Pembacaan Cerpen dan Diskusi Kumcer “Di Kereta Kita Selingkuh”

Kategori Cerpen/Sastra Oleh

Minggu, 27 Juli 2008 (pukul 09.00-13.30 WIB), aula Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kendal-Jateng, menjadi saksi sebuah perhelatan sastra. Agenda bertajuk ”Diskusi Sastra: Pembacaan Cerpen-cerpen Karya Budi Maryono” yang digelar oleh Teater Semut itu menghadirkan pembacaan cerpen ”Lelaki Terakhir” secara teatrikal. Adegan kekerasan melalui kebuasan keris “kutukan” Empu Gandring yang bertubi-tubi menghabisi nyawa korbannya telah membuat panggung tak lebih dari sebuah ladang pembantaian roh dan nilai kemanusiaan. Tragis dan menyayat kepekaan nurani kita.

Sebagai sebuah genre fiksi, ”Lelaki Terakhir” yang mengangkat tokoh Ken Dedes yang berubah jadi biadab itu, jelas telah mengalami proses transfigurasi kreativitas. Budi Maryono (BM) tak sekadar mengangkat kembali mitos lama itu ke dalam sebuah teks, tetapi juga mengakrabkannya pada konteks kekinian ketika wacana dunia kaum perempuan beramai-ramai diusung oleh para pejuang perempuan. Itulah sebabnya, yang menjadi sentral ”Lelaki Terakhir” justru sosok Ken Dedes yang diperankan dengan apik oleh Lince, awak Teater Semut itu.

”Dasar laki-laki! Pembohong kau, Gandring!”

”Pasti dan selalu ada laki-laki dalam dirimu, Perempuan. Seperti selalu ada perempuan dalam laki-laki. Jika kau ingin melunaskan dendam, bunuhlah dirimu sendiri!”

Tiba-tiba saja Dedes melihat Arok tertawa. Hanya Arok. Tak ada Ametung atau Kebo Ijo, bahkan juga tak ada Gandring. Apalagi beratus beribu laki-laki lain. Hanya Arok!

Dedes mengacungkan keris kutukan ke langit dan berkata dengan gagah perkasa. ”Telah kubunuh kau, Laki-laki. Kubunuh kau beribu kali. Maka tak akan aku termakan hasutanmu. Tak akan pernah!”

Begitulah ending ”Lelaki Terakhir” itu. Agaknya, BM tak ingin mendikte pembaca. Dia sengaja mengakhiri cerpen ”teror” itu dalam sebuah dialog. Keutuhan narasi diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menafsirkan dan menerjemahkannya. Sebuah cerpen yang bagus, indah, dan sarat makna.

Tentu saja, masih banyak cerpen lain yang menarik untuk dibacakan secara teatrikal. Namun, 20 cerpen yang terkumpul dalam ”Di Kereta Kita Selingkuh” itu mustahil bisa terdedahkan semuanya secara visual dan atraktif kepada sekitar 150-an pengunjung dari kalangan guru, siswa, dan masyarakat umum, yang hadir. Walhasil, kumcer setebal 175 halaman yang dijual seharga 35 ribu rupiah itu jelas akan menghadirkan nilai-nilai dan pengalaman-pengalaman baru ketika suntuk dibaca.

Usai pembacaan cerpen, diskusi pun digelar. Ada banyak pertanyaan menarik yang ditujukan kepada BM. Saya –yang kebetulan didaulat menjadi moderator *halah*– mencatat, setidaknya ada tiga pertanyaan penting berkaitan dengan kreativitas BM dalam menerbitkan cerpen-cerpennya itu. Pertama, sosok perempuan yang selalu dibidik BM dalam cerpen-cerpennya. Kedua, soal perselingkuhan yang menjadi pusat ”magnet” dalam kumcer. Ketiga, soal penerbitan mandiri (self publishing).

Dengan gaya khasnya, cerdas dan retorik, BM menuturkan bahwa dia memang sangat mencintai perempuan. Karena itu, dia sangat menjunjung tinggi dan memuliakan kaum hawa dalam cerpen-cerpennya. Tak heran jika redaktur rubrik ”Kantin Banget” yang terbit setiap Minggu di harian Suara Merdeka itu sangat akrab dengan kaum perempuan dan dunianya. Tentang perselingkuhan? Dengan gaya sedikit nakal, BM menyatakan bahwa perselingkuhan itu bisa hinggap di kepala siapa saja. Baginya, selingkuh tak melulu dalam bentuk fisik, tetapi juga selingkuh hati dan pikiran. Justru yang terakhir itulah yang acapkali ”membahayakan” kehidupan rumah tangga.

BM menggambarkan bahwa kehidupan rumah tangga itu ibarat kereta yang selalu berjalan lurus dalam satu jalur. Tak pernah ke kiri atau ke kanan. Namun, laju kereta api juga acapkali menimbulkan goncangan, anjlog dari rel, bahkan tak jarang terjadi kecelakaan. Dalam kondisi demikian, BM justru ingin menyampaikan pesan moral untuk mengurangi derajat perselingkuhan agar laju kereta tetap nyaman dan tak terjadi banyak goncangan. Bahkan, jika dibaca lebih serius, lanjut BM, cerpen-cerpen yang terkumpul dalam ”Di Kereta Kita Selingkuh” memancarkan semangat religius, tidak seperti dugaan banyak orang kalau cerpen-cerpennya terlalu banyak menjual dunia kaum perempuan dan lendir.

Tentang penerbitan mandiri? Secara jujur, BM bertutur bahwa dia bersemangat untuk menerbitkan cerpen-cerpennya secara mandiri setelah banyak penerbit menolaknya. Alasannya? Lagi-lagi alasan klasik. Penerbit khawatir kalau kumcernya nanti bakal tidak bersahabat dengan pasar. Akhirnya, dengan semangat dan bantuan kolega-koleganya, BM bertekad untuk menerbitkannya secara mandiri. Oleh karena itu, untuk menghargai jerih payahnya, BM sengaja tidak membagikan kumcer tersebut secara gratis, termasuk kepada rekan-rekan dekatnya. ”Semua harus beli, hehehehe … !” tuturnya sambil tertawa.

Ok, Bung BM, semoga kumcer ketiga yang diterbitkan secara mandiri setelah ”Tamu-Tamu Allah” dan ”Siluet Bulan Luka” itu bisa laris manis dan menjadi jalan untuk memicu ”adrenalin” dalam melahirkan teks-teks cerpen yang lebih liar dan mencengangkan.

Sampeyan tertarik untuk mengetahui sosok BM dan karya-karyanya? Silakan main-main ke sini. Yaps, salam kreatif! ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

51 Comments

  1. Kalau ada acara semacam ini pasti selalu ada keasyikkan melihat teman-teman telah berkarya.

    Bukunya sudah dijual bebas, belum om?

    Zul …s last blog post..Cerpen: Jukung

    bener, pak zul. selalu menarik. btw, ttg buku, saya ndak tahu juga, pak. semua penerbit yang ngatur, haks ….

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Cerpen

Berlari Semakin Jauh

Cerpen: Ali Syamsudin Arsi Dia datang dari sebuah kampung di pinggiran wilayah

Kereta Hujan

Cerpen Sungging Raga Dimuat di Harian Global (11/20/2010) Dua manusia duduk berhadap-hadapan
Go to Top