Ungkapan Verbal yang Mengukuhkan Bias Gender

genderKesetaraan gender pada hakikatnya merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah mencanangkan pendidikan untuk semua (education for all), yang memosisikan anak perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama dalam memperoleh pendidikan. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan tiga “payung hukum” yang diharapkan bisa dijadikan sebagai acuan pihak-pihak terkait untuk mengimplementasikannya, yakni: (1) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; dan (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.

Namun, harus diakui, bukan hal yang mudah untuk mengakselerasi proses perwujudan kesetaraan gender di tengah kultur patriarki yang masih kukuh mencengkeram sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masih banyak “resistensi” yang muncul dari kalangan tertentu, sehingga proses implementasinya menghadapi banyak tantangan. Bahkan, secara tidak langsung, institusi pendidikan yang seharusnya mampu menjadi “agen budaya” untuk menumbuhkan nilai keadilan dan kesetaraan gender kepada peserta didik, justru tak jarang mengukuhkan mitos bias gender itu melalui berbagai bentuk.

Hasil penelitian dan hasil analisis pengkajian bahan ajar yang dilakukan oleh Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Departemen Pendidikan Nasional/ Dinas Pendidikan Daerah bekerjasama dengan para peneliti dari Pusat Studi Wanita. Salah satu bukti bahwa bahan ajar maupun buku pelajaran masih mengandung muatan bias gender itu dapat dilihat dalam buku-buku PPKn kelas I, II, III tingkat SD dan SMP, IPS kelas I, II, III tingkat SD dan SMP, dan buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas I, II, III tingkat SD dan SMP. Contoh-contoh kalimat dan ilustrasi, seperti: (1) Dian mau ke pasar bersama ibu; (2) Tante Nur bekerja di Rumah Sakit sebagai perawat; (3) Ibu membuat bubur; (4) Kegiatan perempuan membuat kue; (5) Ibu menyapu kamar tidur dan ruang; (6) Ibu memasak lauk dan sayur untuk sekeluarga; Andi senang bermain bola, Dina senang main boneka; (7) Ibu pergi ke pasar, ayah berangkat ke kantor; masih sering ditemukan dalam buku ajar yang digunakan di lingkungan institusi pendidikan kita.

Selain itu, para guru yang seharusnya menjadi “patron” teladan dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, tak jarang melontarkan ungkapan verbal yang mengukuhkan bias gender itu sendiri ketika menangani anak-anak yang diduga sedang terlibat dalam penyimpangan perilaku.

Sekadar contoh, coba perhatikan ungkapan-ungkapan verbal berikut ini!

  1. Kamu itu anak perempuan, kenapa suka ngomong kasar dan tidak sopan?
  2. He, kamu itu anak laki-laki, kenapa jadi cengeng begitu?
  3. Sebagai anak laki-laki, kamu harus belajar tanggung jawab dan mandiri!
  4. Jadi anak perempuan itu tidak boleh nakal, ya?

Jika dicermati, ungkapan-ungkapan verbal tersebut memiliki maksud tersirat seperti berikut ini.

  1. Anak laki-laki boleh ngomong kasar dan tidak sopan.
  2. Cengeng hanya menjadi label anak perempuan.
  3. Anak perempuan tidak perlu belajar tanggung jawab dan mandiri.
  4. Anak laki-laki boleh nakal.

Padahal, sesungguhnya sang guru tak bermaksud untuk mengaitkan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didiknya dengan persoalan-persoalan gender. Namun, lantaran proses stereotipe dan pelabelan sosial berdasarkan jenis kelamin yang berlangsung dalam kurun waktu yang begitu lama, secara tidak sadar guru selama ini telah ikut berperan besar dalam melanggengkan nilai-nilai patriarki yang memosisikan perempuan sebagai pihak yang ter-subordinasi.

Guru memang tidak salah memberikan teguran kepada siswa yang bermasalah dengan ungkapan-ungkapan semacam itu. Namun, dalam perspektif gender, ungkapan-ungkapan semacam itu, tak hanya “melukai” batin si anak, tetapi juga memberikan kesan yang kuat terhadap perbedaan status dan peran antara anak laki-laki dan perempuan. Bisa jadi, maksud tuturan di balik ungkapan itu akan terus dikenang hingga kelak mereka dewasa, untuk selanjutnya melanggengkan ungkapan-ungkapan semacam itu kepada anak keturunannya. Entah, sudah berapa generasi ungkapan-ungkapan verbal semacam itu terus menggema dari balik tembok sekolah, sehingga secara tidak langsung dunia persekolahan kita telah mengukuhkan bias gender dari generasi ke generasi. Hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan perilaku bukanlah kodrat laki-laki maupun perempuan. Secara universal, karakter nakal, ngomong kasar, tidak sopan, cengeng, tanggung jawab, mandiri, dan semacamnya bisa dimiliki oleh siapa pun terlepas dari jenis kelaminnya.

Kita berharap, dunia pendidikan kita benar-benar sanggup menjalankan perannya sebagai “agen budaya dan peradaban” yang mencerahkan dan mencerdaskan, sehingga kelak mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas, berkarakter, dan responsif gender. Perlu ada upaya serius dari para pendidik untuk meminimalkan ungkapan-ungkapan verbal yang bisa “melukai” batin anak yang sekaligus juga bisa mengukuhkan bias gender. ***

31 Comments

  1. Baru sadar selama ini sering mengatakan sesuatu yang dapat memberikan bias gender saat menasehati anak-anak. Dan yang lebih menakutkan, ungkapan yang disampaikan tanpa disadari malah dapat memberi jarak yang semakin jauh dalam kesetaraan gender.

    • iya nih, bu suka, bisa jadi lantaran saking lamanya masyarakat kita terbelenggu budaya patriarki sehingga tanpa sadar muncul ungkapan2 verbal semacam itu.

  2. pengamatanya cermat sekali, hal seperti itu, terutama apa yang dikatakan guru dikelas memang ya seperti itu, mungkin mereka sama sekali tidak kepikiran tentang dampak bias gender dari tiap tiap yang mereka katakan

    🙂

    • bener sekali, mas jarwadi. bisa jadi memang itu imbas dari budaya patriarki yang sudah lama demikian membelenggu pola pikir masyarakat kita.

  3. saya suka artikel ini.
    Kebanyakan, kalau cowok nangis atau sedih, ujung2 nya keluar omongan “cowok kok nangis, kayak cewek aja.. Banci, ih”
    Helllooooo.. Cowok itu kan manusia juga, yang punya perasaan. Masa iya ga boleh nangis. *jadi curcol*

    • bener sekali, mas adi. emosi dan karakter itu sifatnya universal. bisa dimiliki siapa saja terlepas dari soal seks dan jenis kelamin.

  4. Evi

    Bias itu dilakukan secara tak sadar namun tambah mengukuhkan ya Pak. Mungkin memang perlu setiap saat ditegaskan beberapa hal bahwa stereotype tak berlaku lagi dalam masyarakat. Seperti mentang2 mereka anak lelaki maka tak perlu menangis. Sekarang gambar-gambar dalam buku pelajaran bahwa ayah baca koran, ibu memasak di dapur, budi main sepeda sementara ani main boneka, sudah hilang ya Pak? Syukurlah kalau begitu 🙂

    • terima kasih atas apresiasinya, bu evi. bisa jadi memang ungkapan2 verbal itu meluncur begitu saja, sehingga tanpa sadar telah menguatkan nilai2 patriarki dan bias gender.

  5. sebenernya kalo saja kata kata laki dan perempuan tidak keluar dalam memberi nasehat agaknya permasalahan udah selesai ya pak,,?heee…

    • bisa saja seperti itu ya…
      kalau saja dapat memberikan sesuatu hal yang terbaik…

    • bener sekali, mas boyin, karena emosi dan karakter semacam itu bisa melekat secara universal kepada siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan.

  6. Nuwun sewu Pak Guru, isu bias gender ini diboomingkan oleh siapa sih sebenarnya? orang barat! mereka juga yang memboomingkan demokrasi dan HAM, nyatanya mereka adalah melanggar demokrasi dan HAM nomor 1 se-dunia dan akhirat! hwwkwkw…

    jadi menurut saya kita ndak usah terlalu kaku berpatokan pada ‘bias gender’ ini. bangsa kita sudah punya toto kromo yang luhur, jika diikuti akan lebih memanusiakan manusia melebihi apa yang diajarkan orang barat :d

    • mas dion yang baik, kesetaraan gender tidak sama dengan feminisme yang dikembangkan oleh perempuan barat sebagai bentuk “pemberontakan” dominasi kaum lelaki terhadap perempuan. di negeri kita, keadilan dan kesetaraan gender dimaksudkan utk menciptakan harmoni, baik di ranah domestik maupun publik, sehingga perempuan dan laki-laki dalam situasi tertentu bisa saling membangun kemitraan dan kerja sama. tagline yang dibangun adalah: laki-laki dan perempuan memang berbeda tetapi tidak untuk dibeda-bedakan, sehingga kaum perempuan tidak lagi menjadi korban kekerasan, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, atau stereotipe.

      • ouw ngaten nggih pak guru, kalo begitu saya salah dalam memahami istilah-istilah itu.

        saya sepakat bahwa laki-laki dan perempuan punya kesempatan yang sama (apalagi bermitra atau bekerjasama) tanpa melupakan kodratnya 🙂

  7. Wah, pantas saja, terkadang saya merasa nyaman dengan guru A daripada guru B
    Semoga kebiasaan semacam lekas hilang 🙂

    • memang itulah yang diharapkan, mas pras. setidaknya ungkapan2 verbal yang cenderung melukai hati peserta didik bisa diminimalkan.

  8. Sebenarnya kalau konotasinya baik sih baik juga. Ingat bahwa kita dibatasi oleh norma-norma dan tradisiyang sudah mengakar baik.

    • mas raharja, kesetaraan gender di indonesia tetap berakar pada kultur dan jati diri keindonesiaan yang juga sangat memuliakan kaum perempuan. kebiasaan hidup yang memandang kaum perempuan tersubordinasi dan sebagai “makhluk kelas dua” itulah yang perlu diantisipasi dan diminimalkan dan itu perlu dimulai dari dunia pendidikan.

    • sepakat, mas, tapi sesungguhnya kodrat itu merupakan bawaan sejak lahir yang tidak pernah berubah, misalnya kodrat kaum perempuan itu ya menstruasi, mengandung, melahirkan, atau menyusui.

  9. memang betul… saya juga sering mendapati hal seperti itu di kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan saya…

    • kenyataan seperti itulah yang terjadi akibat kekangan kultur patriarki yang sudah demikian lama berlangsung di negeri ini.

  10. Saya laki-laki, dan jantan karena sudah terbukti bisa punya 2 anak (hehehe), tapi tetap saja kalau ada sesuatu yang buat gundah atau sedih saya nangis. Memang gak sampai namngis bombay, paling-paling cuma menitikkan air mata. Oya, saya juga serimng nyuci baju sekeluarga lho. 😀

    • mantab, mas eko, semoga putranya kelak menjadi anak yang saleh dan salehah. hmm … tentang menangis, itu sesuatu yang universal kok, bisa dilakukan oleh siapa pun, terlepas dari jenis kelaminnnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *