Sastra Kita Miskin Pemberontakan?

Sekitar tahun 1983, Budi Darma pernah menyatakan, jika Anda belum dikenal sebagai sastrawan, cobalah memberontak. Katakan sastra hasil karya para sastrawan kita belum berbobot. Atau, tulislah sebuah puisi yang nyentrik. Paling tidak, ada dua kandungan tafsir yang tersirat di balik pernyataan pengarang novel Olenka itu.

Pertama, sebagai ”pasemon” terhadap ”tradisi” pengarang yang suka bikin sensasi lewat eksperimentasi penciptaan yang mentah dan konyol, tanpa dibarengi akuntabilitas moral dan etik. Artinya, pemberontakan hanya dilakukan untuk memburu ketenaran nama an sich, tidak berbasisikan kultur penciptaan yang dengan sangat sadar dilakukan untuk melahirkan teks-teks kreatif yang bernilai.

Kedua, pemberontakan bisa dimaknai sebagai upaya pengarang dalam melakukan perburuan kreativitas penciptaan yang lebih berbobot sehingga mampu menghembuskan napas dan arus kesadaran baru lewat teks-teks sastra masterpiece dan menyejarah. Atau, lewat pemberontakan yang dilakukan, sang sastrawan sanggup menancapkan tonggak sejarah baru di tengah-tengah dinamika sastra.

Hampir setiap angkatan, sejarah sastra kita mencatat munculnya para pemberontak yang berupaya melakukan pembebasan ”mitos” penciptaan teks-teks sastra. Pemberontakan yang mereka lakukan bukanlah sikap latah yang berambisi melambungkan nama di tengah jagad kesastraan, tetapi lebih berupaya untuk mencari dan menemukan bentuk pengucapan yang sesuai dengan tuntutan hati nurani dan kepekaan estetiknya.

Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Chairil Anwar lewat sajak ”Aku” pada Angkatan ’45, Sutardji Calzoum Bachri lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat kumpulan cerpen Godlob pada era 1970-an adalah beberapa nama yang bisa dibilang sukses melakukan pemberontakan kreatif sehingga bobot kesastraan mereka amat diperhitungkan dalam diskursus sastra. Tentu masih banyak pengarang lain yang dengan amat sadar meniupkan roh dan semangat pemberontakan dalam karya-karya mereka.

Lantas, bagaimana dengan ”pemberontakan” para sastrawan kontemporer kita? Agaknya, atmosfer peradaban yang tidak lagi sarat dengan pemasungan dan ketertindasan terhadap penciptaan teks-teks kreatif, justru seringkali memandulkan sikap pemberontakan itu. Tak ada lagi tantangan untuk menciptakan teks-teks yang lebih ”liar” dan mencengangkan. Miskinnya pemberontakan para sastrawan kontemporer itu bisa jadi makin memperkuat dugaan bahwa negeri kita memang bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Apalagi tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesastraan masih berada pada aras yang amat rendah.

Kondisi semacam itu diperparah dengan langkanya penerbit yang memiliki idealisme untuk menghidupkan dan menggairahkan terbitnya buku-buku sastra. Untung rugi secara finansial agaknya menjadi pertimbangan utama para penerbit dalam meluncurkan buku-buku sastra. Mereka tak akan berbuat konyol dengan menerbitkan buku-buku sastra kalau pada akhirnya ”jeblog” di pasaran.

Mandulnya peran Dewan Kesenian (Komite Sastra) dalam memberdayakan kantong-kantong sastra di daerah pun memiliki andil yang cukup besar dalam ”membunuh” pemberontakan para pengarang lokal. Keberadaan Dewan Kesenian tak lebih dari sebuah perpanjangan tangan birokrasi yang lebih sibuk mengurus persoalan-persoalan administratif dan pendanaan ketimbang substansi dan esensi kesastraan. Akibatnya, potensi lokal-genius kesastraan tak bisa berkembang. Aktivitas sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik (nyaris) tak pernah tersentuh.

Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil nasib sastra kita makin merana dan tak terurus. Dalam konteks demikian, dibutuhkan sinergi dan kesadaran kolektif semua pihak untuk memosisikan sastra pada aras yang lebih terhormat. Sebagai kreator, sang sastrawan dituntut memiliki ”nyali” pemberontakan kreatif dalam melakukan perburuan, inovasi, serta eksplorasi aspek muatan nilai dan penyajian sehingga mampu menancapkan tonggak yang melegenda dalam khazanah sastra kita. Jika proses ini berhasil, penerbit yang masih memiliki idealisme terhadap persoalan-persoalan kebudayaan dan kemanusiaan pasti akan memburunya. Dimensi hidup dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat kita perlu terus digali dan diangkat ke dalam teks-teks sastra sehingga mampu memancarkan ”aura” kemanusiaan bagi penikmatnya. Melalui kepekaan intuitifnya, sastrawan kita diharapkan mampu menafsirkan dan menerjemahkan berbagai persoalan mikro dan detil kehidupan menjadi lebih bermakna.

Masih banyak persoalan sastra yang belum tergarap secara serius, termasuk meningkatkan apresiasi publik terhadap sastra. Dunia pendidikan sebagai wadah pemberdayaan anak bangsa perlu dijadikan sebagai ajang apresiasi dan pembumian nilai-nilai kesastraan. Jika, memungkinkan, program ”Sastrawan Masuk Sekolah” yang dulu pernah gencar dilakukan perlu dihidupkan kembali untuk membantu guru-guru bahasa dan sastra yang selama ini dinilai telah gagal dalam menanamkan apresiasi sastra kepada siswa didik. Nah, bagaimana? ***

Comments

  1. Apakah saya prtamax?

    Aku ingin menjadi peluru !
    Ketika kritik dianggap penyakit
    Ketika suara rakyat dianggap subversif
    dan darah sudah tertumpah,
    Maka hanya ada satu kata: Lawan !

    BEtul pak sawali, apa artinya keindahan jika tidak berguna bagi kemanusiaan, maka hanya polesan yang menjadi hiasan dinding belaka. Karya-karya perjuangan akan tetap relevan di jaman apapun meskipun dalam konteks yang berbeda.
    Apa artinya tulisan jika hanya untuk kesenagan pribadi, sedangkan di sekeliling penuh dengan kesengsaraan. *halahhh sok tahu* Hidup kepekaan sosial kemanusiaan !!!! hehe

    laporans last blog post..Intrik Para Raja di Makam Imogiri

    hehehe 😆 betul pertamax, pak aryo. saya sependapat, pak. teks sastra idealnya memang mengangkat persoalan2 kemanusiaan, dan tak melulu menghamba pada dewa estetika, haks :oke

  2. Sepertinya sastra kita kebanyakan bertema Cinta.. Jadi gag memberontak degh..

    cerita yang begitu seringkali digolongkan ke dalam sastra pop, mas totz, hehehe :oke

  3. [……Mandulnya peran Dewan Kesenian (Komite Sastra) dalam memberdayakan kantong-kantong sastra………]

    Ayo bangkkit dan “memberontak” Sastrawan/wati daerah.Ayo pimpin Pa Sawali !

    aminherss last blog post..Why do Teachers give Home Work ?

    kekekeke 😀 kok jadi nunjuk saya, pak amin, hehehehe :oke

  4. Jadi, sudah siapkah rencana pemberontakan itu pak? :mrgreen:

    danalinggas last blog post..Putih

    hehehe 😆 pemberontakan itu menjadi hak prerogatif sepenuhnya dari sang penulis kok, mas dana 💡

  5. segera lapor BIN, pak sawali mau makar!
    ***maaf pak, saya gak mudheng sastra je!***
    btw, saya rasa masih ada kok pak penerbit yang idealis. biasanya segelintir orang yang membentuk komunitas dan mau berkorban dan tidak mengharapkan keuntungan finansial sih….

    kekekeke 😆 bisa jadi BIN malah ngakak melihat saya, pak, hehehe 😀 ttg, penerbit, saya juga yakin masih ada pak yang memiliki idealisme. :oke

  6. Memang ada semacam wacana pemikiran, bahkan sudah tergelincir pada gurauan umum, bahwa: kalau mau melejit, ya bikin sensasi lah!

    Tapi menurutku, seorang avant-garde tak perlu menyengajakan bikin sensasi atau “ulah”. Karena kalau ingin menjadi seorang yang terdepan dalam berkarya, orsinalitas karyanya akan berbicara dengan sendirinya. Dan sudah barang tentu: dibicarakan.

    Manajemen lembaga kesenian dari dulu sampai sekarang persoalannya masih itu-itu saja. Baik di pusat maupun daerah. Memang tidak jalan di tempat. Ada banyak progress terlihat. Tapi kalau kita terus-menerus memusingkan soal peran lembaga kesenian, wah, kitanya yang nggak selesai-selesai. Bukan lembaganya.

    Mesti ada yang kita lakukan. Kerjasama perlu. Tapi kalau ternyata atmosfirnya tidak mendukung, ya do something lah. Tidak perlu menggantungkan pada lembaga atau pemerintah atau pihak mana pun yang hanya asyik di seputar wacana.

    Kalau ada guru yang “memberontak” kan seru. Mengusung nilai-nilai baru, cara baru, pendekatan baru, tapi tetap pada pakemnya. Nah, guru avant-garde tuh! Hehe.

    sepakat banget dengan mas daniel. dewan kesenian agaknya telah menjadi institusi formal sehingga ndak perlu harus mengandalkannya. kekuatan personal lewat karya jelas akan lebih punya makna. 🙄

  7. Yang biasanya terjadi di negeri ini…. berontak kan demi perut sendiri bukan demi kemajuan bidang yang digelutinya. Pendek kata di sini “pembrontakan” sudah ada, tapi tujuannya untuk kepopuleran diri atau untuk merusak tatanan yang telah ada sebelumnya, bukan untuk kemajuan bidang yang digelutinya.

    Tapi kan….. bukannya bangsa ini senang dengan keadaan “status quo” selama keadaan tersebut tidak mengancam eksistensi dirinya?? Jadinya mau “berontak” juga susah, apalagi berontak yang kreatif yang belum tentu mendapat sambutan (tapi toh jadi terkenal). Daripada capek2 berkreatif ria, mendingan ya… ikutin arus aja deh…. biarpun nggak berkembang juga !! Begitu kan kebanyakan pemikiran di masyarakat kita??

    Yari NKs last blog post..Orangutan Prima Donna Primo Animale Satwa Kita…

    hehehe 😆 itulah kenyataan yang terjadi di tengah2 masyarakat kita, bung yari. siapa menguntungkan siapa, dan apa menguntungkan apa, itulah yang sering dijadikan sebagai “paham baru” di tengah peradaban yang sakit ini. mudah2an saja “pemberontakan” yang dilakukan sastrawan bukan dilandasi pamrih2 sempit semacam itu :oke

  8. di dunia lain (bukan sastra) banyak orang yang mampu merobek dinding tembok dengan jari kelingking kirinya. banyak teman yang mampu melompat keangkasa dengan sekali hentak. Banyak keberanian yang melewati batas ketakutan. Tapi… pemberontak2 itu hanya tersudut di pojok ketidakmampuan. Da pa dengan negeri ini ya, pak? Apa benar pemberontakan saja tidak cukup?

  9. aku termasuk “pasemon ” ya pa sawali ?

    ubadbmarkos last blog post..Kecupan pertama

    hehehehe 😆 pak marko malah sudah bisa menilai sendiri, kan? hehehe 🙄

  10. Revolusi diperlukan untuk merubah tatanan yang kurang benar menjadi perubahan yang mendasar.
    Jadi tidak cukup pemberontak tapi revolusi,
    walah …..

    wah, pak sumintar ternyata malah lebih ekstrem, haks 🙄

  11. Salam
    Belum ada kata gagal Pakde selama masih terus ada usaha, tul ga? Oh ya, saya akan sangat mendukung Pakde atau siapapun untuk mempelopori “pemberontakan” (kesusatraan) guna “menciptakan teks-teks yang lebih ”liar” dan mencengangkan” gimana Pakde?? *kok balik nanya*

    nenyoks last blog post..U

    ok, makasih, mbak nenyok. saatnya utk melakukan pemberontakan lewat teks sastra 🙄

  12. Takut di blacklist!

    Aku termasuk orang yang diblacklist dr list alumni oleh moderator gara-gara aku terlalu vokal.

    Juliachs last blog post..Ujian Stir Mobil

    wew… terlalu vokal? kok langsung diblakc-list, ya, mbak julia. waduh, repot! 🙁

  13. Dari berbagai resensi atau komentar, puisi, cerpen, dan novel (sedang digarap) karya saya, kata mereka sih ‘pemberontakannya’ kentara banget tu. Sayang, kata ‘kita’ dalam kontek tulisan Pak Sawali saya ngak masuk kali ya.

    Buku Puisi “Surat Buat Kekasih’ dirensei habis di Banjarmasin Post dengan judul: Ketika Pemberontak Menulis Puisi. Becanda aja Pak, dan sedikit pamer, he he. Salam.

    nggak pamer kok, pak ersis. sayang sekali saya belum sempat membaca karay2 fiktif pak ersis secara utuh. salut juga nih pak ersis masih sempat utk membidik tulisan2 fiksi 🙄

  14. Wah, jadi terntantang nih saya, Pak… :294

    harus itu, mas aris. kalau ndak segera dimulai, lalu kapan? hehehehe :oke

  15. “Tak ada lagi tantangan untuk menciptakan teks-teks yang lebih ”liar” dan mencengangkan”

    setuju pak. REBUT!!! :mrgreen:

    Pandas last blog post..Ryan, Jombang dan Award

    sepakat bung panda, hehehe 🙄

  16. sepertinya sudah ada karya sastra yang memberontak dari jamannya Pak seperti Laskar Pelangi :mrgreen:
    & saya juga coba mengangkat sastra jawa Pak, tapi emang benar kadang dalam hati kecil ada juga godaan tuk sekedar memburu ketenaran 😕 cuma tidak pede saja 😡 (sebenarnya kurang kualifikasinya dalam sastra krna saya cuma ungkapkan keprihatinan akan negri ini, yang tema2 sperti ini sebenarnya juga tema yang agak pasaran)

    tomys last blog post..HAYWA SAMAR

    wah, tema yang bagus banget tuh, pak tomy.salut juga nih dengan kreativitas pak tomy yang terus mengalir 🙄

  17. Aku hanya mau mengomentari penggalan paragraf yang ini Mas :

    Miskinnya pemberontakan para sastrawan kontemporer itu bisa jadi makin memperkuat dugaan bahwa negeri kita memang bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Apalagi tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesastraan masih berada pada aras yang amat rendah.

    Sayang ya, padahal Indonesia adalah sumber bahan yang melimpah ruah untuk menghasilkan karya sastra yang berbobot. Bangsa dan negara ini begitu kompleks, unik, hangat, indah, kadang memanas, kemudian sejuk sendiri, kaya dengan satir, menyuakai humor, tapi seringkali amat tragis.

    Indonesia adalah gabungan manusia abad 15 dan manusia abad 21. Kuali adukan raksasa bagi ratusan suku yang memiliki corak dan karakter yang bereda satu sama lain. Tempat dan proses pergolakan agama-agama impor menjalani naturalisasi atau kawin dengan agama-agama pribumi.

    Heran, kenapa tidak lahir karya yang menggigit mengenai pergolakan sosial-politik tahun 60 sampai 70-an ? Pembunuhan massal terkait dengan G 30 S seharusnya bisa melahirkan karya sastra yang bobotnya setara dengan War and Peace.

    Kejatuhan rezim Soeharto harusnya bisa melahirkan karya yang akan jadi panduan kultural bagi bangsa ini untuk melangkah maju dan meraih titik keseimbangan yang baru.

    Tumbangnya usaha pertanian rakyat, dan merajalelanya modal asing sampai ikut mengasong (Carrefour, Giant, dll), mestinya bisa melahirkan karya yang membumi seperti Ronggeng Dari Dukuh Paruk.

    Menurut aku, bukan ketiadaan peran lembaga-lembaga sastra yang membuat sastrawan kita mandul, tapi karena belum ada manusia merdeka di tengah-tengah kita. Kita hanya sedikit lebih bebs dibanding lelulur kita yang dijajah Belanda sejak empat abad silam; mungkin karena setelah itu kita kembali dijajah oleh mistisisme, fatalisme, dan hedonisme.

    Robert Manurungs last blog post..Laris Manis “Pengantin Pesanan” dari Singkawang

    wah, terima kasih banget tambahan opininya, bung robert. komentar ini makin memperluas wacana betapa pentingnya nilai “pembertontakan” itu dalam sebuah teks sastra. ok, bung robert, terima kasih infonya 🙄

  18. Saya menanggapi Komentar dari @Robert Manurung mas

    Betul mas potensi sastrawan di indonesia sendiri itu sangat besar itu terlihat dari beribu-ribu tahun yang lalu dimana banyak peninggalan budaya sastra kita yang di ambil oleh pihak penjaja dulu mas

    Contohnya saja Epos La Galigo mas epos budaya bugis yang tekenal di belahan dunia yang diyakinin EPOS tersebut lebih panjang dari EPOS Mahabaratha di India. itu menandakan bahwa Sastrawan indonesia enggak kala kok dengan mereka di barat sana malahan Sastrawan Baratlah yang mengadopsi karya2 Indonesia dahulu kala

    Sukses mas

    makasih infonya. nah epos yang banyak mengandung nilai kearifan lokal semacam itu yang perlu terus digali dan dikembangkan. salut banget buat mas mustafa 🙄

  19. dulu ketika zaman sangat represif (orla dan orba) dunia sastra begitu menggeliat, sanagt apresiatif terhadap kondisi kala itu. Namun pasca 98 kok loyo??? ada apa gerangan, apa kita perlu kembali kemasa lalu?

    arios last blog post..aku takkan pernah lelah berusaha mengenali dirimu

    hehehe 😆 sejarah kayaknya nggak bisa dibalik, mas ario. masa2 represif justru biasanya menjadi ladang subur bagi kreativitas sastrawan, mas 💡

  20. aku cuma mau tanya, apa sesungguhnya pemberontakan itu? pemberontakan dalam sastra itu apa? kepada pihak mana pemberontakan itu harus ditujukan? benarkah sastra membutuhkan pemberontakan?

    Siallagans last blog post..Mimpi Indah

    hehehehe 😆 menurut bung panda sendiri gimana? pemberontakan dalam konteks ini jelas berkaitan dg dunia penciptaan yang berkaitan dg daya jelajah kreativitas. keberanian utk mengeksplorasi, baik dari sisi muatan isi maupun penyajian, akan menjadi warna “pemberontakan” dalam sastra utk “melawan” stagnasi sastra. tapi itu menurut saya, loh, hehehe 😆 saya yakin bung panda memiliki sudut pandang yang lain. sah2 saja kok! dunia sastra merupakan dunia yang merdeka dan siapa pun berhak untuk menyatakan pendapatnya :oke

  21. @ gelandangan

    Aku senang sekali karena Bung ikut nimbrung di sini. Terima kasih telah mengingatkan mengenai epos La Galigo. Salam.

    @ ario

    Benarkah ketika zaman represif (orba, orla) dunia sastra kita begitu menggeliat ?

