hati kalau tiba-tiba saja ia dicampakkan begitu saja, dibuang ke tong sampah.

Terbayang setiap kali pentas, ia bisa menghibur dirinya di tengah himpitan hidup yang berat dan sumpek. Ia bisa dengan mudah melupakan segala thethek-bengek urusan hidup yang serba ruwet. Baginya, panggung pertunjukan adalah istana yang mampu melambungkan mimpi-mimpi hidup yang serba enak dan menghanyutkan. Ia bisa dengan mudah memerankan permaisuri raja yang agung, putri istana yang cantik dan dimanjakan, pahlawan wanita yang dipuja banyak orang, pendekar yang dikagumi, atau bidadari yang dikelilingi banyak dayang. Tapi, kini kebahagiaan itu raib sudah. Tarmi menyedot napas panjang. Terasa benar, tenggorokannya amat berat seperti terganjal beban yang menyumbatnya.

Mengapa Pamor Guru Meredup?

Sinyalemen tentang meredupnya pamor guru sebenarnya sudah lama terdengar, bahkan gaungnya masih sering menggema hingga sekarang. Sosok guru menjadi objek yang gampang mengundang perhatian, tanggapan, dan penilaian tersendiri dari berbagai kalangan. Hal ini sangatlah beralasan, sebab gurulah yang berada di garda depan dalam “barikade” pendidikan sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, dan pendidik yang langsung bersentuhan dan bergaul dengan peserta didik sehari-hari di sekolah. Gurulah yang dinilai sangat dominan dalam mewarnai “kanvas” pendidikan. Tidaklah berlebihan jika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam gerak dan dinamika pendidikan, orang beramai-ramai menuding guru sebagai biangnya.

Keberadaan guru kalau boleh ditamsilkan seperti lampu bangjo. Kehadirannya sangat penting dan amat dibutuhkan untuk memperlancar arus lalu lintas. Ketika guru mampu menjalankan tugasnya dengan baik, profesional, penuh dedikasi, disiplin, kreatif, inovatif, wibawa, dan mumpuni di bidangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, bahkan menjadi sebuah keniscayaan. Ya, memang seharusnya dalam menjalankan tugas-tugas profesinya, guru harus memiliki landasan idealisme semacam itu. Lampu bangjo pun akan diperlakukan seperti itu. Tak seorang pun pengendara yang akan berteriak-teriak ketika lampu bangjo berfungsi dengan baik. Namun, ketika sang guru melakukan penyimpangan dan kesalahan sedikit saja, hal itu dianggap sebagai noda dan “dosa” tak terampuni. Gugatan dan hujatan pun terus mengalir (nyaris) tanpa henti. Hampir sama dengan para pengendara yang berteriak-teriak, bahkan mungkin mengumpat, ketika lampu bangjo mati.

Inovasi Pembelajaran dan Penyemaian Nilai Luhur Hakiki

Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan menjejalkan bejibun teori kepada siswa didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana sang murid berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian siswa didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengkrangkeng kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi.

Saya kira tak ada seorang pun yang bisa membantah bahwa guru memiliki peran yang amat vital dalam proses pembelajaran di kelas. Gurulah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, gurulah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan hakiki.