Membangun Peradaban yang Sensitif terhadap Seni dan Budaya

Kelambanan kolektif kita, ujar Taufiq Ismail suatu ketika, akan diterjang tanpa ampun oleh kencang lajunya peradaban milenium yang akan datang ketika batas-batas geografis dan berbagai sekat peraturan sudah diangkat orang. Kita yang terkenal lambat, lamban, lalai, dan lengah, akan tergeser, tergusur, tergasak, dan kemudian tergeletak di pinggir jalan raya peradaban dunia.

Sebuah ”warning” yang layak kita renungkan ketika masyarakat di berbagai belahan dunia sudah hidup bersama dalam satu atap di sebuah ”perkampungan global”. Pernyataan penyair religius itu juga mengingatkan betapa pentingnya kita secara kolektif untuk memberikan perhatian yang lebih serius dan intens terhadap persoalan kesenian dan kebudayaan. Tujuannya? Agar jatidiri dan kepribadian bangsa yang kuyup akan nilai–nilai keluhuran budi bisa terevitalisasi dan teraktualisasi dalam tataran praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, jangan sampai kita terjebak dan latah dalam kelancungan slogan moral dan keagungan budi yang kehilangan basis estetika dan kulturalnya.

Modernisasi, harus diakui, telah banyak membawa dampak perekonomian dan perindustrian yang terus menunjukkan grafik naik. Sudah tak terbilang lagi jumlah kelompok maupun perorangan yang mampu mengaksesnya dengan capaian tingkat kesejahteraan dan taraf hidup yang lebih baik. Meski demikian, modernisasi dinilai juga telah membawa dampak munculnya manusia berkarakter pembangkang, oportunis, munafik, hedonistik, bermoral lemah, megalomaniak, maupun schizopronik; terjadi ketimpangan antara kata dan perbuatan.

Manusia-manusia berkarakter semacam itu konon akan mudah tergelincir ke dalam kubangan kemanjaan nafsu dan selera hidup yang tega tertawa ngakak di atas derita dan bangkai sesamanya. Tatanan hidup tak jauh berbeda dengan siklus kehidupan hukum rimba; makhluk yang lemah dan tak berdaya akan menjadi santapan yang empuk bagi mereka yang kuat dan berkuasa. Dengan kata lain, bingkai kehidupan telah tereduksi oleh peradaban bar-bar, sadis, keras, dan lepas dari kontrol nilai kemanusiaan.

Iklim modernisasi yang bergitu terbuka dalam menawarkan nilai-nilai baru yang dinamis dan progresif, agaknya tak berdaya dalam membangun peradaban yang lebih cerah, bermartabat, dan terhormat. Sikap latah dalam memburu gengsi dan kemaruk dalam menumpuk-numpuk harta, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan sosial dan nurani kemanusiaan, bahkan cenderung menghalalkan segala cara dalam menuntaskan ambisi. Yang lebih mencemaskan, modernisasi dinilai juga telah membuka peluang terhadap meningkatnya kekerasan pada (hampir) semua jenjang, lapis, dan lini masyarakat. Pemerkosaan, pembunuhan, dan berbagai aksi kekerasan seakan-akan sudah menjadi fenomena yang lumrah terjadi di atas panggung kehidupan sosial.

Arus modernisasi dan globalisasi memang mustahil ditolak kehadirannya. Yang diperlukan adalah kesigapan kita untuk bersikap adaptif dan lentur agar nilai-nilai modern, global, dan mondial semacam itu bisa bersinergi dengan nilai-nilai jatidiri dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, diperlukan sikap sensitif untuk menyentuh dimensi kesenian dan kebudayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika pembangunan karakter bangsa.