    Menurut pendapatku, dalam kurun itu dunia sastra kita hanya melahirkan karya-karya bersifat reaktif; itupun kebanyakan terlalu simbolik atau malahan absurd.

    Coba bandingkan karya-karya sastrawan masa itu dengan Max Havelaar-nya Multatuli atau Bumi Manusia-nya Pramudya.Jauh!

    Salam Merdeka!

    Robert Manurungs last blog post..Laris Manis “Pengantin Pesanan” dari Singkawang

    wah, makasih bung robert yang telah ikut memperjelas berbagai respon terhadap postingan ini 🙄

  22. Maaf Pak Sawali, saya rada oon dikit. Kalau pemberontakan sastra itu pakai acara berdarah-darah nggak?

    Maaf, Pak. Kali ini nanya dulu ya… 💡

    Moh Arif Widartos last blog post..Bloger Benteng Goes To Citra Raya

    kekekeke 😆 walah, kalau harus berdarah2, merapa nyawa yang mesti melayang jadi korban, mas arif? haks :sad

  23. Benar pak Sawali, karya sastra yang terlihat di toko buku, pengarangnya masih itu-itu saja…banyak sih pengarang baru, tapi kebanyakan beraliran “pop”. Benarkah istilah saya ini?
    Yang kata anak bungsuku bacanya ringan banget…..dan begitu selesai tak membekas….

    edratnas last blog post..Hari-hari itu semakin dekat

    hehehe 😆 wah, saya kira tidak salah, bu. banyak juga buku2 fiksi yang bergaya ngepop. tapi justru buku2 semacam itu yang lari di pasaran 💡

  24. Hukum besi berlaku di sini ya Pak. Latar belakang sosial atau kondisi suatu negara yang penuh dengan tekanan membuat karya sastra lebih “berbunyi”. Setelah runtuhnya Orde Baru yang membuka keran kebebasan seluas-luasnya, tampaknya kurang bisa diharapkan karya sastra yang luar biasa. Tapi masa sih? Bukannya di negara maju seperti USA dan negara2 Eropa, sastranya tetap berkembang? Mohon pencerahan, Pak.

    Hery Azwans last blog post..Kun Fayakun 3

    situasi represif memang seringkali justru memicu sastrawan menjadi lebih kreatif. karya2 besar seringkali lahir dalam situasi seperti itu. waduh, mohon pencerahan? nah, itu yang aku nggak bisa mas azwan, hehehe :oke

  25. bukannya Komunitas Utan Kayu dengan “Satra Kelamin” nya juga termasuk pemberontakan pak ?
    (ah maap pak masih kebawa aura negatif jurnal Boemipoetera dari Komunitas Seni Indonesia nih ) :DD

    btw, kriteria tidak memberontak dan memberontak itu apa sih pak ? :acc

    hehehe 😆 bisa juga, mas nin, tuk dikatakan sebagai sebuah “pemberontakan”. tapi makna pemberontakan itu sendiri menimbulkan banyak penafsiran, sangat tergantung dari aliran sastra yang dianutnya. :oke

  26. sejatinya sastra kita bertemakan kemanusiaan dan pembangunan, dan ini mungkin agak sejalan dengan para pujangga sebelumnya baik pujangga lama maupun pujangga baru yang lebih mengarah kepada gelora perjuangan karena memang zaman itu adalah zaman penjajahan. dizaman kemerdekaan sekarang kita tidak hanya sekedar tinggal mengisinya doang tapi harus tetap merangsang perjuangan terutama pada ketidak adilan terhadap rakyat. Sastra adalah salah satu sarana bagi kita untuk memotivasinya,bahasanya indah penuh cinta tapi mengigit dan terkadang membuat para penguasa merinding. hayo budayakan sastra Indonesia……!

    jiwakelanas last blog post..BELAJAR BERDOA DARI PARA NABI

    makasih banget info dan apresiasinya, mas jiwakelana 🙄

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *