Menanggapi Tuduhan sebagai Penjiplak

Kategori Opini Oleh

Selama tiga hari, aktivitas mengeblog saya agak terganggu karena kondisi kelelahan fisik yang memuncak. Usia di atas kepala 4, agaknya tak mau diajak kompromi lagi untuk melakukan aktivitas yang menumpuk. Ada-ada saja gangguan yang muncul, dari kepala, pundak, perut, lutut, hingga kaki. Bisa jadi, ini juga merupakan peringatan Tuhan untuk saya bahwa manusia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Saya terlalu memaksakan diri naik sepeda kumbang motor di atas jalan berlubang yang cukup tajam tikungan dan tanjakannya hingga jarak sekitar 50 km ketika gejala demam itu sudah mulai menjalar. Dampaknya sungguh terasa. Tiba di rumah, kondisi fisik langsung drop. Demam semakin tak terkontrol. Perut mual dan diare. Kepala pusing tak karuan. Namun, syukurlah, berkat perawatan sang istri, akhirnya kondisi kesehatan sudah normal. Tak perlu merepotkan anak-anak dan tetangga.

Ketika membuka blog, ternyata banyak juga pengunjung yang memberikan komentar. Tak hanya tulisan terbaru. Arsip lama pun kena sasaran juga. Cukup beragam komentar yang muncul. Mulai yang santai dan ringan hingga yang serius dan berat. Namun, semuanya saya nikmati. Jangankan memberikan jejak komentar, sekadar berkunjung pun sudah merupakan bentuk kehormatan buat saya. Lantas, bagaimana menyikapi komentar para pengunjung? Kalau boleh diibaratkan sebuah rumah hunian, setiap pengunjung adalah tamu-tamu terhormat. Pengunjung yang memberikan komentar dengan sendirinya akan lebih mudah dilacak alamatnya karena tampak jelas jejaknya. Karena itu, saya bisa dengan mudah melakukan kunjungan balik. Yang repot kalau ingin melakukan kunjungan balik, tetapi masih ada juga pengunjung salah mencantumkan alamat rumahnya. Seringkali saya bingung dan tersesat sehingga terpaksa kembali ke rumah. Batal melakukan kunjungan balik.

Komentar apa pun, bagi saya, merupakan wujud sikap responsif pengunjung terhadap menu-menu tulisan yang hadir dalam sebuah blog. Sikap responsif jelas bermacam-macam bentuknya. Ada yang hanya sekadar menyapa, bertanya, berbagi ilmu, mendebat, menghujat, bahkan ada juga yang bernada menuduh. Haruskah semuanya ditanggapi? Saya pribadi menyatakan ”harus”. Bagaimanapun juga wujud dan ragam komentarnya, pengunjung sudah meluangkan waktu untuk berkunjung dan memberikan respon. Alangkah kecewanya sang pengunjung apabila sudah repot-repot memberikan respon, ternyata tak digubris tuan rumah. Bisa jadi, mereka akan kapok singgah ke rumah kita. Kalau respon pengunjung bernada tuduhan, bagaimana? Saya kira tetap harus direspon juga. Berikut ini contohnya.

kalo bisa contoh ptk buatan sendiri, dong pak! saya udah liat contoh tsb di blog lain. siapa nyontek siapa, nih ? bingung guru kok nyontek. boleh niru, tapi jangan jiplak doong.

Komentar ini bisa dilihat di sini. Bagaimana respon saya?

>>>

Terima kasih kunjungan dan masukannya ke blog sawali.info. jujur saja saya terkejut membaca tuduhan bapak kalau proposal PTK saya berjudul “Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Bercerita bagi Siswa SMP” merupakan karya jiplakan. Proposal ini dibiaya oleh DIPA Balitbang Depdiknas Tahun 2006 Kegiatan Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional sebesar Rp 10 juta. Untuk bisa lolos harus berkompetesi dg ribuan proposal yang lain. Sungguh naif bagi saya apabila PTK yang didanai Depdiknas hanya sekadar nyontek. Coba Bapak Kuntul yang terhormat tunjukkan link blog yang sama dengan PTK yang saya buat. Saya berani berdialog, siapa menyontek siapa? Bapak membaca proposal saya dengan teliti atau tidak? Jangan main tuduh sembarangan. Blog saya terbuka bagi siapa saja. Saya menggeluti dunia menulis juga bukan kemarin sore, Pak Kuntul. Saya tahu etika dunia kepenulisan. Jangankan PTK, pernyataan satu kalimat yang saya kutip dari orang lain pun saya cantumkan sumbernya. Saya beri kesempatan kepada Bapak untuk mencari link blog yang sama persis dengan proposal PTK saya. Kalau sampai dalam waktu 2×24 jam, Pak Kuntul tidak bisa memberikan jawaban atau memberikan link blog itu, Pak Kuntul tak ubahnya seorang penyebar fitnah. Sungguh, saya benar-benar tersinggung. Mengapa? Karena selama ini saya termasuk orang yang paling antipati terhadap plagiasi atau kopi-paste. Coba teliti dulu benar tidaknya komentar dalam sebuah blog. Sebenarnya saya langsung ingin melakukan kunjungan balik ke blog bapak. tapi rupanya tak tercantumkan nama url-nya. jangan2 bapak kuntul ndak punya blog. lagian nama yang bagus, sabarudinn, kok diganti dg nickname “kuntul”, haks!

Berikut ini skrinsut surat pengantar dan sebagian proposal yang saya kirimkan ke Balitbang Depdiknas (klik gambar untuk memperbesar!)

Bisa jadi ada kesan emosional dan arogan. Namun, demikianlah cara yang saya gunakan. Tuduhan harus dibuktikan. Bisa jadi juga Pak Kuntul membaca tulisan yang sama di blog Jalan Mendaki, Jalur Lurus, yang lebih dahulu lahir, Pondok Oemar Bakri, atau MGMP Bahasa Indonesia SMP di sini atau di sini, yang lahir kemudian. Di blog-blog tersebut, memang ada beberapa tulisan saya yang sama. Pemegang adminnya pun saya sendiri. Kalau memang benar seperti itu, Pak Kuntul mestinya lebih cermat juga dalam melihat siapa adminnya. Lagi pula, saya hampir tidak pernah menggunakan nama samaran sehingga lebih mudah dilacak asal-usulnya.

Meski demikian, saya mengapresiasi juga temuan Pak Kuntul. Kalau memang ada PTK yang sama dengan PTK milik saya yang dipublikasikan di sebuah blog yang bukan saya sebagai pemegang adminnya, saya membuka diri untuk berdialog dan berdiskusi. Jika perlu diuji di hadapan tim penguji yang benar-benar paham tentang hakikat PTK. Apalagi, PTK tersebut didanai oleh Balitbang Depdiknas. Sungguh naif bagi saya apabila menghabiskan dana hanya sekadar untuk melakukan penelitian jiplakan. Lagi pula, saya sudah terlalu sering berteriak tentang etika kopi-paste dari sebuah blog ke blog lain. Atau, jangan-jangan karena terlalu seringnya berteriak, justru ada pengunjung yang iseng menyampaikan tuduhan, haks 🙂

Untuk kepentingan klarifikasi, Pak Kuntul sudah saya kontak via email. Isinya tak jauh berbeda dengan respon saya di bilik komentar. Namun, hingga saat ini, belum ada klarifikasi dari Pak Kuntul yang terhormat itu. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

69 Comments

  1. Sebelumnya saya baca Tulisan budaya meneliti, tetapi saya lebih tertarik untuk memberikan komentar disini karna saya sangat setuju dengan cara bapak merespon komentar tersebut. Saya selalu mencari pembuktian ilmiah dalam memecahkan suatu masalah dan respon bapa sangat ilmiah bagi saya.

    Sy baru kenal dg pa sawali lewat blog dan sy jg tdk kenal. Penilaian saya tidak subjektif, murni menanggapi tulisan2 diatas. terima kasih fenomena ini memberikan pelajaran baru bagi saya.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top