Setidaknya, ada dua argumen yang bisa dikemukakan. Pertama, untuk membentengi bangsa dari gerusan nilai-nilai global dan mondial agar jatidiri dan kepribadian bangsa yang sudah teruji lewat sejarah peradaban yang panjang tetap menampilkan entitasnya. Hal ini tak terlepas dari esensi seni dan budaya itu sendiri sebagai elemen humaniora yang mampu menumbuhkan kepekaan nurani, nilai kesalehan hidup (baik individu maupun sosial), dan makna kearifan hidup. Melalui seni dan budaya, mata hati kita akan makin terbuka terhadap persoalan-persoalan kebangsaan sehingga mampu melihat setiap persoalan secara jernih; tidak mudah terjebak dan tergelincir dalam jalan hidup yang mengedepankan otot dan kekerasan.

Kedua, menjadikan ”paket” kesenian dan kebudayaan tak hanya sebatas sebagai bagian dari mata rantai industri yang menjanjikan keuntungan materiil, tetapi juga menjadikannya sebagai ikon peradaban bangsa yang santun, terhormat, dan bermartabat. Dalam skala mikro, para pelaku seni dan budaya agaknya perlu sigap menangkap momen-momen globalisasi dengan menciptakan karya-karya monumental dan representatif yang mampu menembus batas-batas geografis, tak sekadar menjadi karya masterpiece di negeri sendiri. Lobi kesenian dan kebudayaan antarbangsa pun perlu dibuka dan dihidupkan.

Dalam konteks demikian, pemerintah perlu memberikan ruang berkesenian dan berkebudayaan yang lebih bebas dan leluasa bagi kreativitas kaum seniman dan budayawan, tidak lagi dipasung oleh kecurigaan-kecurigaan yang kurang menguntungkan. Berikan hak bagi kaum seniman untuk bergerak mencari ruang berkreasi, mencari publik, dan melakukan kolaborasi lewat paduan estetika yang memikat dan memesona. Tak perlu lagi ada kebijakan pelarangan dan pemberangusan karya-karya seni kaum seniman dan budayawan.

Melalui manifestasi sikap yang sensitif terhadap seni dan budaya, semoga peradaban negeri ini menjadi lebih santun, terhormat, dan bermartabat; tak ada lagi aroma kekerasan yang tercium di tengah-tengah panggung kehidupan sosial kita. ***

Keterangan: gambar dicomot dari sini.

Comments

  1. negara kita memang kurang menghargai seni dan budaya, padahal seni dan budaya adalah identitas diri kita, ditengah negara lain (baca: Malaysia)yang bangga (baca: menjiplak) dengan budaya kita, eeh, kok bangsa kita justru bangga dengan budaya lain dan tidak melestarikan, apalagi bangga dengan seni dan budayanya sendiri….

    Dennys last blog post..dulu sekolah, kini E-Learning

    >>>
    itulah yang terjadi mas denny. negeri yang dikenal berbudaya tinggi tapi masih dipertanyakan apresiasinya terhadap budaya negeri sendiri 💡

  2. Rasanya, dan mungkin bukan rasanya lagi.. bahwa pemerintah kurang serius melestarikan seni dan budaya. Sepert ludruk. kini kita lihat, sekarang ludruk mulai ditinggalkan beralih menjadi orkes/konser. Bahkan seorang seniman ludruk merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah. Mereka berpendapatan rendah sekali.

    Anass last blog post..Belajar Membuat Blog Berbasis WordPress

    >>>
    betul banget, mas anas. untung saja masih ada beberapa radio dan tv yang masih memiliki perhatian terhadap seni tradisional :oke

  3. Wah, baru kali ini masuk lima besar…
    Biasanya dapat antrean urutan dua digit.
    Seni dan Budaya, dua kata yang dijadikan satu, menjadi Seni Budaya yang juga menjadi salah satu mata pelajaran di struktur program KTSP. Tapi implementasinya di lapangan jadi lain, sekolah terkendala dengan ketersedaan SDM yang ada. Gak usah jauh2, ditempat saya yang mengampu Seni Budaya hasil remix. Diangkat jadi pegawai ijasahnya A, sertifikasi kategori B dan mengajar mata pelajaran C. Bagaimana mau nyambung?. Itulah sekolahku, dan gambaran sekolah lain di Indonesia kita ini…
    Bisa dibayangkan bagaimana seandainya daging kambing dibuat kolak, lalu disajikan dalam gelas, makannya pakai sedotan!.
    Mau sensitif dari mana??? :DD

    marsudiyantos last blog post..Waktu adalah Uang

    >>>
    hehehehe 😆 betul banget, pak mar. makanya, harus ada perubahan. kalau prosesnya ndak pernah nyambung dan sinkron sampai kapan pun ndak akan pernah ketemu 💡

  4. Pak Sawali said: “terjadi ketimpangan antara kata dan perbuatan.”

    =======
    Betul Pak, banyak yang kalau bicara terdengar enak sekali, tapi kenyataannya? :DD

    suhadinets last blog post..Dongeng Tentang Wanita Tukang Tenung (Part 4)

    >>>
    hehehe 😆 parahnya itu justru dilakukan oleh orang2 yg seharusnya menjadi sosok teladan, pak suhadi, hehehehe 😆 💡

  5. Ok Bapak. tetapi melawan segala bentuk hambatan, pasungan, dan apa pun namanya, adalah juga peradaba itu sendiri; membangun kebenaran he he

    Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Pikiran Buruk

    >>>
    oh, begitu, ya, pak ersis, hehehe 😆 mungkin benar, pak 💡

  6. :acc saya sepakat agar seni dan budaya tak harus menjadi produk industri pariwisata. Saya suka prihatin dengan langkah sejumlah kalangan yang demi menarik wisatawan, melakukan perombakan terhadap produk ‘seni’ dan budaya dan luhur.
    Ada satu cerita, ketika di salah satu kesempatan di sebuah hotel, sebuah kelompok seni menampilkan tari bertema religi. Bahkan judulnya juga dari bahasa arab yang artinya menyambut tamu. Itu sah-sah saja, karena Banten selama ini dikenal religius.
    Setelah pementasan, para penari itu langsung mendapat kritikan dari seorang seniman lantaran para penarinya memakai kemben (sejenis ‘maaf’ kutang) di bagian luar tubuhnya. :112

    Qizinks last blog post..dari BISMILLAH hingga SURGA

    >>>
    itulah repotnya kalau seni dan budaya mlulu dilihat dari kacamata industri. seringkali esensi yang sesungguhnya jadi kabur, terkalahkan oleh kepentingan2 sempit, haks 💡

  7. Pak Sawali jangan salah. Pemerintah kita justru sangat sensitif pada seni dan budaya. Adanya pelarangan-pelarangan terhadap produk-produk seni atau panggung-panggung kesenian adalah wujud sensitivitas pemerintah pada seni.

    Hehehe… Mereka itu sensitifnya lain.

    arifs last blog post..Rekomendasi Google Reader 10 Juli 2008

    >>>
    wew… sensitif versi pemerintah agaknya sudah beda, ya, mas arif, hehehehe 🙂 :oke

  8. kalau kita lihat lagi ke belakang, ternyata yang namanya saling tindas tidak pernah lepas dari kebudayaan manusia. 😥

    Dari jaman pra sejarah ada perang antar suku. Jaman sejarah perang antar kerajaan. Jaman modern perang antar negara. Rasanya manusia hidup memang penuh dengan persaingan untuk mempertahankan hidup ataupun untuk mendapatkan hidup yang diinginkan. Kalau tidak mendapatkan dengan damai ya segala cara digunakan.
    Kalau seperti ini, sampai kapanpun ga akan ada kedamaian deh..

    salam

    made ekas last blog post..Anggrek kita Dirampok!!

    >>>
    betul banget mas made. itulah yang terjadi, saling injak dan saling sikut sudah lama berlangsung, bahkan akan selalu ada pada setiap peradaban. yang justru perlu dibangun adalah bagaimana mendesain peradaban yang lebih santun dan bermartabat agar cara2 semacam itu bisa berkurang 💡

  9. Mau masuk ke buku tamu sudah keliatan lusuh, terpaksa saya tulis di sini dengan harapan bisa terbaca secepatnya, walau tak berhubungan sama sekali dengan judul postingan ini.
    Sungguh tak terduga, ilmu itu bisa datang dari mana saja, kapan saja dan lewat cara apa saja. Ilmu mirip rejeki & jodoh.
    Saat pertama saya nulis postingan berjudul “Huruf Kecil”, awalnya cuma iseng belaka, ajang coba2 sekedar intermezo. Tapi ketika ada yang peduli membaca dan mengomentari, ada ilmu tambahan yang sebelumnya tidak saya ketahui (Sumpah!). Lewat komentar Pak Sawali, saya jadi dapat ilmu, yaitu Ilmu Ctr+. Selama ini yang saya tahu cuma office, kalau mbesarkan pakai Ctrl], atau di copy baru dipindah ke WordPad. Tak taunya Ctrl+ bisa jadi kaca pembesar. Makasih ilmunya, Pak Sawali ngungkuli wong rental, apal kode2 pintas. Biasanya kode2 seperti itu tak ada di buku tapi ada di kepala tukang rental… (Tukang Rental Juga manusia, dan hasilnya halal)

    marsudiyantos last blog post..Waktu adalah Uang

    >>>
    wakakakaka 😆 saat itu aku juga hanya sekadar komen iseng kok, pak, hiks 🙂

  10. saya sepakat pak, seni dan budaya merupakan salah satu benteng moral bangsa ini. saya juga percaya pak, bahwa para penghuni istana maupun gedung dewan sana sejak jaman dulu selalu memiliki pemikirin untuk pelestarian senin dan budaya negeri ini. namun yang sangat disayangkan, semua itu jauh dari implementasi yang nyata dan bahkan para jajaran pelaksana menjadikannya sebagai paket-paket untuk memperbesr kantong pribadinya masing-masing. dan semua inspirasi pelestarian seni dan budaya itu hanya kembali menjadi tumpukan kertas konsep dan retorika-retorika kosong.

    >>>
    wah, repot juga, mas epat, kalau seni budaya justru dijadikan sarana utk mempertebal kantong pejabat. sampai kapan pun model kebijakan semacam itu ndak akan menguntungkan masa depan seni dan budaya itu sendiri 💡

  11. Membangung peradaban?
    Sebuah wacana besar yang harus terus didengungkan oleh orang2 terpilih seperti Pak Sawali ini. Katanya, orang kecil kan yang suka membahas cerita orang lain, korang kecil yang membahas peristiwa, dan terakhir orang besar yang membahas konsep.
    Nah, di sinilah maqom Pak Sawali.
    Hi hi…nyambung nggak ya?

    >>>
    wakakaka 😆 kalau saya cocoknya memang jadi tukang ngrasani aja kok mas azwan, hehehehe 🙂 💡

  12. Saya setuju kalau “Yang diperlukan dalam menghadapi terjangan globalisasi adalah sikap adaptif dan sensitif terhadap nilai-nilai jati diri dan kepribadian bangsa” maka yang menjadi filter adalah Nilai-Nilai itu sendiri. Jangan sampai justru kepribadian kita yang malah meluruh dan tergantikan oleh kebudayaan asing yang destruktif.

    Tulisan Pak Sawali ini sungguh-sungguh berbobot… 💡 :112

    putris last blog post..Kerja Praktek…..Kerja Praktek

    >>>
    idealnya, memang begitu, mbak putri, hehehe 😆 btw, hanya tulisan biasa aja kok, mbak, hiks, jadi malu nih :oke

  13. Saat ini sudah banyak seniman dan budayawan yang kehilangan karakter pak, soalnnya lebih ke entertaiment yang meraup banyak keuntungan, kalo sudah bicara keuntungan itu urusannya dengan perut, sekarang yo kita bangun seni budaya oleh komunitas kita meski hanya dalam blog. salam sejahtera.

    ubadbmarkos last blog post..Keseimbangan hidup

    >>>
    memang agak dilematis, pak marko. kaum seniman dan budayawan juga butuh makan. sementara kalau mereka hanya mempertahankan idealisme, pemerintah juga cuek2 saja. meski demikian, asalkan diimbangi dg kualitas yang bagus nggak masalah, pak :oke

  14. Memang harus dari kedua belah pihak pak, bagaimana agar modernisasi tak melunturkan budaya bangsa….namun seniman juga harus bisa menyesuaikan diri agar karyanya dapat menjembatani kaum tua s/d muda.

    Bahkan sayapun mengajarkan budaya pak, dalam Credit Risk Management, maka kita akan lebih aman jika risiko sudah menjadi suatu budaya…yaitu culture risk. Karena kalau sudah masuk dalam budaya, maka sangsinya lebih ke arah moral…namun budaya yang baik tak boleh dibiarkan tapi harus senantiasa didorong…..agar para pelakunya tetap mencintai budaya bangsa, lebih suka memakai produk dalam negeri, mencintai karya seni, tari, dan musik bangsa…walau juga bisa menerima kebudayaan bangsa lain yang positif. Jika bisa demikian alangkah indahnya.

    edratnas last blog post..Byarpet: Waktunya untuk menyesuaikan diri

    >>>
    betul banget, bu enny. wah, sekarang dapat ilmu baru dari bu enny “culture risk”. kalau ini diterapkan di berbagai lembaga, mungkin lembaga ybs bisa lebih mengembangkan pola2 manajemennya secara beradab dan berbudaya :293 matur nuwun sanget, bu enny.

  15. Saya melihat bahwa pertarungan budaya asing di negeri ini sudah dimulai sejak… sejak awal sekali.
    Sejak agama-agama masuk, bukankah mereka itu juga bukan warisan leluhur kita kecuali hal-hal semacam kejawen dsb ?

    Hal ini yang menurut saya justru membuat absurd antara mana budaya kita dan mana budaya asing telah kita anut lebih dulu, sehingga ketika ada budaya lain lagi yang baru masuk, kita sering bingung menggunakan budaya yang mana yang akan kita pilih untuk menangkalnya.

    Menurut Pak Sawali, budaya dan seni macam apa yang betul-betul asli Indonesia itu ?

    Donny Verdians last blog post..Scarlet

    >>>
    wah, kalau harus mencari mana yang asli indonesia dan mana yang bukan, agaknya memang susah, mas donny. sbg bagian dari masyarakat dunia, budaya kita sudah banyak mengalamai proses adaptasi dan akulturasi. sepanjang yang saya tahu, budaya indonesia sbgmana yang tertera dalam penjelasan UUD45, yaitu merupakan puncak2 dari budaya daerah 💡

  16. Masa sih pak….. modernisasi selalu menghasilkan manusia2 yang lebih bersifat negatif dibandingkan positif?? Termasuk pada seni dan budaya??

    Tidak semua lho pak….. bangsa2 yang modern justru sangat menghargai seni dan budaya, juga sangat peduli terhadap peradaban, jangankan peradaban terhadap kelangsungan hidup satwa saja mereka peduli. Menurut saya justru dengan berfikiran modern kita justru dapat menghargai apa yang sudah kita bangun selama ini sekaligus mengkoreksi apa yang telah salah kita bangun selama ini….

    Menurut saya, ehm…ehm…. ini bukan menghina bangsa sendiri loh, bangsa kita yang “kalah modern” dari bangsa2 yang modern, juga tidak lebih “beradab” dari bangsa2 yang modern, tidak lebih peduli terhadap sesama, tidak lebih peduli terhadap lingkungan karena yang difikirkan duit melulu sehingga hutan kita habis, dan lain sebagainya. Menurut saya modernisasi tidak bisa dikatakan bertanggungjawab atas rusaknya “peradaban”, namun arah dari modernisasi itu sendiri yang harus dimengerti oleh sebuah bangsa atau masyarakat agar tidak salah langkah…. **halaah** :411

    Yari NKs last blog post..Fans dari Hungaria???

    >>>
    hehehe 😆 kan ada keterangan kata “juga”, bung yari. artinya, modernisasi kalau tdk didesain de wawasan seni dan budaya bisa menjebak manusia ke dalam karakter semacam itu, hehehe 🙂 saya kira modernisasi dan globalisasi mustahil ditolak kehadirannya, kok, jadi kita mesti bersikap lentur dan adaptif :oke

  17. iyah kita harus adaptif dengna tetap menjaga kebudayaan yang sudah kita miliki.
    Tapi walau sudah diberi kebebasan yang seluas-luasnya, namun saya rasa perlu memang kerja keras pemerintah untuk mempromosikan kegiatannya tersebut. Apalagi kesenian Indonesia mau tidak mau tergerus oleh kebudayaan luar.

    >>>
    betul banget, mas arul. memang sudah seharusnya kita bersikap seperti itu. pemerintah pun mesti bersikap sensitif dalam membangun negeri ini. tak mlulu berorientasi ke ekonomi semata, tapi juga harus dibarengi sikap sensitif utk menyentuh dimensi seni dan budaya 💡

  18. melihat dari karya seni sekarang pak………
    k’kaya’nya para seniman perfilman malah menjerumuskan para pemuda untuk mengikuti budaya barat ya?

    contohnya film yang ngetren sekarang ini berbau pornografi,pergaulan bebas dll.seperti film ML(mau lagi),dan yang akan beredar sebentar lagi “anda puas saya lemas”.

    para seniman film mengatakan itu adalah sebuah seni.tapi kalau seni itu malah merusak moral para pemuda apakah itu bisa disebut seni yang baik? 😛

    dafhys last blog post..BLTku sayang!?!

    >>>
    itulah kalau para sineas kita sdh masuk dalam lingkaran dunia industri dan kapitalisme. gampang sekali kehilangan idealisme. tapi masih ada juga kok mas dafhy, sineas kita yang masih punya idealisme, tapi karyanya banyak diminati publik 💡

  19. Saya ingat memang Taufik Ismail memang sangat concern terhadap tergerusnya moral seiring dengan majunya jaman. Ingat puisi yang dilontarkannya dulu.
    Ini memang beban berat bagaimana budaya dan seni bisa menjawab tantangan jaman. Tidak sekedar seni yang menuntut kebebasan sebebas bebasnya.

    >>>
    betul banget, mas iman. harus ada upaya serius untuk menjadikan seni dan budaya sebagai unsur peradaban di berbagai sektor kehidupan. 💡

  20. hmmm…pak sawali ita calonkan jadi menteri kebudayaan aja ya? :112 *seolah2 mau naik jadi preside 😯

    >>>
    wakakakaka 😆 ndak bisa nahan tawa, bu ita, sampai guling2 :205

  21. Waduh..menohok jakun nih posting Pak Guru. Pendalaman seni dan budaya Indonesia bagi saya sendiri masih sangat kurang je. Apa itu berarti saya kurang beradab ya? (*mode on introspeksi) 😐

    >>>
    walah, biasa aja kok mas doni. wew… kenapa jadi merendah spt itu, mas? :oke

  22. “Manusia-manusia berkarakter semacam itu konon akan mudah tergelincir ke dalam kubangan kemanjaan nafsu dan selera hidup yang tega tertawa ngakak di atas derita dan bangkai sesamanya”

    Saya tertarik kata2 ini, pak sawali. Apa ini sudah membudaya ya, sangat memprihatinkan. ❓ ❓ ❓

    laporans last blog post..Kewibawaan Soeprapto

    >>>
    walah, nggak juga kok, pak, itu hanya sekadar ilustrasi kalau seni dan budaya bener2 disingkirkan, hehehehe 🙂 :oke

  23. Hmm, peradaban yang bagaimana menurut bapak sesuai dengan kondisi bangsa saat ini? Atau kehidupan berpolitik seperti apa yang seharusnya kita terapkan untuk menjadikan negeri ini kembali ke jalan yang benar?

    Iis sugiantis last blog post..Dialog Warisan Sawah Temin!

    >>>
    waduh, pertanyaan yang tak mudah dijawab, mbak is. kalau menurut pemikiran awamku sih peradaban yang berbasis pada nilai2 kearifan lokal. itu bisa dilakukan dengan mendesain peradaban yang sensitif terhadap seni dan budaya. jadi, tak hanya perhitungan2 ekonomis dan keuntungan materi melulu, hehehe 😆 💡

  24. Salam
    Seni dan budaya yang mengakar dari tradisi bangsa, kayaknya bagai jauh panggang dari api ya jika dihubungkan dengan generasi kekinian, ah siapa yang bertanggung jawab, akhirnya seni dan budaya lokal ujung2nya jadi industri untuk diperjualbelikan bukan terbit karena kesadaran dan kebutuhan jiwa. sayang memang..*tarik nafas*

    nenyoks last blog post..Home SweeT Home

    >>>
    hehehehe 😆 makanya perlu ada upaya serius agar generasi masa kini mulai peduli terhadap seni dan budaya bangsanya. seni dan budaya pun mesti tak hanya dikemas utk keperluan industri tapi harus menjadi ikon bangsa yang santun, terhormat, dan bermartabat. salam juga, mbak nenyok. :oke

  25. pemahaman seni dan budaya sendiri yang banyak ( kebanyakan )terjadi adalah sangat dangkal karena fenomena yang terjadi saat ini adalah ketika peradapan barat masuk kita lantas ramai memuja dang bangga dengan sebutan gaul funky dlsbg yang sedangkan orang yang masih bersih kukuh terhadap budaya malah dianggap katrok .padahal tidak menutup kemungkinan pemahaman sastra yang baik dan pemahaman terhadap budaya yang adiluhung itu bakal membawa kita dalam proses perubahan profesionalisme yang lebih terkontrol kejadian morat maritnya kenegaraan bisa jadi disebabkan ketidakmengertian memaknai seni budaya kita sendiri (bukankah dalam pewayangan sudah ada gambaranya namun kenapa jadi ratu kok sewenang wenang berarti tak memahami makna pewayangan sebagai seni budaya kita sendiri )
    memahami seni dan budaya berarti menjunjung tinggi nilai peradapan dan merupakan kendali dalam menepis dampak yang memungkinkan kita tergelincir menjadi miskin dan tentu pemimpin yang baik tak mungkin semaunya sendiri ( kali ye kikikik )
    atau mungkin sampe pada peradapan yang begitu ( lho kok )

    kambingkelirs last blog post..BATU MARTA

    >>>
    betul sekali, mas totok. akibat rasa inferior yang berlebihan, budayanya sendiri justru tenggelam akibat silau budaya asing. ini perlu didesain ulang dengan membangun peradaban yang sensitif terhadap seni dan budaya, tak hanya berorientasi pada keuntungan finansial melulu, hehehehe 💡

  26. mari Pak kita membangun & berkarya dalam seni budaya yang berkarakter, mencerdaskan, mencerahkan & memerdekakan.
    dalam karya2 para leluhur kita baik sastra maupun seni rupa terlihat begitu dalam penghayatan hidup mereka seperti filosofi arsitektur candi sukuh tentang penciptaan manusia, bangunan kraton dimana sebenarnya kalo kita tahu ada filosofi 21 tataran kasampurnan manusia, juga kidung2 kuno yang memeberi petunjuk keteladanan hidup :mrgreen:
    jangan seperti sekarang seni budaya begitu dikomersialkan seperti, contohnya seni musik yang dg sewenang-wenang dijadikan campursari *tidak ada yang salah sih dg kreatifitas hanya :devil seringnya malah jadi campursaru*

    tomys last blog post..MEMBATU

    >>>
    hehehehe 😆 istilah pak tomy pas banget, “campursaru”, haks. memang begitulah yang sedang terjadi sekarang, pak. nilai2 luhur yang terkemas dalam budaya hakiki seringkali dikalahkan oleh budaya massa yang cenderung “ktich”! :oke

