Selama tiga hari (30 Juni-2 Juli 2008) saya bersama rekan-rekan guru dari 9 kabupaten mengikuti pelatihan “Pembelajaran Berperspektif Gender” di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Berikut ini rangkumannya.
Isu gender sebenarnya sudah lama menggema di negeri ini. Kuatnya cengkeraman kultur patriarki, disadari atau tidak, telah mempersempit gerak kesetaraan gender dalam berbagai ranah kehidupan. Dalam lingkungan keluarga, misalnya, anak laki-laki “dipaksa” membunuh kepribadiannya yang feminim, lembut, dan emosional. Sebuah pantangan apabila anak lelaki memiliki karakter cengeng dan suka menangis. Anak laki-laki harus kuat dan perkasa. Sebaliknya, anak perempuan juga dipaksa menanggalkan karakternya yang maskulin, rasional, dan aktif.
Pelabelan dan stigma yang stereotipe semacam itu diperkuat dengan masih kuatnya pencitraan masyarakat terhadap posisi kaum perempuan yang hanya layak terjun di ranah domestik atau hanya sekadar menjalankan fungsi reproduktif belaka. Sementara, di ranah publik atau fungsi produktif dan sosial hanya layak diisi oleh kaum lelaki. Akibat pencitraan masyarakat yang “salah kaprah” semacam itu, disadari atau tidak, banyak kaum perempuan yang “takut sukses” di ruang-ruang publik.
Pelabelan dan pencitraan masyarakat patriarki yang cenderung men-subordinasi (menomorduakan) kaum perempuan di ranah publik menjadikan sosok kaum hawa menjadi begitu rentan terhadap ketidakadilan gender, seperti kekerasan , pemiskinan (marginalisasi), maupun beban ganda. Mengguritanya akar patriarki yang demikian kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat membuat isu-isu gender menjadi bias dan salah kaprah. Banyak kaum lelaki yang merasa khawatir bahwa gender akan membuat peran kaum lelaki menyempit. Bahkan, tak jarang yang berpandangan bahwa gender merupakan bentuk “perlawanan” kaum perempuan terhadap kodrat yang akan menyingkirkan peran kaum lelaki di sektor publik.
Selama ini, gender sering disamakan dengan jenis kelamin (seksual) sehingga memunculkan stigma dan pencitraan publik yang keliru. Jenis kelamin atau hal-hal yang berkaitan dengan faktor seksual jelas merupakan bawaan sejak lahir yang secara biologis memang memiliki ciri yang berbeda. Seksual inilah yang berkaitan dengan kodrat sehingga tidak bisa dipertukarkan. Kodrat yang berkaitan dengan fungsi seksual kaum perempuan, misalnya, menstruasi, hamil, atau menyusui. Kodrat semacam itulah yang mustahil bisa dijalankan oleh kaum lelaki.
Gender dibentuk berdasarkan konstruksi sosial yang sangat erat kaitannya dengan masalah kultural, norma, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Setiap kelompok masyarakat, bisa jadi memiliki konstruksi sosial yang berbeda-beda dalam memandang posisi kaum lelaki dan perempuan sehingga akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan peradaban yang membentuknya. Emosi, sikap empati, rasio, akal budi, atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan kodrat merupakan unsur-unsur gender yang bisa dimiliki oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dari sisi ini, sungguh tidak adil kalau ada orang berkata, “Eh, anak lelaki kok menangis, jangan cengeng, dong!” atau “Jadi anak perempuan itu jangan suka berteriak-teriak, dong!” Loh, memang yang bisa menangis itu hanya anak perempuan dan yang bisa berteriak-teriak itu hanya anak lelaki. Ini merupakan beberapa contoh kecil tentang ketidakadilan gender yang sudah demikian kuat mencengkeram kultur masyarakat kita yang patriarkis.
Repotnya, ketidakadilan gender semacam itu terbawa masuk melalui institusi pendidikan. Dunia persekolahan, diakui atau tidak, telah menjadi ruang jagal dan pembunuh unsur-unsur gender untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Ketika ada seorang siswa perempuan yang melakukan sedikit penyimpangan, stigma yang bias gender secara tidak sadar sering terlontar;
Eh, kamu anak perempuan kok berani-beraninya menampar pipi anak laki-laki. Kalau dibalas bagaimana? Kamu tak mungkin akan sanggup melawannya!
Tanpa bermaksud untuk menolerir kekerasan di dunia persekolahan, stigma yang bias gender semacam itu sangat tidak kondusif terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian siswa perempuan. Mereka telah dibiasakan secara sistematis dan kultural untuk selalu mengalah, pasif, dan serba bergantung. Demikian juga peran siswa perempuan dalam bursa ketua OSIS, petugas upacara, atau kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Buku ajar pun masih banyak yang bias gender, seperti penggunaan ilustrasi “anak perempuan yang selalu membantu ibunya di dapur atau anak laki-laki yang bermain layang-layang”. Demikian juga penggunaan kalimat, “Ayah membaca koran, sedangkan ibu memasak di dapur.” Secara tidak langsung, penggunaan ilustrasi dan kalimat semacam itu telah memiliki andil untuk menanamkan kepribadian yang bias gender kepada siswa. Muncul stereotipe bahwa anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang atau seorang ibu yang tak layak membaca koran.
Sebagai agen perubahan, sudah saatnya dunia persekolahan kita tampil memberikan internalisasi gender secara benar kepada peserta didik. Tidak harus menjadi sebuah mata pelajaran, tetapi diintegrasikan secara inklusif ke dalam proses pembelajaran. Secara lintas-mata pelajaran, para guru diharapkan menanamkan nilai-nilai gender sejak dini ke dalam desain dan proses pembelajaran sehingga anak-anak bangsa negeri ini tidak lagi terjebak dalam kungkungan patriarki yang sangat tidak menguntungkan. Bukan hal yang mudah memang menanamkan nilai-nilai baru di tengah-tengah kuatnya kultur masyarakat yang cenderung bias gender. Namun, jika penanaman dan penyuburan nilai-nilai gender semacam itu tidak terbonsai, pelan tapi pasti, akan lahir “generasi-generasi baru” yang sadar dan responsif terhadap gender.
Desain dan proses pembelajaran berperspektif gender semacam itu jelas akan lebih kontekstual dan memiliki daya tarik bagi siswa jika dikemas secara interaktif dan tidak lagi terjebak ke dalam hafalan dan teori. Dukungan media berbasis teknologi-informasi sangat diperlukan ketika dunia pendidikan sudah mulai mengarah pada pembelajaran elektronik. Tayangan-tayangan gambar berangkai, video, bahkan film, khususnya yang berkeadilan gender dan edukatif, sangat dibutuhkan untuk memberikan citraan baru ke dalam mind-set anak-anak sehingga secara tidak langsung akan membuka wawasan baru.
Lingkungan keluarga pun mesti memulai menginternalisasikan unsur-unsur gender secara benar sejak dini kepada anak-anak sehingga tidak lagi muncul stigma, pelabelan, penomorduaan, marginalisasi peran, beban ganda, atau kekerasan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Mengapa tidak dimulai dari sekarang? ***
Alangkah tepat jika wacana seperti ini diusung ke dalam ranah para guru, karena posisinya yang begitu strategis dan memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan khususnya perkembangan anak didik yang pada akhrnya membentuk mind-set tertentu akan suatu hal.
Namun akan lebih tepat lagi jika pola-pola semacam ini disodorkan pada habitat anak itu sendiri, tentu dengan pendekatan yang lebih tepat.
Bukankah di saat itulah dunia azas berkembang: sesuatu yang dibawa terus sejak kecil.
(sok tau banget gini aku ya… hihihi!)
Isu persamaan gender yang kita kenal dengan sebutan emansipasi wanita, sebenarnya juga berdampak positif terhadap ekonomi. Sebab penelitian membuktikan bahwa wanita yang bekerja (wanita karier) biasanya tidak mempunyai banyak anak. Sehingga kalau banyak wanita yang bekerja dan mengejar karier, maka laju pertumbuhan penduduk bisa dikendalikan. Tentunya ini berefek baik terhadap distribusi modal di antara penduduk itu sendiri.
Terlepas dari semua itu, isu persamaan gender memang sudah seharusnya menjadi agenda utama kita para pendidik untuk menyuarakannya, minimal menyampaikannya kepada anak didik.
Isu gender produk Barat yang diadopsi secara keliru (bisa jadi saya salah). Islam tidak mengenal separatis demikian sebab konsepnya saling melengkapi dan … bukan mempertentangkan. Itulah contoh betapa secara pemikiran kita mau-maunya diperbodoh.
Dalam opini saya, sesuatu yang kodrati belum tentu bersifat memisahkan secara bertingkat.
Sesuatu yang sifatnya kodrati lebih pada penilaian bahwa pada akhirnya memang mentoknya disitu, tak bisa dilawan lagi, tak bisa ditawar lagi.
Mungkin begitu …
Donny Verdians last blog post..Timbuk2 Steve Sleeve, Amplop Sang Master
Yah…. perubahannya setahap demi setahap pak, yang penting ada perbaikan. Kalau saya dari dulu memang sudah menerapkan prinsip “kesetaraan” (namun kesetaraan yang tentu saja bukan pemaksaan). Apa yang istri saya sanggup kerjakan, ya sebaiknya dia kerjakan, namun kalau dia tidak sanggup ya tentu tidak saya paksakan. Yang penting dia berusaha dulu untuk mengerjakannya dan pekerjaan tersebut aman untuknya.
Menurut saya permasalahan jender ini sebaiknya kita mulai dari rumah dulu, itu menurut saya yang paling efektif (menurut saya loh… ), jangan sampai kita teriak2 di luar rumah untuk memecahkan masalah jender ini, nggak tahunya di rumah kita sendiri prakteknya beda… hehehe…. Bener nggak pak??
Yari NKs last blog post..Deutschland über alles?? Das ist Unsinn, ja??
Saya senantiasa nggak paham mengenai gender ini. Setahu saya dulu yang namanya gender itu alat musik yang dipukul itu.
Tetapi andaikan memang harus ada persamaan gender, apakah nanti dinilai wajar bila seorang perempuan kerja mencangkul di sawah, bapak memasak di dapur? Ibu tindak nderes, bapak nggeneni badhek?
Apakah bias gender itu hanya dalam tataran hal-hal yang mengenakkan saja? Berapa banyak wanita yang mau berkarir sebagai kuli bangunan, sebagai nelayan? Apakah salah pemaknaan saya?
nyuwun sewu lho pakdhe… 😡
Tengkyu Pak Guru. Ngepas juga nie bwat pembelajaran saya membekali perjalanan Nashya. Tapi ngomongin soal gender gini barangkali cukup fenomenal, mirip-mirip nyerempet kalo ngomongin dengan HAM (baca: hubungan Sipil dan Militer)..CWIIW 😡
bukan cuma di pendidikan pak, sekarang perencanaan pembangunan juga harus memasukkan issue gender 😀
itikkecils last blog post..Arrrgghhh
wah mantap nihmemang sebenarnya kita tak harus membeda-bedakan berdasarkan gender. Cuma kita harus menjelaskan peran masing2. Karenatetap antara laki2 dan perempuan an berbeda 🙂
achoey sang khilafs last blog post..Kiat Mantap Memulai Usaha
Mungkin begitulah maksud Allah menciptakan pria dan wanita. Bukan karena adanya diskriminasi gender pak. Justru untuk saling melengkapi kekurangan dari masing² jenis itu pak. Jika semua sama .. jadi, mengapa juga Tuhan menciptakan dua jenis. Koq ga satu aja. Mungkin kira² begitu pak.
Tapi kalo masalah hukum, ya harus tetap sama pak. Tidak ada perbedaan gender. Yang berbeda hanya peran masing² jender.
Sorry pak .. kalo keliru.
eranders last blog post..Perubahan
gender adalah pembedaan peran laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya. gender bersifat lintas wilayah dan waktu….
halahhhh saya ngomong apa itu ya pak?
semoga tidak lagi ada “ini ibu budi… bapak budi berangkat ke kantor, ibu budi memasak di dapur…
budi bermain sepak bola di lapangan… wati membantu ibu memasak di dapur….”
***saya habis makan apa ya kok jadi feminis***
***kabuurrrr***
Saya kok ya setuju dengan Pak Ersis.
Masak anak laki-laki dibiarkan main boneka barbie?
Kalau sesekali ikut sekedar bermain peran (role playing), gak papa.
Anak perempuan sesekali main layangan gak papa.
Tapi kalau keterusan kayaknya gak bagus juga.
Ah entahlah…. :acc
suhadinets last blog post..Dongeng Tentang Wanita Tukang Tenung (Part 2)
Perbedaan Gender sampai sekarang masih sering diperdebatkan ,menurut saya dengan perbedaan gender gunaya untuk saling melengkapi dan tidak saling mencari kekurangan .Bukan untuk saling diperdebatkan
cmmiw
😀
Diahs last blog post..Masih Pingin Rasanya Disuapi
hhmmm.. kesetaraan gender..
