Secara jujur harus diakui, selama ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Selalu saja ada dalih untuk mengebirinya. Entah lantaran kurikulumnya, ketidaksiapan gurunya, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat siswa. Beberapa alasan klasik untuk menutupi nihilnya “kemauan baik” untuk memosisikan sastra pada aras yang berwibawa dan bermartabat. Yang lebih memprihatinkan, masih ada opini “menyesatkan” bahwa sastra hanya sekadar produk dunia khayalan dan lamunan yang tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan nyata.
Sastra pada hakikatnya merupakan “prasasti” kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah diciptakan lepas konteks dari masyarakat, tempat sang pengarang hidup dan dibesarkan. Dengan kata lain, teks sastra akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks sastra yang mampu mengharubiru emosi pembaca.
Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks sastra memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks sastra, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks sastra juga mampu memberikan “gizi batin” yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan “kemiskinan” nurani. Tek sastra juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan. Agaknya masuk akal kalau Danarto pernah bilang bahwa kaum remaja-pelajar yang suka tawuran dan selalu menggunakan bahasa kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan potret kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Mereka tak pernah membaca teks sastra sehingga tidak memiliki kepekaan dan kearifan dalam menghadapi masalah kehidupan yang mencuat ke permukaan.
Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban benar-benar sedang “sakit”? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap “rabun sastra”?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan “sihir” yang sekali “abrakadabra” langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.
Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi “agen perubahan” untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun kini sudah amat akomodatif dan bersahabat dengan sastra. Jika kurikulum sebelumnya membidik sastra hanya sekadar tempelan seperti dalam sebuah mozaik, kini sastra sudah menjadi bagian esensial dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Lihat saja Standar Kompetensi (SK) dan KD mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP di sini! Keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis, tak hanya dioptimalkan dalam pembelajaran aspek kebahasaan, tetapi juga dalam pembelajaran aspek kesastraan. Jadi, dalam pembelajaran sastra di SMP, kini sudah ada keterampilan mendengarkan sastra, berbicara sastra, membaca sastra, dan menulis sastra. Jelas ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya tidak ada alasan lagi untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan yang memberikan ruang gerak secara leluasa kepada para guru bahasa dalam mengelola proses pembelajaran, jelas akan memberikan prospek yang cerah dalam gerak dan dinamika apresiasi sastra di kalangan siswa.
Nah, kalau kurikulum sudah memberikan atmosfer yang cukup kondusif, ternyata siswa masih “rabun sastra”, bagaimana? Bisa jadi ada kesalahan pada aras implementasinya. Guru, jelas, menjadi faktor utama. Menyajikan materi kesastraan jelas sangat berbeda dengan menyajikan materi kebahasaan. Untuk memberikan sugesti kepada siswa, guru sastra diharapkan memiliki wawasan sastra yang “canggih” sekaligus mampu memberikan keteladanan tentang kecintaannya terhadap sastra. Sarana pendukung, seperti perpustakaan dan fasilitas pembelajaran lainnya, juga menjadi penentu. Bagaimana siswa bisa belajar apresiasi sastra dengan baik kalau rak perpustakaan sekolah hanya dihuni buku-buku usang?
Yang tidak kalah penting adalah memperbanyak agenda kegiatan sastra, semacam pentas baca puisi atau cerpen, lomba dan festival, atau menyediakan media publikasi (cetak) untuk menerbitkan karya-karya siswa. Dengan cara demikian, sastra tak akan terjebak menjadi pengetahuan kognitif dalam ranah memori siswa, tetapi menyatu dalam sikap dan emosi, yang akan terus melekat dan mengakar dalam khazanah batin siswa hingga kelak mereka menjadi insan yang memiliki sikap responsif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Nah, bagaimana? ***
Ingat waktu SMA dulu, masak pelajaras mengenai SPOK (Subjek Predikat Objek dan Keterangan) sampai diajarkan lebih dari sebulan. SAya kan bosen. Lagian materi seperti itu kan udah di ajar dari SD sampai SMP. Ya ngeliatnya cukuplah 2 kali pertemuan di SMU. Pas protes saya dimarahin, trus d musuhin pada keseharian. Jadilah saya kesel sama yang namanya Bahasa Indonesia..
Untunglah pas mahasiswa mendapatkan pencerahan.. Jadi mulai senang dengan cerpen dan novel..dahsyatnya lagi mulai belajar menulis..
Jadi terkadang guru juga menjadi titik tolak siswanya akan suka dengan sastra ato enggak. Klo gurunya ngajar monotan, gimana siswanya mau ekspresif??
salam
made ekas last blog post..Bandung Tempo Doeloe di Museum Sri Baduga
yang saya lihat di negara ini tidak hanya sastra yang dikebiri, tapi keseluruhan dunia pendidikan… belum sadarkah pentingnya pendidikan di masa depan?
Saya kadang berpikir sederhana dulu sebelum memikirkan sastra. Adakah pelajaran di sekolah yang membuat seorang siswa bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga memiliki skill yang baik untuk berbicara dan mengemukakan pendapat?
Sayang, kita bisa melihat bahwa cukup banyak manusia Indonesia yang tidak bisa berbicara dengan baik dan benar, dan ini terlihat jelas ketika manusia tersebut berbicara di depan khayalak ramai 🙁
Riyogartas last blog post..Hancock vs Henkuk
Wah nek wis tekan Sastra bingung ngomentarine…
Mengebiri Sastra memang tak beralasan, tapi kalau mengebiri Pak Sastro jelas ada alasannya, yaitu buat sukseskan Program Keluarga Berencana.
marsudiyantos last blog post..Pernyataan Resmi
Maksudnya pak Sawali sastra belum mendapatkan tempat di dalam pendidikan kita itu gimana ya pak?? Kalau menurut saya kok hampir semua subyek belum mendapatkan tempat di dalam pendidikan kita hehehe…..
Lihat aja…. matematikawan, insinyur, dokter kita dan lain2nya sama bagusnya dan sama bobroknya dengan sastrawan kita kok hehehe… Hanya saja mungkin pendidikan sastra di sekolah2 kita yang memang salah arah…. mungkin loh… hehehe…. :411
Yari NKs last blog post..Punya Domain Sendiri atau Tetap Gratisan di WP[dot]com ya?
Mas Sawali, emang sastra tuh jenis binatang apa, koq sampai dikebiri??? hehehe…
Tapi saya setuju, kalo sastra emang lom diberi ‘hak’nya di dunia pendidikan. Terus terang, aku saja mengenal dunia sastra, termasuk buku-buku sastra di luar sekolah…
waktu saya masih ➡ ‘dikutuk’ mengajar komputer di SMP, saya inget ketika guru bahasa indonesia di sekolah tersebut tak tahu apa itu sanggar sastra… hahaha
Qizinks last blog post..[Kelas Menulis #1] Membuat Nama Samaran
Wah tulisan Anda sangat kokoh karena bicara tentang bidang yang Anda kuasai dan perjuangkan, Pak Sawali.
Saya cuma bisa berkomentar, saya setuju dengan penggalakan pengenalan dan pendalaman karya sastra pada anak didik.
Selain dapat mengagumi dan memahami keindahan karyanya, sastra juga menurut saya mampu untuk melatih orang memiliki pola pikir yang beda dan lebih membawa sisi kemanusiaan nan spiritual dalam setiap masalah yang dihadapi.
Hal ini tentu sangat dibutuhkan bagi masa depan bangsa ini.
Donny Verdians last blog post..Tomorrow
Sebenarnya batas sastra dan bukan itu bagaimana sih pak?
danalinggas last blog post..Lucunya Tentang Listrik
Karya sastra dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya peradaban. Selain kuantitas redaksional juga kualitas substansional jangan dikebiri. Tidak baik kalau ada sensor menyensor seperti yg telah lalu. Semoga kehidupan dunia sastra di Indonesia semakin marak untuk waktu-waktu yang akan datang 😯 😯 😯
laporans last blog post..Waria Juga Manusia
wagh..cuma sppnya sastra kita akan semakin tenggelam mas sawali….. 8)
Yang sabar aja, Pak. Saya yakin kurikulum pendidikan sekarang ini masih perlu dikembangkan, dan memang harus selalu dikembangkan. Semoga saja pada di masa mendatang, sastra mendapat tempat yang layak di kurikulum pendidikan.
Edi Psws last blog post..Mendapat Hadiah dari Ale-Ale
padahal bahasa itu kan sarana untuk menjelaskan segala sesuatu. lha kalo dikebiri trus menjelaskan pake apa? bahasa inggris kali… :114
SJs last blog post..Tiga Dimensi Ilmu Kejawen
Sastra yang saya ingat waktu sekolah beajr puisi,bahas indonesia (SPO)atau belajar bahasa indonesia yang baik dan benar.Dan sempat terpikir skarang kalau dulu saya belajr bahasa indonesia nggak baik.jadi skarang blognya juga bahasa ya nggak bagus …jadi malu sama p.sawali ..kalau dibaca …:D
Diahs last blog post..Antara Seo Alexa PageRank dan trafik
Pengajaran Sastra terlalu “kering”, yang diberikan guru kepada siswa. Padahal esensi materi sastra sangat baik untuk daya imajinasi siswa.
pak saya orang yang gak mudhwng sastra…
pas dulu smp kan dapat pelajaran bahasa dan sastra indonesia, tapi kok ya gak beda sama pelajaran bahasa indonesia biasa, lalu dimana sastranya?
😀
seharusnya blog bisa juga jadi media publikasi karya-karya sastra siswa. jadi, kenapa tidak para siswa-siswa itu di ajari tentang ngeblog? 😀
Menurut saya, kita lakukan saja apa pun tindak nyata agar tak terkebiri, yang mengebiri kan kita juga he he. Konon, kalau sesuatu ‘terkekang’ potensi akan berlipat mendobraknya. Tapi, kalau inti pemicu potensinya yang loyo … alasanlah yang ke depan. Makanya, kita perlu orang seperti Pak sawali, berbuat. Salut.
Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Deklarasi Perang
Ya ya ya, jangan lagi beralasan. Go go go.
Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Deklarasi Perang
antownholicontest#3 sudah dibuka. Gratis…tis…tis, semuanya bisa ngikut. Please visit my blog.
Yang jelas saya lihat, batasan sastra dan bukan semakin tipis di dunia nyata…entah karena saya tak terlalu paham…tapi kalau melihat di rak toko buku besar di Indonesia ini, batasan buku yang sastra dan novel lainnya tercampur jadi satu…..padahal mestinya tetap ada beda yang jelas.
Karya sastra tetap berbeda, saar membaca karya sastra, kita terasa dibawa pada masa dimana tokoh cerita itu berada, dan kemudian ada tujuan dan nilai yang diinginkan penulis nya…makanya sebetulnya kritik sastra, membaca sastra yang dikemas dalam suatu acara yang menarik, akan meningkatkan minat baca. Dulu, guru saya mengajak murid-muridnya membuat resensi, sambil duduk-duduk di bawah pohon cemara di depan sekolah….cara yang sangat menarik…kadang juga bergantian membaca puisi….menariknya, puisi yang sama, bisa sangat berbeda oleh cara membaca yang berbeda, sesuai pengertian masing-masing.
edratnas last blog post..Penawaran kredit melalui sms: benar atau penipuan model baru?
Salam
Dan untuk anak sekarang menyebut kata sastra selalu identik dengan puisi, soneta atau semacamnya padahal engga akan Pak Dhe?