  27. Jadi ingat Soekarno dengan Trisaktinya:

    1. Berdikari di bidang ekonomi;
    2. Berdaulat di bidang politik; dan
    3. Berkepribadian dalam budaya.

    Bagaimana budaya yang berkepribadian itu? Bukankah kita yang mesti menjawabnya…

    Daniel Mahendras last blog post..Antara Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Frankfurt

    >>>
    betul seklai, mas daniel, kitalah pemangku budaya itu sehingga kita juga yang mesti menjawab dan memulainya 💡

  28. mungkin budaya peran yang sangat vital untuk mempersatukan bangsa ini. hampir 75% anak-anak muda masa kini kurang pemahaman mengenai budaya mereka sendiri bagaimana dengan beranekaraga budaya indonesia yah Pak 😀

    >>>
    itulah kenyataan yang terjadi, mas. makanya perlu ada “kemauan politik” utk menyentuh aspek seni dan budaya dalam membangun peradaban negeri ini. tak melulu berorientasi pada keuntungan finansial dan industri :oke

  29. untuk masalah budaya memang sangat pemperhatinkan sekali mas di kalangan ramaja indonesia sampai2 klo kita menanyakan budaya sendiri hanya sebagain kecil kali dari meraka yang bisa menjelaskannya. menurut mas sendiri langka2 apa yang perlu di berikan kemereka agar mereka sadar betul akan regererasi dari budaya mereka sendiri mas ?

    wah, pertanyaan yang sulit dijawab, mas, di tengah gerusan budaya yang begitu hebat. bagusnya ya dimulai dari diris endiri dulu utk selalu dekat dan peka terhadap budaya sendiri 💡

  30. Dengan hormat,

    Setelah sukses menggelar melaksanakan Academic Art Exhibition #1 dengan menampilkan 74 karya dari 72 peserta dan penyerahan anugerah Academic Art Awards kepada 3 orang untuk kategori perupa muda dan 1 orang untuk kategori perupa professional (laporan pelaksanaan pameran terlampir), kembali Jogja Gallery bekerjasama dengan Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, yang memperoleh dana Hibah Kompetisi A-2, akan menggelar pameran ACADEMIC ART AWARD #2 dengan tema “Dedication To The Future” yang akan berlangsung di Jogja Gallery pada 17 Desember 2008 hingga 11 Januari 2009 dan Museum Neka Bali, 23 Desember 2008 hingga 7 Januari 2008. Pameran kali ini akan lebih semarak dengan adanya penambahan kategori untuk penyerahan anugerah ACADEMIC ART AWARD.

    Tentang Kegiatan Apresiasi Seni
    Berkaitan dengan pameran tersebut di atas, kami bermaksud menawarkan kegiatan “Apresiasi Seni” untuk pelajar, mahasiswa, dan guru selama pameran ini berlangsung. Apresiasi Seni berupa kegiatan mengapresiasi karya-karya yang sedang dipamerkan di Jogja Gallery saat ini dengan didampingi dan dijelaskan konsep karya langsung oleh kurator dan atau senimannya.

    Silakan mendaftarkan kunjungan Bapak/Ibu untuk kegiatan ini, dengan ketentuan sebagai berikut:
    – Bisa memilih waktu yang tepat untuk anak didik Bapak/Ibu mengikuti kegiatan ini yaitu pada tanggal 18 Desember hingga 11 Januari 2009. Jadwal buka Jogja Gallery adalah setiap hari Selasa s/d Minggu mulai pukul 09.00 – 21.00 WIB.
    – Diskon tiket masuk, semula Rp.3000,- menjadi Rp.1500,- / orang.
    – Silakan konfirmasikan jadwal kunjungan Bapak/Ibu kepada koordinator kegiatan ini, contact person: Saudari Melinda Tutas Indini [0818273600 dan/atau [0274] 419999].

    Demikian surat ini kami sampaikan, besar harapan kami Bapak/Ibu/pelajar/mahasiswa/masyarakat umum bisa berpartisipasi untuk mendukung pameran di Jogja Gallery ini. Atas segala perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

    Hormat kami,

    KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno
    Direktur Eksekutif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *