Ketika Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum sepenuhnya terbebas dari dampak erupsi Merapi, bahkan belum kering benar air mata para pengungsi menyaksikan tanah kelahirannya rata dengan tanah akibat dampak letusan, Presiden SBY mendadak sontak melontarkan wacana yang kurang populer: monarkhi vs demokrasi. Meski berkali-kali dibantah oleh para pembantunya, publik dengan jelas bisa menilai, ke mana bandul wacana yang dilontarkan itu diarahkan. Lontaran wacana SBY bisa ditafsirkan, tidak seharusnya ada sebuah daerah yang menganut sistem monarkhi di tengah sistem ketatanegaraan yang menganut sistem demokrasi. Dengan kata lain, sistem pemerintahan DIY selama ini dianggap kurang demokratis, sehingga perlu dirombak. Nilai-nilai primordialisme kawula Yogya pun terusik. SBY dinilai tidak memiliki nilai fatsoen dan kearifan sebagai sosok seorang pemimpin yang merakyat.
Arah bandul wacana yang dilontarkan SBY makin jelas terlihat ketika draft RUU versi pemerintah menghendaki agar gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih melalui Pemilu. Sedangkan, Sri Sultan HB dan Paku Alam diposisikan sebagai parardya yang menjadi simbol kultural an-sich; memiliki kedudukan di atas gubernur, tetapi sekadar simbol dan tak memiliki kekuasaan apa-apa. Ibarat lakon dalam pakeliran wayang, posisi Kanjeng Sultan “disakralkan”, tetapi telah dimasukkan ke dalam kotak karantina yang tidak memiliki peran apa-apa dalam konteks pemerintahan DIY.
Pernyataan SBY, dalam perspektif pragmatik, bisa dibilang kurang menyentuh prinsip kerja sama yang amat penting peranannya dalam konteks bahasa kekuasaan. Dalam pragmatik, tuturan yang dilontarkan ke tengah-tengah publik perlu memperhatikan bidal kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara, sebagaimana yang pernah dilontarkan Grice (1975).
Bidal kuantitas menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi percakapan. Bidal ini mengarahkan kontribusi yang cukup memadai dari seorang penutur dan petutur di dalam suatu percakapan. Bidal kuantitas dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Buatlah sumbangan atau kontribusi Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan (untuk maksud percakapan).”
Dari sisi ini, agaknya SBY tidak memberikan penjelasan seinformatif mungkin terkait dengan pernyataannya tentang monarkhi dan demokrasi yang dilontarkan. Bahkan, SBY, disadari atau tidak, telah melupakan konteks historis DIY yang memiliki sejarah panjang dalam entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika Sri Sultan HB IX dengan jiwa besar dan rendah hati mendukung terbentuknya NKRI dan secara eksplisit menyatakan bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari NKRI, sungguh, sebuah “pertaruhan” yang tidak mudah. Sri Sultan HB IX menanggalkan derajat aristokrat yang melekat di dalam tubuhnya, lantas menyatukan diri ke ruang publik sebagai elemen yang tak terpisah dari NKRI. Sejarah inilah yang menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa.
Dari perspektif bidal kualitas yang menasihatkan penutur agar memberikan kontribusi yang benar dengan bukti-bukti tertentu, SBY agaknya juga tidak memberikan bukti-bukti tertentu. Apa ruginya jika Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai gubernur dan wagub secara otomatis? Benarkah penetapan jabatan gubernur/wagub melanggar nilai-nilai demokrasi kalau suara rakyat Yogyakarta justru secara golong-gilig menghendakinya? Bidal ini selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah!” dan “Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya!” Kedua subbidal ini mengharuskan penutur mengatakan hal yang benar. Penutur hendaknya mendasarkan tuturannya pada bukti-bukti yang memadai. Menyimak lontaran wacana SBY tentang monarkhi vs demokrasi yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan agaknya diragukan kualitas pembuktiannya. SBY tak jelas benar memberikan argumen dan bukti-bukti yang berkualitas tentang “kesalahan” penerapan nilai demokrasi yang selama ini berlangsung di Ngayogyakarta Hadiningrat.
Yang agak sulit dipahami, SBY melontarkan wacana itu di tengah situasi DIY yang belum pulih benar dari dampak erupsi Merapi. Dari ranah pragmatik, SBY melupakan bidal relevansi yang menyarankan penutur untuk mengatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, lontaran wacana itu disampaikan dalam moment yang tidak tepat. Sikap empati yang seharusnya ditumbuhkan untuk membesarkan hati rakyat Yogyakarta yang baru saja tertimpa musibah, justru dilipat dengan menggunakan bahasa politik kekuasaan yang kehilangan relevansinya dengan konteks kehidupan masyarakat Yogyakarta. SBY kurang menampakkan sikap sensitif dan kooperatif-nya terhadap suasana batin rakyat Yogya yang butuh sokongan moral dan spirit berkehidupan untuk membangun kembali pranata sosial pasca-erupsi Merapi.
Tidak berlebihan apabila lontaran wacana SBY telah melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai. Lebih-lebih ketika pemerintah tetap bersikukuh agar jabatan gubernur/wakil gubernur dipilih melalui Pemilu, meski mayoritas elemen masyarakat Yogyakarta “mengancam” akan memboikotnya. Sikap seperti ini, disadari atau tidak, telah melahirkan situasi jadi makin kabur, taksa, dan berlebihan, yang dalam perspektif pragmatik bertentangan dengan bidal cara. Bidal ini dijabarkan lagi ke dalam empat subbidal, yaitu: (1) hindarkan ketidakjelasan; (2) hindarkan ketaksaan; (3) singkat (hindarkan uraian panjang lebar yang berlewah); dan (4) tertib-teratur.
Prinsip kerja sama yang kurang terakomodasi dalam lontaran wacana SBY juga kurang disentuh melalui kaidah kesantunan berbahasa. Menurut Gunarwan (1992), setidaknya ada tiga kaidah yang bisa digunakan untuk mengukur ikwal kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, yaitu formalitas, artinya selama terjadi interaksi antara penutur dan mitra tutur hendaknya diciptakan adanya unsur yang menyiratkan ketidakterpaksaan dan menghindarkan rasa angkuh. Ketaktegasan merupakan kaidah kedua, artinya antara penutur dan mitra tutur hendaknya menciptakan suasana yang benar-benar kooperatif dan berlangsung secara demokratis sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihannya sendiri. Kaidah ketiga adalah persamaan/kesekawanan , artinya antara penutur dan mitra tutur dapat menciptakan bahwa keduanya memiliki persamaan sehingga mampu menimbulkan rasa senang pada keduanya.
Situasi kurang nyaman yang dirasakan oleh rakyat Yogyakarta bisa jadi memang dipicu oleh lontaran wacana yang dinilai kurang memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan itu. Padahal, Kung Fu-tse, seorang filsuf China abad ke-5 SM, sebagaimana dikemukakan oleh Toto Suparto (Suara Merdeka, 4 Desember 2010), menyatakan bahwa bahasa yang tidak beres menggambarkan pikiran yang juga tak beres. Bahasa yang beres adalah bahasa yang berpayung etika dengan memperhatikan pilihan kata, cara bertutur yang mampu mengendalikan emosi, tenang, dan penuh pertimbangan.
Perdebatan yang berkepanjangan seputar RUU “panas” tentang status DIY makin membuktikan bahwa bahasa kekuasaan menjadi amat penting peranannya dalam membangun komunikasi publik. Ia bisa menjadi “blunder” politik jika disajikan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik. ***
kalau dulu sebelum jadi presiden, SBY adalah pejabat pengguna Bahasa Indonesia yang baik, kini sikap mbuletnya membuat rasa hormat saya jauh berkurang
nah, itu dia, kang bud. memang repot kalau yang selalu dijadikan parameter sosial dari kacamata politik mlulu.
Yogyakarta, sudah istimewa sebelum sby jadi presiden. Sudahlah pak beye, jangan buat permasalahan bangsa lagi. kita atasi saja masalah-masalah yang belum selesai. (moga pak beye membaca blognya pak sawali, dan akhirnya membaca komentar saya) hehehe…
hehe … mana ada waktu buat para pejabat di negeri ini utk baca postingan di blog, pak fendik.
Seandainya Pak Sby mengangkat Bapak sebagai tim ahli kepresidenan bidang bahasa, saya rasa pidato presiden akan lebih berbobot dan tidak membosankan.
Menurut saya bahasa mencerminkan intelektual seseorang. Jika bahasa pak Sby mbulet, menurut pak Budi, semoga hati dan fikiran presiden kita lurus dan tidak ruwet seperti benang kusut.
pak akhta, jangan ketinggian dong, pak, keke ….jadi nglunjak saya, haks.
seharusnya Jogyakarta menerapkan DEMOKRASI yang semestinya di indonesia
hmm … justru itu yang dipermasalahkan rakyat yogya, mas adib. mereka pinginnya gubernur dan wakilnya ditetapkan, bukan dipilih melalui pilkada.
itu istilahnya “ngutik-ngutik macan turu “, sungguh sebuah pernyataan yang kurang bijaksana
saya kira bener banget ungkapan itu, pak.
Makasih atas infonya…. sangat bermanfaat sekali !
oke, sama2 bos, terima kasih apresiasi dan kunjungannya.
Mungkin Pak BeYe lagi bingung kali Pak…
jadinya ngomong kaya gitu….he..he…
O ya, Pak…tadi saya berkunujung ke blog http://tuhusetya.net/…wah..kirain saya blog Bapak ganti alamtnya, gak taunya….he..he… (doh)
hehe … bisa jadi bingung, malah akhirnya jadi mbingungi, hehe … tuhusetya.net merupakan domain yang berbeda, mas. pinginnya sih dua2nya bisa rutin ter-update. bahkan ada juga domain baru http://pawiyatan.com/ kalau ada waktu silakan ke tkp!