Setuju kalau sastra mesti lebih disosialisasikan, nurutku sie membaca sastra berefek pada kepekaan rasa or sensitivitas terhadap masalah and dalam menyikapi hidup..Oh ya saya suka sekali karya2 Iwan Simatupang..duh pak Dhe saya di kota kecil ingin sekali beli bukunya Pak Dhe *siap2 gugling di online shop* padahal maunya gratisan… *ngarep* *digeplak pak Dhe* :411
nenyoks last blog post..ThE Meaning Of Yahoo
waduh pak guru…, bagus artikel nya, saya suka. 💡
juneds last blog post..Pesta musik menyambut hari kemerdekaan
Saya setuju pas…
even2 sastra buat anak sekolah emang harus diperbanyak…
itu akan sangat membantu perkembangan dunia sastra
abdees last blog post..Ahli Therapi Jiwa Asli Jogja
bahkan di alma mater gue aja even sastra udah makin hari makin menipis. padahal judulnya fakultas sastra (sekrang jadi fakultas ilmu budaya sih, tapi tetep aja)
saya akan mengubah paradigma kalau anak belasan tahun hanya bisa menulis tentang cinta saja… anak belasan tahun biasanya membuat sebuah buku – teenlit – tentang cinta yang tidak jelas…
saya akan mencoba membuat sebuah sastra…
biar dunia tahu ada anak belasan tahun yang tidak asal menulis ceritera..
sir arthur moerzs last blog post..INSOMNIA
om om… aku pinjem buku nya donk..
*salah fokus 😯 *
ulans last blog post..Munyem..
Sastrawan kayaknya nanti cuma hanya tinggal nama, karya sastra identik dengan membaca, anak-anak sekarang kebanyakan males membaca, ga ada lagi dongeng-dongeng yang membuat masa kecil terbuai.Kumahanya Pak ?
ubadbmarkos last blog post..Shooting selesai…, ABB (Asa Bucat Bisul)
Sebenarnya di Pustaka Sekolah banyak buku-buku sastra, pak Sawali. Dulu waktu saya masih SMP dan SMU entah kenapa buku sastra zaman dahulu itu sama sekali tidak menarik minat saya dan juga teman2 lainnya. Entah karena sudah jadul ato mungkin kami hanyalah sekelompok anak-anak muda yang ingin ‘terbang’ ke dunia yang juga sama dengan dunia imaji kami sendiri. :acc
Meskipun harus diakui bahwa buku2 karya (misalnya)Nh.Dini, Sutan Takdir Ali Sjahbana, dll adalah buku-buku yang bagus…mungkin untuk permulaan kami perlu membaca buku sastra yang ‘meremaja’.
Saya setuju bahwa setiap pelajar harus diperkenalkan dengan bhs sastra agar mereka tidak lagi memakai bhs kekerasan. Pastinya seru jika mereka mengekspresikan ke’tidaksukaan’ mereka terhadap suatu hal dengan perang kata-kata…misalnya melalui koran ato mAding sekolah… :112 :114
putris last blog post..Seberapa TerkenalKah ?? (Part 2)
salot saya sama penulis yang satu ini ber bobot tapi bukan karena badan gemuk, mantaaf lah menguasai bidang nya
Ronggos last blog post..Panduan cara Bikin Blog dan Daftar Google AdSense 🙁
Saya senang sekali menyuruh anak-anak membaca buku-buku cerita atau novel yang ada di lemari sekolah (kami belum punya perpustakaan), sayang jumlah judulnya gak sampai 50judul. Mereka jadinya ya bosan, masa bukunya itu-itu terus.
Sebagian guru yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah juga karena keterpaksaan dalam kaitan tak ada guru lain yang benar-benar punya latar belakang pendidikan bahasa dan satra. Sekolah saya tak punya guru bahasa indonesia, jadi terpaksa deh saya yang guru IPA mengajar bahasa juga.
O ya, tapi saya lihat kok ya, guru-guru bahasa yang asli dari jurusan bahasa juga tak memperlihatkan minat yang serius terhadap sastra, (ini sih sepenglihatan saya saja, dari beberapa guru bahasa yang saya kenal baik).
tidak sedikit orang yang memandang sastra tidak penting dan lebih mementingkan matematika atau ilmu pasti yang lain padahal dalam kenyataan di lapangan seperti saya sebagai pekerja ataupun orang teknis yang berhubungan dengan ilmu pasti namun justru sastra ,dan tutur bahasa yang banyak pegang peranan dalam memperoleh pekerjaan ,pelaksanaan pekerjaan,penyelesaian pekerjaan ,dalam sastra itu mementahkan rumus 1+1 = 2itulah betapa pentingnya satra dan tata bahasa ( Kalo tender BQ kalah gak papa tapi sastra merayu nya di pake hahahaha menang Tender )
dalam kesusastraan terkadung peradapan ,tatakrama yang adi luhung,tersimpan kedamaian ,kasih sayang ,kelembutan penuturan ,pemahaman gambarn kehidupan,
hehe gara gara suka menghalus kata berbahasa dan coretan puisi dapet istri cantik hehehehe
KOPISISA ( Kelompok Peminat Seni Sastra ) Purworejo yang tinggal SISA …..Terima Kasih Para Guru Sastraku
kambingkelirs last blog post..Ogan Komering Ulu Timur
Saya setuju agar sastra tidak dikebiri. Bahkan, disunat pun jangan.
Lebih jauh, saya melihat sastra harus jadi mata pelajaran sendiri, jangan numpang dengan Bahasa Indonesia. Lihat saja di Perguruan Tinggi, yang ada Fakultas Sastra kan, bukan Fakultas Bahasa.
Saya pernah diceritai bahwa zaman Belanda dulu, sastra yang dibaca bukan hanya yang berbahasa Belanda. Ada yang Bahasa Inggris, Bahasa Jerman dll. Makanya, orang-orang hasil pendidikan Belanda banyak yang multilingual.
Zaman kemerdekaan kok makin parah. Bahasa Indonesia nggak pandai, Bahasa Asing apa lagi?
Hm,, saya rasa sistem pendidikan di negara ini harus segera di benahi…
ndak hanya sastra saja.. namun yang lainnya juga.. 🙄
galihyonks last blog post..PON XVII dan gengsi antar daerah
hmmmm, memang tak ada alasan lagi pak.Sudah saatnya, kita lebih menghargai sastra sebagai seni yg hrs dipelajri…
iis sugiantis last blog post..Mimpi Buruk Umar Bakri!
Katanya dulu di sekolah zaman Belanda, setiap siswa SMA (Mulo?) diwajibkan membaca buku sastra 10 per tahun. Jadi setelah tamat, dia sudah menyelesaikan sekitar 30 buku (jumlahnya mungkin kurang persis). Apakah pembelajaran saat ini sudah meniru hal positif dari pendidikan Belanda dulu?
Hery Azwans last blog post..Akhir Pekan Kemana?
meski saya bukan jebolan sastra
saya mencintai sastra
saya kelak berharap ingin menjadi penulis
yang bebeas menuangkan kreatifitas tanpa pengkebirian 🙄
achoey sang khilafs last blog post..NATIONAL AWAKENING
Kalau kurikulum tidak “mendukung”, memang tidak bisa menggantungkan begitu saja dari sana. Hanya orang-orang yang keras kepala saja yang punya niat kuat untuk tetap menyajikan sastra dalam lorong-lorong kehidupan manusia (apalagi anak didiknya). Upaya-upaya dalam bentuk acara adalah salah sebuah solusinya.
Dulu, sempat mau kuliah sastra tapi orang tua saya bilang “jangan De, gak bisa dijadiin duit” sekarang saya mengerti, tapi tidak setuju 🙂
Rindus last blog post..Seikat bunga asa
Pak Sawali,
Pendidikan sastra harusnya berganti kemasan menjadi lebih menarik, lebih tajam, dan lebih membangkitkan pikiran.
Namun, yang ada justru sebaliknya…tidak heran anak-anak sekarang semakin tidak tertarik pada sastra.
Apakah yang bisa didefinisikan sebagai karya sastra dan bukan sekedar literatur populer biasa?
Kokos last blog post..Why are you moving your blog(s)?
SPP itu maksudnya SEPERTI mas sawali 😉
okta sihotangs last blog post..No design, no activity, no..no..no…ASTRA(7)
dulu saya pengen masuk sastra… tapi sama keluarga ditentang dan diremehkan, makanya akhirnya saya beralih ke dunia IT… hiks…
fennys last blog post..Kontes Berhadiah MP3 Player, Flashdisk, Pulsa dan Dinner
suka sastra, tapi minatnya di IT kalo saya….
azizs last blog post..BILL GATES vs EINSTEIN
Makna “sastra” sendiri perlu diredefinisikan Pak Sawali. Sementara ini makna sastra kan beda2 satu dengan yang lain. Gampangannya begini, andai kepada komentator pendahulu saya ini diberi secarik kertas, lalu diminta mendeskrepsikan apa itu “sastra”, saya berani taruhan, pasti akan terdapat 42 jawaban yang berbeda. Tidak semua salah, tapi juga tidak semua benar, karena kebenaran bahasa memang tidak tunggal. Kalau yang sastra-sastraan memang layak dikebiri, atau malah kalau perlu diamputasi sekalian. Tapi kalau yang sastra beneran dan sastra setengah bener yang masih layak dilakukan remedial, ya wajib dijaga, diobati, kalau perlu diperban.
Yang jadi pertanyaan saya, siapkah Pak Sawali menyediakan kertas 42 lembar?. Yang pasti, komentar saya ini tidak masuk karya sastra. :112
marsudiyantos last blog post..Kenapa Blõg Èm ?
Aku bermimpi buku sastra dijadikan bacaan wajib di setiap semester dari mulai pelajar SD, SMP, SMA, hingga universitas. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi pula kuota wajib menghabiskan judul buku sastra dalam setiap semesternya.
Padahal kalau dipikir lebih lanjut, sastra kan bisa dipakai di semua bidang sebagai nilai-nilai kehidupan. Jadi kenapa dianaktirikan kalau sekedar gak bisa menghasilkan uang?
lagi pelatihan kemana nih? koq lama nggak muncul… hehehe
Qizinks last blog post..dari BISMILLAH hingga SURGA
walah saya sendiri .. juga kurang mengerti sastra .. makanya nulis blognya amburadul 😀
sastra mulai hilang dari dunia pendidikan, apalagi masyarakata secra luas, mreka lebih memilih TV daripada mmbaca buku yang katanya aneh dan membosankan itu. Sastra sudah saatnya menginteernalisasi dengan pendidikan bahasa di sekolah2. Krn sastra memang bisa mengetuk nurani. Sastra yang murni untuk sebuah pesan kritis pada masyarakt dn pemerintah.
jadi saya pikir blog dan sastra pun sebuah proses internalisasi antara teknologi dan intuisi ilmiah.
seandainya para sastrawan dan pecinta sastra sudah mulai ngeblog smua Om..
dan pesan aja sih, jangan hianati sastra dengan tulisan2 negatif.. yaaa… :112 :205
fauzansigmas last blog post..Keringanan SPP/BPI Mahasiswa Baru UNS
Karena sastra merupakan senjata yang tidak dapat dilumpuhkan dengan apapun pak! Oleh karena itulah… pengebirian dan pengkerdilannya merupakan cara praktis untuk menyortir-nya…
maaf beberapa minggu ini saya hiatus, n g pernah OL pak :oke :oke
azaxss last blog post..Pengakuan Dosa
sastra bagi panglima ideologi adalah peluru berbalut madu, manis & titis 🙄
dengan niatan yang baik mari Pak bangkitkan bangsa ini pulih dari peradaban yang sakit dengan karya sastra yang mencerahkan :112
& semoga coretan iseng saya di blog ikut jadi sastra yg mencera 😐 hkan
tomys last blog post..MEMBATU
Sesuatu yang bernilai tinggi atau sastra tidak usah kawatir akan hilang,
mungkin sekarang surut tapi jangan kawatir, semua kitap suci berisi sastra yang tinggi dan tidak membosankan.
Selamat deh bapak bisa lebih keras menyuarakan sastra,
saya hanya bisa mensuport semoga usaha bapak tidak sia sia. Dan say a yakin memang tidak akan pernah sia sia.
Salam sukses
jadi inget waktu SMU,
dulu ada majalah horizon yang ga pernah ada yang minjem.
sering banget saya mampir ke perpus, iseng2 baca buku itu.
Menurut saya sih, isinya bagus2. bahasanya ada aja yang baru (**maksudnya yang saya belum tau kosakatanya)
Tapi keren abis.
Dulu saya pikir saya yang aneh, tapi ternyata banyak banget manfaatnya bwt sayah, untuk baca lebih banyak buku lagi, jadi saya ga perlu nanya ke temen di sebelah dengan muka bego kayk gini “eh eh, maksudnya kata “….” apa sih. huhuhu!!! ga banget kan…
aheads last blog post..Keep Happy kayak gw???
Menurut bapakku : membaca buku roman hanya membuang-buang waktu. Lagipula harganya sangat mahal. Lebih baik uangnya utk beli buku mengenai managemen.
Padahal di Bali banyak orang-orang bule (tua-tua lagi) membaca buku roman sambil tiduran di bawah pohon kelapa. Bayangin saja berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk menikmati buku romannya.
Aku sering membeli buku roman dengan harga $1.
Juliachs last blog post..Shopping Days
gimana kalo mata pelajaran bahasa indonesia itu dipisah dengan sastra Indonesia.
kalo sastra indonesia nanti diajarin oleh seniman yang benar2 tau tentang sastra gitu 😀
atau disyaratkan bagi guru bahasa yang seniman aja 😀
Jangannankan pada orang awam, komunitas sastra di antara mahasiswa jurusan sastra aja tidak bagus. iklimnya iklim orang yg mau cari kerja dan bukannya orang yg mencari poetika. namun bagaimana lagi inilah kenyataan dimanamana. Pernah denger mulai banyak orang yg mempertanyakan perlukah masih ada hadiah nobel untuk sastra bila sastra tidak menunjukkan perannya bagi kemanusiaan ?
uwiuws last blog post..Google Domination
sayangnya otak saya lebih bekerja bila bertemu hitung – menghitung daripada merangkai kata – kata hehehe
L 34 Hs last blog post..Waduk Sermo
Aku baru tahu kalau sastra bisa ‘dikeberi’ :411 yang mengibir sadis banget yak. gimana pelajar ga mau mandul sastra wong sastranya sudah dikeberi. :291
Maaf ya, komeng iseng. prihatin sama dunia sastra di negeri ini. rak buku karya sastra pun sangat kecil tempatnya di toko-toko buku dibanding rak buku-buku motivasi atau cara paling cepat untuk menjadi kaya. :293
Pingback: Guru Sastra Saya Sawali Tuhusetya | Sumintar.Com
Jadi inget dead poets society..saya yakin bahwa semua karya sastra harus dibaca dengan pikiran terbuka supaya tidak menyesatkan
Ngga populer Pak. Kalo mau populer, jangan bikin lomba puisi atau bikin novel. Buatlah Akademi Puisi dan Novel Indonesia, macam Indonesian Idol. Baru deh sastra jadi populer.
Kunjungi dan tulis prediksi sobat di:
http://achoey.wordpress.com/2008/07/10/prediksi-lima-besar-partai-pemenang-pemilu-2009/
Hatur nuhun 🙂
achoey sang khilafs last blog post..Prediksi Lima Besar Partai Pemenang Pemilu 2009?
Benar, Pak. Tak ada lagi alasan untuk mengamputasi geliat sastra tanah air kontemporer. Tinggal kita cari metode yang pas dan sesuai dengan kapabilitas anak didik kita khususnya, untuk mengembangkan apresiasi dan minat baca berikut laku hidup yang se-ruh dengan jiwa sastra. Sehingga diharapkan akan melahirkan sastrawan2 yang tak hanya jago beretorika atau mengumbar metafor di setiap karyanya, dan lebih mengutamakan tujuan estetik sastra itu sendiri.
Sayangnya saya pun cuma baru bisa sampai pada level “kulit luar” kalau bersinggungan dengan yg namanya sastra.
Salam,
ariss_s last blog post..Seputar Kesalahan dalam Berdo’a ~ Refleksi Kenapa Do’a Jarang Terkabul