Tubuhnya gempal. Kekar. Sorot matanya tajam. Mirip mata serigala yang liar dan buas.
“Benda gaib itu sulit,” katanya. Orang-orang yang hadir di situ terhenyak. Tapi tak ada yang memberikan reaksi, kecuali bisikan-bisikan riuh yang tidak jelas dan tanpa makna. “Batu rubah ini bisa memberikan daya linuwih bagi mereka yang membawanya,” sambungnya sambil menimang-nimang sepasang batu kecil mengkilat. Orang-orang yang berkerumun semakin terhenyak ketika sepasang batu itu dimasukkan ke dalam gelas berisi air putih bersih. Saat itu juga air putih yang ada dalam gelas itu berubah menjadi merah. Semua mata terkesiap.
“Tidak bisa! Tidak bisa! Ini main sulap!” sergahku tiba-tiba sembari menyibak kerumunan. Semua mata membelalak. Aroma kebencian tumpah di tengah kerumunan. Lebih-lebih si pemilik sepasang batu rubah.
“Kamu mau macem-macem dengan batu rubah ini, ya?” bentak si pemilik sepasang batu rubah dengan tatapan mata jalang dan liar.
“Tidak bisa! Tidak bisa! Ini main sulap!”
Aneh! Tiba-tiba saja lidahku kelu. Sulit melafalkan kata-kata. Tak bisa berkata lain, kecuali jawaban tadi. Begitu dibentak berkali-kali, jawaban yang meluncur dari belahan bibirku tetap sama; tak berubah, baik kata-kata maupun nadanya. Pemilik batu rubah yang ternyata bergelar Ki Dobar itu berkacak pinggang. Sorot matanya liar, mirip mata serigala yang sedang memburu mangsa. Bulu dadanya bergetar dahsyat. Dengan gerakan yang cekatan, tangan kiri Ki Dobar menarik krah bajuku. Aku tergeragap. Cemas. Tiba-tiba tangan kanannya mengambil sepasang batu rubah dari dalam gelas. Lantas, meletakkannya tepat di atas kepalaku. Air dari dalam gelas yang masih tersisa disiramkan di ubun-ubunku. Seketika itu pula aku seperti terbang di tempat yang jauh, entah di mana, hingga akhirnya aku seperti berada di sebuah padang yang tandus dan lapang seperti tanpa batas dan tepi.
Di padang yang tandus itu, aku dikerumuni ratusan wajah yang mengerikan dengan sepasang tanduk bertengger di kepala. Menjulur-julurkan lidah. Dengan gerakan yang sakral, tangan mereka mengapai-gapai tubuhku. Mulut mereka menyeringai sembari meneriakkan jeritan histeris. Bersambung-sambungan. Sejurus kemudian, sosok-sosok yang mengerikan itu berjongkok seperti dikomando, lantas berdiri lagi, cepat sekali. Semakin cepat dan merapat. Tubuhku dihimpit dengan kekuatan penuh. Dadaku sesak. Tak lama kemudian, sosok-sosok yang mengerikan itu menjauh. Cepat sekali. Merapat lagi. Menjauh lagi. Lantas, merapat dan semakin merapat. Aku meronta dahsyat. Menjerit. Napasku sengal. Tak mampu menahan beban himpitan yang luar biasa dahsyatnya.
“Tidaaaak!”
Tiba-tiba saja aku seperti terjun ke alam purba. Entah di mana. Ketika meraba-raba kepala, aku tersentak. Ada sepasang tanduk bertengger di kepalaku. Setumpuk pertanyaan menyerbu rongga dada. Namun, aku tak memperoleh jawaban apa-apa. Suasana gelap sekali. Aku hanya bisa merangkak-rangkak dan tertatih-tatih seperti tengah berada di sebuah goa yang singup. Mendadak aku mendengar nyanyian sakral merambati dinding goa. Samar. Riuh tanpa irama. Aku berusaha mendekat ke arah nyanyian itu. Namun, tiba-tiba hilang. Lenyap. Hening. Kemudian, bergemuruh lagi. Berulang-ulang, hingga akhirnya gendang telingaku menangkap sebuah suara yang bergetar dan begitu berwibawa. Gemanya memantul-mantul di dinding goa.
“Untuk apa Sampeyan datang ke sini? Ini bukan jalan menuju kematian! Segera enyah dari sini!”
“Tidak bisa! Tidak bisa! Ini main sulap!”
“Keluar!” bentak suara misterius itu melengking-lengking dahsyat. Gemanya memantul-mantul di dinding goa. Tubuhku limbung. Tak sanggup menahan gempuran gema suara yang membombardir gendang telingaku. Tapi, aku tetap nekad mendekati arah gemuruh nyanyian yang tak henti-hentinya merambati dinding goa. Merunduk-runduk. Merangkak-rangkak. Tertatih-tatih. Tiba-tiba saja aku merasakan kesiur angin yang bergerak dengan kecepatan tinggi. Tubuhku nyaris terpelanting. Tak lama kemudian, aku merasakan sepotong kayu menghunjam tubuhku. Aku terpelanting. Seketika itu pula aku seperti terhempas dari mulut goa. Gemuruhnya nyanyian sakral yang merambati dinding goa tidak terdengar lagi.
Peluh keringat mencair di sekujur tubuhku. Persendianku terasa ngilu. Loyo. Tak berdaya. Ketika meraba-raba kepala, sepasang tanduk itu masih bertengger di kepalaku. Aku tak tahu, entah di mana aku sekarang. Hingga akhirnya, lengkingan dan jeritan histeris –entah suara dari mana– kurasakan merayapi pusat kepekaan telingaku. Gendang telingaku seperti diiris sembilu; pelan-pelan. Tapi, makin lama makin cepat. Lantas, lengkingan dan jeritan histeris itu seperti merambati dinding kepalaku. Mengorek semua isi kepalaku. Berputar cepat sekali. Perih. Berhenti sebentar. Berputar lagi. Kini, mulai turun merambati tenggorokan. Pelan-pelan. Menyegrak. Menyumbat tenggorokan. Seketika itu pula, aku terbatuk-batuk dahsyat. Sekujur tubuhku bergoncang hebat. Persendianku seperti meloncat-loncat. Batukku kian menjadi-jadi. Tenggorokanku seperti dicincang. Lantas, meledaklah batukku yang paling mengerikan. Tubuhku bergetar hebat. Darah bau anyir yang tak kuduga menyembur dari rongga mulutku. Tanpa henti.
***
Aneh! Tiba-tiba saja aku seperti tidak merasakan kejadian apa-apa. Tubuhku segar-bugar, tanpa rasa nyeri sedikit pun. Bahkan, aku bisa berada di tengah-tengah kehidupan keluarga, para tetangga, dan masyarakat biasa. Aku bisa dengan jelas mengikuti alur kehidupan manusia normal sehari-hari. Tapi, ketika meraba-raba kepala, sepasang tanduk itu masih bertengger di kepalaku. Dan yang tak bisa kupahami, orang tuaku, saudaraku, tetanggaku, atau siapa saja, tidak pernah merasakan kehadiranku. Setiap kali aku terlibat dalam perbincangan, kata-kata yang meluncur dari rongga mulutku tidak pernah ditanggapi. Bahkan, tidak pernah dianggap ada. Mereka juga tidak pernah menatapku ketika aku melibatkan diri dalam pergaulan sehari-hari.
“Anak kita telah jadi korban, Pak! Mengapa dulu Sampeyan nggak berusaha mencegahnya ketika anak kita meremehkan batu rubah milik Ki Dobar itu? Bukankah saat kejadian itu Sampeyan juga ada di sana?” tanya ibuku. Kulihat wajahnya memancarkan duka yang dalam. Matanya sembab.
“Aku sendiri nggak menyangka kalau akibatnya bisa begini, Bu! Katanya kita ini hidup di alam modern, tapi kenapa masih saja ada orang yang percaya tuah benda-benda gaib seperti itu? Ajaran agama pun melarang kita untuk mempercayai hal-hal semacam itu, bukan?” sahut ayah.
“Tetapi nyatanya, orang yang meremehkan batu rubah bisa kuwalat gitu, kok! Ini kan bukti, benda gaib itu masih memiliki tuah dan mengundang banyak orang untuk percaya!” sergah ibu.
