Kecemasan Menjelang UN
Sekolah Bukan Ajang Indoktrinasi
Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia persekolahan kita makin rumit dan kompleks. Sekolah tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual.
Dengan kata lain, sekolah dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna”. Namun, melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna” semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan “kemauan politik” para pengambil kebijakan untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai “panglima” peradaban, sehingga negeri ini mampu menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat dalam percaturan dunia internasional pada era global. “Kemauan politik” tersebut harus diimbangi dengan semangat dan motivasi segenap komponen dan stakeholder pendidikan, sehingga tidak hanya sekadar menjadi slogan dan retorika belaka.
Kelas Unggulan dan Akselerasi, Sebuah Tragedi
Latar Belakang Sertifikasi
Pendidikan Pencerah Spiritual
Perlukah Kontrol Bahasa di Ruang Publik?
Menurut rencana, RUU Bahasa akan disahkan pada tahun 2007. Namun, hingga saat ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Bahkan, tahap sosialisasi kepada publik belum juga usai. Terkesan alot dan berbelit-belit. Padahal, RUU itu sudah disusun sejak awal 2006. Alotnya pengesahan UU Bahasa memang bisa dipahami. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Kalau orang berbahasa mesti harus diatur segala oleh undang-undang, bisa “mati kutu”. Orang tak bisa lagi mengekspresikan pikiran dan perasaannya sesuai dengan gaya, kebiasaan, dan latar belakang kulturalnya.
Beberapa pasal dalam RUU yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal ini memang bisa ditafsirkan menghambat kreativitas publik dalam berbahasa, lebih-lebih bagi kalangan pers dan dunia usaha yang mendapatkan perhatian khusus dalam RUU ini. Bahkan, seorang pejabat pun bisa “kena batu”-nya. Dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini –konon– disebutkan pula pasal-pasal tentang penggunaan bahasa, termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak yang dinilai telah melanggar peraturan dalam berbahasa.
Menunggu Lonceng Kematian
Menunggu “Lonceng Kematian” Lewat Ujian Nasional
Jika tidak ada aral melintang, Ujian Nasional (UN) mulai SD hingga SMA/MA/SMK, akan digelar serentak pada Mei 2008. Mendiknas telah mengeluarkan Permen Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2007/2008 pada 5 November 2007.
Jika dicermati, ada beberapa perubahan mendasar dibandingkan dengan pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2007/2008, selain terjadi penambahan mata pelajaran, juga terjadi peningkatan kriteria nilai kelulusan.
Mata pelajaran yang diujikan secara nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 antara lain: 1) Mata Pelajaran UN untuk SMP, MTs, dan SMPLB meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); 2) Mata Pelajaran UN SMA dan MA: (a) Program IPA: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi; (b) Program IPS: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Matematika, Sosiologi dan Geografi; (c) Program Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya (Antropologi), dan Sastra Indonesia; (d) Program Keagamaan meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam; 3) Mata Pelajaran UN SMALB, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika; 4) Mata Pelajaran UN SMK, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Kompetensi Keahlian Kejuruan.
Korpri dan Neofeodalisme dalam Birokrasi
Pada 29 November 2007, Korpri genap berusia 36 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971 ini –warisan rezim Orde Baru– dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Dengan doktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, Korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan. Sungguh, bukan soal mudah mengakomodasi dan mengakumulasi beragam profesi dalam satu visi.
Meskipun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap.