Oleh: Ki Sawali Tuhusetya
Pandu gagal membendung hasratnya untuk berburu di hutan. Hobi lamanya kambuh. Baginya, berburu menjanjikan sensasi tersendiri. Selain menjadi media yang tepat untuk mengukur ketepatan membidik sasaran, berburu juga mampu menyalurkan hasrat agresivitas yang membadai di dalam rongga dadanya. Berburu juga bisa dimanfaatkan sebagai jeda emosional di tengah rutinitas yang menumpuk di Hastinapura. Pandu seringkali merasa bosan dengan thethek-bengek urusan birokrasi kenegaraan yang rumit dan bertele-tele. Dia juga merasa puyeng memikirkan kasus terorisme yang kini merajalela di negerinya dengan menggasak dan merampok bank atau menyerang kantor aparat keamanan. Belum lagi soal para pejabat yang korup, meruyaknya mafia hukum, jeritan para petani akibat salah musim, kaum elite di ring terdekatnya yang suka menjilat, atau jalan-jalan protokol yang tiba-tiba amblas.
“Sesekali saya butuh refreshing untuk merotasi pikiran yang capek! Tolong disiapkan!” katanya pada sang ajudan. Seperti robot yang sudah amat terlatih, sang ajudan segera bergerak menjauhi sang bos untuk mempersiapkan fasilitas, akomodasi, dan segala peralatan berburu.
Maka, berangkatlah rombongan presiden dan para pejabat teras Hastinapura itu ke sebuah hutan yang sudah dinyatakan sebagai kawasan cagar alam. Kawasan tersebut sebenarnya dinyatakan terlarang untuk dijamah oleh siapa pun. Namun, siapa yang berani melawan kehendak dan hasrat sang presiden? Jangankan wakil presiden atau menteri, wakil rakyat pun tiarap setiap kali harus berhadapan dengan sosok yang satu ini.
Baru saja rombongan memasuki bibir hutan, naluri berburu Pandu yang amat tajam mencium bau sepasang kijang yang sedang asyik-masyuk bercengkerama di balik semak-semak. Dengan segenap kekuatan dan keterampilannya, Pandu bergegas mengarahkan senapan mutakhirnya ke arah sepasang rusa itu. Clap! Nyaris tanpa menimbulkan bunyi, desingan timah panas tepat mengenai ulu hati si kijang jantan. Tak pelak lagi, satwa itu pun tersungkur tak berdaya. Darah segar muncrat membasahi semak-semak. Pandu, dengan tetap dikawal pasukan setianya, bergegas mendekati si kijang yang naas itu. Namun, Pandu dan pasukannya tersentak ketika si kijang yang tengah sekarat meregang nyawa itu mendadak berbicara dengan nada geram dan mengancam.
“Hai, dasar keong racun! Engkau akan menemui ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu,” kata si kijang yang ternyata penjelmaan seorang resi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Bola mata Pandu membelalak. Dadanya bergolak dahsyat. Ia sama sekali tidak menduga kalau satwa buruannya itu seorang resi yang tengah menyamar.
“Saya benar-benar terkutuk! Mata batin saya telah ditipu oleh pandangan mata telanjang saya yang bernafsu untuk membunuh satwa penjelmaan sang resi!” kata Pandu dengan nada terbata-bata. Penuh penyesalan. Para ajudan dan prajurit yang mengikutinya hanya bisa saling pandang dan tertunduk. Dengan dada yang masih bergolak dahsyat, Pandu dan rombongan urung melanjutkan perburuannya. Peristiwa kematian kijang penjelmaan sang resi benar-benar telah membuat Pandu panik dan resah. Ke mana pun pergi, gendang telinganya selalu mendengar gema ancaman sang resi yang terus membadai membuntutinya.
Lantaran kepanikan dan kecemasan terus merangsek ke dalam kepekaan nuraninya, Pandu tidak lagi betah tinggal di istananya yang megah. Ia memutuskan untuk lengser keprabon dan menyerahkan tahta Hastinapura kepada Bhisma dan Widura. Ia hendak menikmati sisa hidupnya di pengasingan bersama kedua istrinya, Kunti dan Madrim.
***
Tak hanya Pandu yang menyesali pembunuhan terhadap kijang di hutan cagar alam itu. Kunti dan Madrim pun merasakan hal yang sama. Mereka benar-benar menyesali ulah lelakinya yang dianggap sembrono dan ceroboh. “Benar-benar ancaman yang mengerikan,” desah Kunti dan Madrim pada dirinya sendiri. Ibarat pepatah, “Siapa menabur angin bakal menuai badai”, itulah risiko hidup yang mesti ditanggung Pandu sepanjang hayatnya. Itu artinya, mereka bertiga tak akan pernah bisa merasakan kemesraan cinta sepasang suami di atas ranjang. Sebuah kenyataan yang benar-benar sulit untuk diterima. Kunti dan Madrim tak ingin kehilangan suami tercintanya, tetapi mereka juga tak sanggup apabila tuntutan bilogisnya sebagai perempuan normal dibiarkan merana. Yang lebih menyedihkan, mereka juga terancam tidak memiliki keturunan sehingga tak ada satu pun sosok yang berhak menjadi pewaris tahta Hastina.
“Aku mohon maaf kepada kalian berdua! Akibat ulahku, kalian harus ikut menderita di tempat yang asing ini,” kata Pandu pada sebuah obrolan senja di depan gubugnya. Kunti dan Madrim terdiam, tetapi hatinya bergolak. “Yang lebih aku sesali, kita mustahil punya keturunan. Ini yang mengganggu pikiranku siang dan malam. Itu artinya, Hastinapura akan segera tamat riwayatnya!” lanjutnya.
“Sudahlah, Kanda! Kita sama-sama paham, tak ada yang menghendaki peristiwa itu terjadi! Mungkin, ini sudah menjadi garis takdir yang harus kita jalani!” sahut Kunti dengan nada tersedu. “Namun, kalau kita ingin punya keturunan, saya pernah diberi handphone bermantra gaib oleh Prof. Durwasa yang bisa digunakan untuk mengontak para dewa. Mengapa kita tidak mencobanya? Siapa tahu, mantra gaib ini bisa menjadi jalan bagi kita untuk memiliki keturunan sebagai pewaris tahta Hastina!” lanjutnya.
Tiba-tiba saja, wajah Pandu berbinar. Semangat hidup yang sudah nglumpruk kembali bangkit. Ia setuju dengan pendapat Kunti. Maka, mereka bertiga segera memusatkan pikiran, meneguhkan hati, dan mengheningkan kalbu untuk membaca mantra gaib yang tersimpan di handphone Kunti. Benar-benar berdampak dahsyat. Usai melakukan “ritual”, mereka dikejutkan oleh kehadiran lima sosok dewa dari khayangan. Entah, bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja dengan cara yang gaib, Kunti melahirkan tiga putra dan Madrim melahirkan putra kembar.
Putra Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya “yang teguh hati dan teguh iman di medan perang” yang konon merupakan titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena keteguhan hati, rasa keadilan, dan keluhuran wibawanya. Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, yang terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa. Ia dilukiskan sebagai pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur. Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh, dan Halilintar, yang berarti “cemerlang, putih bersih bagaikan perak”, dan disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi yang luhur, dermawan, lembut hati, dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan kehormatan. Putra kembar Madrim diberi nama Nakula dan Sadewa yang terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya dan Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Kedekatan dan keakraban pada alam membuat para putra Pandu tumbuh dan besar sebagai sosok yang teruji dan tidak cengeng. Konon, para putra Pandu yang disebut sebagai Pandawa itu kelak akan mampu membuat sejarah peradaban baru di Hastinapura.
Kehidupan keluarga Pandu yang hidup tenteram di tengah suasana hutan yang tenang, asri, dan menjanjikan kedamaian hidup, membuat Pandu terlena. Ia lupa pada ancaman Sang Resi yang telah dibunuhnya beberapa tahun yang silam. Maka, dia pun tak sanggup melawan hasrat birahi yang sudah demikian lama membadai ke dalam kubangan naluri kelelakiannya. Terjadilah peristiwa tragis itu. Pandu dan Madrim yang tenggelam dalam lautan asmara makin mabuk kepayang hingga akhirnya Pandu roboh meregang nyawa. Agaknya ancaman sang resi itu benar-benar terbukti. Karena merasa bersalah, Madrim memohon Kunti untuk mengasuh kedua anaknya. Suasana makin tenggelam dalam duka ketika tiba-tiba saja Madrim mencerburkan diri ke dalam kobaran api, tempat pembakaran mayat suaminya.
Kunti yang harus menjadi single-parent terhadap ketiga anaknya dan dua anak Madrim agaknya mengundang empati para penghuni hutan yang selama ini ikut mendidik dan membimbing para putra Pandu. Dengan segenap keberanian yang masih tersisa, mereka kembali ke Hastinapura menghadap Bhisma. Mereka segera mengabarkan berita duka tentang meninggalnya Pandu dan Madrim. Segenap kerabat di Hastinapura pun berkabung. (Tancep Kayon) ***
Wah ceritanya menarik sekali Pak…
sangat memberikan pelajaran sekali…bahwa kita tidak boleh terbawa oleh nafsu….”Siapa menabur angin bakal menuai badai”….wah benar-benar kata-kata yang mantabs…… 🙂
hehe … biasa saja, mas sop. terima kasih apresiasinya.
berarti kalau dicermati lahirnya pandawa tidak ada campur tangan biologis pandu ya pak !! satu hikmah yang bisa dipetik : “setiap manusia haruslah bisa mengendalikan hawa nafsunya, bila tidak maka hawa nafsu akan menghancurkan kehidupannya”
saya baru saja rehab rumah pak Wali… Monggo pinarak jangan lupa saran dan kritiknya !!
hehe … kalau disimak dari kisah mahabharata memang demikian, mas pur. wayang agaknya memang bisa menjadi cermin dan bayangan hidup manusia. wow…. keren juga theme barunya, mas pur.
menabur angin sudah nah menuai badai , trus disini badainya yang mana boss. memang gak pernah membosankan pewayangan digelar dan dinikmati ceritanya. (applause)
hehe … kematian pandu yang tragis setelah bersebadan dengan madrim itu yang bisa dibilang sbg badainya, mbak.
Inilah. Meskipun asli jowo, terkadang saya kurang begitu paham cerita pewayangan.
hehehe
hehe … ini juga hanya sekadar kisah slengekan, mas alam.
pak sawali itu benar, siapa yang menabur angin bakal menuai badai. siapa yg menuai benih akan menuai sukacita..hehe
hmm … sebagian masyarakat jawa menyebutnya dengan ungkapan: “ngundhuh wohing pakarti”. setiap orang akan memetik apa yang ditanamnya.
jadi inget pelajaran mahfudhot pas di pondok kemarin pak sawaly, sama halnya dengan istilah Barang siapa menanam pasti akan memanen…
ya, ya, semoga kita bisa memanen hal2 yang baik dan positif, mas reza.
ngeri juga ya kalo dapet kutukan kayak pandu.. (taser)
kutukan itu bisa jadi bermakna simbolik juga, mas, agar manusia lebih berhati2 dalam bersikap dan bertindak. *doh, kok jadi sok tahu saya, haks.*
jadi ingat kisah ini namun saya kok lebih menangkap bahwa kita juga kadang mengalami kisah kisah ini dalam bentuk kehidupan yang sekarang sedang kita jalani
titipan pesan siapa menabur ia akan menuai semoga akan menjadikan saya juga lebih memetri hal ini
salam
salam juga. kisah mahabharata memang sarat dengan simbol dan perlambang, mas totok. ada banyak kisah yang masih sangat kontekstual dg situasi kekinian.