Wacana yg dimunculkan oleh para feminist ini masih perlu untuk terus dibahas dan diuji berulangkali definisinya.
Satu yg saya sangat setuju dari tulisan Bapak adalah bahwa gender is socially constructed and, therefore, is intertwined with the culture and the norms in the given society.
Maka dari itu, sebelum bergerak untuk menyetarakan gender, saya rasa masyarakat kita perlu untuk merumuskan gender yg setara itu yg seperti apa dulu; yg sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Satu hal lain yg tidak kalah pentingnya adalah bahwa kesetaraan gender seperti layaknya hak2 sosial lainnya, seyogyanya sejalan dengan hak2 asasi manusia. Yg mana berarti bahwa setiap individu, baik perempuan maupun lelaki berhak untuk mendapatkan kesempatan yg sama sebagai seorang manusia. Jangan sampai ketika kita bergerak dibawah bendera kesetaraan gender, kita malah melanggar hak2 asasi manusia.
Masalah gender dan agama tidak akan habis dibicarakan di negeri ini.
imcws last blog post..Lima Mitos SEO
waduh gak mudeng
jadi pak pertanyaanku, apakah jika ada lelaki yg sering menangis itu salah? lalu apakah persamaan gender bisa mengakibatkan hilangnya kekerasan terhadap wanita?? kalaupun iya, alasannya apa pak??
**berubah jadi murid yg baik tapi bodoh** :292
hanggadamais last blog post..Tekad dan Doaku…
dah nyampe semarang kok ndak mampir jogja pak? 🙂
btw, kesetaraan gender memang sedang naik daun.. sayangnya, kadang penyampaian yang tidak tepat bisa mengakibatkan hal yang fatal..
yainals last blog post..Entrepreneurship Training for Santri, Mau?
Langkah yang solutif untuk mengusung wacana gender ke masyarakat melalui pendidikan, pak! Kalau cuma mengandalkan para aktifis perempuan, skalanya terlalu kecil dan dengan beban kerja yang sedemikian berat. sekali lagi salut!
Saya suka masak lho, Pak Sawali….Kalau lagi liburan dan kumpul sama keluarga istri di Bandung, masakan udang goreng saus tiram saya selalu ditunggu-tunggu. Berarti kami sudah tidak bias gender kan Pak?
Hery Azwans last blog post..Erik Hartmann Lagi
Tadinya kaget juga melihat judulnya…terus bagaimana ceritanya pak kaitan gender dengan pendidikan di sekolah? Saya agak bingung juga, atau saya yang terlalu ndableg ya…kayaknya dari dulu kok saya aman-aman aja ya. Guru sekolah ya nggak menganggap saya aneh, bahkan dulu ada teman cewek yang jago olahraga dan beladiri, mengalahkan teman-temannya yang cowok.
Saya merasa ada perbedaan gender pada awal masuk bekerja…namun kami (saya dan teman-teman cewek) berusaha membuktikan bahwa hal tersebut harusnya tak perlu ada. Yang penting adalah kesetaraan hak, dan kebebasan memilih. Pada akhirnya masing-masing orang yang akan menentukan akan kearah mana…..bahkan sayapun akhirnya tetap memilih tak melanjutkan kuliah di luar negeri karena tak tega meninggalkan anak masih kecil, dan memilih melanjutkan S2 di dalam negeri…yang penting dibebaskan untuk memilih, dan pilihan pada perempuan itu sendiri. Sayapun mendidik kedua anak saya sama, mereka bebas mau melanjutkan studi kemana saja, sampai tingkat berapa, karena pada akhirnya mereka sendiri yang menilai pro’s dan con’s nya.
edratnas last blog post..Penawaran kredit melalui sms: benar atau penipuan model baru?
Setali tiga uang, sangat sulit, kalau dalam kehidupan pribadi boleh berbeda-beda (Saya laki2 juga berhak memakai rok dan BH, misalnya), namun dalam kehidupan bermasyarakat tentu berbeda di minangkabau dengan di jawa. Bagi pemerintah adalah menciptakan regulasi hukum secara setara baik hak dan kewajiban setiap warganya.
hal seperti ini kaya’nya hanya bisa di obrolin aja,.. selalu menemukan kesulitan untuk mempraktekkannya,..
bayus last blog post..Freelance Photographer
Wah, commentnya bebobot semua, kecuali coment saya.
Rasanya sih, bagi saya saling mengambil peran,
seperti sekarang ini saya pergi jauh untuk menyelesaikan pekerjaan.
Maka banyak peran yang dilakukan istri saya.
Bahkan saya berusaha memberdakan istri, wanita, bukan “DIPERDAYA” seperti yang saya tulis dalam artikel sbb:
http://www.sumintar.com/pemberdayaan-ibu-rumah-tangga-dengan-bisnis-online.html
Kalau gak setuju mohon maaf, namanya manusia pasti salahnya banyak pol.
Salam sukses….
sumintar.com
Prspektif Gender memang istilah dari Barat. Namun bukan berarti isinya bertentangan dengan Timur.
Blog pun merupakan istilah dari Barat. Tapi nyatanya, Pak Sawali yang orang Timur ini malah begitu lihai dalam memanfaatkan blog untuk pembelajaran masyarakat (termasuk saya).
M Shodiq Mustikas last blog post..Goyang Inul kini sopan karena sudah haji?
jadi inget ibu kartini yang memperjuangkan persamaan Gender… :acc
:411
galihyonks last blog post..PON XVII dan gengsi antar daerah
hari gini maish beda2in gender?? Cp D 😀
profesi, kerjaan, karir tidak hanya milik para lelaki. wanita juga bisa berkarya… 🙄
Kalau menurut saya, gender merupakan pembatas agar kita senantiasa berbuat di jalur yang benar, tidak menyalahi kodrat.
Edi Psws last blog post..Soto Madura Asli Tapak Siring
Setelah hampir 60 tahun kita merdeka, isu gender baru (bisa) dibahas blum lama ini. Permasalahan yang paling mendasar sebenarnya pola didik yang harus digunakan agar perbedaan gender tidak terlalu mencolok. Kesetaraan gender perlu, agar wanita dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Namun memberi pengertian yang humanis terhadap siswa siswi ttg kodrat alamiah jasmaniah mereka sangat penting. Agar Pria tidak otoriter terhadap wanita, dan si wanita tidak salah kaprah terhadap kebebasan barunya (emansipasi)nya.Saatnya saling mendukung melalui perbuatan, perkataan, dan tingkah laku yang tidak melecehkan (merendahkan) wanita..
Iis sugiantis last blog post..Pemerintahan ‘Presiden-sial’!
Untung aku berani keluar dari prinsip ini: jadi cewek gagak berani…hehehe….cewek edan…kata orang-orang di Indonesia…
Juliachs last blog post..Mini-Tornado menghantam Le Creusot dan Sekitarnya
setuju dengan kesetaraan gender (bukan kesamaan lho, karena laki2 dan perempuan bagaimanapun ga akan bisa sama).
Tapi harus konsisten donk. Maksudnya wanita harus menunjukkan kesetaraannya dengan usaha. Jangan mau enaknya saja dan dikasihani (ini mah akan jadi bumerang). Semoga kesetaraan gender secepatnya bisa terwujud..
made ekas last blog post..Telapak Kaki para Presiden
kesetaraan gender sangat perlu menurut saya, karena bukan hanya kaum adam saja yang dapat berkarya dalam berbagai bidang, namun sayangnya masih belum begitu berkembang dalam kehidupan masyarakat yang real :oke
tapi tetap saja, pada akhirnya seorang perempuan juga tidak boleh lupa terhadap kodratnya, ya kodrat yang sudah ditaqdirkan oleh Allah dari zaman siti hawa.
CMIIW, pak saya dah nyoba beberapa kali ke rumah bapak tapi baru berhasil sekarang ini, loadingnya gagal melulu…apa karena terlalu berat ya?
Salam
Laki-laki dan perempuan itu sebenarnya sama klo dalam hal kedudukan dan posisi bagaimana dia beraktivitas di masayarakat atau di ruang publik, tapi memang fithrah dan kodrat tetep melekat untuk memberi batasan fungsi laki-laki dan perempuan, betul ga ya pak Dhe??
Btw sebenarnya laki2 itu kalah lo pak Dhe ma wanita buktinya?? “laki2 bertekuk lutut di sudut kerling wanita” he..he.. *baru kerlingannya doang lho*
nenyoks last blog post..Morning On Seven: Miss Them
Klo saya kira, dalam belajar tuh kita punya hak dan kewajiban yg sama yakni untuk mencari ilmu…
uyaxs last blog post..Penerapan E-learning dengan Infrastrukturnya di Nusa Penida
Tapi sekarang udah banyak wanita yang sukses dan mandiri dalam berpenghasilan online maupun offline, dan banyak juga pria yang malah melempem… 😀
sapimotos last blog post..Report Hari Kemarin
Hi hi, leres pak
Setelah membaca uraian diatas, jadi sadar kalau secara langsung dan buanyak sekali tidak langsung ternyata kita seringkali mengkotak-kotakkan peran gender.
Saya baru sadar jika hal ini bahkan berlaku sampai kepada hal-hal semacam kalimat “Ayah membaca koran, sedangkan ibu memasak di dapur.” 😡
sigids last blog post..Mengenal Alkitab I (Sejarah Umum)
wagh……bukan hanya utk HAM dalam emansipasi wanita namun emansipasi pria mas..ck..ck..ck
okta sihotangs last blog post..Berapa sih ongkosnya ??….ASTRA(5)
Hakikat dari persamaan gender sebenernya bukan untuk meruntuhkan hegemoni pria terhadap wanita. Tapi untuk memberi ruang bagi wanita untuk lebih memberdayakan segenap kemampuannya untuk ikut membangun bangsa. jadi alangkah naifnya jika pria menganggap hal tersebut merupakan ancaman terhadap eksistensi dirinya…
Iis sugiantis last blog post..‘Bike Way’, Solusi Tokyo!
Paragraf terakhir.. Akur Pak Guru.
anak sy female dua-duanya..
Mampir ke Boyolali Pak.. banyak susu lho.. 😀
trijokobss last blog post..Tk’s ya Friends..
Iya nih… saya juga sering bertanya…
apakah wanita juga tidak boleh gaul ? 😡
masalah gender ini selalu merebak dan tidak ada habisnya 😐
Meniks last blog post..Bisa Nebak ga ?
Menurut saya, budaya yang paling dulu mengenal kesetaraan gender adalah budaya Jawa. Lha bagaimana tidak, sejak semula gender selalu berada di tempat yang sejajar dengan yang lainnya, macam kethuk, kenong, saron, slenthem, rebab, kendang, bonang atau gong. penabuhnya pun bayarannya sama.
Nayantakas last blog post..Gendhel
mas berbicara soal gender menurut saya agak sulit dipahami..karena sebenarnya budaya kita dari dulu emang udah terkonstruk patriarki. apabila kita mencoba untuk merubah saya kira butuh waktu yang relatif lama..
sebenarnya perempuan dari dulu memang memiliki sifat inferrior dari intern (perempuan sendiri) yang cenderung untuk dinomorduakan..
mas saya sedang menyelesaikan studi S1 saya, skripsi saya tentang pendidikan berperspektif gender di pesantren, saya masih agak bingung sebenarnya sosok perempuan yang ideal dalam islam itu bagaimana sih?apakah pemaknaan gender itu harus dimaknai secara vulgar?/ada nilai-nilai tertentu yang harus dijaga?trus seberapa besarkah peran perempuan dalam sektor publik?bila dilihat dari kaca mata sekarang ini..dalam kajian kitab klasik perempuan jelas termarjinalisasi misal dalam kitab uqudullujain…bagaimana pendapat saudara..?
terima kasih atas jawabanya..
menurut salah satu blog yang saya baca,sekarang perencanaan pembangunan juga harus memasukkan issue gender…sudah harusnya diberlakukan..
konon memang idealnya begitu, mbak anis.
issue gender yang ada sekarang sepertinya terlalu dilebih-lebihkan,,
perempuan dan laki-laki memang beda,, memiliki peran yang berbeda tetapi tidak untuk dibeda-bedakan
ungkapan seperti memang tepat sekali, mbak dini.
issue gender yang ada sekarang sepertinya terlalu dilebih-lebihkan,,perempuan dan laki-laki memang beda,, memiliki peran yang berbeda tetapi tidak untuk dibeda-bedakan
Betul sekali.. issue gender yang selama ini beredar di masyarakat memang sangat membingungkan beberapa pihak. Menurut pendapat saya, membahas gender berarti membahas pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dan bukan berarti lantas bertujuan untuk membeda-bedakan.
laki2 dan perempuan memang berbeda, mbak putri, tapi tdk harus dibeda-bedakan, kok.
blog ini menambah wawasan saya mengenai gender
terima kasih atas apresiasinya, mbak wulan. syukurlah kalau ada manfaatnya.