Gejala Tutur Indon-English dan UU Kebahasaan

Kategori Bahasa Oleh

Jika kita runut berdasarkan aspek historisnya, Bahasa Indonesia (BI) telah mengalami proses yang panjang. Bukan hanya situasi heroik dan ”berdarah-darah” yang menyertai perjuangan para pendiri negara dalam menggapai identitas dan jatidiri keindonesiaan, melainkan juga karena dalam perkembangannya kemudian, BI telah mengalami proses adaptasi dan dinamika sosiokultural yang luar biasa, baik dalam persentuhannya dengan nilai-nilai kearifan lokal maupun nilai-nilai global di tengah kancah percaturan bahasa-bahasa di dunia.

Kesadaran historis ini menjadi penting dan relevan untuk dikemukakan agar kita tidak mudah terjebak dalam buaian globalisasi yang bisa meruntuhkan semangat dan gairah untuk mencintai bahasa negeri sendiri di tengah ancaman derasnya arus budaya asing yang gencar ”menggoyang” sendi-sendi kehidupan bangsa.

Fenomena budaya yang ”mengerdilkan” dan mengebiri BI pun kini ditengarai sudah mulai bermunculan. Banyak orang yang mulai dihinggapi sikap rendah diri secara berlebihan terhadap BI sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar apabila dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan, menggunakan setumpuk istilah asing, meskipun sudah ada padanannya dalam BI. Gejala tutur Indon-english –untuk menyebut tuturan yang mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris—begitu marak di ruang-ruang publik.

Yang lebih memprihatinkan, berbagai jenis ”pelanggaran”, mulai dari yang menyangkut aspek fonologi, morfologi, sintaksis, hingga wacana, masih sering terjadi. Tidak saja di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga mereka yang seharusnya secara sosial menjadi anutan dan secara psikologis tidak perlu melanggarnya. Bahkan, sejak reformasi bergulir sekitar satu dasawarsa yang silam, pelanggaran bahasa kian marak terjadi. Para pejabat maupun kaum intelektual makin nihil kepeduliannya terhadap penggunaan BI secara baik dan benar.

Tidak jarang kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak sedikit pula kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa sesuai dengan selera mereka sendiri, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, baik dari aspek struktur maupun semantiknya.

Menurut hemat saya, kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Akibatnya, ketaatan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil. Hal itu diperparah dengan kesan bahwa persoalan kebahasaan itu hanya menjadi urusan dan tanggung jawab para pakar, pemerhati, dan peminat masalah kebahasaan. Yang lebih parah lagi, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.

Kedua, kurang gencarnya pemerintah (Pusat Bahasa) dalam melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas. Pemerintah sekadar menyosialisasikan jargon dan slogan kebahasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu, misalnya, dalam Bulan Bahasa. Slogan ”Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar!” yang sering kita baca lewat media (cetak dan elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.

Upaya pemakaian BI dengan baik dan benar tampaknya hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika jika tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah baku di berbagai lini dan lapisan masyarakat. Mungkin kita juga terusik oleh sebuah pertanyaan, berapa persen jumlah penduduk Indonesia yang sudah mengenal dengan baik berbagai kaidah bahasa semacam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia? Agaknya, pertanyaan itu hanya membuat jidat kita berkerut. Meskipun tak ada angka yang pasti, kenyataan menunjukkan bahwa kaidah-kaidah bahasa semacam itu (nyaris) tidak dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, bisa jadi hanya ”memfosil” di rak-rak perpustakaan sekolah, kampus, atau instansi lain yang nyaris lapuk karena tak pernah tersentuh. Itu artinya, kaidah-kaidah kebahasaan yang disusun dengan susah-payah itu hanya akrab terdengar di ruang-ruang kelas ketika kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung.

Ironisnya, pemerintah justru akan meluncurkan UU Kebahasaan yang dinilai akan menghambat kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat. Jika memang UU Kebahasaan itu hendak disahkan, idealnya masyarakat perlu mengetahui dengan jelas kaidah-kaidah kebahasaan secara benar sehingga tak akan melakukan tuturan-tuturan konyol yang dinilai bertentangan dengan UU Kebahasaan. Tanpa itu, bisa jadi banyak warga masyarakat yang tersentak. Betapa tidak kalau tiba-tiba saja kedatangan petugas kebahasaan yang memberikan teguran atau mengajukannya ke pengadilan. Bahkan, bukan mustahil jika suatu ketika para petugas langsung menjatuhkan sanksi denda. Padahal, warga masyarakat sama sekali merasa tidak bersalah karena memang tidak tahu kalau telah melanggar UU Kebahasaan.

Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kultur dan kebiasaan masyarakat penutur dalam setiap fase peradaban. Bahasa terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban itu sendiri. Melalui bahasa, manusia mampu berkomunikasi dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran kreatif, baik dalam bentuk wacana lisan maupun tulisan, sehingga mampu berkiprah dalam melahirkan ”sejarah” baru yang sesuai dengan semangat zamannya.

Kita memang risau melihat gejala tutur Indon-english yang begitu mewabah di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi pun dinilai sudah mulai luntur. Bahkan, wabah itu ditengarai juga sudah merasuki ruang-ruang pejabat dan kaum elite yang seharusnya mampu memosisikan diri sebagai figur anutan sosial dalam berkomunikasi. Di tengah masyarakarat kita yang paternalistis, atmosfer semacam itu sungguh tidak menguntungkan karena masyarakat akan bersikap latah untuk menirunya sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang layak dijadikan anutan.

Sebelum UU Kebahasaan tersebut disahkan, idealnya tertibkan dulu penggunaan bahasa di kalangan pejabat, figur publik, dan tokoh-tokoh lain yang secara sosial dijadikan sebagai anutan. Perkenalkan juga klausul-klausul penting dalam UU Kebahasaan yang menyangkut kepentingan komunikasi, baik di ranah instansi, dunia usaha, maupun pergaulan sosial. Kemudian, gencarkan sosialisasi kaidah bahasa yang berlaku agar masyarakat benar-benar memahami cara berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tanpa agenda semacam itu, UU Kebahasaan hanya akan melahirkan keresahan-keresahan baru di tengah masyarakat yang sudah sesak napas ditindih banyak beban sosial.

Jangan sampai terjadi, UU Kebahasaan menjadi piranti hukum untuk menjerat masyarakat yang sama sekali buta terhadap kaidah bahasa. Kita tidak berharap, UU tersebut menjadi ”teroris” yang akan membunuh dan mematikan masyarakat penutur dalam berekspresi dan melahirkan perubahan yang sesuai dengan semangat zamannya. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

38 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Bahasa

“DASAR NDESA!”

Gara-gara vlog bertagar #BapakMintaProyek, Kaesang dilaporkan kepada polisi. Tak tahu pasti, bagian

Menulis, Perlukah Bakat?

Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan rekan-rekan sejawat dalam sebuah pelatihan menulis, seringkali
Go to Top