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
Presiden entahlah apa sedang memberikan lemparan isu, atau memang sedang mengobok2 bangsa ini, yang jelas, strategi komunikasi utk masalah ini tidak berjalan baik.
wah, itu dia yang ndak mudah ditebak, mas arul. menurut saya sih, pertimbangannya dari ranah politik semata hingga akhirnya kontroversi itu terus berlangsung.
Mengomentari statmen SBY tentang Keistimewaan DIY : Dalam Bahasa jawa ada pepatah yang berbunyi ” Aja waton ngucap, naging ngucapa nganggo waton ”
Salam dari Solo
salam juga dari kendal, pak bambang. hmm …. kula sarujuk sanget kalih pangandikan panjenengan, pak.
Gitu kok dapat anugerah dari pusat bahasa ya?
awal mulanya bagus, eh, kalau dah kecemplung ke kubangan politik, yang baik pun bisa jadi luntur, pak eko, haks.
wah artikelnya tinggi sekali kawan,saha harus banyak belajar dari pakar seperti anda,kebetulan saya masih newbie di dunia blog.
mohon kerja samanya y . . .
untuk berita teknologi dan informasi perkembangan ilmu electrical silahkan mampir diWaliTeknologi.blogspot.com
silahkan di backlink kawan. . .salam hangat blogger indonesia (applause)
walah, saya juga sedang dalam proses belajar, mas. konon, belajar kan memang perlu terus dilakukan sepanjang hayat. *doh kok jadi sok tahu saya, haks*
Kayaknya SBY kehilangan powernya di mata rakyat Yogyakarta, sehingga perlu “melengserkan Hamengku Buwono X dan Paku Alam.
Kurang kerjaan kali, SBY dan konco-konconya.
itu dia yang terjadi, mas marada. sepertinya sikap empati itu sdh hilang, sampai2 harus tega mengeluarkan kontroversi di tengah masyarakat yogya yang barusan tertimpa musibah.
waduh…. ni materi kuliahnya berat bgt pak dosen!
jadi ga nyampe otakku 😀 hehehe
Baca juga tulisan terbaru pakeko berjudul Indonesia Siap Bersaing di SERP
walah, mas argun bisa saja, nih. hanya sekadar tulisan reflektif dari sisi pragmatik, kok.
telah terlalu banyak ulasan tentang Yogyakarta
terlalu banyak fakta pengorbanan Yogyakarta bagi NKRI
telah banyak kisah kontribusi sultan pada NKRI
sayangnya pemimpin kita mengalami amnesia sejarah
ataukah, hanya mimpi politis yang telanjur serakah?
sangat disayangkan…
salam sukses
sedj
amnesia sejarah? hmmm… istilah yang sangat tepat, mas sedj. wasiat bung karno tentang “jas merah” ndak lagi diingat!
hlaaa memang Presidennya gak beres kok… (funkydance)
hehe …. saya sudah menduga, mas itempoeti akan berkomentar seperti ini, keke ….
Bahasa politik itu multi dimensi mas. Dipikiran mumet, ga dipikirin wong terkait. Jd lebih baik slow down aja. Liat aksi reaksinya, arahnya kemana.
Tapi yg jelas Yogya itu…. yah… emang Yogya banget. Dari satu sisi begini, dari sisi lain begitu.
Yang aku herankan dari masayarakat Yogya tuh ke pasrahannya itu, lho… aku sangat ga habis pikir dengan si mbok yg ujur tapi masih memikul beban berat di kuk nya….
Trus apa dengan wacana yang bergulir sekarang ini para si mbok itu mau di lestarikan atau mau di bangkitkan???
Yogya ya tinggal Yogya
SI Mbok ya tinggal SI Mbok
Kekuasaan???
(SEHARUSNYA KEKUASAAN UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT. BUKAN MELESTARIKAN SI MBOK YANG DENGAN BEBAN BERAT DI PUNDAK)
bicara tentang yogya agaknya memang beda, mas. kita berharap, RUUK DIY bener2 menjadi yang terbaik utk rakyat, khususnya rakyat ngayogyakarta hadiningrat.
ibarat orang,udah sehat tapi menginginkan penyakit…… (tongue) (haha)
hehehe ….sebuah analogi yang tepat, bos.
Monarkhi VS Demokrasi yang menang SBY
Salam kenal semuanya
hmm …. begitukah?
mas tukar link yuk mas,,ditunggu lho,,
oke, dengan senang hati, mas ahmad. terima kasih.
kalau dulu sebelum jadi presiden, SBY adalah pejabat pengguna Bahasa Indonesia yang baik, kini sikap mbuletnya membuat rasa hormat saya jauh berkurang