Aku bisa dengan jelas mengikuti perbincangan kedua orang tuaku itu di ruang tamu. Bahkan, aku bisa melihat dengan jelas raut wajah ibuku yang sangat menyesalkan kejadian itu. Tak henti-hentinya, ibuku mengutuk Ki Dobar yang dianggap telah menjadi penyebab raibnya tubuhku dari muka bumi. Tapi, sama sekali ayah dan ibuku tak bisa melihat kehadiranku. Padahal, jelas-jelas aku duduk di samping ayah. Mungkin ada untungnya juga. Kalau saja tubuhku bisa terlihat, seantero kampung pasti gempar. Apalagi, kalau melihat sepasang tanduk yang bertengger di kepalaku. Nama Ki Dobar pun tentu akan semakin harum lantaran bisa membikin orang-orang yang meremehkannya menjadi apa saja. Dan itu artinya, deretan orang yang percaya pada tuah benda gaib akan semakin panjang. Makin jauh tenggelam dalam lubang kemusyrikan.
Tanpa tahu sebab yang pasti, tiba-tiba saja aku sudah berada di pusat keramaian sebuah kota. Tubuhku menggelinding ringan sekali. Aku menyeruak kerumunan di sebuah pojok pasar yang ramai.
“Saudara-saudara, obat ini sudah terbukti sangat ampuh dan mujarab untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit berbahaya! Lever, jantung, paru-paru, bahkan stroke, bisa sembuh tanpa operasi. Silakan Saudara-saudara! Murah sekali harganya!” teriak seorang lelaki separoh baya berkumis tebal di tengah kerumunan orang-orang yang berjubel. Berapi-api. Kerumunan semakin riuh dan sesak. Seperti kena sihir, antrean yang melingkar padat itu saling berebut membeli obat. Saling berteriak. Ramai sekali.
Mendadak keramaian itu dikejutkan oleh kehadiran dua orang bertubuh gempal yang menodongkan pistol ke jidat penjual obat. Namun, dengan senyum yang bersahabat, penjual obat itu mengajaknya berunding. Entah apa yang diperbincangkannya. Tak berapa lama penjual obat itu secepat kilat kembali ke tempatnya. Kedua orang bertubuh gempal tadi kabur entah ke mana. Si penjual obat kembali berteriak-teriak, lebih bersemangat. Kerumunan yang nyaris bubar pun kembali berjubel. Lebih padat.
“Tidak bisa! Tidak bisa! Ini main sulap!” teriakku lantang tepat di tengah-tengah kerumunan. Si penjual obat terlongong-longong. Kaget. Kedua bola matanya berputar-putar, mencari sumber suara yang meluncur dari mulutku. “Sampeyan telah melakukan penipuan kepada para penduduk. Sampeyan bohong!” teriakku lagi. Aneh, tak seperti biasanya, saat ini mulutku bisa melafalkan kata-kata dengan begitu sempurna.
Kulihat peluh keringat membanjiri tubuh penjual obat itu. Bola matanya berkeriyap. Tak tahu harus berbuat apa menghadapi suara tanpa wujud itu. Kerumunan pun bubar. Lari tunggang langgang. Aku merasa iba terhadap si penjual obat. Padahal, sebenarnya aku hanya iseng. Sama sekali tak bermaksud merendahkan martabat si penjual obat itu, apalagi membubarkan pelanggannya.
Entah! Aku sendiri semakin pusing dengan keadaanku. Semua orang tak pernah tahu kehadiranku. Aku ada, tapi kehadiranku tak pernah dianggap ada. Langkahku seperti dibimbing oleh sebuah kekuatan aneh yang telah merasuk ke dalam jiwa ragaku. Segalanya berlangsung serba mendadak dan tiba-tiba. Dalam sekejap, aku telah berada di tempat yang jauh dari jangkauan manusia normal. Aku sendiri sulit menebak, ke mana aku akan bergerak dan melangkah.
Senja yang berkabut mengiringi kelebatan langkahku. Redup dan mengaburkan pandangan manusia normal. Secepat kilat aku telah berada di rumah Ki Dobar, pemilik sepasang batu rubah yang telah menancap di kepalaku. Kulihat dia tengah duduk di lincak depan rumah bersama istrinya. Di tiang pojok rumahnya menempel lampu teplok yang temaram. Berkelap-kelip dihembus angin. Sesekali terdengar derai tawa menghiasi perbincangan mereka berdua. Mesra sekali.
Dengan kekuatan penuh, sepasang tanduk yang bertengger di kepalaku menyeruduk perut Ki Dobar. Rebah. Darah segar berbau anyir muncrat ke segala penjuru. Ususnya terburai. Lelaki kekar itu tak berdaya. Sekarat meregang nyawa. Sorot mata serigalanya yang liar dan buas berubah redup dan beku. Istri Ki Dobar menjerit dahsyat. Berteriak meminta tolong para tetangga, lantas pingsan. Tubuh perempuan sintal itu ambruk di sisi suaminya. Orang-orang kampung segera berdatangan. Mereka saling bertatapan. Saling tanya. Namun, tak ada yang bisa menjawab. Mereka hanya bisa menyaksikan tubuh sepasang suami-istri yang terbujur kaku. Kabar kematian Ki Dobar dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut.
Aku tak peduli kabut duka yang menyelimuti rumah Ki Dobar. Juga kebingungan yang melanda wajah para penduduk. Secepat kilat aku telah berada di rumahku. Gelap. Tanpa lampu. Aku berteriak berulang kali memanggil ayah dan ibu. Sepi. Singup dan nyenyet. Ketika meraba-raba kepala, sepasang tanduk itu masih bertengger di kepalaku. Itu artinya, aku akan terus mengembara dalam dunia gaib. Sendirian. Entah sampai kapan. ***
Keterangan:
Mohon maaf kalau dalam beberapa hari ini tidak bisa posting dan blogwalking. Sedang ada keperluan. Terima kasih. Salam kreatif!
Harga Pertamax per liter berapa ya pak?
Ya, seperti biasa, gaya menulis pak sawali “Nongol” lagi di cerpen ini.
Tentang hal-hal yang mistik, serta cerita yang “tidak” berakhir. Benar-benar suatu gaya yang khas.
Cerpen ini bagus. kalau mau dinilai, maka saya sebagai pembaca dari masyarakat biasa (bukan dari kalangan sastra) memberi nilai 87 untuk cerpen ini.
hehehehe
perubahan diri dengan munculnya tanduk di kepala mengingatkan paragraf pertama Metamorfosis karya Kafka. Mas Sawali sangat bagus menyorot perubahan individu (dan juga sosial ini) dengan tanduk di kepala. Dan perubahan itu akhirnya membunuh sendiri pembuatnya. Sementara pelakunya, walau dalam suasana riuh tetap saja sunyi.
Ini sebuah realitas, saat ini kita sedang menghadapoi perubahan yang cukup fantastis. Tapi masyarakat semakin gamang dan merasa kesunyian dengan dirinya. MEreka kerap bingung dengan apa yang dihadapinya. Akhirnya mereka memilih dunia mistik dalam menyelesaikannya.
:DD
Qizinks last blog post..Mengenang Bapak
Dunia mistik kadang menjadi pelarian banyak orang ketika menghadapi masalah, buktinya banyak iklan di tv tentang hal ini, mudah-mudahan kita masih punya kekuatan untuk percaya hanya kepada Tuhan untuk menghadapi segala kesulitan hidup
Achmad Sholehs last blog post..Jangan Pernah Menyerah Dalam Hidup
beginilah dunia
kekuatan tak terkendalikan membuat sosok2 lebih mengerikan
butuh keimanan yang kuat tuk mampu mengarahkannya
salam semangat! :112
achoey sang khilafs last blog post..Puisi Untuk Dua Anakku
pak sawali sedang berada di dunia lain yak 😀
Memang keren kalau jadi penulis. Bahkan untuk absen ngeblog sementara pun bisa dijadikan cerita yang menarik begitu. Salut Pak Sawali.
Btw, mengenai batu yang bisa membuat air berubah warna menjadi merah itu, beberapa teman saya ada yang punya. Bahkan ada yang punya banyak, karena dia tahu cara membuatnya. Kegunaanya ya nggak jauh-jauh dari untuk nipu orang yang mau ditipu. :411
Rafki RSs last blog post..Puisi Untuk Dua Anakku
Wah, saya gak habis pikir, bagaimana membangkitkan imajinasi yang begitu kuat,
Masuk ke dalam sistem,
bermain di dalamnya,
bergelut dengan peristiwa,
dan menemukan jawaban
Wah pantaslah saya banyak belajar menulis dengan benar,
bergaya sastra seperti pak Sawali.
Saya sih takut dengan tanduk di kepala saya,
saya kawatir tanduk itu menjadi kesombongan saya pak,
Gimana agar saya tidak sombong tapi tetap menginformasikan sesuatu dengan jujur dan memberi semangat bagi yang lain.
Salam sukses pak Guru,
Tetaplah berkaya,
Pria bertanduk itu seperti hidup sendirian, berteriak-teriak di tengah keramaian. Seisi pasar pun tidak berduli. Siapakah pria bertanduk itu? Lelaki bertubuh gempal itu? Penjual obat itu? dan Penodong Pistol?
laporans last blog post..Tidur di Jalan
tak berapa lama lagi, aku akan meneruskan titah ki Kobar, karena tandukku… heheheh
arios last blog post..Jakarta…brutal, sumpek, tapi kok asik yach…..
wahh tulisannya bagus nih pak 😀
emank enggak salah yah pak klo sastra itu bisa merubah dunia 😀
sukses buat pak guru
Kalau menurut imajinasi saya…. orang yang sudah bertanduk itu sepertinya ia sudah mati atau sudah berada di alam yang berlainan, mangkannya orang2 lain tidak mengacuhkannya dan tidak memperhatikan kehadirannya……
Begitu kan pak?? :112 :411
Yari NKs last blog post..Dunia Nyata dan Dunia Maya Patut Dipertentangkan?
Jadi laki-laki sebenarnya bertanduk apa berburung bang?
Rindus last blog post..Sembuhkan luka [Ikhlas]
Jadi merinding bacanya, gimana ya bisa nulis seperti mas? :112
adam.cikal.nets last blog post..Medan lagi Musim Hujan
Pak Sawali, saya terkagum-kagum tentang cara bapak menuliskan proses berpindah-pindahnya si aku dari satu tempat ke tempat lain. Saya pernah mencoba menulis perjalanan model begini tapi tak berhasil. Bapak melakukannya dengan lugas, ringkas. Tak bertele-tele tapi pas. Salut.
Saya juga belum bisa berpikir seliar Bapak untuk menemukan bahan cerita.
sampe-sampe iku terbawa suasana!!…
*serem
Wah.. luarbiasa pak… saya masuk dalam suasana…
Penggambaran yang sempurna.. 🙂
Wah lagi sibuk nggeh…. Smoga sukses pak! 💡
azaxss last blog post..Skeptic
humm..mo blajar nulis cerita kek bpk, setiap kalimatnya membuat ingin membaca kalimat berikutnya, gimana tho merangkainya pak?? fi bikin cerita ga pernah selesai, selalu berenti di tengah jalan, kehabisan kata, kan ga lucu kalo diulang, hehe.. empat jempol dah buat bpk..
Fifis last blog post..Serba 5000
Cerita yang bagus, Pak.
Selamat bersibuk ria!
Donny Verdians last blog post..Mencoba Berharap dari Manusia. Sampai Kapan ?
waduh… ngeri ya pak ? 🙁
wah..jadi kambing dong mas ??
maksute
Ronggos last blog post..Download PCMAV 1.5 (PC Media Antivirus)
Ah yang bau bau mistik ini nih yang bikin pusing :411
Kenapa kok bisa menulis seperti ini,seakan antara jari + pikiran dan alat tulis seperti roh yang begitu indah tertempel di kertas maya.:)
Sukses p.sawali..terus berkarya dalam tulisan.Cerita yang segar dan indah
Diahs last blog post..Akhirnya Telurnya Adsense Pecah
ck..ck..ck ,diawal 2 saya mengira ini sebuah cerita CerPen, sampai tengah2 saya mengira ini adalah sebuah cerita rakyat yg mungkin endingnya akan sempurna. ternyata wuih…. berat2 ternyata endingnya malah menyisakan buah pertanyaan yg begitu banyak di pikiran pembacanya…. two tumb 🙄 🙄 💡 buat mas wali ….
antboxs last blog post..” kaulah cerita – ku “
btw makasih kunjungan baliknya… 😀
antboxs last blog post..” kaulah cerita – ku “
ini cerpen atau kisah nyata yang diceritakan kembali yah??
salam
made ekas last blog post..Bandung dari atas Jembatan Surapati
pak kok istrinya ikutan mati.. bukannya cuma pingsan ..
btw, ini ya pak orangnya :294
nindityos last blog post..Love is …
Wah, setelah menulis cukup panjang dan lama seputar realitas, kini bapak kembali menulis kisah fiktif. Ada angin apa ini? 😀
ariss_s last blog post..Just a Memory…
Membaca karya-karya tulis p’Sawali di blog ini jadi bikin kangen untuk kembali membaca-baca novel. Hanya waktunya itu lho … hiks.
Btw, semua tulisan di blog ini nanti dikumpulkan untuk diterbitkan kan Pak?
Riyogartas last blog post..8 Jam 27 Menit
pak saya tunggu 125X125 okkke :293
BAPAK SEBAGAI PEMENANGs last blog post..Ad space bannner and Premium Theme WordPress
Salam
Membacanya membuat emosi saya terbawa, ikut berimajinasi merasakan alur dan settingnya dalam 3 tarikan nafas, salute Pak Dhe,ngalir banget.I wish I could…
Ok semoga cepet kelar yak..salam kreatif juga 😀
nenyoks last blog post..SoulMate
wah seru pak..’aku’-nya bisa pindah2.. 🙂
bagaimana jika ‘dunia lain’ dan cara2 non rasional itu benar2 bisa digunakan menyembuhkan penyakit non-medis.. cmiiw
[OOT] u r on the list..keep valid 🙂
danis last blog post..Pertanyaan terkait Daftar Situs Valid XHTML
kodenga kagak leliatan pak
BAPAK SEBAGAI PEMENANGs last blog post..Ad space bannner and Premium Theme WordPress
Hmmm…. mistis,
sukses slalu
Pak punten, linuwih itu apa Pak.
Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Merenggut Ide
saya rasa setiap org punya rasionalitas masing2,jd kita ngga bs serta merta memutuskan bhw mistis itu ga rasional…kalo ngomongin mistis jadi inget skripsi sy pak,tentang mistis juga hehehe…oy maksiiih kunjungannya ya pak,kayaknya sy harus belajar banyak dr bp ni..analisa bp cerdas..termkasiiih…tulisan bp kereeen !!!
walau sibuk… tetep aza masih sempat balez comment :112
qizinks last blog post..Bergetar Mencintaimu
dunia paralel?
yainals last blog post..Pelangi, Salsabila dan Mimpi
waduuh … panjaaaaang :112 :112 :112
Masih ada terusannya ya pak?
(Menunggu dengan deg2an)….
edratnas last blog post..Jika si “Mbak” pergi cuti
minggir ah..
takut ditanduk
t i n is last blog post..Pembatas Buku
hohohohoh… mantap mantap! :112
bayus last blog post..Nyari Duit Dengan Scribefire Quickads
Sudah beberapa hari nggak nongol di sini. Sibuk (hehe). Sekali nongol, dapet sarapan cerita ciamik. Aih!
Daniel Mahendras last blog post..Namanya Pahri, Bukan Fahri
kalo beneran ada tanduk dikepalaku… hiyyyy… sereeem….
:294 :294
dunia lain.. asyik sekali sepertinya ya pak 🙄
taligucis last blog post..dan ingin aku seperti mereka
:293 :293 :293
Salut deh buat pak Sawali yang idenya selalu segar dan terus mengalir..(Kapan yaks saya bisa gituh..?) :oke :oke
iis sugiantis last blog post..Ketahanan Iklim atau kebijaksanaan lingkungan?
sangat “Sawali” sekali pak
tak ada antagonis dan tak ada protaginis, mirip dengan cerpen santet.. ide yang menarik karena selama ini cerpen atau apapun pasti menghadirkan sosok pro dan antagonis.
(pengamat sastra mode on)
semoga bisa ketularan ide dan semangatnya pak Wali.. salam
hehe …. terima kasih komentar dan apresiasinya, mas pur. belakangan ini saya jadi makin jarang nulis cerpen lagi, hiks.