Pak saya cuma mau minta izin ni buat masang link bapak di blog saya…mohon izinnya ya pak… 🙂
oh, ya? terima kasih banget atas pemasangan link-nya, mas sop!
boso arab-ipun ngundhuh wohing pakarti
hehe … itu basa jawa, mas pencerah, haks.
layak dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita semua
amiin, terima kasih apresiasinya, mas.
yah, segala tindak tanduk yang kita kerjakan pasti akan mendapat balasan yang setimpal.
ya, ya, mungkin begitulah makna tersirat dari kisah ini, mas.
oleh sebab itu kita perlu berkaca dari kejadian ini ; hati hati dalam bertindak, karena apa yang kita tanam sudah pasti kita juga yang akan merasakan hasilnya. siapa menabur angin ia akan menuai badai. cerita yang bagus sekali pak guru.
terima kasih apresiasinya, mas. kisah mahabharata memang sarat dengan peristiwa yang kontekstual dengan peristiwa saat ini.
jaman dulu kata2 seorang suci apalagi resi sangat berbahaya kalo dilanggar, anggap itu adalah sebuah takdir.
iya, mas boyin. dalam kisah ini, mungkin pandu benar2 tdk tahu kalau si kijang itu penjelmaan seorang resi.
Pingback: Tweets that mention Catatan Sawali Tuhusetya -- Topsy.com
banyak yang bisa kita petik pelajaran dari kisah seperti ini, hidup selalu memiliki hukum timbal balik seperti kata pepatah apa yang kau tanam maka kelak engkau akan memetik buahnya…
kisah yang bagus banget pak
Sukses Slalu!
@Bunglon Blog Indonesia,
terima kasih apresiasinya, mas. mahabharata memang kisah yang sarat dengan berbagai peristiwa tragis dan masih sangat kontekstual dengan situasi kekinian.
Kedekatan dan keakraban pada alam membuat para putra Pandu tumbuh dan besar sebagai sosok yang teruji dan tidak cengeng.
Belajar pada alam penting untuk membangun karakter siswa. Alam tidak pernah bohong, ada aksi pasti akan muncul reaksi.
iya, bu pita. saya sangat setuju dengan pernyataan itu.
Menyenangkan membaca kisah ini… banyak manfaat yang bisa kita petik …
hukum sebab akibat 🙂
wah, terima kasih banget atas apresiasinya, mas, hanya sekadar kisah wayang slengekan, kok.
Saya kok langnsung “kepincut” sama Gambar Wayangnya, yg ketika mouse di dekatkan, gambar menjadi zoom secara otomatis, apakah efek ini bisa diterapkan di Blogspot ya?
Makasih Pak Sawali buat inspirasinya :), ditunggu kunjungannya 🙂
hehe …. saya pakai script expando, mas. di blogspot pun sepertinya bisa juga dipakai, kok.
inspiratif nih ceritanya…
terima kasih apresiasinya, mas yayan!
Pingback: Dik Doank Menolak Festifal Film Q | Alde Blog
Pingback: Dik Doank Menolak Festival Film Q | Alde Blog
Wah, cerita yg “melelahkan” pak.. Tp saya sepakat dg Judul diatas pak
hehe … yang tdk melelahkan ada juga, kok, mas andi, hehe … ndak perlu dipaksakan baca yang bikin capek, hehe …
Apa yang ditabur oleh kita , itulah yang dituai oleh kita , benar sekali 😀
memang benar demikian adanya, mas. orang jawa bilang, setiap orang bakal “ngunduh wohing pakarti”.
Iya itu adalah info yg sgt benar 😀
hehe … ini wayang slengekan kok, bos.
cerita yang mengharukan 🙁
hmm …. begitukah?
I like the helpful information you provide in your articles. I will bookmark your blog and check again here regularly. I’m quite sure I’ll learn lots of new stuff right here! Good luck for the next! wholesale jewelry boxes
berarti kalau tanam jagung pasti nantinya panen jagung juga itu kalau berhasil,,
siapa yang menabur shodaqoh pasti rezekinya akan membawa berkah<<<
Cerita ini sangat menarik,,,
& ada hal yang baik untuk dapat kita petik…
seru juga tuh ceritanya pak…
makasih ya pak atas infonya.
kalau nandur kebaikan akan panen pahala dong Pak….