Jika kita runut berdasarkan aspek historisnya, Bahasa Indonesia (BI) telah mengalami proses yang panjang. Bukan hanya situasi heroik dan ”berdarah-darah” yang menyertai perjuangan para pendiri negara dalam menggapai identitas dan jatidiri keindonesiaan, melainkan juga karena dalam perkembangannya kemudian, BI telah mengalami proses adaptasi dan dinamika sosiokultural yang luar biasa, baik dalam persentuhannya dengan nilai-nilai kearifan lokal maupun nilai-nilai global di tengah kancah percaturan bahasa-bahasa di dunia.
Kesadaran historis ini menjadi penting dan relevan untuk dikemukakan agar kita tidak mudah terjebak dalam buaian globalisasi yang bisa meruntuhkan semangat dan gairah untuk mencintai bahasa negeri sendiri di tengah ancaman derasnya arus budaya asing yang gencar ”menggoyang” sendi-sendi kehidupan bangsa.
Fenomena budaya yang ”mengerdilkan” dan mengebiri BI pun kini ditengarai sudah mulai bermunculan. Banyak orang yang mulai dihinggapi sikap rendah diri secara berlebihan terhadap BI sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar apabila dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan, menggunakan setumpuk istilah asing, meskipun sudah ada padanannya dalam BI. Gejala tutur Indon-english –untuk menyebut tuturan yang mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris—begitu marak di ruang-ruang publik.
Yang lebih memprihatinkan, berbagai jenis ”pelanggaran”, mulai dari yang menyangkut aspek fonologi, morfologi, sintaksis, hingga wacana, masih sering terjadi. Tidak saja di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga mereka yang seharusnya secara sosial menjadi anutan dan secara psikologis tidak perlu melanggarnya. Bahkan, sejak reformasi bergulir sekitar satu dasawarsa yang silam, pelanggaran bahasa kian marak terjadi. Para pejabat maupun kaum intelektual makin nihil kepeduliannya terhadap penggunaan BI secara baik dan benar.
Tidak jarang kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak sedikit pula kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa sesuai dengan selera mereka sendiri, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, baik dari aspek struktur maupun semantiknya.
Menurut hemat saya, kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Akibatnya, ketaatan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil. Hal itu diperparah dengan kesan bahwa persoalan kebahasaan itu hanya menjadi urusan dan tanggung jawab para pakar, pemerhati, dan peminat masalah kebahasaan. Yang lebih parah lagi, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.
Kedua, kurang gencarnya pemerintah (Pusat Bahasa) dalam melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas. Pemerintah sekadar menyosialisasikan jargon dan slogan kebahasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu, misalnya, dalam Bulan Bahasa. Slogan ”Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar!” yang sering kita baca lewat media (cetak dan elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Upaya pemakaian BI dengan baik dan benar tampaknya hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika jika tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah baku di berbagai lini dan lapisan masyarakat. Mungkin kita juga terusik oleh sebuah pertanyaan, berapa persen jumlah penduduk Indonesia yang sudah mengenal dengan baik berbagai kaidah bahasa semacam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia? Agaknya, pertanyaan itu hanya membuat jidat kita berkerut. Meskipun tak ada angka yang pasti, kenyataan menunjukkan bahwa kaidah-kaidah bahasa semacam itu (nyaris) tidak dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, bisa jadi hanya ”memfosil” di rak-rak perpustakaan sekolah, kampus, atau instansi lain yang nyaris lapuk karena tak pernah tersentuh. Itu artinya, kaidah-kaidah kebahasaan yang disusun dengan susah-payah itu hanya akrab terdengar di ruang-ruang kelas ketika kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung.
Ironisnya, pemerintah justru akan meluncurkan UU Kebahasaan yang dinilai akan menghambat kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat. Jika memang UU Kebahasaan itu hendak disahkan, idealnya masyarakat perlu mengetahui dengan jelas kaidah-kaidah kebahasaan secara benar sehingga tak akan melakukan tuturan-tuturan konyol yang dinilai bertentangan dengan UU Kebahasaan. Tanpa itu, bisa jadi banyak warga masyarakat yang tersentak. Betapa tidak kalau tiba-tiba saja kedatangan petugas kebahasaan yang memberikan teguran atau mengajukannya ke pengadilan. Bahkan, bukan mustahil jika suatu ketika para petugas langsung menjatuhkan sanksi denda. Padahal, warga masyarakat sama sekali merasa tidak bersalah karena memang tidak tahu kalau telah melanggar UU Kebahasaan.
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan masyarakat penutur dalam setiap fase peradaban. Bahasa terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban itu sendiri. Melalui bahasa, manusia mampu berkomunikasi dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran kreatif, baik dalam bentuk wacana lisan maupun tulisan, sehingga mampu berkiprah dalam melahirkan ”sejarah” baru yang sesuai dengan semangat zamannya.
Kita memang risau melihat gejala tutur Indon-english yang begitu mewabah di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi pun dinilai sudah mulai luntur. Bahkan, wabah itu ditengarai juga sudah merasuki ruang-ruang pejabat dan kaum elite yang seharusnya mampu memosisikan diri sebagai figur anutan sosial dalam berkomunikasi. Di tengah masyarakarat kita yang paternalistis, atmosfer semacam itu sungguh tidak menguntungkan karena masyarakat akan bersikap latah untuk menirunya sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang layak dijadikan anutan.
Sebelum UU Kebahasaan tersebut disahkan, idealnya tertibkan dulu penggunaan bahasa di kalangan pejabat, figur publik, dan tokoh-tokoh lain yang secara sosial dijadikan sebagai anutan. Perkenalkan juga klausul-klausul penting dalam UU Kebahasaan yang menyangkut kepentingan komunikasi, baik di ranah instansi, dunia usaha, maupun pergaulan sosial. Kemudian, gencarkan sosialisasi kaidah bahasa yang berlaku agar masyarakat benar-benar memahami cara berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tanpa agenda semacam itu, UU Kebahasaan hanya akan melahirkan keresahan-keresahan baru di tengah masyarakat yang sudah sesak napas ditindih banyak beban sosial.
Jangan sampai terjadi, UU Kebahasaan menjadi piranti hukum untuk menjerat masyarakat yang sama sekali buta terhadap kaidah bahasa. Kita tidak berharap, UU tersebut menjadi ”teroris” yang akan membunuh dan mematikan masyarakat penutur dalam berekspresi dan melahirkan perubahan yang sesuai dengan semangat zamannya. ***
lhaaa…sekarang malah makin banyak lho yang nulis campur aduk bahasa indonesia dan bahasa asing. justru menurut orang banyak, hal itu lebih keren ketimbang memakai bahasa indonesia saja. tanya kenapa? :acc
Kalau menurut saya, hal ini adalah efek dari globalisasi dan semangkin ramainya ekspansi budaya asing ke Indonesia, Pak.
Saya bukan ahli bahasa, tapi menurut hemat saya, semua harus diawali dari keluarga serta didukung dari pemerintah.
Saya pernah punya teman yang keluarganya adalah penutur bahasa Indonesia yang baik, sehingga meski ia telah belajar banyak bahasa, pada akhirnya ia tetap mampu mempertahankan identitas yang telah diajarkan oleh keluarganya itu tadi, Bahasa Indonesia.
Donny Verdians last blog post..Rejoice
iya tuh mas, apalagi sekarang lagi trend2nya pake english + indonesia gitu…kek VJ MTV ck..ck..ck
okta sihotangs last blog post..Jelas Sudah … ASTRA (2)
So bat the wey, kita harus menggunaken bahsa yg baik and benar. Dus andaiken saja kita telah melaksanaken eyd yg bener2, maka tidak membutuhken itu UU Bahasa. Oleh sebab demikian jangan disalahgunaken UU tersebut untuk melakukan hal-hal yang menyimpang. *pak sawali kalau ada kata2 yg salah mohon dibetulken* Dengan demikian dari pada itu mari sodara-sodari sekalian untuk menggunaken bahasa yang benar. 😯 😯 😯
laporans last blog post..Teori Paling Dibenci Tapi Rindu
so what you wanna do..?
ahahaha..
jadi ikut2an..
lagi ngetren gitu pak..
apalagi kalangan anak muda kaya sekarang..
temen2 saya pada ngomong campuran semua…
puyeng saya kalo ngomong begituan..
kaga ngarti dah…
moerzs last blog post..Tiket Hitam Blogspherexpress
Hm,, klo menurut saiya itu karena kurangnya rasa cinta tanah air atau produk dalam negeri…
jadinya semua ke-“Barat2an” spt Cincha Lauwra.. heHEhe,,, :292
klo rasa cinta tanah air tinggi, pasti bahasa Indonesia menjadi bahasa kebanggaan negeri ini.. :112
galihyonks last blog post..Siap Perang
Kita telah gagal dalam melakukan national and character building. Halah… Malah melok-melok…
Saya suka lucu mendengar teman yang suka menggunakan Indonenglish itu. Contoh:
Evidence-nya apa bahwa hal itu sudah dilakukan.
Kita jangan memulai sesuatu yang belum ada sebelumnya, nanti bisa jadi evidence. (Mungkin yang dimaksud adalah precedence)
Pak A bicara begini. Pak B bicara begitu. Kok malah obvious? (Sebenarnya dia ingin ngomong kalau masalahnya malah menjadi kabur/buram tapi yang dipakai kata obvious yang artinya adalah jelas)
Ketiga kalimat seperti itu yang mengucapkan satu orang. Kata evidence yang berarti bukti bisa memiliki arti yang berbeda apabila dia yang mengatakan. Benar-benar membuat saya makin headache.
Halah…
arifs last blog post..Musyawarah Nasional Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara Tahun 2008
Ya memang kesalah baru nampak kalau yang melihat para Sastrawan seperti bapak.
Kalau saya sih repot.
Bahasa indonesia gak baik, apalagi bahasa inggris tambah salah kabeh.
Wis sing penting iso dimengerti user.
Masalah bahasa saya serahkan ahlinya seperti bapak.
Sukses pak… Sawali
pak guru pernah nonton mtv indonesia alias global tv?
selain ngomongnya yang campur aduk juga pemberian teks (sub title)-nya menggunakan bahasa gaul…
jadyi gyimana dongh pak…
syudyah hujyan, becyek, gakda ojyekkk
😀
salam kenal mas..
ada kesan dari generasi muda dan tua sekarang kalo gak ngomong nge-inggris gak keren mas.. gmna tuh..
dan lagi mungkin perlu digalakkan kursus bahasa indonesia yang baik dan benar, gak cuma kursus bhs inggris aja yang menjamur… gmana mas?
Byuh, gimana lagi Pak? mungkin memang sudah keharusan dan gerusan budaya luar yang luarbiasa derasnya. yang terpenting, jangan pulak kita mentertawakan gaya logat berbahasa orang malaysia, singapur atau negara Asia lainnya. yang justru kita cermati, dengan logat demikian (maaf aneh)pun mereka justru mampu melaju menjadi negara tangguh…
Iis sugiantis last blog post..Teknologi Pelayanan Recehan!
Saya juga mengakui pak, BI dalam blogku kacau balau, belajar lagi ah….
Sebenarnya masalah seperti ini bukan hanya dalam Bahasa Indonesia saja kok pak. Bahasa Jepangpun, yang berasal dari negara maju, tak kuasa membendung derasnya arus Bahasa Inggris yang menginvasi Bahasa Jepang. Kalau pak Sawali suka atau minimal pernah mendengar lagu2 pop modern Jepang, banyak liriknya yang memakai Bahasa Inggris dengan
grammartata bahasa yang hancur lebur, atau bahkan ada lirik Bahasa Jepang yang dicampur Bahasa Inggris yang nggak jelas…… Pendek kata, problematika seperti ini juga terjadi di negara2 lain.Yang penting menurut saya, “biarkanlah” kita mencampuradukkan bahasa, ASAL jikalau kita dituntut berbahasa Indonesia dengan baik dan benar kita dapat melakukannya, begitu pula kalau kita dituntut untuk berbahasa Inggris dengan benar kitapun dapat melakukannya dengan benar, jadi jangan cuma bisa mencampurbaurkan bahasa saja….
Di salah satu blog…. saya menemukan si empunya blog selalu memakai kata “nominator” untuk menyebut orang2 yang diberi nominasi. Padahal kalau Bahasa Inggris (karena nominator itu jelas bahasa Inggris!!) nominator itu adalah orang yang memberikan nominasi, sedangkan untuk orang yang diberi nominasi disebut nominee atau nominée. Padahal orangnya sudah saya beri tahu, tapi tetap
keukeuhbersikeras memakai kata “nominator”. Dari sudut kebahasaan sungguh itu merupakan kesalahan yang yang sebenarnya agak “memalukan” apalagi sudah diberitahu. Nah, ini mungkin contohnya kalau bangsa kita cuma bisa mencampurbaurkan bahasa saja, namun tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar, apakah itu berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Inggris….. :181Yari NKs last blog post..Partnership
Tenang Pak, nanti giliran bahasa jawa yang dilibas. Padahal bahasa itu adalah produk budaya yang paling sering dipakai ya. Artinya kalau bahasanya sudah dijajah, berarti budayanya juga sudah terjajah.
Di Malaysia sini, bahasa Inggris langsung saja di Melayukan. Contoh Convention menjadi konvensyen.
Iwan Awaludins last blog post..Lawan dan Balas
Amatlah benar dan jujur apa yang Bapak paparkan, itulah kenyataannya di lapangan. Tapi setelah saya mengamati lebih seksama, saya mendapati kalimat-kalimat seperti di bawah ini dalam tulisan bapak di atas:
– Jika kita runut berdasarkan aspek historisnya…
– Bukan hanya situasi heroik…
– Kesadaran historis ini menjadi penting dan relevan…
– Bahkan, wabah itu ditengarai juga sudah merasuki ruang-ruang pejabat dan kaum elite…
– Di tengah masyarakarat kita yang paternalistis
– Perkenalkan juga klausul-klausul penting…
Apa ini? Ternyata Bapak juga “bermain-main” dengan istilah (terlebih itu adalah istilah non-Indonesia). Kalau saya juga menggunakan istilah, maka istilah yang pas untuk tulisan Pak Sawali kali ini adalah, pa-ra-doks, alias kontradiktif, bertentangan dengan gagasan utama yang Bapak usung dan Bapak sebar di setiap kalimat.
Ataukah barangkali Pak Sawali hanya “keseleo” dan tidak sengaja lupa? Saya berharap mudah-mudahan demikian. Sebab saya pun tidak ingin Pak Sawali harus terkena senjata makan tuan jika merujuk pada kalimat; “…banyak orang yang mulai dihinggapi sikap rendah diri secara berlebihan terhadap BI sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar apabila dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan, menggunakan setumpuk istilah asing…” yang Bapak tulis sendiri.
Saya hanya mengoreksi, bukan menghukumi
kita sama-sama belajar
mohon maaf bila saya terkesan lancang
😛 Salam,
Ariss_s last blog post..Kenyang; Refleksi Hukum Gossen & Pola Makan Rasulullah
saya salah satunya
gimana ya pak, abis di lingkungan kerja juga budayanya seperti itu
jadi kebawa2 juga sedikit 🙂
t i n is last blog post..Ampun, Body Master…
Salam
Yap bolehlah UU disosialisasikan tapi mesti dibarengi dengan sosialisasi kaidah-kaidah BI itu sendiri.
Hmm Pak Dhe, secara memang klo untuk gaul sehari, buat curhat2an memakai gaya bahasa yang katakanlah sedikit slengean, bercampur2 bahkan bukan saja dengan bahasa asing tapi bahasa daerah sbg bhasa Ibu, rasanya lebih comfort aja, bukan karena ingin gaya2an juga, ya kecuali klo membuat tulisan ilmiah tentu kaidah EYD BI mesti dipergunakan, ya ga sie Pak Dhe 😀
nenyoks last blog post..Dua Kutub
Pak Sawali, ijin ngelink di page inspirer blog saya yak! Makasih, Pak.
dhonis last blog post..Portfolio Assignment #3 (one of three choices)
saya merasa tertampar pak…. :291
sayah pamit pak
mohon doanyah 😯
Judulnya pakai Indon…Mirip Orang malaysia nyebutin kita ya Pak…
Salam kenal
Matur nuwun Pak Guru.. :411
dhonis last blog post..Portfolio Assignment #3 (one of three choices)
Wah bahasa Inggris emang perlu banget ,kondisi manapun baik itu sekolah,instansi dan otomatis kayak saya.mau julana kuebasah bisa pakai bhasa indoneia mo marketing LN ..bingung ngomongnya .ya udah cuman jualan di kampung
Makasih artikelnya pak, p.sawali jago banget 😀
Diahs last blog post..Disaat Semua Orang Menunggu Gaji 1 Bulan Saya Menunggu Dollar Muncul
Pak … suatu kali saya hitung serapan bahasa Inggris dibawah kepala a pada KBBI … e … e … kebanyakan dari bahasa Inggris euy. Kata teman saya yang ahli bahasa: “Itu karena daya serap bahasa Indonesia bagus”. (Dasssaaaaaaaaaaar).
Ersis Warmansyah Abbass last blog post..Merangkai Kata
Hi hi, kalau dicampur bahasa Inggris kesannya lebih terpelajar dan lebih ‘menjual’ pak :292
Paling ndak banyak kalangan menganggapnya begitu.
Ha wong di acaranya Metro TV yang jualan rumah itu saja, pemilik usaha disebut ‘owner’ kok, bukan ‘pemilik’
sigids last blog post..Kenalan dengan Gutsy Gibbon
saya mengaku salah pak… sering memakai bahasa yang campur aduk itu dan kadang-kadang penulisan bahasa indonesianya salah pula
*siap dihukum*
itikkecils last blog post..Happy Birthday
Waw, jadi harus lebih hati-hati nulis ya Pak, supaya kita tidak ikut-ikutan merusak BI.
suhadinets last blog post..Dongeng Tentang Wanita Tukang Tenung (Part 2)
saya termasuk yang suka mencampur adukan bahasa huehehe ngaku!
💡 ampun…
Dulu….orang yang bekerja di media (cetak atau elektronik) disyaratkan bisa berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Jadi kalau ada pembaca berita, pasti bahasa Indonesia nya bagus, baik tata bahasa maupun intonasi suaranya…belakangan ini kayaknya kok makin lumer, yang penting wajah menarik.
Demikian juga media cetak, Kompaspun sekarang kadang bahasa Indonesianya ada yang kurang pas….
edratnas last blog post..Risiko, mungkinkah ditiadakan?
bahasa katanya kan menunjukkan karakter bangsa. katanya pula, 9 dari 10 kata indonesia berasal dari kata asing. tidak mengherankan kalo kita disebut bangsa spon aja kali… mudah menyerap (baca:menelan) pengaruh asing tanpa filter apapun 🙄
SJs last blog post..Tren Busana Baru: Batik Indonesia?
Bukankah itu yang terjadi pada penggunaan bahasa di ribuan blog yang ada? Tak bisa disalahkan? Bisa jadi. Tapi bukankah itu membetuk budaya pula. Antara bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Apalagi bahasa Indo-English ini dipopulerkan oleh media dan televisi. Meriam Bellina dalam ‘Cahaya’ dengan gayanya yang terkenal seperti dialog “You nanti jangan macam2 ya…Nanti I bisa marah lho…”
Belum lagi pemakaian kata, let’s say, which is, not worth it, over confidence, wah banyak lagi deh.
Intinya sih, kalau mau pake Inggris, ya Inggris sekalian.
Kalau pake bahasa Indonesia, ya Indonesia aja.
Gitu nggak, Pak?
Hery Azwans last blog post..Tenabang
penting enggak sih UU kebahasaan, atau justru pengajaran kebahasaan yang digiatkan?
Anggaras last blog post..Keresahan Calon Advokat
jadi malu nih… sepertinya harus mulai mengoreksi penggunaan Bahasa Indonesia saya dalam kehidupan sehari-hari..
Tapi kan akhirnya terkesan formal banget kalau kita harus benar-benar memperhatikan tutur kata Bahasa Indonesia yang resmi/baku serta EYD-nya dalam menulis ataupun obrolan ringan-santai..
gunawanwes last blog post..Masa Lalu dulu-dulu Banget (The Story Continued..)
Saya bisa dibilang hampir selalu menggunakan bahasa campuran, speaking in terms of informal conversations. tidak hanya nyampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris Pak, sering juga saya nyampurnya sama bahasa Jawa. trus, karena saya juga sedang belajar bahasa Spanyol, kalo saya lagi ngomong sama temen saya yg Spanish speaker, saya suka campur2 bahasa Inggris dan Spanish.
Yg lebih menarik yg saya amati dari kecenderungan saya mencampur bahasa, instead of untuk tujuan biar keren seperti banyak diduga, adalah bahwa dalam berkomunikasi, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yg sangat dipengaruhi oleh konteks. Saya yakin Pak Sawali paham sekali tentang ini. Contoh, dalam suatu perbincangan dengan seorang teman Indonesia sesama guru bahasa Inggris, biarpun diskusinya lumayan formal, demi tujuan keakuratan, saya memilih menggunakan istilah2 yg familiar, yg mana seringkali istilah2 tersebut adalah dalam bahasa Inggris.
Jadi gimana ya Pak.. seperti yg telah dikemukakan oleh Yari NK, menurut saya asal penggunaannya TEPAT dan bertanggung jawab (baca: tidak cuma asal ngetrend) bilingualism dalam bahasa lisan tampaknya tidak perlu dilarang.
Tetapi saya setuju berbahasa Indonesia yg baik dan benar harus terus diupayakan dan dilestarikan, terutama dalam penulisan karya2 ilmiah dan bentuk2 teks yg dipersiapkan lainnya, seperti penjelasan seorang pejabat dalam suatu jumpa pers. Pejabat kan punya asisten, ya ini tanggung jawab asisten juga untuk memastikan si pejabat berbicara bahasa Indonesia yg baik dan benar.
Oya, guru2 favorit saya dari SD sampai SMA itu pengampu bahasa Indonesia semua.. :-menurut saya, beliau2 itu telah melakukan tugas mereka dengan baik. Hidup guru bahasa Indonesia!!
💡 sy suka bgt dgn bicara INDLISH_indonesian english (indonesia campur inggris). ud tren dr jaman dulu …
itung2 smbil mlatih diri beringgris ria..hikz
nisyas last blog post..Aku Suka Menulis : Kenangan Waktu SMA
Pingback: Catatan Sawali Tuhusetya
Pingback: Peranan Media Komunikasi terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia di Era Globalisasi « Renggamoslem’s Blog
gunakanlah
bahasa yang baik,sopan,
& di mengerti oleh orang lain,,&
menggunakan peraturan EYD…:)