Waspadai Komersialisasi Pendidikan

Tradisi tahunan kembali digelar. Dunia persekolahan kembali ramai disibukkan menerima siswa baru. Dari tahun ke tahun, rutinitas semacam itu hampir selalu memunculkan fenomena komersialisasi. Ya, komersialisasi pendidikan yang menyertai momentum pendaftaran siswa baru agaknya sulit dibendung. Paling tidak, fenomena semacam itu bisa dilihat dari dua persepektif. Pertama, merebaknya kultur instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan. Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan.

Kedua, kekeliruan dalam menafsirkan makna otonomi sekolah yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalam dunia persekolahan. Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana institusi, sebuah seolah seolah-olah dianggap sah apabila melakukan berbagai cara untuk mengembangkan institusi, termasuk dengan melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal, sejatinya, otonomi sekolah mesti dimaknai sebagai upaya untuk memberdayakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di sekolah yang bersangkutan, baik dari sisi akademik maupun nonakademiknya. Namun, diakui atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya budaya mutu yang dikembangkan di sekolah, melainkan budaya “petak umpet” untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan berkedok otonomi sekolah.

Jika fenomena komersialisasi pendidikan semacam itu tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin akan memicu munculnya berbagai dampak negatif yang bisa menghambat sekolah dalam upaya mewujudkan budaya mutu yang gencar digembar-gemborkan itu. Ada-ada saja praktik ketidakjujuran yang mewarnai pelaksanaan PSB di berbagai sekolah, seperti menjual stofmap, baju seragam, atau mengeruk dana pengembangan institusi — atau apapun namanya — melalui kegiatan wawancara. Dengan otoritas yang dimilikinya, pihak sekolah seolah-olah berhak untuk mengeruk keuntungan sehingga terkesan, anak mereka yang berduit saja yang berhak untuk bersekolah.

Ketika dunia persekolahan sudah dicemari oleh berbagai praktik ketidakjujuran, manipulasi, dan berbagai ulah kecurangan lainnya, maka yang terjadi kemudian adalah proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Bagaimana mungkin tidak terkebiri kalau anak-anak tak mampu yang sebenarnya memiliki otak cemerlang akhirnya harus tersingkir dari dunia persekolahan yang diinginkannya? Bagaimana negeri ini bisa maju kalau generasi-generasi brilian justru harus mengalami proses “cuci otak” lantaran gagal duduk di bangku sekolah yang diinginkan?

Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan. Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan, mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.

Idealnya, dunia pendidikan harus mmampu menjalankan fungsinya sebagai pusat kebudayaan dan peradaban. Segala macam nilai tertabur di sana. Harapannya, sekolah benar-benar mampu melahirkan generasi-generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial.

Namun, secara jujur harus diakui, sekolah belum mampu menjalankan fungsi hakikinya di tengah-tengah perubahan dan dinamika budaya yang terus berkembang. Jika sekolah gagal menjadi agen perubahan, bukan tidak mungkin kelak negeri ini hanya akan dihuni oleh manusia-manusia berwatak korup dan cenderung menghalalkan segala macam cara dalam mendapatkan sesuatu.

Oleh karena itu, sebelum telanjur negeri ini menjadi “Republik Korupsi”, ada baiknya sekolah kembali difungsikan perannya sebagai agen perubahan sehingga pelan tetapi pasti akan lahir generasi-generasi yang jujur dan luhur budi. Negeri kita amat membutuhkan generasi-generasi yang mengharamkan KKN dalam menjalankan hidup dan kehidupannya. Dan itu sebenarnya bisa dimulai ketika mereka masih duduk di bangku pendidikan. Gagasan tentang gerakan “sekolah bebeas korupsi” hendaknya menjadi agenda penting yang perlu dilaksanakan sejak pendaftaran siswa baru dimulai hingga akhirnya kelak mereka selesai menimba ilmu.

Para pengambil kebijakan sudah saatnya turun tangan untuk menindak tegas terhadap sekolah-sekolah yang –baik dengan dengan sengaja maupun tidak — menjadikan momentum PSB sebagai upaya untuk mengkomersialisasikan pendidikan. Orang tua pun berhak untuk menolak apabila ada upaya dari sekolah tertentu untuk mengambil keuntungan. Apalagi di tingkat pendidikan dasar pemerintah sudah memberikan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk kegiatan operasional di sekolah. Itu artinya, penarikan dana dari orang tua (masyarakat)jangan sampai terlalu membebani yang bisa mengakibatkan anak-anak berotak cemerlang tidak mampu mengembangkan potensi dan talentanya secara utuh dan paripurna. ***

Nah, ada yang ingin memberikan tanggapan? Silakan posting komentar Anda!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *