Sobokartti: Kapitalisme versus Idealisme

Persoalan Sobokartti kembali mencuat. Dua pihak yang kini tengah bersengketa –Yayasan Kesenian Sobokartti (YKS) versus Perkumpulan Kesenian Sobokartti (PKS)—sama-sama mengklaim diri sebagai pemilik sah gedung bersejarah yang pernah menjadi “ikon” kesenian tradisional kota Semarang tersebut.

 

Pertunjukan Tayub di Grobogan

Biar Jelek Asal Mau Mendekat
Tampil dengan kostum yang kontras sebatas dada dihiasi make up yang medhok-merok dan bau parfum yang menyengat hidung, kemudian berlenggang-lenggok di atas gelaran tikar merupakan ciri khas sripanggung pertunjukan tayub. Masyarakat Grobogan menyebutnya sebagai ledhek. Mereka tampil jika diundang oleh warga desa yang kebetulan punya hajat, entah itu khitanan maupun resepsi perkawinan.

Wasit Sepak Bola dan Dunia Pendidikan

Sungguh terasa sesak dada saya ketika menyaksikan pertandingan sepak bola Penyisihan Grup Piala Asia antara PSSI vs Arab Saudi, Sabtu, 14 Juli yang lalu. Bukannya persoalan kualitas pemain yang memang Arab Saudi harus diakui lebih baik daripada pemain-pemain kita. Arab Saudi jelas memiliki tradisi sepak bola yang lebih baik karena sudah berkali-kali mengikuti ajang bergengsi; Piala Dunia. Sekali lagi bukan persoalan kualitas pemain, melainkan lebih disebabkan oleh kepemimpinan wasit asal Uni Emirat Arab itu yang bikin saya ikut-ikutan kesal.

Menulis Buku Teks

Menulis buku teks merupakan pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Mereka yang sudah terbiasa duduk berlama-lama di depan layar monitor komputer pasti bilang bahwa menulis buku teks ternyata mengasyikkan. Hampir-hampir lupa waktu. Namun, bagi mereka yang jarang berhadapan dengan komputer, menulis jadi pekerjaan yang amat menjenuhkan dan menyulitkan. Belum lagi mesti mematuhi standar penilaian buku pelajaran yang biasanya sudah ditentukan oleh Pusat Perbukuan atau Tim Editor Penerbit Buku.

KETIKA PENDIDIKAN MEMBERHALAKAN PASAR

Dalam sebuah kesempatan, Garin Nugroho, pernah bilang bahwa dunia pendidikan kita tidak lagi mencerahkan dan telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai-nilai rasionalitas dan etos kerja keras, misalnya, telah disulap menjadi sikap instan. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tetapi dikembalikan pada pasar (Suara Pembaruan, 20/3/07).

Kelulusan dan Perilaku Vandalistis

Jumat, 22 Juni 2007, pukul 14.00 WIB, sekolah mengundang orang tua/wali murid kelas 9 untuk menerima hasil ujian. Sebuah momen yang mendebarkan, menegangkan, dag-dig-dug, dan senam jantung. Ya, jerih payah anak-anak bangsa selama tiga tahun lamanya akan ditentukan pada saat itu. Hanya ada dua jawaban yang mereka tunggu: “Lulus” atau “Tidak Lulus”.

Ancaman

Cerpen Sawali Tuhusetya

Jam di tembok ruang tamu menunjuk angka 08.30 pagi. Miranti terkesiap ketika tiba-tiba saja seorang lelaki –entah dari mana datangnya—sudah berdiri di depan pintu. Tubuhnya kurus. Dekil. Rambutnya gondrong acak-acakan. Pakaiannya lusuh. Matanya yang kuning kemerahan menyorot liar. Daraha Minranti mendesir. Ia letakkan koran yang barusan dibacanya ke atas meja.

Waspadai Komersialisasi Pendidikan

Tradisi tahunan kembali digelar. Dunia persekolahan kembali ramai disibukkan menerima siswa baru. Dari tahun ke tahun, rutinitas semacam itu hampir selalu memunculkan fenomena komersialisasi. Ya, komersialisasi pendidikan yang menyertai momentum pendaftaran siswa baru agaknya sulit dibendung. Paling tidak, fenomena semacam itu bisa dilihat dari dua persepektif. Pertama, merebaknya kultur instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan. Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan.

Guru dan “Virus” Gaptek

Untuk pertama kalinya saya menggunakan WordPress untuk mengabadikan pikiran, gagasan, dan perasaan saya ke dalam sebuah halaman blog. Lebih kurang dua pekan sebelumnya, saya sudah menggunakan blogspot melalui URL: http://jalan-mendaki.blogspot.com/ Semula, saya hanya berkeinginan iseng saja. Namun, begitu saya melakukan registrasi dan dibimbing untuk memasuki dunia blog wordpress, ada sesuatu yang terasa beda. Yang pertama kali saya lacak adalah tampilan template-nya. Saya terkejut. Begitu banyaknya pilihan tampilan yang bisa dipilih para pengguna sehingga bisa menjatuhkan bentuk tampilan yang paling oke dan “maknyus”. Di blogspot, saya sudah berkali-kali melakukan perubahan template. Namun, seringkali terjadi, sebagian besar widget yang sudah saya download dengan susah payah banyak yang hilang sehingga harus login dan kembali memermaknya.